Sabtu, 02 Oktober 2010

KONFLIK SUDAN: MASALAH HAM ATAU MINYAK




            Sudan merupakan salah satu negara di benua Afrika, dan pembahasan mengenai konflik di dalamnya merupakan kelanjutan sekaligus mejadi salah satu contoh dari kompleksitas  hubungan internasional kawasan di Afrika pada pertemuan sebelumnya. Sebagaimana diketahui, dari segi sejarahnya dulu, mayoritas negara di kawasan ini pernah dijajah  dan dengan memahami sejarah Sudan khususnya, diharapkan akan diperoleh pemahaman mendasar tentang krisis Darfur dan seluruh persoalan terkini di Sudan. Apakah murni masalah konflik SARA, ataukah justru konflik tersebut sengaja dibuat untuk memuluskan kepentingan negara besar terutama Amerika Serikat (AS) dalam menguasai minyak?
  • Sejarah Sudan
Kemerdekaan negara ini diberikan oleh Inggris pada 1956. Sebelumnya, yang menguasai adalah Mesir pada 1899. Saat itu Mesir sendiri berada di bawah imperium Inggris. Inggris secara langsung menduduki Darfur pada 1916. Ketidakadilan pemberian bantuan terhadap daerah pedalaman telah membuat munculnya kesenjangan kesejahteraan rakyat Sudan secara keseluruhan. Penjajah Inggris lalu membuat sejumlah kebijakan dengan membagi Sudan menjadi dua, utara dan selatan. Sudan utara dikembangkan dan diisolasi dari Sudan wilayah selatan. Mereka melarang penduduk wilayah utara untuk masuk ke selatan. Di Selatan mereka mencegah penyebaran Islam dan tradisi Islam dan memperkenalkan misionaris Kristen. Inggris pun membangun kesadaran identitas penduduk Sudan wilayah selatan, bahwa mereka adalah penduduk asli Afrika (yang berbeda dengan Utara). Tidak hanya itu, Inggris pun membangun pola pemerintahan tradisional di bawah pimpinan para syaikh di Utara dan pemimpin suku di Selatan yang memberikan andil terhadap lemahnya sistem pemerintahan Sudan dikemudian hari. Mirip dengan konflik yang lain, masalah kemiskinan menjadi faktor yang menonjol dalam konflik sekarang ini. Setelah kemerdekaan, Sudan harus menghadapi perang sipil yang pertama tahun 1970, namun bisa diatasi oleh pemerintah. Tahun 1983 perang kembali pecah yang berakhir tahun 2003 dan AS diduga membantu pemberontak Kristen di sana.
  • Campur tangan asing
Keberadaan asing turut memberikan andil yang cukup besar dalam krisis Sudan. Distabilitas ini biasanya terjadi di daerah yang alamnya kaya dan strategis. Bisa dimengerti mengapa negara-negara besar ingin menguasai Darfur, karena minyak dari Darfur telah memberikan pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS kepada pemerintah Sudan, lebih dari setengah pendapatan total negara itu. Pemerintah Sudan juga sudah membuka hubungan erat dengan Cina. Sudan mensuplai hampir 10 persen impor minyak Cina. Sementara itu, AS memiliki kepentingan minyak di Chad, tetangga Sudan. Kekayaan minyak Darfur tentu saja menjadi pendorong besar bagi negara-negara haus minyak untuk menguasai daerah itu.
  • Analisa
Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Sudan selama ini sepertinya sengaja dilakukan untuk menutupi persaingan Cina dan Amerika merebut minyak Sudan. Persoalan minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras terhadap Sudan. Negara-negara Barat mengetahui kekayaan minyak yang ada di Barat dan Selatan Sudan. Di wilayah Barat Sudan ditemukan uranium selain gas dan emas. Memang, AS-lah yang menemukan sumber minyak itu dulunya. Namun, kemudian Sudan mengarahkan kerjasama di bidang perminyakan dan pertambangan kepada negara-negara Asia antara lain Cina dan Malaysia. Karena itu, wajar saja kalau AS kemudian berang.[1] Tuduhan HAM ini pun semakin kehilangan legitamasi moralnya, mengingat pelanggaran HAM berat yang justru dilakukan oleh AS di negara seperti Irak dan Afganistan dengan dalih penegakan demokrasi dan pembasmian teroris.
Seperti biasa, PBB pun digunakan oleh negara-negara kolonialis demi kepentingan penjajahan Barat. Rencana pengiriman 20 ribu pasukan PBB untuk menggantikan 7000 pasukan African Union dalam konflik ini harus dibaca dalam konteks memuluskan kepentingan AS dan sekutunya di Sudan. Intervensi asing adalah langkah pertama untuk menghilangkan pengaruh pemerintah Sudan di Darfur. Kasus Sudan ini kembali membuktikan, bahwa PBB tidak lain merupakan alat kolonial negara-negara Imperialis. Pengkotakan Sudan oleh Inggris pun sebenarnya disengaja berdasarkan SARA yang merupakan hal sensitif, tujuannya tak lain sebagai upaya adu domba sehingga sedikit kesalahpahaman antar individu bisa langsung direaksi oleh satu suku akibat chauvinisme yang masih tinggi. Sehingga dalam melakukan pengeksploitasian minyak akan berjalan mulus tanpa gangguan atau ijin dari masyarakat lokal yang terlalu sibuk dengan konfliknya, karena rasa persatuan dalam satu negara masih lemah.
Peran pemerintah dalam negeri Sudan semestinya tegas dalam menolak intervensi asing, untuk menyelesaikan konflik dalam negerinya. Selain itu juga harus bertindak adil dalam memperlakukan rakyat untuk meminimalisir terjadinya pemberontakan, bilama terjadi konflik SARA di Sudan khususnya dan Afrika pada umumnya, semestinya negara menjadi penengah atau fasilitator pendamai agar tidak sampai menimbulkan perang dengan banyak korban. Penangkapan atas presiden Sudan, Omar al-Bashir, oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dengan dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Darfur dilakukan adalah untuk menghentikan Bashir menghancurkan bukti-bukti serta membuat kejahatan baru, tapi menurut saya itu justru malah menimbulkan chaos akibat vacum of power. Logikanya, bagaimana mungkin negara terbelakang seperti Sudan menjadi hirauan internasional bila didalamnya tidak mengandung suatu hal yang potensial dan strategis, apalagi kalau bukan minyak. Bahkan rakyat Sudan sendiri mendemo ICC dan menudingnya  sebagai hasil konspirasi Barat. Kalau memang dalang pelanggaran HAM adalah presidennya sendiri pasti rakyat akan mendukung ICC, bukan malah sebaliknya.
Faktor sebenarnya penangkapan ini adalah akibat keberanian Bashir menolak bantuan internasional yang tentunya mencoreng wibawa AS dan PBB, selain itu juga karena Sudan lebih memilih bekerjasama dengan Cina yang notabenenya berseberangan dengan AS. Jadi meskipun, Presiden Omar Hasan al-Bashir, berusaha mengakomodasi kelompok di Sudan Selatan, yang Kristen. Nampaknya, ini masih belum memuaskan pihak Amerika. Bahkan, Amerika justru pernah melakukan serangan pemboman ke Ibukota Sudan, Khartoum, yang mengakibatkan puluhan orang tewas dan luka. Dengan bukti-bukti ini siapa sebenarnya yang lebih patut dipersalahkan?
Dengan adanya perintah penangkapan Bashir, otomatis itu membatasi gerakannya dalam melakukan kunjungan ke luar negeri terutama negara sekutu AS dan surat perintah itu boleh jadi akan semakin mengucilkan Bashir karena akan mempercepat kehancuran politiknya. Bukan hanya rakyatnya saja yang menentang keputusan ICC, tapi juga Liga Arab, mereka mengatakan sangat terganggu dengan perintah penangkapan itu. Negara-negara Uni Afrika menyatakan itu merusak upaya perdamaian. Keduanya ingin Dewan Keamanan PBB membekukan seluruh prosedur pengadilan terhadap pemimpin Sudan itu. Rusia dan Cina pun terus mendukung Sudan dari awal. Cina mendesak Dewan Keamanan PBB supaya mengikuti seruan negara-negara Arab dan Afrika untuk membekukan kasus ini, karena bagaimanapun Sudan tidak termasuk negara yang menandatangani statuta Roma yang salah satu pasalnya berbunyi bahwa setiap negara harus..... mau bekerjasama, tentunya itu secara sah tidak berlaku untuk Sudan. Apalagi ICC tidak punya kekuatan untuk melaksanakan sendiri penahanan itu karena tidak memiliki tentara (sehingga menggatungkan dukungan negara anggotanya), maupun untuk mengadili Bashir in absentia (Bashir tidak mau menyerahkan diri). Tiga faktor ini membuat Amerika kelabakan dan frustasi akibat ketidakmampuan administrasi dan PBB untuk menghentikan kekerasan di Darfur, yang terus-menerus digambarkan sebagai "genosida." Sehingga AS berupaya memberi sanksi baru seperti larangan perjalanan dan pembekuan aset serta memperluas embargo senjata maupun peralatan untuk industri minyak, seruan tindakan untuk menutup rekening partai mayoritas pemerintah termasuk milisi. Diplomat pun mengatakan bahwa mereka juga mencari cara untuk menerapkan larangan pada pemerintah dan melakukan serangan ofensif militer atas Darfur.[2]
Dari segi realita, sama sekali tidak dipungkiri bahwa memang benar, ada konflik di Sudan. Menurut banyak Badan Bantuan yang ada di sana, diperkirakan ratusan ribu orang terbunuh. Selain itu 2,5 juta melarikan diri sebagai pengungsi. Namun, banyak fakta yang tidak diungkap oleh media massa Barat dan masyarakat internasional apa yang sebenarnya terjadi disana, mulai dari intervensi AS dan adu domba negara besar lainnya. Lantas apa hak yang dimiliki AS sebagai pihak luar untuk ikut di dalamnya, bukankah dalam entitas negara berdaulat tidak boleh ikut campur atas urusan dalam negeri negara lain? Justru negara tersebutlah yang lebih tahu situasi dan akar penyebab konflik serta cara penyelesaiannya, keterlibatan pihak asing justru malah memperkeruh suasana apalagi tanpa seijin negara tuan rumah. Peran Uni Afrika sebenarnya diperlukan di sini karena merupakan organisasi regional yang sudah semestinya mengakomodir kepentingan negara anggotanya, Sudan dan Chad, selain itu juga stabilitas sebuah kawasan baru dapat diwujudkan bilamana stabilitas masing-masing negara anggota sudah aman dan terkendali.  Baik SARA maupun egoist delf interest of USA sama-sama dominan sebagai penyebab konflik, dan ini bisa ditanggulangi dengan kesadaran politik bebas-aktif atas intervensi negara-negara besar serta inisiatif kerjasama yang saling menguntungkan antar negara, dimana AS sebagai pengelola mendapatkan minyak sebagai kepentingannya dan Sudan meraih kemakmuran yang lebih layak sebagai negara penghasil, yang tentu saja baru bisa diraih bilamana semangat persatuan antar warga telah terjalin, yaitu dengan mengingat persamaan nasib saat dijajah dulu.
REFERENSI
http://www.Kapanlagi.com.// diakses tanggal 23 April 2009 pukul 14:00
http://www.Kompas.com.// diakses tanggal 23 April 2009 pukul 14:00
http://www.Radionetherlands.// diakses tanggal 23 April 2009 pukul 14:00
http://www.Washington Post.// diakses tanggal 23 April 2009 pukul 14:00
http://www.Csis.org// Africa Note number 5,2, and 24, Desember 2004



[1] http://www.Csis.org// Africa Note number 22, Desember 2004

[2] http://www.Csis.org// Africa Note, Desember 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar