Kamis, 30 September 2010

Hegemoni dan Dominasi

HURIN AIN (070710409)


Abstract: Hegemony and domination are two terms which can’t be separated. Hegemon which is identical with single dominant power country, absolutely spread his power to other unequal countries to increase its influence and domination. If there is stability, it is only side result of domination. There are some requirement to become hegemon:  A country has strong military, politic, economy capabilities; The Will to do so; A Commitment to a system which is perceived as mutually beneficial to the major states. Hegemon has duties also, those are make, do and, care for order; make available public good and can solve free rider problem, and manage system in crisis situation. In this article, the writer will explain, analyze and give own opinion more about USA as incumbent hegemon and international institution as its proxy which is supported by contemporary fact.
Keyword: Hegemony, Domination, International Institusion, Dependency Theory, Hegemonic Stability Theory

            Keberadaan Amerika Serikat (AS) sebagai hegemon pengganti Inggris berlangsung beberapa dekade. Banyak pakar memperkirakan keruntuhannya, baik akibat kemunculan negara industri baru maupun deraan krisis berulang yang dialaminya. Namun apakah seperti itu realitanya? Dalam artikel ini, penulis berusaha memberikan pemaparan yang komperehensif mengenai kelanggengan hegemoni AS yang disebabkan oleh aspek dominasi ataukah justru kestabilan tatanan yang diciptakannya? Untuk menjawab problematika tersebut, ada beberapa teori yang digunakan untuk pelengkap sekaligus penguat penjelasan penulis yaitu teori stabilitas hegemoni dan teori dependensi serta penjelasan arti hegemon dan fungsi institusi internasional dalam “sepak terjang” hegemon selama berkuasa.

Mitos dan Realitas dalam Hegemoni Amerika Serikat
Dari segi pendefinisian, hegemoni merupakan perluasan pengaruh atau kekuasaan suatu negara ke negara atau kawasan lain yang mengutamakan dominasi kekuatan yang dilancarkan melalui pendekatan budaya dan ideologi serta ekonomi daripada pendekatan militer.[1] Dalam teori stabilitas hegemoni, kondisi dasar suatu negara didasarkan pada sistem anarki dari keberagaman kedaulatan negara.  Didalamnya terdapat sebuah dilema keamanan yang bertumpu pada kekayaan relatif dan kekuasaan, dimana permainan politik dunia berada dalam keadaan zero sum. Sehingga lumrah adanya bila kekuatan yang lebih besar menjadi ancaman potensial terhadap keamanan negara lain. Tidak ada satupun negara yang bisa diharapkan untuk membiarkan suasana hubungan hegemoni dan tetap tinggal diam tanpa berusaha mengubahnya.
 Pola hubungan yang bisa diamati pada keadaan di atas adalah adanya hubungan antara negara satelit dan pembentukan ruang pengaruh. Pada negara yang menjadi ruang pengaruh, negara asing tidak memiliki kekuatan, namun mampu menekankan suatu paksaan “mondial” terhadap negara tersebut sehingga membatasi kebebasannya.[2]    Dalam keadaan demikian, anarki dan dilema keamanan akan dapat menghasilkan suatu kerjasama yang baik, bukan dalam keadaan harmoni dan seimbang memang tapi lebih mengarah pada penyesuaian kepentingan oleh negara inferior pada negara superior yang memiliki hegemoni dalam upaya peraihan konsensus bersama. Keteraturan di sini bisa dibilang suatu konstruksi keniscayaan semata, akibat faktor ketidakberdayaan negara inferior akan dominasi tersebut. Jadi bukan berarti dengan adanya suatu aturan yang diciptakan lantas kestabilan dapat terwujud, namun dibutuhkan suatu kekuatan yang mendominasi untuk mengawasi pelaksanaannya. Walaupun pada prakteknya, hegemon lebih cenderung melakukan penyimpangan akan kuasanya akibat tidak adanya pesaing (single dominant power).[3]
Dari pemaparan di atas, jelas sekali bahwa penulis mengambil posisi dimana hegemon lebih cenderung mengarah pada dominasi daripada keteraturan, walaupun adakalanya keteraturan itu bisa diwujudkan sebagai suatu hasil sampingan dari dominasi yang dilakukan. Hal ini bisa diamati pada  perjalanan Amerika Serikat (AS) sewaktu menjabat sebagai hegemon di abad XX sampai sekarang. Dimana pada saat paska Perang Dunia I, AS sebenarnya sudah memiliki potensi yang memadai- dari segi kapabilitas politik, ekonomi dan militer- untuk menjadi hegemon namun sama sekali tidak memiliki komitmen untuk menjadi hegemon pengganti Inggris yang runtuh akibat tidak mampu menyeimbangkan antara soft  dan hard power-nya.[4] Inggris saat itu terlalu fokus pada perang sehingga anggaran negara habis untuk membiayai armada milliternya. Baru setelah paska Perang Dunia II AS menerima tanggung jawab tersebut, akibat Inggris yang mulai kepayahan, Jepang yang saat itu juga termasuk negara maju menjadi korban pengeboman AS, dan pertimbangan bahwa praktek isolasionis yang selama ini dijalankannya kurang menguntungkan.[5]
Dengan perekonomian yang terbuka, AS mengharapkan suatu keuntungan yang berlebih dari paradigma liberalisme yang digaungkannya, dengan mengusung agenda perdagangan bebas, globalisasi dan penegakan demokrasi. Keuntungan tersebut berupa pertumbuhan dan kesuksesan ekonomi dunia yang akan menanggung biaya penyediaan barang publik internasional ke negara kecil sembari memenuhi kebutuhan nasionalnya sendiri.[6] Jadi ada sinergi antara peran hegemon dan pasar dalam ekonomi global yang didasarkan pada kekuatan dan resiliensi dari pasar sebagai bentuk dari organisasi sosial dan ekonomi. Hal ini didukung oleh pandangan  Keynes yang melihat bahwa negara dibutuhkan untuk aktif menjamin stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, dimana negara sebagai hegemon dibutuhkan untuk menyandang peranan internasional untuk mendapat promosi pasar yang luas.[7]
Jadi, AS menerima peranan ini karena pragmatisme kepentingan domestiknya saja bukan dengan asas sukarela dan berbaik hati menjadi pahlawan internasional terutama di saat krisis. Keberadaan institusi internasional tak lain hanya menjadi perpanjangan tangan dari hegemon saja, ini terlihat dari peran AS yang begitu dominan pada IMF dan bank dunia. Bahkan di saat peran hegemon menurun, maka rezim yang merupakan basis dari institusi internasional ini berfungsi untuk tetap memelihara tatanan yang ada sehingga kerjasama internasional tidak akan runtuh seperti yang diramalkan oleh teori stabilitas hegemoni.[8]
Ada begitu banyak penyimpangan lain sebenarnya yang dilakukan AS selama menjabat, seperti pelanggaran Brettonwood system yang dibuatnya sendiri, yaitu menjadikan dolar sebagai mata uang transaksi internasional dengan melakukan konvertibilitas terhadap emas ($35= 1 ons emas) akibat Perang Vietnam dan embargo minyak untuk mencegah mengalirnya cadangan emas yang mulai menipis. Hal ini dilakukan sepihak tanpa memberitahu negara lain yang mengikuti sistem ini sehingga menimbulkan protes dari negara lain seperti Jerman dan Perancis; kemudian penolakan AS untuk meratifikasi ITO karena alasan perlindungan perekonomian dalam negerinya, ini tidak sesuai dengan paradigma liberal yang menganut asas non intervensi negara; kemudian tindak unilateralisme AS atas Irak  yang ”melangkahi PBB” sebagai rezim keamanan internasional dengan aksi pembumi hangusannya dengan dalih pelanggaran HAM, penegakan demokrasi dan kepemilikan senjata massal yang sampai saat ini tidak terbukti- yang ditengarai sebagai motif penguasaan minyak dan dominasi di Timur Tengah;[9] Kekuatan voting dalam IMF ditentukan oleh besarnya sumbangan tiap negara anggotanya dan AS memiliki jumlah sumbangan lebih dari seperempatnya. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa hegemon begitu dominan dalam urusan kerjasama. [10] Semua negara takut, meminta perlindungan, membenci, dan sekaligus tergantung pada AS.
Bagaimana fenomena ini bisa terus langgeng sampai sekarang? Dominasi absolut ini sekali lagi merupakan wujud pemakluman karena AS yang notabenenya adalah pemenang Perang Dunia II dan Perang Dingin memiliki anggaran militer sebesar 38% pengeluaran militer dunia, artinya, kekuatan militer AS tidak tertandingi.[11] Fakta ini membawa kesimpulan yang menyatakan bahwa tidak akan ada negara yang berani melawan AS dengan perang terbuka. AS merupakan kekuatan dengan strategi global yang berdiri secara independen. AS sebagai hegemon berinvestasi dalam membangun sumber daya melalui perjanjian internasional.[12] Perjanjian tersebut secara implisit dibuat AS untuk mengikat dirinya sendiri serta yang lain, untuk mengakui bahwa aktor atau negara lain setuju terhadap posisi AS sebagai hegemon yang memimpin dan berada pada hirarki tertinggi. AS memiliki tiga penawaran jika mau bergabung dalam rezim berada dibawah kepemimpinanya, yaitu kestabilan sistem moneter internasional yang memfasilitasi perdagangan internasional dan pembayaran, penyediaan pasar terbuka untuk barang, dan akses harga minyak yang stabil.[13]
Sistematika institusi AS merupakan struktur yang sengaja dibuat untuk menimbulkan ketergantungan pada negara maju dengan AS sebagai pusatnya. Bila mengadaptasi pemikiran Johan Galtung dengan teori dependensinya tentang konflik yang timbul akibat eksploitasi negara maju pada negara berkembang, negara-negara tersebut memang sengaja dimiskinkan oleh sistem.[14] Dengan asumsi kalaupun ada kemajuan maka analoginya seperti deret ukur dan deret hitung yang sampai kapanpun tidak akan bisa terkejar. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Joseph Stiglitz,[15] mantan wakil presiden Bank Dunia, yang justru malah melontarkan kritik pada kebijakan IMF  yang merupakan perpanjangan tangan neoliberalisme (liberalisme yang merupakan konsep lama dengan kemasan baru). Secara teori memang lembaga seperti IMF dan Bank Dunia mendukung demokratisasi di negara-negara yang menjadi “pasien” untuk diobati. Namun pada tingkat lapangan, ternyata IMF malah merusak proses demokrasi dengan jalan memaksakan semua kebijakannya. Sebagai contoh, IMF secara resmi memang tidak akan “menekan” apapun. Namun yang terjadi biasanya “merundingkan” dengan negara penerima bantuan syarat-syarat penerimaan bantuan. Dalam hal ini semua perundingan hanya berada di satu pihak, yaitu IMF, sedang lembaga penerima bantuan tidak diberikan waktu yang cukup untuk mengadakan konsultasi yang luas dengan pihak legislatif dan komponen masyarakat sipil lain.
Hegemoni AS juga didukung oleh penggunaan dolar sampai saat ini; kebudayaan pop Amerika yang masih menjadi trend setter- bila meminjam pemikiran Gramsci bahwasanya hegemoni AS tidak hanya berdasarkan pada kekuatan materi tetapi juga pada nilai dimana negara lain sangat tertarik untuk menyamainya;[16] dan penguasaan industri yang berbasis informasi seperti Microsoft, manufaktur, dan vital seperti minyak yang dikuasai oleh perusahaan seven brothers; investasi Luar negeri yang besar; dan penurunan suku bunga The Fed yang mau tidak mau menimbulkan kecemasan dan penyesuaian oleh negara lain.[17]
Fenomena kontemporer yang bisa disaksikan bersama, adalah ”sakitnya” hegemon, AS, mulai paruh waktu 2008 kemarin sampai sekarang. Bagaimana mungkin hegemon yang diandalkan sebagai last resort lender justru tak mampu menolong dirinya sendiri keluar dari krisis? Nye menjawabnya sebagai berikut, bahwa dalam hal sumber daya kekuatan, hegemoni AS masih pada tempatnya yang menjadi masalah adalah karena AS menjalankan aksi bersama dan menerima tanggung jawabnya bagi perekonomian liberal.[18]Justru peran AS sebagai stabilitator dipersalahkan di sini, padahal seperti yang disinggung di atas, AS menerima tanggung jawab ini atas pertimbangan egoisme kepentingan negaranya untuk tetap survive dalam tatanan dunia anarki yang penuh dinamisitas, bahkan lebih banyak penyimpangannya dalam artian dipolitisasi- kekuasaan lebih sering disalahgunakan- daripada bertindak sebagai benign hegemon. Kebaikan AS hanya terlihat pada saat membantu negara korban Perang Dunia II seperti Jepang dan Eropa Barat melalui perjanjian Marshall-nya, itupun dengan motif untuk mencegah penyebaran komunis saat itu yang dilakukan oleh Uni Soviet.[19]
Tindakan perimbangan kekuasaan dengan munculnya negara industri baru seperti Cina, India, dan Korea Selatan serta berbagai tuntutan negara berkembang yang mayoritas merupakan anggota non blok untuk ikut berkontribusi agar tidak dianggap sebagai free rider saja, menjadi pertimbangan tersendiri bagi AS untuk tidak lagi bersikap ofensif dan unilateral. Apalagi dalam era pemerintahan Obama ini lebih fokus pada pemberian bail out sebagai stimulan untuk membangkitkan gairah perekonomian dalam negerinya, yang diharapkan menjanjikan perubahan yang menyebar di lingkup internasional (trickel down effect) daripada sekedar pamer power seperti di era Bush Jr.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya hegemon bukanlah anugerah seperti pandangan ”Lebensraum” yang digembar-gemborkan Jerman di masa lalunya. Semuanya adalah mitos yang dikonstruksikan untuk melegitimasi kekuasaan siapapun yang berada pada hirarki tertinggi, baik yang dilakukan dengan cara compliance (kepatuhan) atau bersifat compliance (paksaan), namun kesemuanya mengarah pada tindak dominasi. Diprediksikan dominasi AS ini masih akan bertahan paling tidak sampai tahun 2025, saat dimana negara industri baru benar-benar mengungguli atau paling tidak meraih kesejajaran kekuatan yang tidak sekedar berfungsi sebagai penyeimbang saja.[20] Asumsi penulis ini muncul karena aktor manapun yang rasional, tidak bisa memprediksikan perilaku dan kebijakan yang akan diambil lawannya, apalagi bila mereka memiliki power yang identik dengan dominasi dan pseudo genetik-nya. Hanya masalah kesempatan sajalah yang membuat negara industri baru saat ini masih belum menunjukkan dominasinya.

Referensi
Cox , Robert. 1996. Approaches to World Order. Cambridge: Cambridge University Press
Geopolitik dan Hegemoni AS     diakses melalui http://www.kompas.com pada 23 Juni 2009
Gilpin, R.1987. The Political Economy of International Relations. Princeton: Princeton University Press.
Jackson, Robert J. and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New YorkOxford University. Hal. 228
Jurnal Analisis Sosial, Vol.8, No.1 Februari 2003
Keohane, Robert O. 1984. The Incomplete Decline of Hegemonic Regimes dalam After Hegemony Coopertion and Discord In The World Political Economy. New Jersey: Princenton University Press hal. 195-216
Mas’oed, Mohtar. 2003. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Milner, Helen. 1998. International Political Economy: Beyond Hegemonic Stability. Foreign Policy, No. 110
Nye, Joseph S. 1990.  Bound to Lead: The Changing Nature al American Power. New York: Basic
Plano, Jack C. 1982. The International Relation Dictionary. England: Clio press Ltd. hal. 204
Strange, Susan. 1987.  The Persistent Myth of Lost Hegemony. International Organisation. Hal 1-74
US Crude or Petroleum Oil Import Sources (November 19, 2004) diakses melalui http://www.kompas.com pada 23 Juni 2009
http://www.republika.com diakses 23 Juni 2009



[1] Jack C. Plano. 1982. The International Relation Dictionary. England: Clio press Ltd. hal. 204
[2] Ibid. hal. 24
[3] Robert O. Keohane. 1984. The Incomplete Decline of Hegemonic Regimes dalam After Hegemony Coopertion and Discord In The World Political Economy. New Jersey: Princenton University Press hal. 195-216
[4] Robert J. Jackson and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New YorkOxford University. Hal. 228

[5] Helen Milner. 1998. International Political Economy: Beyond Hegemonic Stability. Foreign Policy, No. 110.



[6] R. Gilpin.1987. The Political Economy of International Relations. Princeton: Princeton University Press.
[7] Mohtar Mas’oed. 2003. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
[8] Opcit Sorensen
[9] US Crude or Petroleum Oil Import Sources (November 19, 2004) diakses melalui http://www.kompas.com pada 23 Juni 2009
[10] KOMPAS, Selasa, 06 Februari 2007.  Geopolitik dan Hegemoni AS     diakses melalui http://www.kompas.com pada 23 Juni 2009

[11] Ibid.
[12] Opcit. Keohane
[13] Opcit Keohane
[14] Opcit Sorensen
[15]Jurnal Analisis Sosial, Vol.8, No.1 Februari 2003
[16] Robert Cox. 1996. Approaches to World Order. Cambridge: Cambridge University Press
[17] Susan Strange. 1987.  The Persistent Myth of Lost Hegemony. International Organisation. Hal 1-74
[18] Joseph S. Nye. 1990.  Bound to Lead: The Changing Nature al American Power. New York: Basic
[19] Opcit Sorensen
[20] www.republika.com diakses 23 Juni 2009