Tampilkan postingan dengan label globalisasi strategi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label globalisasi strategi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Oktober 2010

GLOBALISASI PEREKAT SOLIDARITAS ATAU PEMICU RESISTENSI

Rasa solidaritas muncul dari sikap kolektivisme yang merupakan lawan dari individualisme. Namun apakah globalisasi yang banyak disebarkan oleh kaum Barat yang notabenenya menganut paham individualisme dan kebebasan mampu memunculkan solidaritas global? Pertanyaan tersebut akan terjawab dalam review ini, dengan artikel dari Peter Waterman yang berjudul Globalization, Civil Society, Solidarity sebagai sumber utama dan berbagai dukungan dari sumber lain untuk menguatkan argument Penulis.
Nilai-nilai individualisme yang sempat disinggung di atas, dalam persebarannya melahirkan paradigma liberalisme dan merkantilisme yang kemudian melahirkan Revolusi Industri. Berbagai spektrum gerakan muncul sebagai resistensi terhadap kebangkitan paham individualisme. Sosialisme memberikan tanggapan terhadap kondisi-kondisi yang diciptakan revolusi industri. Marx tidak menganggap revolusi dapat terwujud lewat penggantian struktur ekonomi saja, tetapi harus diiringi oleh perjuangan politik kaum buruh-tani yang menghimpun diri dalam sebuah partai revolusioner (Waterman, 1993). Di kutub yang lain, anarkisme mencita-citakan tatanan sosial tanpa pemerintahandengan metode perjuangan yang khas seperti lakukan segala sesuatu sendiri, berkarya, dan solidaritas. Seperti tampak dalam gerakan kelompok Black Bloc pada aksi protes pertemuan WTO di Seattle tahun 1999. Hal ini didukung oleh pernyataan Malatesta bahwa penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas (Husotlo, 2010).
Gerakan sosial terfragmentasi menjadi gerakan sosial lama yang semata-mata memperjuangkan perubahan tatanan ekonomi, sedang pergerakan sosial baru  mengusung isu-isu HAM, lingkungan, gender dan budaya (Waterman, 1993). Konsep masyarakat sipil pun mengalami evolusinya jika dulu Hobbes melihat masyarakat sipil sama dengan masyarakat politik dan negara maka Cohen membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan negara (Husotlo, 2010). Sehubungan dengan keberadaan pasar bebas yang merupakan turunan dari globalisasi menurut paradigma neoliberalisme (nama baru dari liberalisme yang sebenarnya tetap menggunakan konsep lama), hal ini memunculkan kesadaran global dari masyarakat yang kemudian memunculkan berbagai global common interest, seperti pembangunan sosial, pemberantasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, memperkokoh solidaritas global, mempererat integrasi sosial, proteksi dan pemeliharaan lingkungan dll (Waterman, 1993).  Bahkan sampai pada penangkalan bersama terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia dan terorisme dalam berbagai bentuknya (sebagaimana yang telah ditetapkan dalam berbagai konvensi dan keputusan PBB).
Tanggung jawab global ini harus secara bersama-sama digalang oleh seluruh negara di dunia terutama untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh persaingan dan perdagangan bebas dan dampaknya pada ekonomi, social, dan budaya setempat, karena semestinya perekonomian global tidak begitu saja mengabaikan perekonomian nasional suatu negara (Suyanto, 2010). Tindakan nyata dari kesadaran dan tanggung jawab global tersebut terlihat dari globalisasi perlawanan yang merupakan tanggapan terhadap neoliberalisme di masing-masing negara bahkan benua (Suyanto, 2010). Di Eropa, gerakan mengambil bentuk kelompok-kelompok sipil penekan. Di Dunia Islam berupa pertentangan Islam dengan kapitalisme, dipicu oleh peristiwa WTC 11 September 2001. Kelompok-kelompok yang cukup sukses seperti gerakan petani tak bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil, gerakan Zapatista di Meksiko, dan aksi penolakan KTM ke-6 WTO di Hongkong oleh ribuan buruh migran Indonesia (2006). Terbentuk pula jaringan perlawanan sosial global, ditandai dengan penyatuan dua konfederasi buruh terbesar, diselenggarakannya Forum Sosial Dunia, pembentukan jaringan petani internasional La Via Campesina, atau jaringan lain seperti Our World Is Not For Sale dan APNFS.
Berbagai perlawanan global tersebut, terfasilitasi oleh kecanggihan teknologi yang memperluas jaringan perekat solidaritas, massa dapat diorganisir dengan cepat dalam jumlah massal dengan internet (Waterman, 1993). Hal yang harus dilakukan oleh gerakan-gerakan social tersebut  adalah memasalkan pendidikan politik-ekonomi budaya rakyat, pengorganisiran (sektoral dan kelas sosial), pembangunan kelompok penekan, pembangunan gerakan sektoral, penyinergian gerakan antar sektor yang termaju (buruh, tani, kaum miskin kota, mahasiswa, gerakan budaya dan adat), masyarakat ekonomi bekerja sama dengan masyarakat politik, perubahan kebijakan/pelurusan kekuasaan rakyat dan pembangunan ekonomi rakyat (Suyanto, 2010). Globalisasi dan wujud globalisasi memang masih dalam proses mencari bentuknya. Untuk itu tak seorang pun tahu format dan hubungan antar keduanya yang terlalu kompleks dan masih sulit dirumuskan. Untuk itu pada masa proses globalisasi ini masing-masing negara harus berbenah diri untuk meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional ke arah mengurangi ketergantungan pada pihak luar. Kemudian menggalang kerjasama regional dan bergabung dalam gerakan-gerakan di forum internasional yang menentang ketidakadilan inheren dari globalisasi sebagaimana yang terjadi saat ini, disertai kesadaran tentang perlunya berbagai koreksi harus kita lakukan terhadap proses perkembangan globalisasi yang terlalu menyudutkan negara-negara berkembang. Jadi dengan adanya semangat kerjasama dan kesadaran global, ini harus dapat dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan nasional kita dengan berbagai ideologi yang telah dipilih.
Berpikir global dan bertindak lokal adalah slogan revolusioner di tahun 1960an. Menurut Harvey ini terlahir kembali (Waterman, 1993). Namun menurut Penulis, akan lebih baik bila dalam memanfaatkan proses globalisasi yang menyediakan banyak  peluang dan prospek kemajuan dilakukan dengan semangat go global dengan local specifics. Go global artinya ikut proaktif menyusun aturan global dalam tatanan internasional yang ada dan ikut membentuk mekanisme globalisasi. Merencanakan dan membentuk keunggulan komparatif domestik adalah tugas memperkokoh local specifics. Ini harus menjadi sikap budaya politik maupun ekonomi kita. Jadi bukan kita yang harus beradaptasi dengan globalisasi, tapi bagaimana caranya globalisasilah yang beradaptasi dengan kita dan negara ini, tanpa mengabaikan kepentingan nasional dan menggerus semua yang tradisional (lokal meredifinisikan global). Selain itu globalisasi tidak hanya muncul dari pengaruh pemerintah dan kebijakannya, tapi bisa juga muncul revolusi globalisasi dari bawah yang digerakkan oleh masyarakat sipil dengan motif politik maupun alasan ekonomi.
Referensi
Waterman, Peter. 1993.  Globalization, Civil Society, Solidarity
Husotlo, Revitriyoso. 2010. Resistensi Global terhadap Ketidakadilan Global diakses dari www.kompas.com pada 20 Juni 2010
Suyanto. 2010. Mengubah Mindset Globalisasi diakses dari www.tempointeraktif.com pada 20 Juni 2010

REGULASI DAN OTORITAS DALAM FINANSIAL GLOBAL

Globalisasi adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena. Di satu sisi, revolusi dalam bidang komunikasi misalnya, telah dengan cepat mengatasi (masalah) jarak. Di sisi lain, teknologi baru juga telah ikut memunculkan sebuah sistem ekonomi yang didominasi oleh uang. Hal yang paling berperan dalam era globalisasi saat ini adalah finance capital, posisi yang sebelumnya dipegang oleh industri kapital.[1] Kapital disini merupakan representasi dari akumulasi kemakmuran atas bisnis, yang berupa aset berharga berbentuk uang ataupun barang. Sedangkan financial capital lebih kepada suatu bentuk kemakmuran berlebih dalam artian bagaimana melakukan suatu rangkaian produksi agar lebih makmur.[2]
Lantas dimanakah signifikansi peran globalisasi? Jawabannya adalah instabilisasi finansial yang rentan terjadi dapat diimbangi dengan deregulasi ekonomi-moneter, adanya liberalisasi pasar uang dalam negeri dan dibukanya pasar uang bagi transaksi internasional agar memudahkan spekulasi finansial. Keberadan teknologi informasi mutakhir sangat disadari oleh penulis telah mempercepat proses integrasi pasar uang dunia, karena bagaimanapun juga ketersediaan informasi yang cukup atas kondisi internasional dalam waktu yang cepat, terutama dalam aspek permintaan dan penawaran sangat penting dalam pertimbangan berinvestasi ataukah melepas aset yang dimiliki dalam upaya peraihan keuntungan.
Terkait dengan tulisan Phillipe Legrain sebagai sumber utama dalam review kali ini beserta dukungan dari referensi lain, penulis ingin menyatakan posisi bahwasanya globalisasi finansial perlu diregulasi dan dipengaruhi oleh otoritas yang ada sebagai suatu siasat menghadapi volatilitas yang terjadi. Agar penjelasan lebih komperehensif, penulis akan memaparkan argumen disertai dengan fakta dan contoh kasus.
Menurut Phillipe, kapital haruslah diatur karena para investor bisa saja menjadi spekulan, mereka hanya berorientasi mencari keuntungan maksimal namun tidak memperhatikan aspek krisis yang nantinya bisa muncul bila terjadi bubble economy.[3] Bila pasar jatuh memang negara akan menjadi penengah sekaligus pengontrol, namun yang dilupakan di sini adalah tidak semua negara memiliki perekonomian yang kuat. Bila negara sudah tidak dapat lagi membantu, imbasnya adalah kesejahteraan rakyat menjadi taruhannya. Untuk itulah kompromi antara investor dengan pemerintah perlu dilakukan dan negara memiliki peranan untuk membuat aturan main dalam berinvestasi di dalam negerinya karena pemerintah memiliki otoritas untuk melakukan itu. Masalahnya muncul apabila pemerintah lebih condong ramah kepada pengusaha asing dan mengabaikan rakyat dalam negerinya, maka legitimasi dari regulasi semestinya ditinjau ulang karena sudah semestinya negara menjamin hak-hak rakyatnya untuk bisa hidup dengan layak.
Dalam bentuk barunya, kapital bertransformasi dimana uang melampaui fungsinya sebagai alat tukar, yaitu komoditas selayaknya barang yang bisa diperdagangkan. Komersialisasi kapital dengan bentuk fisik berupa uang dan kemunculan pertukaran mata uang asing untuk bertransaksi lintas batas negara ternyata memunculkan pro dan kontra. Bagi para pendukungnya, finansial global dapat menjadi mesin kemakmuran tapi bagi para penentangnya ini justru menyengsarakan rakyat miskin karena bila uang dijadikan sebagai komoditas maka inflasi dan krisis finansial akan lebih sering terjadi. Bila saat konflik ataupun saat perekonomian sedang sulit, para investor yang panik akan berebut menarik saham yang telah ditanamnya dan akan mempertukarkannya dengan uang. Padahal uang yang ‘benar-benar nyata ada’ sebagai penjamin tidak sebanyak nilai saham dan obligasi yang mereka miliki karena selama ini bisnisnya lebih berorientasi pada kepercayaan atas suatu bank bank atau institusi ekonomi.
Jadi bisa dibilang semakin modern pasar, maka semakin tidak riil komoditas yang diperdagangkan meskipun yang riil tetap bertahan dan dibutuhkan, contohnya adalah dulu uang di pasar riil-terlihat bentuknya saat digunakan untuk jual beli barang kebutuhan sehari-hari- sekarang uang lebih banyak ada di pasar modal, padahal itu hanya klaim di atas kertas. Ini menunjukkan sistem ekonomi yang semakin irasional dan berjalan tidak seperti perkiraan liberal yang diasumsikan jika para aktor adalah rasional dan pasar dapat berjalan optimal. Krisis Asia pada tahun 1997 maupun krisis Amerika Serikat tahun 2008 adalah contoh yang tepat untuk menjelaskan bagaimana volatilitas finansial masih saja tidak bisa terkontrol meskipun regulasi telah ada dan otoritas aktor telah menunjukkan peranannya.
Krisis terus berulang semenjak sistem keuangan mengambang diberlakukan, begitu pula yang terjadi dengan krisis 1997. Penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut adalah akibat kerapuhan fundamental ekonomi dan kebijakan hutang yang tidak transparan. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: ”Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi.”[4] Hal ini menunjukkan bahwa efek dari semua ini beruntun serta menyebar ke negara lain di masa kini dan nanti. Ini terbukti dengan terjadinya krisis ekonomi lagi tahun 2008 akibat naiknya harga minyak yang menyebabkan naiknya harga makanan di seluruh dunia, krisis kredit dan bangkrutnya berbagai investor bank, meningkatnya pengangguran sehingga menyebabkan inflasi global, penumpukan hutang nasional, pengurangan pajak korporasi, pembengkakan biaya perang Irak dan Afghanistan, serta Subprime Mortgage yang kesemuanya menimbulkan dampak pada lingkup internasional. Apalagi Asia memiliki kebergantungan yang  tinggi pada ekspor beberapa dekade belakangan ini. Dampak tersebut adalah  bursa saham di beberapa negara terpaksa ditutup beberapa hari termasuk di Indonesia, harga-harga saham juga turut anjlok.
Semua masalah tersebut diatasi dengan cara beragam diberbagai negara, seperti resep kebijakan pengetatan, bantuan langsung tunai, serta dibukanya paket penyelamatan oleh IMF 16 milyar dolar AS untuk menyelamatkan Bath yang turun tajam sehingga menyebabkan Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut untuk yang tahun 1997. Sedangkan di tahun 2008 kemarin, yang dilakukan adalah  penyehatan sistem finansial dan mendongkrak permintaan agregat, serta peluncuran paket stimulus fiskal  yang tepat waktu, masif, berkelanjutan sebesar $900 miliar dolar yang dilakukan oleh Barrack Obama  di tahun 2009.
Dari pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa globalisasi semestinya tidak berjalan dari atas ke bawah namun juga dari bawah ke atas, yang maksudnya adalah nasib dunia tidak boleh hanya ditentukan oleh para korporat besar dan para elite yang asyik bermain kapital dan melakukan komersialisasi moneter dan finansial, namun juga mendengarkan suara-suara pihak yang termarjinalkan seperti suara buruh, aktivis lingkungan dan negara-negara berkembang. Setiap keputusan harus transparan, akses ke dokumen pun harus dibuka, begitu pula kejelasan konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil oleh negara. Sehingga segitiga antara pemerintah, pengusaha dan rakyat sama-sama diuntungkan dalam setiap negara. Regulasi yang kurang efektif seharusnya diperbarui, bila aturan sudah bagus maka pelaksanaannya juga perlu diawasi oleh pemerintah bersama dengan rakyat sekaligus. Sehingga perdagangan yang bebas sekaligus adil bisa terwujud, baik yang riil maupun non riil yaitu finansial dan kapital. Sebagaimana dikatakan oleh Steger, ‘’relasi pasar memang penting, akan tetapi demi melayani kebutuhan manusia, maka pasar harus diabdikan pada kesejahteraan seluruh manusia’’  yaitu melalui regulasi dan kebijakan para pemegang otoritas dengan bijaksana.

Referensi
Hadar, Ivan. Jalan Ketiga Bukan Sekedar Jalan Tengah. Diakses dari www.unisosdem.com pada 15 April 2010
Kaufman, GG., Krueger, TH., Hunter, WC. 1999. The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer. ISBN 0-7923-8472-5
Legrain, Phillipe. Financial Failings: why global money should be caged





[1] Hadar, Ivan. Jalan Ketiga Bukan Sekedar Jalan Tengah. Diakses dari www.unisosdem.com pada 15 April 2010
[2] Ibid
[3] Legrain, Phillipe. Financial Failings: why global money should be caged
[4] Kaufman, GG., Krueger, TH., Hunter, WC. 1999. The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer. ISBN 0-7923-8472-5

GLOBALISASI VS PERTUMBUHAN DAN PEMERATAAN


            Dari artikel Neoliberalisme on Trial yang saya baca beserta beberapa dukungan artikel lain, penulis menentukan posisi bahwasanya neoliberalisme yang salah satu agendanya mengusung globalisasi ternyata lebih cenderung menimbulkan ketimpangan. Beberapa ulasan di bawah ini merupakan argumen penguat dari posisi penulis.
            Masalah mendasar yang timbul akibat neoliberalisme adalah pengerukan aset dan kekayaan dari rakyat ke tangan segelintir kelas dari negara berkembang ke negara maju, dan negara yang menerapkan monopoli kekerasan dan membuat aturan main adalah yang paling bertanggung jawab dalam mendukung dan mempromosikan proses ini. Jadi pertumbuhan dan pemerataan akibat neoliberalisme ekonomi berupa pasar bebas dan perdagangan di era globalisasi ini, yang rencananya dengan pengurangan batasan ruang dan waktu serta akses informasi dan perpindahan modal yang begitu cepat dapat memaksimalkan keuntungan dan menstimulasi bisnis dunia ternyata justru hanya memanjakan pengusaha dan tingkat kemiskinan sama sekali tidak berkurang (Harvey, 2005). Orang miskin tetap saja jadi korban dan Harvey menyebut hal ini sebagai accumulation by dispossession,  yang meliputi pengonversian berbagai bentuk hak milik (bersama, kolektif, negara, dan sebagainya) ke dalam hak-hak kepemilikan pribadi secara eksklusif; komodifikasi tenaga kerja dan eliminasi secara paksa bentuk-bentuk alternatif model-model produksi dan konsumsi; proses-proses pengambil alihan aset dengan cara-cara kolonial, neokolonial, dan imperial (termasuk sumber daya alam); moneterisasi nilai tukar, pajak, dan terutama tanah; peminjaman dengan bunga yang mencekik, utang nasional dan yang paling merusak adalah penggunaan sistem kredit yang merupakan cara-cara paling radikal dari akumulasi primitif (Harvey, 2007).
Globalisasi yang idealnya membuat jarak semakin menyempit dan tanpa batas
melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain, justru menjadi alat untuk memperalat. Bagaimana tidak, kesuksesan masyarakat di level atas yang diprediksi akan menyebar pada kalangan sekitarnya dan golongan menengah ke bawah justru mempertinggi ketimpangan. Analogi yang tepat untukk mengggambarkan keadaan ini adalah seperti deret ukur dan deret hitung, jadi bila si kaya memperoleh 1,3,5,7 dst. Maka si miskin kalaupun mengalami kenaikan pendapatan hanya 1,2,3, dst. Tidak akan bisa menyusul keberhasilan dan keuntungan berlipat dari si kaya. World Bank kurang jitu dalam menghitung tingkat pendapatan dunia, karena sama sekali tidak memperhitungkan nilai kurs dollar saat menyurvei tingkat pendapatan individu dibawah 1 $ yang merupakan patokan termiskin, selain itu yang mereka hitung dari orang kaya adalah aset sekaligus pendapatannya padahal orang miskin seringkali tidak memiliki aset bahkan ada yang pengangguran dan menjadi beban bagi negaranya (Harvey, 2005).
Globalisme ini tak lebih dari wujud kapitalisme lama dalam kemasan baru yang diusung oleh negara adikuasa. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing bahkan sengaja dibelit dengan hutang dan bunganya. Apalagi bantuan dana yang digelontorkan biasanya lebih sering tidak tepat sasaran dan dikorupsi oleh pimpinan masing-masing negara berkembang,  bukannya untuk menggeliatkan pasar dan membangun infrastruktur. Kennedy dan Cohen menyebutkan bahwa transformasi globalisasi telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu (Muhammad, 2010).
. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan orang sadar bahwa sebenarnya mereka turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Baik dalam bidang ekonomi, budaya, teknologi dan informasi serta transportasi. Namun mengapa yang menjadi acuan selama ini justru hanya aspek kapital? Apakah itu bukan penyempitan makna dari globalisasi yang bersifat universal dan menyeluruh dalam aspek kehidupan, motif di belakang itu sebenarnya apa? Menurut penulis, globalisasi memang ada tapi keberadaannya terlalu dibesar-besarkan, aspek eksploitasi justru seolah dilegalkan karena kesempatan bersaing terutama dalam hal ekonomi benar-benar tanpa batas. Pertumbuhan ekonomi ternyata tak seglobal pemerataan yang terjadi, memang seperti di Cina ada begitu banyak orang kaya baru sehingga pendapatan dunia melesat begitu tinggi tapi faktor ketimpangan dalam negeri Cina yang sangat tinggi.
Pendukung globalisasi menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Lantas bagaimana dengan negara agraris atau negara lain yang memiliki keterbatasan modal, teknologi dan mesin produksi yang kurang canggih sehingga belum mampu mengolah sumber daya alam yang ada menjadi suatu komoditas barang jadi, pastinya mereka lebih cenderung untuk ekspor dan mendapatkan hasil yang minim meskipun sebenarnya kaya dari segi faktor alamnya. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat dan kemakmuran otomatis juga akan meningkat, begitu seterusnya. Namun menurut Tanry abeng, kritik sosial yang terjadi adalah upah yang rendah dari para buruh seringkali dijadikan sasaran untuk mendapatkan untung berlebih dan faktor diluar keuntungan sama sekali tidak penting dan diabaikan (Muhammad, 2010).
Pasar yang semula menjadi tempat aktivitas ekonomi, menjadi ajang berpolitik bagaimana yang kuat akan selalu menang. Keberadaan krisis yang berulang akibat permainan finansial global justru semakin menyengsarakan rakyat miskin, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka saja susah seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan. Negara-negara yang kena imbas globalisasi pun belum tentu memiliki tingkat kesiapan yang sama dalam bersaing, bahkan bukan hanya ketidakmerataan dan kemiskinan yang semakin tinggi, bisa saja nantinya malah mengarah pada munculnya negara-negara gagal baru.

Referensi
Harvey, David. 2005. “Neoliberalisme on Trial” dalam A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press
Harvey,David.  2007. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. hal 268-278
Muhammad, C. 2010. Penghancuran Terpimpin. Diakses melalui http://www.kompas.com pada 20 Maret 2010

Politik Identitas dan Perang Gaya Baru

Dalam beberapa perang yang mendapat intervensi dari PBB, seperti halnya perang Bosnia dan Herzegovina maka keberadaan para globalis seperti penjaga perdamaian, agen kemanusiaan, jurnalis, penerjemah dan lain-lain yang bebas melintasi batas teritorial tidak bisa dihindari keberadaannya. Bahkan dari tujuan dari perang gaya baru pun masih berorientasi pada kekuatan yang berdasarkan pada identitas tradisional seperti bangsa, agama, dan suku bangsa (4: The Politics of New War: 72). Adanya era globalisasi paling tidak itu pasti akan mempengaruhi semua aspek termasuk perang yang merupakan fenomena global.
Perang yang dulunya dipahami sebagai suatu pendudukan dan penghancuran suatu wilayah, maka perang gaya baru ini lebih kepada sebuah cara bukan tujuan lagi, yang menarget simbol politik, psikologi lawan, strategi diaspora, dan ketidakteraturan tatanan. Seperti kejahatan trans nasional seperti pengeboman oleh terorisme, jaringan perdagangan narkoba lintas negara, perang saudara di antar negara Afrika dll. Semua hal itu diperangi, baik oleh aktor dari setiap negara maupun organisasi internasional di bidang tersebut seperti penyataan Waltz dalam ”Images of War”. Konsep perang gaya baru ini tentu saja menjadi penghambat terwujudnya kondisi keamanan global dan globalisasi semakin membuatnya lebih komplek dan terjadi perbedaan celah yang lebih lebar di bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Jadi seorang aktor harus memperhatikan masalah keamanannya sendiri sekaligus keamanan kolektif dalam waktu yang bersamaan, belum lagi benturan kepentingan yang terjadi antara ”dia dan lawannya maupun dia dengan sekutunya”. Sehingga menghadirkan dilema bahkan ”polilema” dalam mengambil sebuah keputusan saat situasi sulit terjadi-perang.
Bahkan legitimasi negarapun yang merupakan entitas tertinggi sejauh ini pun, mulai diragukan dan tergantikan peranannya karena masyarakat tidak lagi berpegangan pada semangat nasionalisme maupun etnosentrisme yang dulu sangat mengakar. Globalisasi merubah identitas kemasyarakatan, dan para aktorpun bergerak mempolitisinya sehingga muncullah istilah politik identitas. Instrumen yang ada justru menjadi ajang peraihan kepentingan perorangan dan segelintir kelompok saja seperti sistem pemerintahan, pendidikan, pergerakan aktivitas ekonomi dan lain-lain yang sekiranya bisa dijadikan kedok dari sebuah nilai-nilai universal. Paradoksal yang muncul ini membawa pada keragaman sekaligus perbedaan ragam yang tentu saja unik (4: The Politics of New War: 74).
Dari definisi asalnya, sebenarnya politik identitas ini menurut Young diartikan sebagai mode pengorganisasian yang berkaitan secara erat dengan gagasan atau ide tentang terjadinya penindasan terhadap kelompok sosial yang berkaitan dengan identitas mereka (ras, etnis, gender, seksualitas, kelas, dll.), namun karena banyaknya pilihan identitas yang tersedia akhirnya menyebabkan seseorang yang memiliki memiliki multi-identitas menjadi lebih mudah bila melakukan politisasi. Dengan identitas tersebut seseorang akan mendapatkan apa yang diinginkan kapan saja dan bagaimanapun caranya. Adanya perang, imperialisme kultural, kekerasan, maupun marjinalisasi mengharuskan kita melakukan klaim dan deskripsi ulang atas individu dan kelompok. Sehingga bentuk dari perang gaya baru ini merupakan sebuah klaim yang tidak mengarahkan pada integrasi sebuah bangsa tapi lebih kepada fragmentasi budaya yang sifatnya partikular-obsesif.
Legitimasi akan kelas politik penting sifatnya karena interpretasi hanya bisa dilakukan oleh poihak yang berkuasa pemilik otoritas. Stabilitas terjadi bukan karena tidak adanya konflik tapi lebih kepada hasil konsesi para penguasa atas pembagian kepentingan. Lemahnya pemerintahan terutama Negara gagal seperti Sierra Leone dan Somalia memicu munculnya pemberontakan dan separatisme karena kurangnya akomodasi atas pihak marjinal dan munculnya individu-individu yang tidak toleran. Ketidakstabilan negara, demokrasi yang rendah dan adanya pesimisme serta kecurigaan atas globalisasi  dan neoliberalisme lah yang memicu munculnya bibit perang gaya baru. Hal yang penting digaris bawahi adalah masalah demokrasi yang tidak saja menyebabkan perang namun juga dengan adanya demokrasi diwacanakan akan memunculkan perdamaian bila semua negara dunia di saat yang sama menganut demokrasi semuanya, contohnya adalah mayoritas negara-negara Eropa barat yang merupakan anggota Uni Eropa. Jika kita meninjau ulang sistem global yang sedang berjalan, sebenarnya ada begitu banyak permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh aktor internasional. Pengaruh budaya dan identitas adakalanya mempersulit terjadinya kerjasama yang diharapkan mampu mewujudkan perdamaian, adanya manipulasi dari yang kuat terhadap yang lemah telah dengan sengaja dikonstruksikan sebagai suatu keadaan yang sudah semestinya dan wajar bila ada.
Dari pemaparan di atas penulis mengambil posisi bahwa globalisasi seringkali menjadi batu sandungan dan memperumit perang yang terjadi, masih dengan konsep yang sama yaitu peraihan ”power” dengan segala bentuknya, hanya istilah yang berbeda yaitu ”perang baru”. Globalisasi juga dapat menjadi batu sandungan karena banyak pihak yang menggunakannya sebagai batu loncatan berupa politik identitas demi menyebarkan pengaruh dan ideologi tertentu untuk kepentingan tertentu yang memperlebar perbedaan. Bila perbedaan tersebut saling melengkapi maka itu bukanlah suatu masalah, tapi bila saling meniadakan seperti pembersihan etnis, fundamentalisme agama tertentu, dll justru malah menebar konflik baik laten maupun yang termanifes-perang.

Daftar Pustaka
Anonim. 4: The Politics of New War. Artikel bahan perkuliahan.
Young. Komunikasi dan Multikulturalisme

GLOBALISASI ALTERNATIF MENGUTAMAKAN LINGKUNGAN

Dari judul di atas telah menunjukkan bagaimana penulis mengambil posisi, yaitu globalisasi sebagai sebuah situasi yang tidak bisa dihindari keberadaanya, perlu dimanajemen ulang agar lebih peduli pada suara dari kalangan alternatif seperti aktivis lingkungan hidup ataupun negara berkembang, agar tidak lagi diidentikkan dengan dominasi industrialisasi dan kapitalisme yang lebih cenderung berorientasi mencari keuntungan. Lingkungan di sini tidak terbatas pada alam, hewan, dan tumbuhan tapi juga pada lingkungan dimana manusia hidup seperti tetangga dan keluarga. Manajemen ini dimaksudkan agar kerusakan lingkungan dapat diminimalisasi bukan untuk mencari siapa yang salah, apakah globalisasi yang membuat rusak lingkungan ataukah aktor dari globalisasi yaitu manusia karena perubahan iklim global telah menjadi isu global yang banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat dunia saat ini, dengan dampak yang di timbulkannya pada kelangsungan hidup bumi dan isinya.
Terkait dari sumber utama bacaan penulis yaitu Joshepson yang menyatakan bahwa efek globalisasi ke lingkungan bisa dilihat dari aspek kesejarahan, maka penulis akan memberikan penjabarannya serta alasan mengapa tak sependapat dengan disertai argumen pribadi penulis yang dilandaskan dari realita sosial maupun dari sumber bacaan yang lain. Dalam tulisannya, Joshepson menjabarkan aspek kesejarahan yang dimaksudkannya meliputi tiga aspek yaitu tradisional, kolonial, dan perang dingin.[1] Pertama, aspek tradisional adalah dimana populasi semakin bertambah sedangkan jumlah sumber daya alam (SDA) terbatas, apalagi manusia tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhannya tapi juga keinginannya yang mengarah pada keserakahan. Secara nyata hal ini tergambar pada tingginya tindakan pengabaian keberlangsungan lingkungan hidup, antara lain pembukaan kawasan hutan untuk bertani dan perkebunan yangberakibat pada rusaknya tatanan keseimbangan antara alam dan manusia. Kedua, aspek kolonial di mana modernisasi SDA sebagian di bawa ke negara penjajah karena para pengoloni menginginkan pemaksimalan keuntungan dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri mereka terlebih dahulu daripada negara yang dijajah. Bila mau sedikit merenung pada sejarah Indonesia di era kolonialisme, maka itu akan mengingatkan penulis  pada perjalanan panjang proses kesadaran semangat kebangsaan rakyat Indonesia, sekaligus membawa kesadaran bahwa bumi yang penulis pijak merupakan ibu pertiwi yang telah merdeka ini harus dipertahankan dan dijaga bukannya dieksploitasi terus-menerus. Aspek yang terakhir adalah Perang Dingin dimana selisih antara populasi dan sumber daya alam menyebabkan kelaparan sehingga bantuan oleh negara asing lebih difokuskan pada makanan seperti penanggulangan bahaya kelaparan di Afrika sedangkan  di Asia, MNC lebih peduli pada aspek pertanian seperti bantuan teknologi canggih, penggunaan pestisida, dan pupuk kimia yang ternyata hanya memberi keuntungan sesaat. Keuntungannya seperti panen yang melimpah dalam waktu singkat namun efek lanjutnya adalah degradasi lingkungan yang sangat parah serta   resiko hasil produksi yang mengandung zat kimia berbahaya akibat kemajuan proses pembuatan makanan.
 Hal ini menunjukkan indikasi adanya program tersembunyi atau siasat tersistem dari donatur asing baik negara ataupun non-negara agar para petani lambat laun tergantung pada produksi teknologi pertanian buatan mereka dan mengabaikan atas semua kerusakan yang terjadi. Ini terbukti dengan tingginya angka kemiskinan dan adanya segelintir orang yang memiliki kekayaan yang mencolok diantara jutaan warga miskin. Kedua, tingginya angka pengangguran dan rendahnya upah. Ketiga, tata kelola sumberdaya alam di negara berkembang didominasi oleh pihak asing.[2] Kekurangan dari Joshepson di sini adalah lebih menyoroti masalah siapa yang salah namun tidak memberikan solusi bagaimana mengatasinya dan bagaimana degradasi lingkungan itu akan berjalan linier dengan waktu yang terus berubah. Menurut penulis tanpa adanya kapitalisme dan industrialisasipun, itu tidak akan meniadakan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi baik secara alamiah seperti bencana alam maupun oleh perbuatan manusia. Tuduhan bahwa globalisasi dan masuknya perusahaan multinasional asing merusak lingkungan juga tidak selalu benar. Sebagai contohnya adalah pengelolaan hutan Indonesia yang selama 34 tahun dilindungi pemerintah dan hak kelola sumber daya hutan hanya diberikan kepada perusahaan domestik, ternyata malah merusak hutan dan lingkungan karena berbagai alasan, misalnya manajemen yang tidak profesional dan kasus-kasus KKN yang menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan pengendalian kerusakan lingkungan. Di lain pihak industri migas yang sudah lama mengalami 'globalisasi' malah tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang berarti.[3]
Penulis sebanarnya juga menyadari paradoksal akan keberadaan globalisasi memang nyata ada namun yang terpenting ini bisa diminimalkan, di satu sisi  globalisasi membuat manusia jadi lebih bergantung pada sumber-sumber alam yang akan menyebabkan krisis lingkungan hidup, populasi dunia yang terlalu cepat dan banyak sehingga lahan untuk perumahan dan bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan sudah mulai langka, pemanasan global akibat peningkatan jumlah emisi dari industri ke atmosfer yang meningkatkan suhu global dan berdampak pada lubang di lapisan ozon. Namun di sisi lain globalisasi memberikan konsekwensi luas dalam berbagai segmen kehidupan rakyat dan tata kelola SDA serta para aktivis lingkungan hidup bisa lebih kritis dan menghimbau para simpatisan lingkungan akan bahaya yang mengancam baik dari internet maupun media informasi lain denan lebih cepat. Selain itu berbagai negara juga semakin intensif dalam melakukan kerjasama lingkungan hidup seperti pembuatan beberapa rezim dan pertemuan antar negara yang membahas tentang efek pemanasan global beberapa waktu lalu. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah Indonesia untuk bekerja sama dengan negara-negara tetangga, seperti dalam kawasan ASEAN, untuk menangani permasalahan lingkungan dan bahkan membuat suatu perjanjian, yang merupakan perjanjian internasional lingkungan, di mana perjanjian ini mengikat secara hukum dan ditandatangani antara semua negara-negara ASEAN, sebagai suatu perjanjian yang menanggapi adanya salah satu permasalahan lingkungan, yaitu kabut asap.
Keberadaan rezim yang ada tidak terlalu efektif mana kala tidak didukung oleh Negara besar seperti Amerika Serikat, bahkan AS dan beberapa Negara Barat justru meminta Negara berkembang yang mengurangi emisi karbon dan menyalahkan pembakaran hutan dan berbagai polutan yang dihasilkan dari aktivitas industri mereka, ini sungguh tidak adil padahal justru pusat industrialisasi ada di Negara maju. [4] Solusi yang penulis tawarkan adalah mulai saat ini rekonstruksi pemikiran perlu dilakukan oleh masyarakat dunia, bahwa globalisasi seharusnya mengutamakan rakyat dan bumi.[5] Hal ini mengisyaratkan bahwa satu-satunya cara untuk hidup adil dan damai sebagai suatu negara bangsa dan sebagai warga dunia ialah keharusan pengarusutamaan bagi keberlangsungan kehidupan rakyat dan bumi sebagai wujud kemandirian tata kelola sumberdaya alam, karena globalisasi adalah situasi buatan manusia sehingga keberadaannya adalah digunakan untuk kepentingan manusia dan lingkungannya dengan asumsi tanpa lingkungan manusia tidak bisa hidup karena peranannya sebagai makhluk social. [6] Hal ini didukung oleh pernyatan Stiglitz bahwa manusia dapat mengambil kekuatan ekonomi dari globalisasi yang sejauh ini telah menghancurkan lingkungan hidup dan membuatnya bekerja untuk melindungi lingkungan hidup.[7] Caranya adalah aturan dan kesepakatan yang dibuat perlu adanya sanksi bila dilanggar bukan lagi bersifat sukarela, bila perlu dibuat hukum nasional dan internasional yang mengikat. Paling tidak dalam lingkungan terkecil yaitu keluarga kita bisa mengajak untuk melakukan penghematan energi, kertas, atau penanaman satu rumah minimal dengan satu pohon. Diharapkan dengan tindakan lokal yang sederhana ini akan meluas menjadi global, jadi tidak lagi sebatas pemikirannya yang sudah mencapai taraf global namun tidak ada aksi nyata sama sekali. Di tingkat Negara, Bangladesh, Maladewa, Selandia Baru dan kepulauan kecil lainnya di Asia Pasifik terancam dengan adanya pemanasan global akibat geografinya yang kecil, mereka begitu giat merealisasikan berbagai kebijakan dalam negeri dan luar negeri di bidang lingkungan, ini sebaiknya didukung bahkan bila perlu dilakukan untuk menekan Negara besar agar lebih memperhatikan aspek diluar komersialitas dan keuntungan, karena bila lingkungan rusak maka bukan hanya aspek bisnis mereka yang terancam tapi juga keseluruhan ekosistem dunia. Peran PBB dan organisasi regional serta internasional lainnya sebagai lembaga dunia menjadi sangat penting dan perlu bertindak netral disini, karena sekarang adalah era globalisasi diamana globalisasi mulai menjadi suatu system yang menyediakan kesamaan akses dan kesempatan untuk bersuara dan berbuat di lingkup dunia- bukan lagi dominasi sistem hegemoni AS yang terstrukturalisasi dimana yang kuatlah yang menentukan dan memegang pengaruh.
Referensi
Anonim. 2008. Globalisasi dan Lingkungan hidup diakses dari http:www.tempointeraktif.com diakses pada 14 April 2010
Artikel Development, Colonialism, and the Environment oleh Paul R. Joshepson
Harsono Andi. Globalisasi Tak Seburuk yang Mereka Duga.  Diakses dari hhtp://www.kompas.com pada 14 April 2010
Manurung, Jones Batara. 2010. Mengutamakan Rakyat dan Bumi diakses dari http://www.mediaindonesia.com pada 14 April 2010
Stiglitz , Joseph. 2007. Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.


[1] Artikel Development, Colonialism, and the Environment oleh Paul R. Joshepson
[2] Manurung, Jones Batara. 2010. Mengutamakan Rakyat dan Bumi diakses dari http://www.mediaindonesia.com pada 14 April 2010

[3] Harsono Andi. Globalisasi Tak Seburuk yang Mereka Duga.  Diakses dari hhtp://www.kompas.com pada 14 April 2010
[4] UNFCCC, Protokol Kyoto, dll.                   
[5] Op cit Manurung
[6] Anonim. 2008. Globalisasi dan Lingkungan hidup diakses dari http:www.tempointeraktif.com diakses pada 14 April 2010
[7] Stiglitz , Joseph. 2007. Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.


BUDAYA DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN

Kebudayaan tidak hidup dan berkembang dalam ruang kosong. Budaya adalah hasil kreasi suatu masyarakat yang ditujukan kepada kepentingan kehidupan masyarakat tersebut agar tetap eksis dan berkembang. Kreasi kebudayaan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat yang memiliki kebudayaan itu. Oleh karena itu, nilai wawasan kebangsaan tidak dapat kita terima sebagai taken for granted, tetapi sebagai suatu wawasan yang terus menerus harus menjiwai aktivitas kita hidup sebagai suatu bangsa, karena keberhasilan pembangunan bangsa yang kurang diimbangi dengan pembangunan karakter bangsa, telah mengakibatkan goncangan dan krisis budaya, yang kemudian berujung pada lemahnya ketahanan budaya.
Terkait dengan artikel Mary E. Footer yang penulis baca dengan ditambahkan sumber lain dan argumen pribadi, posisi yang saya ambil adalah kebijakan perlindungan budaya perlu dilakukan untuk menjaga keunikan dan keasliannya yang tujuannya adalah menghindari homogenisasi budaya dominan tertentu baik secara alamiah maupun di sengaja untuk motif-motif tertentu seperti komersialisasi atau persebaran soft power. Perlindungan memang perlu namun sebaiknya tidak dilakukan pembatasan persebaran budaya, karena akulturasi lumrah terjadi baik dengan menggabungkan dua budaya berbeda maupun pembentukan sebuah budaya baru akibat migrasi penduduk yang begitu sering terjadi maupun via media di era globalisasi yang tidak mengenal batas ruang dan waktu ini. Selain itu budaya juga akan mengalami stagnanisasi bila terbatasi.
Proses globalisasi mendorong reaksi dari berbagai negara, ada yang menganggapnya sebagai suatu hal yang serius dengan mengembangkan ketahanan budaya agar dapat bertahan dari terpaan globalisasi, ada juga yang menganggapnya biasa saja karena budaya masih belum menjadi permasalahan krusial di negara tersebut sehingga perlu diintervensi-urusan antar individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA yang alamiah terjadi, ada juga yang menganggapnya bukan suatu masalah karena tingkat multikulturalismenya cukup tinggi seperti Kanada.

Kebudayaan dalam Konteks
Diskursus kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari konteksnya, karena kebudayaan adalah respon manusia dengan kemerdekaannnya terhadap pembatasan ruang dan waktu (Ignas Kleden, 2004).  Kebudayaan menjadi alat perjuangan untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan dalam pergaulan antarbangsa yang sesungguhnya. Setiap negara akan berusaha tampil dengan kelengkapan budayanya sebagai jati diri yang membedakan dengan negara lainnya.  Jadi, menurut saya originalitas budaya yang menjadi tradisi perlu dijaa tapi perkembangannya tidak usah dibatasi karena tradisi sebenarnya tidak akan luntur bila mendapatkan nilai-nilai baru tapi justru bertransformasi dalam suatu bentuk baru, contohnya budaya Cina yang justru menyebar ke berbagai negara karena diaspora yang terjadi, pada saat perayaan imlek di banyak pusat perbelanjaan sengaja didesain dengan pernak-pernik berwarna merah yang khas, ditambah pertunjukan barongsai untuk menarik minat para konsumen Cina atau keturunannya yang merayakan. Namun karena keterbukaan dan penerimaan masyarakat setempat segmentasi konsumen semakin meluas semisal masyarakat yang tertarik dengan budaya Cina ataupun penyuka warna merah. Jadi tujuan para pengusaha untuk memaksimalkan keuntungan tercapai. Dari sini saya bisa mengamati jika budaya dapat menjadi suatu komoditas komersil maupun dipertukarkan, Apalagi pertukaran budaya juga dapat meningkatkan rasa toleransi atas perbedaan yang ada.
Budaya yang definisi sederhananya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, sudah sewajarnya jika siapapun bisa menciptakan kreasi budayanya sendiri. Sebagai wujud penghargaan maka sang pencipta memperoleh hak kaya intelektual atas karyanya. Inilah yang seringkali memunculkan konflik pengklaiman budaya seperti yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia.  Bila ada rasa tidak suka mungkin itu suatu respon yang wajar, karena hal ini seringkali terjadi namun bila ditelaah lebih lanjut kedua negara ini berasal dari rumpun yang sama sehingga kemungkinan kemiripan budaya lumrah terjadi. Untuk itu ke depannya lebih baik keduanya mengakulturasi budaya yang diserap dari luar dan mengkombinasikannya dengan budaya setempat agar tidak sampai mengganggu stabilitas hubungan antar negara.
Dalam konteks globalisasi, kebudayaan memunculkan perdebatan yang panjang karena dijadikan sebagai komoditas. Amerika Serikat beranggapan bahwa identitas cultural sebenarnya tidak bias didefinisikan. Namun di sisi lain aspek media sebagai produk teknologi dan informasi merupakan contoh konkret hasil budaya yang diperdagangkan sebagi bentuk ekspresi budaya nasional di lingkup global. AS juga menuduh negara tujuan melakukan proteksi atas industry media lokal. Sebenarnya industrialisasi budaya ini pertama kali termanifestasi dalam bentuk media cetak seperti majalah, koran, dan buku. Baru setelah itu audiovisual merebak, namun media cetak mampu bertahan samapi sekarang karena harganya yang terjangkau dan membidik pemasaran di tingkat local. Masalah baru muncul saat AS berusaha memasukkan perfilmannya ke negara seperti Kanada, Australia, India, dll. Sementara negara tersebut merasa tersaingi dari segi menarik minat konsumen, maupun ketakutan akan liberalisasi budaya pop.
Permasalahan ini akhirnya dibahas dalam GATT, WTO, dan TRIPs dan melalui serangkaian dialog, namun belum ada kesepakatan yang tercapai. Akibatnya benturan kebudayaan tak terhindarkan, di tengah benturan kepentingan antar negara yang terjadi. Menurut penelitian UNESCO tahun 1995, terjdi penurunan atas keragaman budaya antar bangsa akibat tekanan pasar global dan orientasi ekonomi.
Globalisasi telah merupakan kenyataan hidup bahkan suatu kesadaran baru bagi setiap manusia di bumi ini.  Bangsa-bangsa dimanapun  perlu mempunyai outward dan forward looking.  Sehingga pemikirannya lebih luas akan perbedaan yang ada. Pembangunan nasional terutama di sektor ekonomi sebuah bangsa tidak hanya melihat kepada kebutuhan internal masyarakat dan bangsa itu sendiri, tetapi juga pembangunan harus melihat keluar dan ke depan serta perlu dijalin dengan bangsa yang lain, karena masyarakat dan bangsa adalah bagian dari suatu masyarakat dunia yang semakin maju dan menyatu.  Untuk itu perlu nasionalisme masyarakat perlu dibangun kembali, kalau perlu kosopolitanisme perlu dikembangkan agar semua latar belakang dan perbedaan yang ada bisa bersatu dalam keragaman. Tidak perlu penyamaan tapi penyatuan budaya agar komoditas ini memberikan variasi produk bagi penikmatnya.
Referensi
Footer, E. Mary dan C.B. Graber. 2000. Trade Liberalization and Cultural Policy dalam Journal of International Economic Law. Oxford: Oxford University Press
Kleden, Ignas. 2004. Dalam Strategi Mendorong Pengembangan Pusat Kebudayaan Nasional diakses dari Http://www.fraksi-PKS Online.com