Kamis, 07 Oktober 2010

KERJASAMA DIANTARA NEGARA HEGEMON PASCA PERANG



Memahami kondisi saat ini dan masa depan akan lebih jelas jika dipahami melalui perspektif sejarah. Apa yang terjadi hari ini ataupun nanti merupakan konsekuensi logis dari urutan sejarah, sebab keberadaan hari ini dan situasi yang akan datang dimungkinkan karena kejadian masa lalu. Melalui asumsi tersebut maka di bawah ini akan dibahas lebih mendalam mengenai gaya pemikiran Koehane dari judul di atas. Keberadaan hegemon dalam lingkup kerjasama internasional tidak lepas dari sebuah tipe rezim yakni imposed order dimana keberadaan kekuatan yang mendominasi mutlak adanya, sehingga kerjasama yang terjalin akan berjalan stabil selama power dari negara yang merupakan hegemon tidak menurun. Syatrat untuk menjadi hegemon adalah paling tidak dapat mampu menyediakan non rival and non excludent  public good, mampu mengatasi gangguan dari negara free rider, mempengaruhi dan berkuasa atas negara sekitarnya, serta memiliki ketangguhan dalam bidang militer, ekonomi dan politik agar tata aturan (rezim) yang ada dapat terlaksana dengan baik, hal ini juga tak lepas dari dukungan institusi internasional seperti kata Keohane bahwasanya kerjasama internasional hanya membutuhkan peran hegemon di awal saja, namun selanjutnya dapat digantikan oleh institusi internasional terutama saat power hegemon menurun (Sorensen: 1999). Hal ini tidak seperti yang diramalkan dalam teori stabilitas hegemoni yang memprediksikan kerjasama internasional akan hancur bila berada dalam kondisi yang demikian.
Setelah Perang Dunia (PD) I Amerika Serikat (AS) sebenarnya sudah memenuhi semua kriteria untuk menjadi negara hegemon tapi sayangnya tidak berkomitmen untuk mengambil tanggung jawab tersebut, yang saat itu masih dipegang Inggris. Baru setelah PD II, AS mau menjadi hegemon sekaligus stabiliser. Namun, hegemonitas AS ternyata disaingi oleh Uni Soviet yang merupakan lawannya yang setara semasa perang dingin dan akhirnya menimbulkan keseimbangan kekuatan diantara keduanya. Selain persaingan dalam bidang militer, hegemon-hegemon tersebut juga melakukan kerjasama di bidang keuangan dan perdagangan untuk menebar pengaruh sehingga semakin banyak negara yang terlibat sebagai aliansi mereka dan tergantung dengan rezim yang mereka buat, seperti keberadaan GATT yang merupakan organisasi internasional sementara sampai terbentuknya ITO yang diusulkan untuk menjadi badan khusus PBB dalam mewujudkan perdagangan dunia yang tertib, tapi karena AS menolak pembentukan ITO maka GATT menjadi instrumen utama saat itu, yang saat ini digantikan oleh WTO. Fungsi GATT meliputi pengurangan tarif dan rintangan dagang lainnya, menyelesaikan persengketaan dagang, dan pembentukan peraturan kebijaksanaan dagang.
Selanjutnya adalah keberadaan IMF yang merupakan rezim keuangan yang dibentuk oleh Bretton Wood Monetary and Financial Conference tahun 1944 dengan tujuan untuk memajukan stabilitas nilai tukar mata uang, membentuk sistem pembayaran multilateral. Kekuatan voting dalam IMF ditentukan oleh besarnya sumbangan tiap negara anggotanya dan AS memiliki jumlah sumbangan lebih dari seperempatnya. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa hegemon begitu dominan dalam urusan kerjasama, sehingga pelanggaran Bretton Wood sistem oleh AS, konvertibilitas emas dan dolar, dapat dimaklumi oleh banyak kalangan, bahkan protes yang muncul dari Jerman dan Perancis pun terabaikan, karena pemikiran yang berkembang pada saat itu masih didominasi oleh konsep hubungan internasional dalam aliran realis yang menyatakan bahwa dalam hubungan antar-negara tidak ada musuh atau kawan permanen, yang ada hanyalah kepentingan politis dalam tatanan dunia yang anarki. Jadi rezim dalam kerjasama ada tapi bisa berubah manakala kebijakan politik yang menyangkut prinsip dan norma berubah.
Jadi, persoalan hegemoni kekuasaan internasional yang terjadi pada Dunia Post-Modern seperti saat ini tidak lagi dilakukan oleh suatu negara namun didasarkan pada kolektivitas negara melalui organisasi internasional. Organisasi internasional inilah yang banyak memiliki kekuatan untuk membangun keamanan dunia. Peran vital organisasi dunia saat ini bisa dibilang dipegang oleh WTO (World Trade Organization) dan IMF dan PBB. Kemudian, dimana letak AS dalam peta Dunia Post-Modern? Karakteristik dunia bukanlah ciptaan AS melainkan usaha murni masyarakat Eropa menanggapi sejarah yang telah mengajarkan bagaimana cara mengatasi konflik regional. Namun demikian, mengutip Cooper, AS berada dibalik terciptanya ‘Eropa Baru’ tersebut melalui sumbangannya dalam memberikan bantuan keamanan atas kondisi Eropa pada masa transisi menuju Dunia Post-Modern. AS memiliki pengeluaran militer sebanyak 38% pengeluaran militer dunia, artinya, kekuatan militer AS tidak tertandingi. Fakta ini membawa kesimpulan yang menyatakan bahwa tidak akan ada negara yang berani melawan AS dengan perang terbuka. AS merupakan kekuatan dengan strategi global yang berdiri secara independen. Semua negara takut, meminta perlindungan, membenci, dan tergantung kepada AS dan semua negara merancang strateginya dengan mengkaitkan AS. AS sebagai hegemon berinvestasi dalam membangun sumber daya melalui perjanjian internasional. Perjanjian tersebut dibuat AS untuk mengikat dirinya sendiri serta yang lain, untuk mengakui bahwa aktor atau negara lain setuju terhadap posisi AS sebagai hegemon yang memimpin. AS memiliki tiga penawaran jika mau bergabung dalam rezim berada dibawah kepemimpinanya, yaitu kestabilan sistem moneter internasional yang memfasilitasi perdagangan internasional dan pembayaran, penyediaan pasar terbuka untuk barang, dan akses harga minyak yang stabil.
Hal ini dapat dibuktikan oleh kebijakan AS atas monopoli minyak di Iran oleh Inggris, invasi Inggris, perancis dan Israel di Mesir yang lagi-lagi ditengarai akibat minyak, yang seolah-olah membela negara yang posisinya lemah padahal tak lebih dari pencapaian kepentingannya sendiri dengan dalih upaya rekonsiliasi dan perlindungan harga minyak untuk mencegah terjadinya krisis. Menurut Samuel Huntington, perang masa depan terkait dengan persoalan ’siapa kamu’ lebih dari ’apa yang kamu lakukan’ ataupun ’kamu berada disisi mana’. Pernyataan tersebut juga selaras dengan pemikiran  bahwasanya perdamaian masa depan juga terkait dengan persoalan ’siapa kamu’ dimana dunia akan terbagi menjadi dua sisi, ’mereka’ dan ’kita’. Namun, masih terdapat kesempatan ’kita’ untuk memutuskan ’siapa kita’ dan dengan cara yang sama, kita mendefisikan ’mereka’. Intinya dengan siapa kita bekerjasama dan kejelian dalam melihat siapa yang menjadi hegemon utama sangat menentukan seberapa berhasilnya suatu negara untuk bertahan dan mengamankan kepentingannya, karena kerjasama dapat menjadi persaingan yang kasat mata bilamana terjadi benturan kepentingan, apalagi bila melibatkan aspek hegemon yang lebih cenderung sewenang-wenang dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Seperti Amewrika Serikat misalnya, namun kehadiran negara-negara industri baru sperti Cina, Jepang, India dan Korea Selatan  tampaknya dapat menjadi penyeimbang sekaligus pengendur kepongahan AS yang selama ini terlalu lama  berbuat ’seenak udelnya sendiri’ dengan prinsipnya yang tidak bersama saya adalah musuh.
 Referensi
Artikel Hegemonic Cooperation in the Postwar Era”, by Robert O.Keohane
Jackson, Robert J. and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York.  Oxford University. Pp228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar