Tampilkan postingan dengan label teori hubungan internasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori hubungan internasional. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Oktober 2010

Teori Konflik dan Evolusinya



Selama ini konflik selalu diidentikan dengan kekerasan, menurut Johan Galtung, konflik dapat diartikan sebagai benturan fisik dan verbal dimana akan muncul penghancuran, tapi konflik juga bisa dipahami sebagai sekumpulan permasalahan yang menghasilkan penciptaan penyelesaian baru, sedangkan kekerasan adalah situasi ketidaknyamanan yang dialami aktor dimana ketidaknyamanan adalah apa yang “seharusnya” tidak sama dengan apa yang “ada” bisa juga berupa suatu sikap yang ditujukan untuk menekan pihak lawan, baik secara fisik, verbal, ataupun psikologi (Galtung: 1960). Untuk lebih mudahnya, menurut saya keduanya kadang muncul sendiri-sendiri terkadang bisa juga bersamaan, dimana suatu konflik dapat berupa/berujung dengan kekerasan dan kekerasan sendiri dapat memunculkan konflik.
 Dalam teori tentang segitiga kekerasan Galtung, kekerasan terbagi menjadi tiga yaitu kekerasan langsung, kultural dan struktural. Dimana kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resource power), yang dibedakan menjadi kekuasaan yang bersifat menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan renumeratif. Baik kekuasaan sumber dan kekuasan struktural saling berkaitan, saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural dan personal dapat menghalangi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial.
            Agar bisa merespon konflik secara tepat, maka perlu memahami level analisa konflik karena ada konflik yang bersifat mikro dengan level individual (di dalam diri individu yang bersangkutan maupun antar individu) dan ada pula konflik yang makro dengan level kelompok (baik dalam lingkup masyarakat maupun organisasi), negara maupun internasional. Konflik dalam diri seseorang terjadi ketika dia mempunyai dua atau lebih kepentingan yang sifatnya bertentangan. Sehingga individu tersebut harus menentukan pilihan dan prioritas. Konflik antar individu, terjadi akibat keterbatasan sumberdaya, perbedaan pandangan atas nilai, atau tujuan yang tidak sejalan, bisa juga karena keterlibatan dalam kerjasama (bila ada benturan kepentingan), maupun saat konsensus tidak tercapai (tidak ada pihak yang mau mengalah). Sedangkan konflik dalam lingkup yang lebih luas, seperti kelompok dan lainnya hampir sama dengan konflik antar individu sebagaimana disebutkan di atas, tetapi sifatnya lebih kompleks dan lebih banyak individu yang terlibat dalam konflik. Dalam konflik makro dikenal kategori kita dan mereka, untuk memisahkan pihak yang berkonflik, contoh konflik dalam lingkup internasional seperti penyerangan AS ke Afghanistan dan Irak yang lebih didorong oleh motif "Military Industrial Complex" dan Soal minyak di Asia Tengah.
Pada tingkatan apapun, konflik yang terjadi pada dasarnya melibatkan unsur-unsur dasar yang khas. Kemunculannya dipicu oleh suatu kejadian penting. Dalam melakukan manajemen konflik, maka perlu diketahui apa yang memicu konflik, siapa saja yang terlibat dalam konflik, apa isu yang disengketakan, bagaimana strategi yang dipakai masing-masing pihak yang berkonflik untuk mencapai kemenangan, peluang  konflik untuk meluas/mereda, dan apa konsekuensi dari konflik yang terjadi. Pengumpulan informasi yang akurat seputar pertanyaan di atas diharapkan dapat menghasilkan analisa yang akurat dalam memahami suatu permasalahan, dan meraih tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Pengembangan teori konflik sebagai sebuah fenomena sosial mempunyai berbagai dimensi yang melahirkan berbagai perspektif dalam melakukan analisa dan mencari solusi. Dimensi konflik perlu dipahami sebagai landasan analisis dalam melakukan resolusi konflik dan membangun perdamaian. Secara umum setidaknya ada tiga pendekatan dalam melihat dimensi konflik: Pertama, Pendekatan yang berfokus paada Dinamika Konflik. Dalam pendekatan ini, konflik dilihat sebagai fenomena dinamis dimana reaksi salah satu actor konflik ditentukan dari aksi lawannya. Fokus ini melihat konflik dalam konsep triangle : A: Sikap terhadap Konflik (conflict attitude), B: Perilaku Konflik (Behavior), C: Konflik itu sendiri dalam bentuk, kontradiksi, atau ketidaksesuaian (incompatibility). Konflik bisa mulai dari salah satu sudut dari triangle ini tetapi biasanya menekankan kepada dimensi C. Resolusi konflik dilakukan dengan cara melakukan transformasi transendental, melakukan kompromi atau pembatalan. Resolusi secara transenden artinya berupaya agar tujuan dari konflik dapat tercapai. Resolusi kompromi artinya semua pihak yang berkonflik harus berkorban untuk tidak menerima seratus persen tuntutannya. Resolusi dengan Pembatalan adalah dengan menghilangkan tujuan konflik. Dialog dan negosiasi dipandang sebagai salah satu cara. Dalam melakukan dialog dan negosiasi perlu dilandasi dengan dengan membangun kekuatan ekonomi, kekuatan sosial, kekuatan militer dan kekuatan kultural (Confidence Building Measures). Kedua, fokus Pada Kebutuhan Dasar (Cosser: 1956). Dalam perspektif ini konflik dilihat sebagai sebuah fenomena yang dinamis, yaitu sebagai fungsi sosial yang dinamis. Walaupun ada juga konflik yang disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai Konflik yang Realistik. Konflik disebabkan oleh ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai dalam masyarakat, tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan politik. Resolusi Konflik diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu dengan memberikan akses kepada pihak-pihak yang berpotensi konflik. Tetapi harus disadari bahwa menghentikan kekerasan itu bukan satu-satunya kepentingan dari pihak yang tengah berkonflik. Dalam perspektif ini, resolusi konflik menunggu momen yang matang (ripe moment). Peran Pihak Ketiga adalah mendorng atau mempengaruhi kalkulasi tersebut dengan cara memberikan "reward atau punishment".  
Perspektif lama mendefiniskan perdamaian sebagai ketiadaan perang /konflik (negative peace). Pada masa PDI, PDII, hingga Perang Dingin, konflik lebih dilihat sebagai inter-state conflict, atau armed conflict. Dunia dipenuhi oleh rasa was-was dengan perlombaan senjata berat seperti Nuklir. Pasca perang dingin, yang terjadi adalah karaktersitik konflik bergeser dari kompetisi senjata menjadi kompetisi ekonomi, teknologi, informasi dan pengaruh politik. Definisi Conflic atau Perang berubah dari "The absence of war" menjadi "The absence of potentials to war" Konflik kekerasan bergeser dari Interstate conflict menjadi intra-state yang biasanya diwarnai dengan warna etnik, agama atau identitas yang sifatnya structural. Dilihat dari persepektif konflik diatas, bisa jadi terjadi pergeseran antara focus Dynamic conflict dan Rasional yang menekankan kepada aktor menjadi basic needs yang menekankan kepada isu dan akar dari konflik. Bahkan konflik sendiri bisa dijadikan mekanisme dalam melakukan integrasi, seperti pejajahan Belanda atas Indonesia yang memunculkan rasa kebangsaan dikalangan masyarakat dan akhirnya terbentuklah negara Indonesia.
Jadi bisa diamati bahwa konflik yang dulunya termanifestasi (terobservasi, perilakunya disadari, dan konflik jelas terlihat) mulai mengarah dalam bentuk laten atau kebalikannya (berupa perang psikologi, teror, motif politik namun berkedok ekonomi, dll.), teori konflik sendiri juga mengalami perkembangan yang berawal dari teori Marxis yang membahas konflik perbedaan kelas, konsep detterence di jaman nuklir, maupun teori konflik ala Galtung dan teori resolusi konflik. Hal yang perlu ditekankan disini adalah dalam kehidupan itu tak ada teman atau lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Untuk itu bagaimana pintar-pintarnya kita dalam membuat sebuah keputusan yang tepat pada waktu yang tepat, agar kepentingan yang ingin diraih bisa tercapai dengan pengorbanan sesedikit mungkin, untuk meraih hasil maksimal, baik dengan cara kekerasan maupun kerjasama (damai).
Referensi
Coser, Lewis A. 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free press.
Doughertty, James E dan Robert L. Pfalagraff. Jr. 1971. Contending Theories of International. Relations. J. B. Lippincolt Company.
 Galtung, Johan. 1960. Violence, War, and Their Impact On Visible and Invisible Effects of Violence dalam http://www.dadalos.org diakses tanggal 5 Mei 2009
 http: //redaksi@pelita.or.id// diakses tanggal 5 Mei 2009
 Peace Education Basic Course 2- Violence Typology, International UNESCO education server dalam http://them.polylog.org

TUNTUTAN FEMINISME: PERSAMAAN, KESETARAAN ATAU NON GENDER



            Adanya dikotomi gender dan sex dalam kajian feminisme mutlak perlu untuk dilakukan pada awal pembahasan jurnal karena selama ini ada penerapan istilah yang salah kaprah. Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips, gender diartikan sebagai harapan-harapan budaya, nilai dan norma terhadap laki-laki (maskulinitas) dan perempuan (feminitas). Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa, hal ini juga bisa kita amati dari pola perilaku Gandhi dan Dalai lama yang menekankan pada cinta kasih dan perdamaian, sedangkan sex sendiri mengarah pada kondisi biologisnya.
            Hal yang disoroti oleh kaum feminisme di sini adalah perbedaan perlakuan pada perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan dimana keduanya mengalami ketidaksejajaran dan wanita hanya dianggap sebagai oposisi biner atau bahkan kalau boleh dibilang sebatas pelengkap dari laki-laki saja. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Semua ini tak lepas dari sejarah Revolusi Perancis di tahun 1787 yang mengilhami tulisan yang berjudul The Declaration of The Rights of Men and of the Citizens. [1] Isi tulisan ini menyuarakan tentang harapan bertahun-tahun akan kepemilikan dan perlindungan hak asasi manusia. Namun sayangnya hak yang diperhitungkan saat itu hanyalah “Men” bukan “Men and Women” sehingga menginspirasi Mary Wollstonecraft untuk menulis deklarasi tandingan berjudul A Vindication of The Rights of Women pada 1792 dimana salah satu isi pentingnya adalah bahwa wanita ada bukan semata-mata untuk menjadi seorang istri dalam logika ornamentalisasi/beautiful soul, namun berperan sebagai pendidik untuk anak-anak dan pendamping suami, dan oleh karenanya  mempunyai kontribusi yang sama bagi kemajuan masyarakat sehingga mereka juga berhak untuk mendapat hak yang setara dengan laki-laki. Ide revolusioner tersebutlah yang kemudian melahirkan ide-ide feminisme beberapa dekade belakangan ini. Namun feminisme yang merupakan salah satu dari aliran alternatif baru memasuki ranah HI pada saat debat besar ketiga terjadi yaitu tahun 1980-an.

Emansipasi Politik dan Pluralisme Aktor
            Emansipasi di sini tidak saja sebatas keikutsertaan dalam pemilihan umum tapi lebih dari itu, yakni penghapusan stigma bahwa laki-laki cenderung diasosiasikan dengan ranah publik, bersifat agresif dalam hal power, kompetitif, rasional, dan sebagai agen dalam tatanan dunia yang anarki sedangkan wanita merupakan makhluk yang pasif, kooperatif, emosional dan hanya mampu beraktivitas pada ranah private –rumah tangga. Kaum feminis menuntut perluasan makna dan peran secara luas ke arah negara dan wilayah internasional sedangkan ilmuwan hubungan internasional yang beraliran tradisional, utamanya realis, menganggap isu-isu gender dan peran wanita bukanlah hal yang penting karena mereka tidak mempengaruhi dinamika perpolitikan yang ada dalam lini lokal atapun global. Namun hal di atas tidak mutlak kebenarannya, semua itu terjadi karena struktur dan konstruksi yang ada memposisikan wanita sebagai ordinat yang paling tidak diuntungkan, hanya 1 persen properti dunia yang dimiliki dan hanya 5 persen kesempatan yang diberikan untuk duduk dikabinet maupun kepala negara dan banyak pekerjaan yang dilakukan wanita yang tidak dilihat dan tidak dibayar.[2]

Perempuan: Perdamaian dan Laki-laki: Peperangan
Sungguh sebuah realitas tragis, dimana dijaman modern telah terlewati (sekarang: pos modern) namun pemikiran bahwa perempuan selalu identik dengan perdamaian dan laki-laki dengan peperangan masih ramai diperbincangkan. Padahal dalam pengambilan keputusan perang atau kebijakan negara lain kesemuanya tak lepas dari peran wanita, baik sebagai korban ataupun pencegah dan pencetus perang, contohnya dalam Perang Irak-AS banyak wanita yang menjadi janda dan pengungsi serta korban penganiayaan tentara AS, kemudian kebijakan AS untuk menginvasi Afghanistan tidak dapat dilepaskan dari dukungan para istri sang komandan perang, yaitu, Laura Bush dan Cherie Blair, yang membawa permasalahan opresi kaum wanita oleh Taliban dalam meja perundingan rencana perang selain itu aktivitas komunal wanita seperti para ibu di Rusia yang menarik dukungan bagi militer Soviet juga berdampak pada kehancuran rezim komunis militeristik di negara itu.[3] Masihkah peran perempuan di sini layak untuk diabaikan? Dan masihkah tangan wanita senantiasa berkutat dengan kosmetik, panci atau botol susu bayi?
Hal ini dapat dibantahkan oleh Margareth Tacher, Perdana Menteri Inggis wanita pertama yang mampu mengukir sejarah dengan tangan besinya, Perang Falkaland dan kebijakan ekonomi liberal Thatcerisme, menunjukkan bagaimana pluralisme aktor dalam hubungan internasional hadir tanpa disadari dan semestinya diperhitungkan dalam aksi-interaksi politik. Bagaimanapun politik tak pernah lepas dari konsepsi dasarnya yang tak lain adalah kekuasaan dan kepentingan, yang untuk meraihnya dibutuhkan kapabilitas dan kredibilitas dari aktor tersebut bukan karena faktor SARA ataupun gender.[4]

Analisa dan Kesimpulan
            Adanya peraturan pemerintah Indonesia yang menetapkan kuota 30 persen untuk perempuan duduk dalam pemerintahan menunjukkan bagaimana peran mereka begitu sangat dihargai, namun perwakilan tersebut hendaknya tidak sebatas pemenuhan kuantitas saja tapi juga dengan mempertimbangkan kualitas. Dalam sejarah Indonesia, Cut Nyak Dien dan R.A Kartini disimbolkan sebagai bentuk emansipasi wanita dan feminisme namun dengan skala yang berbeda. Dalam artian, mereka layak untuk memperoleh pendidikan dalam melakukan pembelaan pada bangsa dan negara namun tak melepaskan kodrat dan fungsinya sebagai seorang ibu dan istri.[5] Namun kenytaan ini seolah diabaikan oleh feminisme sendiri yang adakalanya terlalu radikal sampai menuntut pada kesamaan padahal laki-laki dan perempuan memang terlahir dan tercipta berbeda, tergantung bagaimana mereka sendiri berjuang dsan meraih kesempatan agar sejajar dan memang layak untuk diperhitungkan.
            Sebagaimana teori yang lain yang tidak absolut kebenarannya, masih bisa dikritisi atau dijatuhkan oleh teori lain, feminisme juga terbuka pada kritik dan tidak memberi patokan yang jelas atau pembatasan atas pemikirannya. Untuk itu penulis disini menyarankan agar pakar feminisme menjawab tantangan jaman, seperti memberi penjelasan atas anomali Tatcher yang identik dengan maskulinitas padahal dulu feminisme menuntut sistem patriarki yang diidentikkan dengan kekerasan dan kerusakan ternyata juga dilakukan oleh perempuan, pemikiran feminisme yang merupakan bentuk perlawanan dari gender semestinya non gender sebab bila dikotomi gender dijadikan sebagai antitesis maka tidak ada perubahan mendasar yang terjadi (hanya pergantian aktor utama dulu lelaki sekarang perempuan). Jadi pihak superior sekarang menjadi yang tertindas begitu juga sebaliknya, ini tidak sesuai dengan prinsip emansipatoris dari feminisme sendiri yang mengatasnamakan kesejajaran.
Namun sejauh ini berbagai aliran feminis yang muncul, liberal, radikal, marxis maupun posmodern tetap konsisten  dan satu tujuan, yaitu perjuangan menegakkan kebenaran akan makna kekuatan dan pengetahuan yang dimiliki perempuan, dengan modal tersebut dengan sendirinya akan membuat perempuan layak untuk berdampingan  dan bergandengan tangan dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan di lingkup lokal bahkan global sekalipun dengan tujuan membawa dunia ke arah yang lebih baik.
Referensi
Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka.

Jackson, Robert and Georg Sorensen. 1999.Introduction to International Relations. New York: Oxford University press Inc

Megawangi, Ratna. Pembangunan Karakter Kunci Perdamaian diakses melalui http://wap.korantempo.com tanggal 5 Juni 2009 diakses tanggal 5 Juni 2009

Microsoft Encharta. 2008
Notosusanto, Smita. 1997. Perempuan dan Politik Internasiona: dalam Perempuan dan Pemberdayaan. Jakarta: Penerbit Obor.




[1] Microsoft Encarta 2008.
[2]Robert Jackson and Georg Sorensen. 1999.Introduction to International Relations. New York: Oxford University press Inc
[3] Smita Notosusanto. 1997. Perempuan dan Politik Internasiona: dalam Perempuan dan Pemberdayaan. Jakarta: Penerbit Obor.
[4] Johan Galtung. 2003. Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka.

[5] Ratna Megawangi. Pembangunan Karakter Kunci Perdamaian diakses melalui http://wap.korantempo.com tanggal 5 Juni 2009


Jumat, 15 Oktober 2010

RELATION BETWEEN HUMAN AND ENVIRONMENT: PARASITE OR MUTUAL


            Greenpeace, global warming, food suply, UNFCCC are the words which is the first implied when environmental theme explained in this article. The writer is faced to dillemma which the men as leader of the world have duty to manage and conserve the nature but in reality become ”parasite” who do not know to say thanks. A reality study case which can see is global population excalation after Cold War but it can not be balanced by nature itself, moreover if man damage and over exploit the nature. This phenomenon which arouse environmentalism in scope of international relations as a form of concern and problem solving as well as efforts to minimize environmental damage.
Enviromentalist itself divide into two part, modernist and radical (Sorensen, 1999). If modernist think that continuation of science improvement and technology competition will increase capability in command the nature, so science and technology which is exist made friendly environmental orientation like reduction of CFC gas. Whereas ecoradical think that man on the world is threated to move on quota limitation of  planet and there is no technology reparation which can solve it except whole implementation of ecosentrical green politic theory, so it can be comperehensive framework  toward ecological crisis resolution. From two choices above, writer take position as ecoadical follower which nature position and human is balance, human can live until now because taking advantage of nature which become his right and nature existence can survive until now because human carry out his duty to the nature, so both of them have resiprocal interaction as one and only ecosystem which can not be separated. Different anymore with antropocentrism which dominant in west cogitation, they think that human position on the nature  so they are free to exploite nature to reach his destiny and interest.
Environmentalism is different from the other critical theory which seldom giving solution, ecoradical here contributes in extending his thought about drastic change of life style, political organization, and economical human like stopping industrial mass production and shift it to bacck to nature concept. So, mainstream study which as long as is center to state aspect that charged as rooted problem than problem solving is part of modern society which so far become the biggest donatur of crisis (Carter, 1993). Although ecoradical does not say anything what the right subtituter of state but I myself suggest more to fulfil that function by international regime, non governmental organization, or society. The evidence is greenpeace’s action which has global networking faster to act in smog case of Indonesian forest fire which has impact to East Asia countries, than Indonesian government reaction which is  slowly, even UNFCCC conferention result does not carry out because United States do not want ratify; then success of ozone regime to cut and stop CFC production in recently years (Banyu dan Yanyan, 2006). In international study, environmentalism give new colour from global ecosystem perspective which threated dangerous of human’s arrogance which give priority modernity more and high level of material wealth, for this reason also writer disagree with ecomodernism which tends to that assuption.
Human and Environment Security
            Related with the title above, logically if environment secrity is ignored so human security will be also threated. Simple explanation is if happen climate change because of greenhouse effect and ozone depletion so it will cause disease for human and then the waste of nuclear proliferation problem which contains also radioactive can pollute the environment and influence human’s brain and health if inhaled, limitation supplying food will cause starvation disaster like in Ethiopia, many kind nuclear Brund of Israel nuclearbrund in Palestina region will be threated thousands human soul from both countries, from all overview above we can conlude that synergy both of them must work mutually for humfuture need itself. So threaten aspect of human security is not limited about war, weapon, or other traditional issues. There is little different view from Thomas Homer-Dixon about environmental crisis that affects intra-state issue like scarcity of environmental can cause the migration of city dwellers and hostility, declining economic productivity and ethnic conflict which led to the weakening of government. When observed indeed it is true, the source of the problems that arise from per country but the impact and how to solve them even more effective when done together at the global level, through the organization did not let state bureaucracy hampered the knotty problem among the elite, the support of the volunteers who are individual actor and the role of the media managers who all was none other than humans with strata and different functions but with unity of thought will be of concern to the environment.
Review About Green Politics
Knowingly or not the tricks and political intrigue into all aspects of life and security environment is no exception, although in low levels (low politics). The threat to the environment can seriously affect national and international security, such as water resource conflicts in the Middle East that should be shared by Syria, Israel, Jordan and Lebanon, but because the Arab League trying to take over eventually arises the Arab-Israeli war, which has always been have a religious sentiment (Gleick, 1993). So, when politicized the environmental damage can lead to wider conflict such as war, terrorism, and diplomatic and trade disputes which could have spread to the changing world order.
In green politics despite not making the dominant role of the state, but the country remains the hope of reform of existing structures as well as more responsive to exist and political decisions at the local, regional, and international and oriented horizontally with stakeholders (private), so application of the decision can be optimal. In addition it is necessary to also expand state control of market activity and cultural communities in order to remain environmentally sound.
Referensi
Carter, A. 1993. Towards a Green Political Theory. dalam A. Dobson and P.Lucardie (eds). The Politics of Nature: Explorations in Green Political Theory. London: Routledge.
Gleick, P.H. 1993. Water and conflict: Fresh Water Resources and International Security. International Security. Hal. 79-112.
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 1999.Introduction to International Relations. New York: Oxford University press Inc
Perwita, Banyu dan Yanyan. M.Y. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja rosda Karya. Hal 130


KOMPLEKSITAS POSMODERNISME



Posmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme namun sekaligus sebagai kelanjutannya.[1]Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai pandangan hidup  yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berpikir dikotomis, desakralisasi, pragamatisme dan pengingkaran kebenaran metafisika. Selain itu modernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dsb. John Lock menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan adalah inti modernisme. Posmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan, dan umumnya anti-worldview serta ”pendobrak penjara konseptual” saat itu. Namun dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya.
Genealogi Neorealis
            Neorealis merupakan salah satu contoh penjara konseptual yang dimaksud di atas, karena paham ini begitu dominan pada saat Perang Dunia maupun Perang Dingin berlangsung. Kaum posmodernis membuang keraguan dalam kepercayaan modern bahwa ada pengetahuan obyektif atas fenomena sosial serta memandang realis sebagai esensi dari kesalahan intelektual dan kesombongan akademik.[2] Posmodern menolak anggapan tentang realita dan kebenaran yang sudah dari sananya ada, tentang pemikiran bahwa ada pengetahuan yang berlaku absolut tentang dunia manusia dalam artian bisa memahami dan menjelaskan kehidupan manusia dari masa ke masa, padahal seperti yang diketahui kehidupan manusia tidak statis dan berulang namun dinamis dan penuh kemajuan serta perubahan. Jadi pengetahuan yang merupakan buatan manusia berjalan linear dengan perkembangan kehidupan manusia, serta perluasan dan peningkatan pengetahuan tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam hal penguasaan bukan hanya dalam dunia alam tapi juga dunia sosial termasuk hubungan internasional. Hal ini didukung oleh pernyataan Smith tentang segala sesuatu yang melibatkan manusia adalah subyektif, dimana pengatahuan sama sekali tidak kebal dari bekerjanya kekuasaan.[3]Posmodernisme mengusung universalisme kemajuan manusia, tidak ada perbedaan strata dari apa yang ada, baik dari segi gender, kaya/miskin, kulit hitam/putih, dll. Istilah gampangnya adalah membebaskan semua yang tertindas selama ini. Untuk itulah mengapa posmodernisme begitu ”laris” di negara dunia ketiga. Posmodern juga tidak mempercayai metanaratif (seperti pemikiran neorealisme dan neoliberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial).[4] Hal ini dipandang tidak masuk akal, contohnya anarki politik internasional yang diusung neorealis dipandang tidak berubah dan tidak dapat dipertahankan sebab tidak ada landasan yang bebas dan utuh untuk menilainya serta adanya anggapan bahwa pengetahuan itu netral. Padahal senyatanya ilmu sosial untuk memahami konsep anarki itu sendiri tidak netral, karena mempertimbangkan aspek budaya, sejarah dan politik karena itulah bias. Seandainya saja terdapat kepastian akan teori kritik dalam hal ini adalah posmodernisme maka teori ini akan menjadi dasar pemikiran yang kuat dan hebat, tapi ini melawan eksistensi dasar dari teori kritik ini tentang kebenaran absolut yang tak terbantahkan, jadi bila itu dilakukan lantas apa bedanya dengan positivis? Untuk itulah mengapa tidak ada acuan yang netral, utuh, atau bebas untuk memutuskan bila terjadi pernyataan empiris yang bertentangan.
Dekonstruksi Diplomasi
Dekonstruksi adalah pembongkaran untuk menunjukkan elemen-elemen yang berubah dan tujuannya bias. Bagaimanapun posmodernisme tak puas, begitu saja dengan keadaan status quo yang sudah ada, dan faktor apa saja yang mempengaruhi di dalamnya. Posmodernisme membuka ruang berpikir yang lebih kritis dari semua individu atau golongan yang selama ini terkekang, hal inilah yang mendasari mengapa posmodernis sering dipersalahkan atas kejadian seperti terorisme.[5] Sebenarnya hal itu bisa saja terjadi akibat negara sebagai pihak yang diandalkan tidak bisa mengakomodir kepentingan non-negara, sehingga diplomasi yang mereka pakai adalah bom dan dalam perkembangannya politik yang terjadi di tataran ‘internasional’ saat ini, tidak lagi dimonopoli oleh negara, dan tidak lagi berkaitan dengan kepentingan nasional bersama. Sebenarnya mereka sudah melakukan diplomasi dengan cara mereka sendiri namun karena kurang bisa dipahami oleh lawan politiknya dan diskriminasi diplomasi yang berlaku saat ini maka satu-satunya jalan yang ditempuh untuk “menaikkan posisi tawar” adalah dengan meledakkan diri, menabrakkan pesawat ke gedung-gedung pencakar langit, menteror masyarakat, menyebarkan bingkisan-bingkisan bom waktu, merompak kapal-kapal pesiar atau kapal tangker minyak, bahkan yang paling belakangan, melempar sepatu kearah presiden adidaya. Praktis, hanya dengan cara-cara ini, mereka bisa didengar dan diperhitungkan. Jadi dibutuhkan pluralitas perspektif dan pemilihan serta pemilihan masalah dan semua yang terkait untuk memecahkannya, setiap tindakan yang diambil memberikan pengaruh yang berbeda. Diplomasi bentuk lain dari posmodernisme untuk menyebarluaskan pemikirannya adalah dengan menggunakan mode informasi dan kecanggihan teknologi untuk melawan struktur ilmu pengetahuan yang selama ini dibangun oleh kaum positivis. Dalam waktu singkat rekaman audio-visual yang merupakan wacana tampil di televisi, di-upload di Youtube, dan di diskusikan di berbagai mailing-list. Akibatnya, protes bermunculan, negara yang (sok) peduli dengan penegakan HAM mengancam sanksi embargo, solidaritas merebak di kalangan internasional, pemerintah dipermalukan, dikecam, bahkan dilaknat di seluruh dunia
Intertextual Hubungan Internasional
Dalam neorealisme yang menjadi sasaran utama dekonstruksi ini, hanya sedikit elemen informasi tentang negara berdaulat dalam sistem internasional yang anarki dan adaptasi hanya dijadikan pilihan mereka atas segala sesuatu yang dianggap given, bahkan neorealisme malah mereduksi peran aktor individu menjadi sekedar obyek yang harus berpartisipasi dalam menghasilkan keseluruhan atau jatuh dipinggir jalan sejarah.[6]Hal ini mengakibatkan kemiskinan imajinasi akibat entitas negara dianggap yang paling tinggi dan memiliki kekuasaan mutlak atas semua unsur yang ada di dalamnya dalam bentuk hak dan kewajiban. Posmodernisme melawan arus pemikiran kaum mainstream yang selama ini terlalu tekstual, padahal selain ilmu pengetahuan itu buatan manusia, yang bisa saja salah/disalahgunakan, ditangkap atau ditafsiri berbeda oleh setiap orang apalagi bila terdapat konsep yang kontradiktif dan istilah yang rumit. Untuk itu dilakukan diferensiasi/pemilahan atas elemen yang merupakan hasil abstraksi dan interpretasi yang dilakukan pun tidak secara hierarki namun sejajar sehingga searah bersama-sama dapat menguak makna kebenaran yang lebih luas. Jadi dalam hal ini juga terdapat dekonstruksi tentang metode membaca teks secara teliti karena teks manapun bila  diurai maka didalamnya terdapat unsur yang merupakan anti-tesis untuk menghancurkan teks itu sendiri. Teks-teks yang selama ini ada juga sudah mulai ketinggalan jaman untuk itu dibutuhkan dialog sebagai kelanjutan kreativitas yang ada. Dialog dalam konteks posmodernisme adalah terjadinya relasi antar-teks. Teks bukan hanya menunjuk pada kata-kata yang terdapat dalam buku atau naskah-naskah tertulis, tapi semua kenyataan seperti Islam dan Barat (identitas), tas besar, sepatu, dan semua yang kita tangkap, adalah teks. Teks ini dalam epistemologi postmodern telah kehilangan pemiliknya, pengarang telah mati baik fisik ataupun pemikirannya karena telah ketinggalan jaman. Identitas merupakan bagian dari teks maka intertekstualitas sangat diperlukan disini untuk menciptakan suatu relasi yang lebih menekankan suatu power sharing di antara peradaban yang ada karena  “identitas dalam hidup tak putus-putusnya dipersoalkan” karena posmodernisme adalah proyek yang belum selesai dari modernitas.[7] Perdebatan secara teoritis dari modernitas dan postmodernisme berlangsung alot dan mengkontraskan secara hitam dan putih.
Antipositivis dan aspek ontologi
            Pembongkaran teori yang positivistik oleh posmodern dengan tidak membahas dan menganggap keberadaan suatu teori sebagai jawaban akhir, namun lebih memperhatikan dan memperdebatkan bagaimana suatu konsep lahir. Namun kritikan tersebut ada yang menyerang balik posmodernis sendiri, yang mengarahkan pada antipositivisme yang mengarah pada nihilisme (negativisme bagi dirinya sendiri) yang menyebabkan posmodernisme dapat menjadi terasing dari dunia sosial dan politik yang ingin dipahami. Singkatnya bisa terjadi tumpang tindih dengan nihilisme yang tidak mampu memberikan landasan apapun karena menolak kemungkinan dan nilai pengetahuan, mirip dengan posmodernisme yang serba ambigu dan ketiadaan penjelasan yang utuh. Jalan tengahnya adalah dengan metode intersubjektif, penggabungan subjektif dan objektif, dimana pengetahuan diikat oleh standar dokumentasi dan kejelasan eksposisi yang bukan hasil dari spekulasi. Kebanyakan kaum posmodernis akan lebih skeptis dengan realitas intersubjektif yang dikandungnya, alternatif lain bila ini ditolak, seperti yang dijelaskan sebelumnya, mengarahkan posmodernis pada nihilisme yang merupakan anti positivis. Sebenarnya, pandangan remeh banyak pakar akibat kritik yang dilakukan posmodern yang tidak menyediakan solusi tak lebih dari justifikasi pragmatis. Justru kritikan posmodern itu sebagai bentuk solusi penyingkapan ” tirai” kebenaran yang ditutup-tutupi oleh pihak yang berkuasa. Menurut saya posmodernisme lebih realistis daripada neorealis sekalipun, dalam memahami berbagai permasalahan kontemporer seperti masalah terorisme, kegagalan negara, penegakan HAM, diskriminasi gender dan lainnya. Disinilah letak sebagian dari ontologisme dari posmodern yang begitu luas, berbagai aktor mulai dari individu sampai internasional, berbagai bidang dalam kehidupan dapat ditelaah oleh posmodernisme yang mengusung emansipasi.

            Referensi
Ashley, R.K..1986. The Poverty of Neorealisme. Hal 255-301
Baylis, J. and S. Smith. 1997. The Globalisation of World Politics. Oxford: Oxford University Press. Hal 165-190
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lyotard, S. 1984. The Postmodern, Condition: A Report on Knowledge. Manchester University Press
Davetak, Richard.1997. Why race Differences and What They Mean. Praeger Publisher Habermas, Jurgen.1987. The Philosophical Discourse of Modernity, Cambridge: MIT Press.
www.hidayatullah.com di akses 22 Mei 2009





           





[1] www.hidayatullah.com di akses 22 Mei 2009
[2] Robert Jackson and Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3] J. Baylis and S. Smith. 1997. The Globalisation of World Politics. Oxford: Oxford University Press. Hal 165-190
[4] S. Lyotard. 1984. The Postmodern, Condition: A Report on Knowledge. Manchester University Press
[5] Richard Davetak.1997. Why race Differences and What They Mean. Praeger Publisher
[6] R.K. Ashley.1986. The Poverty of Neorealisme. Hal 255-301
[7] Jurgen Habermas.1987. The Philosophical Discourse of Modernity, Cambridge: MIT Press.

Teori Kritis dalam Ilmu Hubungan Internasional

Aliran pemikiran Frankfurt (Frankfurt School) merupakan sebuah kumpulan para pemikir atau para filsuf yang memiliki lembaga penelitian di Frankfurt Jerman yang didirikan pada tahun 1923, dan pendirinya adalah Felix Weil, yang tak lain merupakan murid dari seorang pemikir Marxian, Karl Korsch. Dari Frankfurt school inilah teori-teori kritis bermunculan (walaupun tidak semua, contohnya Gramsci), maka tak heran bila landasan pemikiran yang diambil dalam teori kritis adalah Marx, bukan tokoh yang lain. Selain itu juga karena kemenangan Revolusi Bolhesvick, kegagalan-kegagalan Revolusi di Eropa Tengah khususnya di Jerman yang membangkitkan Intelektual Kiri Jerman untuk melakukan kajian kembali secara serius mengenai teori marxis khususnya yang berkaitan dengan akal budi dan praktik dalam kondisi-kondisi sosial yang baru, dan adanya pandangan bahwa teori marxis dapat terus relevan dan cocok untuk menganalisis setiap perkembangan sosial.[1]
Walaupun pada awalnya menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya, akan tetapi pemikiran Frankfurt mengadaptasi alur pemikiran filosofis Jerman, yaitu pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant dan pemikiran kritisisme historis dialektisnya Hegel. Jadi bisa dibilang pemikir aliran Frankfurt itu sangat lihai karena bukan hanya mengkritisi teori mainstream tapi juga memadukan teori tokoh-tokoh ”sekaliber”  Marx, Hegel dan Kant serta melengkapi kekurangan dari Marx dengan pemikiran Max Weber dan Sigmund freud yang memberikan pengaruh besar terhadap aliran ini. Neo Marxis sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan konstelasi jaman, berbeda dengan kaum Marxisme ortodox yang termasuk positivis (menganggap ajaran Marxis sebagai kebenaran tunggal dan pengkritiknya dianggap revisionis dan anti revolusi).

Asumsi neo Marxis dan kritik pada neo Realis
Dalam pemikiran kritis, teori tidak hanya semata-mata berurusan dengan benar atau salah tentang suatu fakta. Melainkan mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam memberikan sebuah proses penyadaran kritis terhadap masyarakat, serta memilih bagian mana dari pemikiran-pemikiran Marx yang dapat menolong untuk memperjelas kondisi yang Marx sendiri tidak pernah lihat, membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern.
Asumsi yang  muncul dari teori kritis yang merupakan bagian dari neo Marxis adalah sifat dasar manusia adalah bukan sesuatu yang pasti atau tidak dapat dirubah, tapi terbentuk dari pengaruh lingkungan termasuk ideologi  dan kondisi sosial yang hadir pada saat itu, manusia sebagai individu dapat dikelompokkan berdasarkan identitas dan kepentingan, tidak ada fakta di dunia tanpa pengaruh dari nilai atas interpretasi dan penjelasan mengenai dunia itu sendiri, pengetahuan selalu dihubungkan dengan kepentingan manusia begitu pula dengan teknologi media yang digunakan untuk menyebarluaskan pengaruh kepentingan, termasuk penyebaran teori kritis sendiri, meskipun berbeda semua manusia pada dasarnya berbagi kepentingan dalam upaya emansipasi.[2]
Kritikan di sini sifatnya universal, karena mengkritik semua teori dan semua bidang serta mengkonstruksi pemikiran orang dengan sesuatu yang baru. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oleh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Dalam neo Realis dikenal konsep hegemoni dan anarki, sebenarnya tidak ada yang salah dengan konsep tersebut hanya saja kekurangan yang dikritisi di sini adalah anggapan bahwa semua itu adalah given yang statis, padahal kenyataannya Inggris yang dulunya hegemon bisa digantikan oleh AS, bahkan AS yang superpower pun bisa kalah oleh kekuatan Vietnam yang tingkat militer dan persenjataannya lebih rendah, dari peristiwa ini kita bisa mengamati bahwa anarki di sini penuh dengan persaingan, semua negara bisa melakukan apa saja untuk bertahan dan memperoleh kepentingan.
Perkembangan Frankfut pada awal 1950 sampai 1973 sempat memudar dengan meninggalnya Adorno tahun 1969 dan Horkheimer tahun 1973 dan kembali bangkit dengan munculnya Jurgen Habermas, seorang teoritisi terkemuka yang tetap melestarikan dan mengembangkan teori dan metodologi para pendahulunya. Habermas menganggap bahwa konstruksi tidak bisa dari atas tapi berdasarkan hasil konsensus bersama (demokrasi).

Kontribusi pada Hubungan Internasional
            Keberadaan teori kritis dalam menganalisa HI, menambah khazanah teori yang sudah ada, tidak hanya sekedar pemaparan atas realitas sosial tapi juga menganalisis dan memberikan solusi atas kritik yang dibuatnya, yaitu menyerukan perubahan dan menjadikan teori sebagai sesuatu yang bisa dipraktekkan. Dimanapun dan apapun teorinya, kapanpun bisa dijatuhkan asalkan ada pandangan yang rasional, logis, empiris, bersifat obyektif sekaligus subyektif serta bisa diterima dan dibuktikan oleh masyarakat luas. Namun pada saat mempelajari semua yang ada, posisikan bahwa teori itu dibuat untuk kepentingan manusia, agar lebih mudah memahaminya, bukan manusia untuk teori.
Referensi
Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster University Press
Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:Longman
http://www.multiply.com diakses 16 Mei 2009
Sargent,Tower.Lyman.1987.Idiologi-idiologi Politik Kontemporer. Jakarta : Erlangga


[1] Jonathan Bignell. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster University Press
[2] Norman Fairclough. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:Longman

RASIONALISME DAN KONSTRUKTIVISME: SAMA ATAU BEDA?



            Rasionalisme dan konstruktivisme merupakan paradigma dalam hubungan internasional, karena terdapat beberapa persinggungan antara keduanya, maka ada beberapa pakar yang menyamakannya. Untuk mengetahui apakah keduanya merupakan suatu hal yang berbeda, sama, saling berhubungan, atau memiliki hubungan linear, maka dibawah ini terdapat sejarah, definisi dan perkembangan diantara keduanya.
            Konstruktivisme mulai muncul sejak perang dingin, sebagai sebuah bentuk perlawanan intelektual atas neorealisme dan liberalisme, yang diperkenalkan oleh. Karl Deutch, Ernst Haas dan Hedley Bull. Di saat yang sama aliran konstruktivisme lainnya dengan tradisi fenomenologi mencoba mengangkat isu-isu kebijakan luar negeri dalam konteks konstruktivisme oleh Snyder, Bruck dan Sapin. Neorealisme dan  neoliberalisme di sini dianggap kurang memperhitungkan peran aktor dan faktor-faktor sosial  yang dikonstruksikan secara sosial dalam dunia politik. Asumsi dasar dari konstruktivisme lahir adalah manusia merupakan mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial, sehingga melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling memahami. Dalam proses ini, faktor identitas individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan maupun strukturasi. Strukturasi menjelaskan konsep relasi sosial dan memposisikan setiap individu dalam konteks struktur pelaku : dimana suatu individu bisa menjadi personal, lembaga, negara maupun institusi (Wendt: 2001). Salah satu penjelasan yang mungkin dapat membedakan konstruktivisme dengan teori lain di Ilmu Hubungan Internasional adalah pandangan mengenai norma. Jika realis menganggap hal tersebut sebagai sebuah keterpaksaan, neoliberal menganggap sebagai sebuah pembangunan superstruktur dari dasar yang penting. Sedangkan konstruktivisme melihat norma sebagai sebuah pemikiran kolektif yang membuat prilaku di akui sebagai bagian dari aktor (Jeffrey T. Checkel, 1998:327). Jika neorealisme dan neoliberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide.
Sedangkan rasional ialah suatu pemikiran yang masuk akal tetapi menggunakan aturan hukum alam. Dengan kata lain, menurut Kant, rasional ialah kebenaran akal yang diukur dengan hukum alam, yang intinya sesuatu yang rasional sesuai dan mengikuti hukum alam, maka yang tidak rasional  tidak mengikuti hukum alam dan kebenaran akal diukur dengan hukum alam. Dalam dinamika hubungan internasional selanjutnya, rasionalisme  hadir sebagai media penghubung dari liberalisme dan realisme, dimana rasionalisme menunjukkan keadaan dari tekanan anarki internasional akibat tidak adanya pemerintahan dunia, berbeda dengan keadaan negara yang menyediakan keamanan dan mengakui moralitas universal yang berkelanjutan untuk mengontrol egoisme kedaulatan negara tersebut ( Linklater: 1990), sehingga terjadi overlapping antara realisme dan liberalisme. Ini terlihat sejak 1980-an, realisme dan liberalisme mencapai satu titik kesamaan. “Essentially each looked at the same issue from different sides: that issue was the effect of international institutions on the behaviour of states in a situations of international anarchy (Smith: 1997).” Rasionalisme memang berangkat dari realisme yang sama-sama merupakan pemikiran klasik, yang menjelaskan tentang pengaruh   kontrol kekuatan dalam konteks anarki. Dimana kerjasama dan akomodasi menjadi sesuatu yang mungkin dan diatur dalam tatanan internasional, rasionalisme juga menekankan pada aturan internasional yang tidak bisa menjamin keadaan darurat akibat kekuatan yang agresif, kekuatan ini ditransformasikan ke arah masyarakat internasional yang adil dengan kekuasaan yang tidak berlebihan dan meniadakan anarki yang sudah ada. Namun, ada hal yang membedakannya dengan realisme, yaitu pemahaman tentang asumsi kebaikan dalam sifat manusia, yang menekankan pada prinsip kesejajaran dan kebebasan serta kebersamaan dari sebuah komunitas manusia,  telah meninggalkan  identitas  mereka diatas negara dan hubungan internasional (Linklater: 1990). Rasionalisme pun menghilangkan konsep sterility dari realisme dan konsep naivety serta exuberance dari teori idealisme. Rasionalisme berusaha untuk mencari pengertian bagaiman sebuah perbedaan antar negara itu dapat menjadi satu kesatuan dalam memandang sebuah prinsip dari aturan internasional yang adil.
Menurut Wendt, rasionalisme dan konstruktivisme dapat dibedakan dalam konteks metodologi, ontologi dan empirisme.
Tabel Perbandingan konstruktivisme dan rasionalisme

Perbedaan
Konstruktivisme
Rasionalisme
Metodologi
-    Mempertanyakan secara kritis dari mana datangnya identitas dan kepentingan tersebut
-    Identitas dan kepentingan bukan realitas melainkan bentukan struktur dan teori.
-    Menekankan pentingnya kekuatan Ide
-    Menjadikan kekuatan ide sangat berperan penting dalam kehidupan sosial dalam menentukan pilihan di antara perimbangan keberagaman sosial.
-    Institusi merupakan struktur sosial yang berfungsi untuk “sharing gagasan”

-    Mempertanyakan pengaruh lingkungan terhadap derajat perilaku aktor
-    Memperjuangkan identitas dan kepentinganya jika ada peluang
-    Kental dengan pendekatan Rational Choice dalam perilaku ekonomi borjuasi
-    Menekankan  pentingnya  kekuatan materi
-    Neorealist menyebut kepentingan negara berawal dari struktur materi yang anarkis.
-    Kekuatan ide direduksi untuk mengintervensi variabel antara kekuatan  materi dan hasil
-    Mengandalkan kekuatan materi dan kepentingan sendiri
Ontologi
-    Struktur dan intersubyektivitas
-    Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas dalam ruang sosial dan waktu tertentu
-    Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks sistem keamanan kolektif (a collective security system)
-    Individual-centrism
-    Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas individu semata.
-    Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks kekuatan yang berimbang (a balance of power)
Empirisme
-    Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh sistem struktur
-    Kepentingan dan identitas negara selalu dikonstruksikan dalam sistem HI

-    Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh kekuatan domestik.
-    Asumsi yang konstan atas gagasan empirisme dan alasan yang independen dalam sistem internasional
-     
Sumber : Wendt, Three Interpretation, dalam Social Theory of International Politics, hal. 33-37

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwasanya kedua paradigma ini berbeda, tapi ada persamaan dalam menerapkan konsep dasar dari realis, yaitu anarki. Konstruktivisme bisa dibilang merupakan bentuk revisi dan melengkapi rasionalisme yang sempit, karena dibatasi oleh hukum alam, sehingga belum bisa disebut pemikiran tingkat tinggi. Dalam proses konstruktivisasi, bisa saja terdapat ide atau fenomena yang masuk akal dan logis meskipun bertentangan dengan hukum alam, aspek inilah yang tidak dapat dijelaskan oleh rasionalisme. Namun rasionalisme ini juga cukup bagus dalam menjelaskan aspek pemikiran tradisional yang sering tidak rasional serta berusaha mencari jalan keluar agar dalam keanarkisan tersebut masih terdapat sebuah ketentraman, kedamaian dan keadilan.
Referensi
Checkel, T, Jeffrey. 1998. The Constructivist Turn in International Relations Theory. World Politics 50.2 (1998) 324-348. Portland State University.
Wendt, Alexander, 2001, “Social Theory of International Politics”, Cambridge University Press, Cet. III.
Wendt, Three Interpretation, dalam Social Theory of International Politics, hal. 33-37

Linklater, Andrew. Rationalism. dalam Burchill, Scott, Linklater, A. et al. 2005. Theories of International Relations, Third Edition. New York : Palgrave Macmillan
Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.