Tampilkan postingan dengan label nasionalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nasionalisme. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Oktober 2010

RELAKSASI NASIONALISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

Nasionalisme merupakan suatu harapan dan bayangan dari masyarakat yang cenderung ingin memiliki suatu wilayah, yang bisa saja muncul sebagai wujud manipulasi pada masyarakat yang memiliki keragaman tinggi agar bersatu dan stabil di bawah pengaruh penguasa jadi bukan atas kesamaan ras, daerah ataupun etnis (Anderson, 1998). Nasionalisme dalam lingkup hubungan internasional berkarakteristik demokrasi, adanya rasa memiliki dan kesetiaan baik dalam masing-masing individu maupun dalam identitasnya sebagai anggota masyarakat suatu bangsa yang mengutamakan penegakan kebebasan dan juga keadilan kepada bangsa lain. Kurdistan dan Palestina adalah contoh dua bangsa yang gigih memperjuangkan wilayahnya sebagai salah satu prasyarat berdirinya sebuah negara yang berdaulat. Bahkan Palestina sudah melakukannya ratusan tahun dalam perang Israel-Palestina yang menimbulkan korban harta dan nyawa bahkan menjadi isu sepanjang masa yang menarik perhatian publik di berbagai Negara.
            Nasionalisme dapat berfungsi untuk mencegah pengaruh dari luar dan dapat menjadi kosmopolitanisme jika keragaman yang ada dapat hidup bersama dengan damai, tapi di sisi lain nasionalisme yang berlebihan dapat menciptakan perang seperti yang dilakukan Nazi Jerman (PPT Kelompok 1). Nasionalisme menjadi positif sifatnya bila sejalan dengan patriotisme yaitu rasa cinta pada tanah air, namun menjadi negatif sifatnya bila masih terdapat etnonasionalisme, xenophobia, dan supranasionalisme karena adanya perasaan superior dibanding yang lain sehingga takut tersaingi. Hal ini menyebabkan kondisi yang rawan konflik dalam hubungan suatu bangsa maupun saat berinteraksi dengan bangsa lain.
            Nasionalisme sampai saat ini masih diterapkan dalam hubungan internasional karena era globalisasi tidak serta-merta menghadirkan pemerintahan global yang  kongruen dengan kosmopolitanisme. Sejarah nasionalisme muncul untuk memberi ruang pada sekelompok orang untuk mengeksistensikan diri dengan ide, perilaku, maupun kepentingan yang ingin diraihnya (Wardani, 2010). Selain itu nasionalisme juga memberikan nilai-nilai yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh para penganutnya, yaitu tentang arti identitas sebagai sebagai simbol kesamaan dan keunikan jika kelompok mereka unik dan berbeda dengan yang lain. Kesadaran akan identitas ini mendekatkan hubungan antar anggota yang menimbulkan rasa memiliki satu sama lain. Nasionalisme ini juga bisa menjadi faktor penarik dari anggota bangsa untuk tetap bertahan atau menjadi factor pendorong seseorang untuk melepaskan diri dari ikatan tersebut, tapi tidak bisa menjadi penentu tinggi-rendah tingkat nasionalisme yang dimiliki seseorang.
      Fenomena yang menggambarkan hal di atas adalah migrasi. Migrasi merupakan perpindahan seseorang atau masyarakat lintas bangsa, baik karena faktor ekonomi seperti tersedianya lapangan pekerjaan, gaji yang lebih tinggi, faktor pendidikan yang lebih berkualitas, faktor bencana alam, atau faktor politik seperti perang dan pencarian suaka (PPT Kelompok 2). Namun inti semua faktor tersebut adalah untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, walaupun tidak selalu terwujud seperti tenaga kerja Indonesia yang sering dikabarkan disiksa di luar negeri ataupun bermasalah dengan hukum. Keberadaan para imigran ini seringkali membebani negara asal maupun negara yang dituju, sehingga perlu pengaturan yang lebih intensif seperti syarat keterampilan atau keahlian para imigran dan ijin resmi memasuki negara lain baik untuk berwisata maupun bekerja. Para imigran tersebut dituntut untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya yang baru agar tidak terjadi shock-culture akibat perbedaan kebudayaan atau munculnya xeno-phobia pada para penduduk pribumi karena merasa lapangan pekerjaanya menjadi tersaingi (PPT Kelompok 2). Bila para imigran tidak memiliki tingkat adaptasi yang baik, maka konflik menjadi sering timbul seperti diskriminasi oleh para penduduk pribumi yang sering dipersalahkan dalam hal kriminal dan disintegrasi yang terjadi di negara yang dituju, bahkan menjadi ancaman kedaulatan suatu bangsa. Ini terbukti dengan naiknya sentimen beberapa partai di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang terlihat dalam kebijakannya yang membatasi jumlah imigran (PPT Madame Anne).
Masalah migrasi ini memberi tantangan tersendiri bagi pemerintah suatu negara yang memiliki kemajemukan yang tinggi, untuk memeperhatikan apa yang menjadi hak dari warganya baik pribumi maupun imigran secara adil agar tercapai kesejahteraan bersama. Baik dari segi perlindungan hukum, partisipasi politik, maupun dalam pembuatan perjanjian antara negara asal dan negara yang dituju agar tidak sampai terjadi ledakan penduduk dan meresahkan suatu negara-bangsa secara keseluruhan. Migrasi ini biasanya juga mempengaruhi status kewarganegaraan seseorang seperti naturalisasi dan asimilasi serta budaya di suatu daerah seperti hibridisasi dan konvergensi.
Para imigran ini selain memberikan masalah juga memberikan kontribusi seperti yang dilakukan oleh para sporadis Cina atau India (http://swaonline.com). Mereka merantau untuk terlepas dari kemiskinan dan mengurangi beban negara asalnya yang mengalami ledakan penduduk dan kesenjangan perekonomian tinggi. Sebagian besar dari mereka meraih kesuksesan di negaranya sekarang, bahkan menjadi penyangga perekonomian negara asalnya. Bahkan di India, para ilmuwan yang belajar ke negara lain dapat diminta pulang sewaktu-waktu bila negaranya membutuhkan atau yang diistilahkan dengan brain-gain. Negara India juga menyambut para imigrannya yang berpulang  dengan beberapa ”pesona” yang mampu meningkatkan nasionalisme warganya agar tidak lari ke negara lain, seperti sistem birokrasi dan pemerintahan yang lebih baik, keberpihakan pada rakyat miskin dengan penciptaan lapangan pekerjaan padat karya, maupun jaminan pekerjaan dan gaji yang layak untuk tenaga professional dan terdidik (http://swaonline.com). Jadi imigran tersebut mampu membawa kelihaian entrepreuneurial-nya ke negara masing-masing sambil tetap mempertahankan koneksi dengan negara tempatnya memperoleh ilmu dan pengalaman sehingga menguntungkan negara asal dan yang dituju. Ini merupakan wujud patriotisme ekonomi dalam bentuk lain, yang menyadarkan kita bahwa kecintaan tanah air tidak harus menetap di daerah asal dan sekedar melakukan kegiatan seremonial untuk mengenang kemerdekaan suatu bangsa ataupun nasionalisasi perusahaan (PPT Kelompok 3).
Di negara-negara Eropa sendiri, yang merupakan tempat lahirnya nasionalisme justru mengalami krisis akibat regionalisme Uni Eropa. Dimana tensi kepentingan masing-masing negara yang lebih bermotif ekonomi mengaburkan makna nasionalisme bangsa Eropa sehingga integrasi kawasan menjadi terabaikan. Hal ini dapat dilihat dari penolakan kostitusi Uni Eropa oleh Perancis dan Belanda, penolakan Inggris untuk menggunakan Euro dan kedekatannya pada AS daripada dengan negara Eropa sendiri (PPT Kelompok 4). Uni Eropa mengalami krisis legitimasi, penerapan nasionalisme ternyata dalam kasus ini lebih efektif dalam bingkai yang lebih kecil yaitu negara. Memang penerapan nasionalisme harus dibuat ”serileks” mungkin berdasarkan konteks tempat dan waktu, butuh sebuah kesepakatan bersama agar nasionalisme tetap berjalan sehingga mampu mewujudkan suatu bangsa yang berkepribadian dalam bidang budaya, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berdaulat dalam bidang politik seperti yang sering disampaikan oleh Presiden RI pertama, Soekarno.

Referensi
Anderson, Benedict. 1998. The Spectre of Comparisons: Nationalism, South East Asia and The World diakses dari www.tempointeraktif.com pada 13 Juni 2010
Pambudi, Teguh Sri. 2010. Menarik Agronaut Demi Brain Gain diakses dari http://swaonline.com pada 13 Juni 2010
 Penjelasan Baiq Wardani pada Kuliah Kosmopolitanisme, nasionalisme, dan fundamentaslisme pada tanggal 10 Juni 2010
PPT Kelompok 1, 2, 3, dan 4 yang dipresentasikan tanggal 10 Juni 2010
PPT Madame Anne

Paradoks Nasionalisme di Era Globalisasi: Studi tentang Indonesia

“Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.” (Soekarno)[1]

Pernyataan Soekarno di atas yang merupakan Presiden Indonesia  mewakili salah satu nasionalis yang ada di dunia, selain Gandhi, Hitler, dll- menunjukkan bagaimana sebuah nasionalisme dan internasionalisme yang diidentikkan dengan globalisasi saling berhubungan. Nasionalisme yang menurut Anthony D. Smith diartikan sebagai sebuah pergerakan ideology untuk mencapai dan memelihara otonomi, kesatuan, dan identitas untuk sebuah populasi yang beberapa anggotanya memiliki rasa kebangsaan, memiliki berbagai ragam seperti nasionalisme kewarganegaraan, etnis, romantik, budaya, kenegaraan,  dan agama. [2]
Nasionalisme ini seringkali dianggap memiliki stigma yang negatif bila dibanding patriotisme yaitu rasa cinta  pada negara atau “tanah air” dan dianggap tidak sejalan dengan kosmopolitanisme. Padahal bila mengamati nasionalisme yang digagas oleh Soekarno, tidaklah mengarah pada ultranasionalisme yang cenderung eksklusif. Namun nasionalisme Indonesia justru berpijak pada landasan kegotong-royongan dari seluruh rakyat Indonesia (sosio-nasionalisme) yang juga berkarakter kosmopolitan dalam artian sadar akan posisi dirinya sebagai bagian dari bangsa-bangsa lain. Sementara di sisi lain prinsip dasar kebangsaan di Indonesia menurut Soekarno meyakini bahwa nilai-nilai internasionalisme haruslah berakar dan berpijak pada rumah kebangsaan atau nasionalisme. Kesadaran akan kosmopolitanisme yang tidak berpijak pada akar kebangsaan hanya akan menciptakan visi politik yang utopis, mengingat persemaian gagasan-gagasan etis kemanusiaan hanya akan tumbuh dalam lahan-lahan subur “rumah” kebangsaan.
            Hibridisasi yang kemudian muncul adalah nasionalisme inklusif dan demokrasi kosmopolitanisme. Prinsip Kosmopolitanisme yang salah satunya dikembangkan oleh David Held (2003) menjadi salah satu landasan pembentukan struktur-struktur ekonomi dan politik dunia yang bersifat demokratis dan mampu menjadi penyeimbang dari perluasan lembaga-lembaga ekonomi dunia yang mengarah pada penciptaan ekonomi pasar bebas yang meminggirkan nilai-nilai keadilan sosial.[3]
Sisi paradoks yang dapat diamati di sini adalah landasan etis dan politik kosmopolitanisme ini dalam banyak hal, tidak terlalu percaya dengan fondasi nasionalisme yang pada pergantian zaman ini semakin menumbuhkan semangat xenophobia dan chauvinistik. Di banyak negara, nasionalisme justru menjadi persemaian dari konflik-konflik sosial dan politik serta semangat etnis dan kelompok karena agenda  dari nasionalisme itu sendiri yang terpenting adalah merealisasikan aspirasi budaya, sosial, dan ekonomi dari masyarakat berdasarkan pada kesamaan latar belakang, keturunan bangsa, dan agama yang terkait dengan suku, rumpun, desa, provinsi, dan kepentingan nasional.
Dalam kerangka inilah tesis Soekarno tentang internasionalisme yang berakar pada nasionalisme yang terbuka dan nasionalisme yang tumbuh dalam “taman sari” internasionalisme menemukan relevansinya. Sehingga nasionalisme tidak akan kehilangan eksistensinya namun justru semakin menguat bila disandingkan dengan semangat kosmopolitanisme yang menyebarkan nilai-nilai universal di berbagai negara via globalisasi teknologi dan ekonomi.
Melemahnya otonomi negara dan kemunculan masyarakat maupun perorangan dengan multi identitas merupakan sebuah fenomena yang harus dihadapi, karena kosmopolitanisme maupun globalisasi sedikit mengaburkan batasan kewilayahan dan etnis namun tidak menghilangkannya. Bagaimanapun identitas dan ideologi yang hadir beriringan dengan etnonasionalisme, juga perlu untuk membangkitkan rasa memiliki dan demi menjaga keutuhan sebuah negara terutama yang memiliki keadaan geografi kepulauan. Meskipun menurut penulis ini tidak alamiah terjadi namun lebih kepada sebuah konstruksi sosial yang dilakukan penguasa suatu bangsa demi kepentingan bersama (bangsa tersebut).
Kasus mengenai lepasnya Taiwan dari Tiongkok dapat dijadikan contoh bentuk dari hambatan etnonasionalisme, dimana kebijakan satu Cina versi Tiongkok dianggap sebagai bentuk kolonialisme yang memaksakan bahwa separatisme mengancam integrasi bangsa. Padahal bila ditilik dari ideologi yang dipakai, Cina dan Taiwan susah untuk digabungkan karena Cina menolak adanya demokrasi yang dianut Taiwan sehingga memunculkan konflik laten maupun yang termanifes yang tak kunjung reda.
Permasalahan diatas, sebenarnya tidak akan terjadi bila multikulturalisme dalam artian perbedaan ragam diterima dan diakomodasi dengan baik, yang berbeda tidak usah diseragamkan karena yang berbeda itu justru memunculkan keindahan dan keunikan sebuah mozaik berbangsa seperti di Kanada.[4] Ibarat masakan sop maka ada wortel, kubis, kentang yang kesemuanya memiliki rasa tersendiri namun semuanya berkonstribusi dalam memberikan rasa sedap pada kuah sop dan bersatu dalam satu wadah yaitu panci.
Jadi konsep negara bangsa bukan berarti satu negara yang terdiri dari satu bangsa, namun bagaimana suatu bangsa- tunggal atau plural- bersedia bergabung dalam satu pemerintahan, teritorial dan tunduk dalam kedaulatan yang ada secara sukarela yaitu negara sebagai entitas tertinggi sementara ini. Penentuan diri (self determination) yang dilakukan Taiwan di atas ataupun GAM di Aceh bisa dimengerti di sini karena pergerakan mereka mengusung suatu ideologi atau gagasan yang berbeda dari golongan utama di negara asal, asalkan syarat untuk mendirikan sebuah negara telah terpenuhi. Bagaimanapun kesejahteraan rakyat jadi tanggung jawab negara, buat apa merdeka bila sengsara, yang ada malah mengarah pada negara-negara gagal.
Semangat nasionalisme ini bisa terus mengakar bila disertai partisipasi seluruh rakyat, tanpa mengesampingkan kerjasama antar negara dan bangsa karena kepentingan nasional tidak mungkin dapat dicukupi satu negara tertentu tanpa berinteraksi dengan negara lain- adanya keterbatasan sumber daya alam, kompetisi antar negara, kebutuhan manusia yang semakin beragama dll. Identitas adalah suatu pilihan, siapapun boleh bersimpati dengan budaya bangsa lain atau berganti warga negara asal sesuai dengan prosedur yang berlaku, rasa etnosentrisme yang menganggap etnisnya yang terbaik justru malah harus dihindari karena berbicara tentang budaya tidak ada yang baik atau buruk tapi bagaimana budaya tersebut dapat diterima oleh perorangan atau kelompok masyrakatnya.

Referensi
A. Hutabarat,  Binsar. 2006. Nasionalisme yang Tidak Cerdas dalam Suara Pembaruan
PPT kelompok 1
PPT kelompok 2
PPT kelompok 3
Amir, Sulfikar. 2009. Paradoks Nasionalisme Indonesia




[1]A. Hutabarat,  Binsar. 2006. Nasionalisme yang Tidak Cerdas dalam Suara Pembaruan
[2] PPT kelompok 2
[3] PPT kelompok 1
[4] PPT kelompok 3