Tampilkan postingan dengan label resolusi konflik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label resolusi konflik. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Desember 2010

PERAN DIPLOMASI PREVENTIF DALAM PENYELESAIAN KONFLIK


          Latar belakang munculnya diplomasi preventif adalah sebagai bentuk pencegahan konflik yang dianggap bisa menyebar sehingga bisa menimbulkan perang dunia dalam kerangka perang dingin. Namun seiring dengan perkembangan waktu, peran dari diplomasi  ini pun mulai dijalankan oleh PBB terhadap konflik yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa cukup besar di suatu negara agar tidak semakin meluas ke negara lain diluar negara konflik sehingga tidak semakin menimbulkan jatuhnya korban yang lebih banyak lagi.
          Definisi diplomasi preventif ini bermacam-macam salah satunya menurut Sekjen PBB, Boutros Ghali, yang secara umum mengandung tiga unsur seperti usaha untuk mencegah pertikaian yang muncul di antara para pihak, usaha untuk mencegah adanya pertikaian yang meningkat menjadi konflik, usaha untuk membatasi meluasnya konflik tersebut apabila hal itu terjadi (www.tribun-timur.com). Keberhasilan diplomasi ini menyaratkan ijin dari negara yang diintervensi, dukungan dari negara besar karena diplomasi preventif biasanya dilaksanakan sesuai dengan sanksi ekonomi atau bantuan ekonomi sebagai alat untuk menyukseskannya, dan tahu saat yang tepat untuk melaksanakannya. Diplomasi ini merupakan penggabungan antara elemen-elemen dari diplomasi publik serta diplomasi diam-diam. Ins Claude Jr, menggambarkan diplomasi preventif sebagai penetral dan penyeimbang hubungan international yang efektif (www.tribun-timur.com).
            Diplomasi preventif dapat dilakukan oleh Sekjen PBB pribadi atau melalui pejabat senior atau badan-badan khusus atau program, oleh Dewan Keamanan maupun Majelis Umum dan oleh organisasi-organisasi regional bekerjasama dengan PBB. Diplomasi preventif memerlukan langkah-langkah untuk menciptakan kepercayaan, membuat satu peringatan dini dengan pengumpulan informasi dan misi pencarian fakta baik secara resmi maupun tidak resmi, di samping juga harus melibatkan penempatan pasukan preventif, dan dalam keadaan tertentu menempatkan wilayah bebas militer.
           Sampai saat ini PBB menganggap diplomasi ini sebagai cara yang efektif untuk menyelesaikan krisis di seluruh dunia (http://www.unic-jakarta.org). Contohnya adalah kekerasan paska pemilihan yang dipicu oleh sengketa pemungutan suara di Kenya tahun 2008, menurut Pascoe saat itu mantan Sekretaris-Jenderal Kofi Annan secara cepat menempatkan pejabat politik, ahli pemilu, konstitusional dan keamanan yang menjadi staf pendukung utama untuk mediator untuk membantu pihak-pihak membentuk perjanjian untuk mengakhiri krisis (http://www.unic-jakarta.org). Pascoe juga menyatakan bahwa, Sekretaris-Jenderal Ban Ki-moon telah dari awal beliau menjabat, menjadikannya sebagai prioritas untuk memfokuskan kembali kemampuan PBB sehingga para diplomat dan mediator dapat dimobilisasi sebagai responden pertama titik masalah.
           Namun di sisi lain, kekurangan dari diplomasi preventif ini adalah tidak bisa menyelesaikan semua masalah yang ada contohnya kasus politik yang tentunya membutuhkan penyelesaian secara politik, adanya ketidakpercayaan dianatara pihak yang berkonflik, keterbatasan sumber daya di PBB dan adanya anggapan jika diplomasi ini merupakan cara lama yang sudah tidak relevan(http://www.unic-jakarta.org). Namun apapun upaya yang ditempuh untuk penyelesaian konflik, diplomasi preventif dapat dipertimbangkan sebagai suatu varian yang bisa dipilih dengan kelebihan dan kekurangan yang mewarnainya.
Referensi
Fathurrahmi,  Farah. Terjemahan Pejabat PBB menekankan nilai diplomasi preventif dalam penyelesaian konflik diakses melalui http://www.unic-jakarta.org pada 30 November 2010
Lund, Michael S.. 1996. Preventing Violent Conflict: A Strategy for Preventive Diplomacy diakses melalui  www.tribun-timur.com pada 30 November 2010



Jumat, 22 Oktober 2010

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN PASKA KONFLIK: STUDI KASUS KOSOVO




Prinsip perdamaian dunia sebenarnya tidak menghendaki adanya suatu kekerasan dalam bentuk apapun, apalagi serangan bersenjata kepada suatu negara (Istanto, 1998). Namun kenyataannya, konflik yang berakhir dengan kekerasan masih banyak terjadi dalam perang modern saat ini. Untuk itu saat konflik tidak kunjung mendapatkan penyelesaian biasanya akan mengalami kondisi stalemate yang menjadi kesempatan bagus untuk membuat kesepakatan damai bila ada itikad dari pihak-pihak yang berkonflik. Pembangunan perdamaian paska konflik, menurut Boutros-Ghali merupakan aksi-aksi yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur yang menguatkan perdamaian untuk mencegah timbulnya konflik kembali (Miall 1999). Pasukan pembangunan perdamaian bertugas mengawasi proses perdamaian di wilayah paska konflik dalam memberlakukan perjanjian perdamaian yang mungkin ditandatangani oleh negara yang berkonflik. Bantuan ini dapat juga berbentuk, pengaturan pembagian kekuasaan, dukungan untuk proses pemilihan umum, memperkuat penegakan hukum, dan lebih menekankan pada rekonstruksi dan pembangunan ekonomi, karena itulah aksi yang dilakukan biasanya berupa demobilisasi militer dan transisi politik menuju demokrasi.
Untuk mencegah timbulnya konflik kembali, dibutuhkan strategi dengan menggunakan pembalikan teori Clausewitz dimana perang sebagai perpanjangan politik, maka cara yang paling tepat untuk mengakhiri dan menghindari perang kembali adalah dengan meneruskan upaya-upaya politik demi menjaga perdamaian yang ada. Hal ini memerlukan kontribusi timbal balik dari masing-masing pihak yang berkonflik serta stabilisasi politik, ekonomi dan sosial untuk menghilangkan trauma pada para korban, misalnya pemerintah menawarkan proses politik yang adil dan pemberontak menawarkan penghentian kekerasan
Upaya di atas memiliki tantangan yang sangat berat terutama dalam perang modern saat ini dimana garis batas konflik menjadi kabur, rakyat sipil menjadi pihak yang paling dirugikan serta menanggung efek kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dalam waktu yang singkat. Mereka harus mengalami berbagai kerugian seperti kehilangan harta benda dan anggota keluarga, terpisah dari bangsanya, serta menderita trauma dan kebencian yang mendalam pada musuh mereka. Hal inilah yang paling sulit untuk diselesaikan oleh para negosiator atau pihak yang bertanggung jawab terhadap proses perdamaian.
Merujuk pada studi kasus Kosovo, PBB yang berperan sebagai organisasi penjaga perdamaian dunia bertindak lebih jauh lagi dalam bentuk pemulihan keadaan pasca konflik. Hal itu dilakukan PBB melalui UNMIK, yaitu badan khusus yang ditugaskan untuk membentuk pemerintahan administrasi di Kosovo pasca lengsernya Milosevic. Setelah UNMIK melaksanakan operasi peacemaking dan peacekeeping maka operasi dilanjutkan dengan operasi peacebuilding. Tahap ini merupakan tahap yang paling diinginkan oleh masyarakat Kosovo, karena dalam tahap ini UNMIK melakukan pembangunan kembali daerah Kosovo yang telah lama mengalami konflik etnis, sehingga masyarakat dapat kembali merasakan kehidupan normal seperti sebelum terjadinya konflik. Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan UNMIK adalah membangun kembali sarana kesehatan dan pendidikan yang rusak pada saat konflik. Selain itu secara bertahap, UNMIK juga mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan modal usaha melalui pinjaman lunak.
Pengimplementasian peacebuilding di Kosovo ini maupun di negara lain sampai saat ini belum ada yang dinyatakan gagal ataupun berhasil karena jangka yang dipatok adalah lima tahun. Penulis menyoroti jika dalam menyelesaikan konflik semestinya tingkat keberhasilannya tidak diukur dari berapa lamanya diterapkan tapi dari bagaimana konflik dicari akarnya dan diselesaikan. Untuk itu prosedur penyelesaiannya tidak bisa disamakan tapi bergantung situasi dan siapa saja pihak yang berkonflik  saat itu.

Referensi
Istanto, Sugeng. 1998. Hukum Internasional. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, hal. 130.
Miall, Hugh, et.al. 1999. “Post-Settlement Peacebuilding” dalam Contemporary Conflict Resolution. London: Political Press.

Rabu, 13 Oktober 2010

RESOLUSI KONFLIK KONTEMPORER




Konflik atau perang baru merupakan istilah yang digunakan M. Kaldor dan Vashee B untuk membedakannya dengan perang konvensional model Clausewitzian dimana ciri-cirinya dapat dilihat dari tujuan politik, ideologi dan mobilisasi, pembiayaan perang, dukungan eksternal dan bentuk peperangan yang terjadi. Sedangkan Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse menggunakan konflik kontemporer untuk mengacu secara spesifik pada konflik-konflik yang terjadi setelah Perang Dingin berakhir (Miall, 1999). Pada umumnya pertikaian dan kontak senjata antar-warga terjadi dalam wilayah yurisdiksi suatu negara dan menjadi konflik internal. Dimana paska Perang Dingin terjadi beberapa ledakan fenomena konflik internal pada berbagai negara di dunia yang di landasi oleh beberapa faktor, yaitu bangkitnya etnisitas, nasionalisme dan fundamentalisme agama, faktor sosial ekonomi, dan dinamika politik global.
Secara teoritis konflik berpotensi timbul dalam setiap interaksi sosial, tidak hanya disebabkan karena adanya perjuangan untuk bertahan hidup dengan keterbatasan ruang/sumber daya, tetapi dikarenakan adanya insting agresif dan kompetitif yang dimiliki oleh manusia. Miall di sini menyebutkan, jika konflik adalah pengejaran tujuan yang saling bertentangan dari kelompok yang berbeda (Miall, 1999). Menurut penulis, hal ini seakan-akan jika ada pengejaran tujuan yang saling bertentangan baru di sebut konflik, padahal ada kalanya seseorang atau kelompok mengalami konflik tanpa tujuan dan alasan yang jelas. Selain itu bisa juga terjadi karena masalah persepsi atas tujuan dan kepentingan yang berbeda. Berdasarkan sumbernya, ada lima tingkatan konflik di era kontemporer yaitu mulai dari individu atau elit, masyarakat social, negara, regional, global. Sebagai respon dari konflik ini, studi resolusi konflik menawarkan wacana solusi berupa pencegahan dan mengakhiri konflik (Miall, 1999). Pencegahan ini membutuhkan preventor yang berbeda berdasarkan tingkatan konflik, dengan tujuan mencegah terjadinya konflik sekaligus mencegah agar konflik yang sudah ada agar tidak semakin besar dan menjadi konflik kekerasan.
Salah satu konsep yang terkait dengan proses atau kerangka kerja resolusi konflik di negara-negara yang mengalami konflik adalah konsep peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding yang ditawarkan oleh Johan Galtung (Galtung, 1975). Galtung mendefinisikan peacekeeping sebagai proses penghentian atau pengurangan aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Kemudian peacemaking mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan strategis dari pihak- pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Selanjutnya, peacebuilding diartikan sebagai proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik dan ekonomi demi terciptanya perdamaian dalam artian positive peace di mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik internal, khususnya masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan keterwakilan politik yang efektif. Hal ini bisa juga ditambahkan dengan penggunaan multi-track diplomacy yang berguna dalam membantu meningkatkan fleksibilitas pengaruh dan perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat, seperti inisiator, mediator, fasilitator, rekonsiliator dan determinator non Negara. Aktor non negara tersebut bisa berupa institusi atau masyarakat. Berangkat dari para pemikir transformasi konflik yang berargumen bahwa konflik kontemporer memerlukan lebih dari memposisikan kembali identifikasi win-win tapi lebih kepada mengubah (atau mentransformasi) hubungan, minat, wacana, dan jika perlu mengubah konstitusi yang melanggengkan konflik. Ini berarti perdamaian diciptakan dari mentransformasi potensi yang ada untuk berkontribusi pada usaha perdamaian (Miall, 1999).
Penulis sendiri lebih setuju, pendekatan yang komprehensif menekankan pada dukungan kelompok dalam masyarakat yang berkonflik daripada mengandalkan mediasi dari pihak luar. Secara bersamaan, usaha-usaha resolusi konflik juga harus selalu diimbangi dengan upaya-upaya mengoptimalkan alat-alat perdamaian. Semua hal yang terdapat setelah terjadi konflik bisa ditransformasi atau diubah untuk menjadi alat perdamaian. Misalnya, ’radio perdamaian’, ’koran perdamaian, ’ kelompok perdamaian’ dan diseminasi informasi.

REFERENSI
Galtung, Johan. 1975. Three Approaches to peace: peacekeeping, peacemaking and peacebuilding. Copenhagen: Christian Eljers
Miall, Hugh, et all. 1999. Contemporary Conflict Resolution. UK: Politic Press

Kamis, 07 Oktober 2010

Anarki: Transformasi Tatanan Paska Perang Dingin



Anarki: Transformasi Tatanan Paska Perang Dingin

Pada dekade akhir abad 20 yang dikenal dengan zaman orde baru ekonomi global, ada dua pandangan yang berbeda yang muncul yaitu optimis dan pesimis. Barnet dan Cavanagh melihat dunia saat itu mengalami perdagangan transnasional, sehingga diperlukan persaingan yang tinggi dan kompetitif (http://www.suaramerdeka.com). Sedangkan pandangan pesimis muncul dari Kaplan yang meramalkan datangnya anarki dalam artian yang  negatif (Kaplan, 1994). Berbagai tindakan kekerasan dan anarki yang berkelanjutan merupakan suatu ancaman terbesar pada kehidupan manusia yang akan datang, di mana kontur keamanan mengalami perubahan yaitu, (1) degradasi lingkungan hidup karena hanya dianggap sebagai hostile power. (2) penyebarluasan berbagai penyakit (biological weapon) (3) konflik kultural karena rapuhnya pembangunan nation-state (4) variasi perang di era posmodernis (tidak vis a vis secara langsung) yang menghancurkan struktur masyarakat di bumi ini dan terjadi sangat pesat sekali. Tindak kekerasan ini bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif apa saja. Ramalan Kaplan, masa depan dunia nanti akan seperti Afrika Barat saat ini dimana  ledakan penduduk, kerusakan lingkungan, dan “kebusukan” politik menyebarluaskan anarki di seluruh dunia, dan akan terjadi perang di antara negara-negara besar sehingga perlu sumber-sumber yang menjamin stabilitas internasional. Hal pesimis juga disampaikan oleh Bill McKibben tentang malapetaka ekologi, yang jelas berakhirnya perang dingin bukannya menghadirkan orde baru dunia tapi planet yang dilanda pergolakan dan keretakan. Masalah planet ini mendapat perhatian serius dari ahli politik dan orang awam (http://www.suaramerdeka.com).
Keberadaan antusiasme pada sebagian masyarakat untuk menerapkan demokratisasipun menimbulkan pesimisme dan kekhawatiran dari masyarakat lokal, mengutip James Rosenau bahwa semakin cepat tingkat perubahan sosial terjadi, semakin mungkin terjadi bentuk-bentuk kekerasan dalam masyarakat (http://www.suaramerdeka.com). Hal ini terlihat dari prisma konflik  di Negara Sierra Leone, dimana pemberontak memutus jari tangan masyarakat agar mereka tidak bisa mengikuti pemilu sebagai wujud partisipasi pada demokrasi dan ketiranian sistem yang muncul akibat kurangnya kesadaran hukum dan menjadi wujud eksperimen dari demokrasi. Untuk itu, perubahan sosial-politik semestinya diimbangi kedewasaan elite politik lokal serta diiringi prinsip dan strategi transformatif masyarakat lokal yang mencerahkan dan memberdayakan. Jika tidak, kondisi demikian sepertinya paralel dengan kekhawatiran Kaplan terhadap demokratisasi yang dapat memunculkan kedatangan anarki (Kaplan, 1994).
Berbagai kekerasan dan kejahatan yang terjadi juga dapat diminimalisasi dengan keberadaan pendidikan dan indoktrinasi agama yang masih terjadi dalam masyarakat. Hal ini dapat diamati di Afrika Utara yang tidak terlalu banyak terjadi kejahatan karena karena islam menyediakan jangkar social yang kuat di situ. Sedangkan di Afrika barat kebanyakan tidak benar-benar menerapkan agama yang mereka percaya karena keyakinan pada animisme masih melekat kuat. Adanya fenomena poligami dan kehidupan urban yang meningkatkan resiko HIV, komunalisme dan animisme yang menyediakan perlindungan lemah dalam melawan kerusakan efek sosial kehidupan perkotaan, akhirnya menyebabkan budaya Afrika ini perlu didefinisikan ulang sebagai deforestasi dan desertifikasi. Afrika Barat sebenarnya menawarkan eksotisme dan potensi sumber daya alam namun karena tidak tereksplorasi dan dikelola dengan baik maka Afrika Barat menjadi suatu negara yang terbelakang dan tidak diperhitungkan.

Referensi
Bahtiar, Asep Purnama dan Saud El-Hujjaj. 2004. Menyiasati Otda untuk Transformasi Masyarakat. Diakses dari http://www.suaramerdeka.com pada 5 Oktober 2010
Kaplan, Robert D. 1994. The Coming Anarchy. New York: Random House, Inc

Jumat, 01 Oktober 2010

Manajemen dan Teori Konflik

Menurut professor sosiologi dari Brandeis University, Amerika Serikat, konflik merupakan perjuangan atas nilai dan klaim terhadap status, kekuasaan, dan sumber daya yang terbatas jumlahnya dimana tujuan para pihak-pihak yang terlibat adalah untuk menetralkan, melukai, atau menghilangkan pesaing mereka (Dougherty, 1971). Dibandingkan dengan ketegangan, konflik bersifat lebih manifes dan konflik bisa saja berupa evolusi dari ketegangan berlebihan. Secara mikro, teori konflik didasarkan pada karakter-karakter distinctive yang paling mendasar pada setiap aktor yang terlibat dalam konflik, sehingga dalam teori ini yang menjadi inti pemikiran adalah peran individu beserta kondisi psikologis serta kepribadiannya yang menyebabkan ia terlibat dalam konflik. Sedangkan secara makro, teori konflik menekankan pada dinamika struktur sosial dan insitusi yang dianggap menjadi faktor dibalik munculnya suatu konflik.
Teori konflik sendiri mengalami evolusi sejak era peradaban kuno hingga sekarang, dimulai dengan pemikiran mengenai crude conflict berupa perang sebagai instrumen mencapai kepentingan institusi pemegang kekuasaan hingga doktrin Just War pada abad pertengahan serta pemikiran kaum bellicist dan pacifist yang dimulai pada abad ke 19. Di era kontemporer, konflik kekerasan tidak lagi sebatas antar negara tapi juga di dalam maupun lintas negara yang biasanya diwarnai dengan masalah ketidakadilan distribusi dan perbedaan identitas seperti agama, ras, dan budaya bukan lagi masalah perbatasan (Harris dkk, 1998). Konflik identitas ini berlangsung lebih lama bergantung dari emosi dan adanya rasa memiliki identitas tersebut apalagi yang mengarah pada etnosentrisme serta lebih sulit diselesaikan melalui jalur negosiasi. Dilihat dari persepektif konflik diatas, terjadi pergeseran antara dinamika fokus konflik yang menekankan kepada aktor menjadi kebutuhan dasar yang menekankan kepada isu dan akar dari konflik. Dimana konflik tersebut tidak saja bisa berbentuk negatif tapi bisa juga positif. Contohnya adalah adanya integrasi yang bermula dari konflik seperti pejajahan Belanda atas Indonesia yang memunculkan rasa kebangsaan dikalangan masyarakat dan akhirnya terbentuklah negara Indonesia.
Hal yang perlu ditekankan disini adalah dalam kehidupan itu tak ada teman atau lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Untuk itu, perlu adanya manajemen dalam konflik bukan pada bagaimana konflik itu berakhir tapi lebih diarahkan pengelolaan konflik dan pengaturan emosi ke arah yang lebih positif. Manajemen yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan struktur politik demokrasi yang diawasi oleh institusi demokrasi pula, dengan asumsi akan tercipta perdamaian diantara negara-negara yang menganut demokrasi (Peter, 1998). Selain itu demokrasi merupakan suatu respon tanpa kekerasan atas konflik yang terjadi. Manajemen konflik di sini, juga harus memelihara kompetisi, partisipasi, dan kebebasan berpolitik agar kondisi menjadi tetap stabil dan di bawah kendali.

Referensi
Dougherty, James. 1971. Contending Theories of International Relations, The Older Theories of Conflict. J.B. Lippincolt Company
Harris, Peter dan Bey Reiley, eds. 1998. Democracy and Deep-Rooted Conflict. Option for Negotiation. Stockhlom: IDEA