Tampilkan postingan dengan label regionalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label regionalisme. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Oktober 2010

PERANAN CINA DAN AMERIKA DALAM REGIONALISME AMERIKA LATIN


            Satu benua bukan berarti satu kepentingan, ini dapat diamati dalam hubungan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Amerika Selatan (AL). Amerika Serikat yang merupakan motor penggerak neoliberalisme berkebalikan dengan sebagian negara di Amerika Latin yang mayoritas menganut sosialis. Pasca kemenangan para pemimpin anti-neoliberalisme di sebagian besar negeri di Amerika Latin, panggung politik dan ekonomi dunia unipolar saat ini mulai mendapat tandingan oleh aliansi antara Chavez-Venezuela; Castro-Cuba; Morales-Bolivia; Da Silva-Brazil; Correa-Ekuador; Ortega-Nicaragua bersama pasangnya gerakan rakyat yang menolak neoliberalisme di AL.
Sebuah kerjasama regional dan internasional yang baru pun dibentuk, yaitu ALBA selain MERCOSUR (Mercosur dibentuk tahun 1991 oleh Argentina, Brasil, Paraguay dan Uruguay guna memperkuat para anggotanya dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia serta memiliki pasar dan tarif impor bersama), SACN, Caricon dll. yang lebih dahulu hadir. Hal ini terwujud dengan bantuan tenaga medis, permodalan dan teknologi, pengolahan minyak mentah, bibit dan pupuk. Meskipun terdapat perbedaan karakter, konsistensi, dan derajat program-program ekonomi alternatif yang sedang dijalankan di AL, ada satu persamaan semangat yang diterima luas oleh sebagian besar pemimpin kiri AL dan gerakan rakyatnya, yakni Neoliberalisme bukan jalan keluar, dan dominasi AS harus segera diakhiri, dan sosialisme adalah solusi yang dirasa paling tepat. Dalam pencapaian usaha tersebut maka dilakukan kemandirian dibidang politik dan ekonomi (menolak NAFTA, AFTA maupun IMF), mengoptimalkan fungsi ALBA, menerapkan demokrasi partisipatoris dimana partisipasi rakyat yang selama termarginalkan mulai bangkit, melakukan pemerataan teknologi dan peningkatan sumber daya manusia (lewat pendidikan dan kesehatan gratis, teknologisasi pertanian, pembangunan pusat-pusat pengolahan minyak mentah, komputerisasi yang selama ini telah berjalan di Kuba), perlindungan lingkungan (pada tahap awal dengan pembangunan pusat-pusat energi alternatif dan penghematan konsumsi minyak), serta media massa pun tidak lagi dibatasi.
            Langkah AL ternyata tak berhenti sampai disitu, untuk mengimbangi dominasi AS, para menteri dari 33 negara Amerika Selatan dan Liga Arab berencana membentuk aliansi politik. Dalam rangka itu, para menteri dari negara-negara di dua wilayah tersebut bertemu di Brasil. Itu adalah pertemuan tertinggi pertama di antara dua kawasan yang relatif sama-sama membenci hegemoni Amerika Serikat. Para menteri akan memusatkan pembicaraan soal cara peningkatan hubungan ekonomi. Mereka akan membahas juga dominasi AS di segala bidang, mulai dari keinginan AS mengubah rezim di negara lain hingga ke globalisasi yang melindas dunia ketiga."Adalah penting bagi negara-negara di kawasan itu untuk memperlihatkan diri sebagai pihak yang telah dikibuli Barat," kata Amany Jamal, seorang pakar tentang perkembangan politik di Timur Tengah, di Princeton University.[1]
Pertemuan tersebut merupakan bagian dari upaya Presiden Silva untuk mendorong persatuan negara-negara berkembang. Hal itu penting untuk memperkuat barisan agar suara mereka didengar ketika membicarakan berbagai isu seperti reformasi PBB. Kekuatan negara berkembang juga perlu untuk menghadapi negara maju di World Trade Organization (WTO), untuk memaksa negara maju menghapus subsidi pertanian. Subsidi bernilai miliaran dollar AS di negara maju telah membuat produk-produk pertanian negara berkembang terhambat masuk ke negara maju. Pertemuan itu juga akan dijadikan sebagai landasan awal pembentukan blok perdagangan bebas di dua kawasan. Para pejabat Brasil juga mengatakan pertemuan itu akan memusatkan pembicaraan pada cara pemberantasan kemiskinan dan kelaparan. Pertemuan itu juga dijuluki sebagai sebuah langkah untuk memantapkan kerja sama "Selatan-Selatan". Tujuannya adalah agar memperkuat blok "Selatan-Selatan" menghadapi dominasi negara-negara maju di segala bidang dalam hubungan internasional. Ini terkait dengan teori Wallerstein bahwasanya setiap negara berpeluang untuk menjadi lebih maju, yang termasuk kategori ” selatan/periphery ” bisa menjadi ”utara/core maupun semiperypheri” meskipun secara geografis tetap di selatan.
Negara-negara di Amerika Selatan juga sudah melakukan pendekatan agresif dengan China dan negara lain di Asia.[2] Hal itu bertujuan mengurangi ketergantungan pada negara-negara maju, dalam hal ini adalah negara Barat. China sudah sepakat membeli berbagai produk dari Brasil dan membeli tembaga dari Argentina sebagai wujud konkret kerjasama timbal balik yang menguntungkan kedua negara. Amerika Serikat pun tak tingga diam apalagi dalam pemerintahan baru Obama, yang dari awal ingin melakukan normalisasi hubungan dengan semua pihak yang bersitegang dengan AS pada pemerintahan Bush, salah satunya adalah negara dan organisasi regionalisme di Amerika Selatan. "Kita berkompetisi untuk meraih perhatian dan hubungan dengan sedikitnya pihak Rusia, China dan Iran," ujar Hillary, dan AS memiliki kepentingan dengan negara manapun. Hillary mengatakan Washington juga mengupayakan hubungan lebih baik dengan Presiden Bolivia Evo Morales yang mengusir duta besar AS pada September 2008, menudingnya berkonspirasi melawan pemerintah Bolivia sehingga AS membalasnya dengan langkah sama. AS juga menginginkan hubungan lebih baik dengan Presiden Ekuador Rafael Correa dan juga Nikaragua dan bekas pemimpin gerilyanya Presiden Daniel Ortega, katanya.[3]
Obama juga telah mengatakan ia ingin "memulihkan" hubungan dengan pemerintahan komunis di Kuba. Bulan lalu, ia mencabut larangan atas warga Amerika keturunan Kuba yang memungkinkan mereka pergi secara bebas ke Kuba dan mengirim uang kepada saudara-saudara mereka. Tapi embargo perdagangan AS yang diberlakukan atas Kuba setelah revolusi Fidel Castro tahun 1959 akan tetap berlaku. Ia juga mengatakan Presiden Kuba Raul Castro dan saudaranya Fidel Castro harus menunjukkan perubahan atas beberapa isu seperti tahanan politik dan hak asasi manusia.  Dari penjabaran kondisi kawasan AL, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan keberadaan negara kita, Indonesia. Ada beberapa hal yang bisa dipetik, yaitu semangat penguatan integrasi kawasan, walaupun di Asia tenggara hanya ada satu tapi paling tidak keberadaannya dapat optimal bila semua negara anggota berpartisipasi aktif di dalamnya, untuk itu perlu dilakukan mekanisme binding agar nilai-nilai yang ada di ASEAN yang memiliki kesamaan identitas dipatuhi serta batasan pengutamaan kepentingan negara sendiri daripada kepentingan kawasan. Selain itu negara-negara di AL dapat bersatu menentang dominasi asing, berani mengatakan tidak pada ketergantungan ekonomi, jeratan hutang IMF dan Bank Dunia. Hal ini sebenarnya pernah dilakukan Presiden Soekarno beberapa puluh tahun lalu, beranikah kebijakan seperti ini terulang lagi? Yang perlu digaris bawahi cukup semangat nasionalismenya, tanpa harus merubah demokrasi Pancasila yang kita anut menjadi sosialisme, karena bagaimanapun juga Indonesia merupakan anggota non Blok. Apalagi sosialisme murni sebenarnya tidak ada bahkan tidak relevan lagi untuk diterapkan saat ini, mengingat hubungan internasional antar negara, antar kawasan , internasional maupun global semakin dinamis dan rumit sehingga setiap negara butuh berinteraksi (bukan intervensi) dan tidak lagi menutup diri untuk memenuhi kebutuhannya dalam rangka survival.
Referensi
Anonim,2007, Mercosur regional strategy paper.pdf,European Comission
http://www.antaranews.com diakses 7 Mei 2009

"Mercosur." Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2007.
Nogueira, Uziel.,2007, China-Latin America Relations In The XXI Century: Partners Or Rivals?.pdf,CRIS
Robinson, David J. "South America." Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2007.
Vaillant, Marcel.,2005, Mercosur: Southern Integration under Construction.pdf

           


[1] http://www.antaranews.com diakses 7 Mei 2009
[2] Uziel Nogueira. 2007. China-Latin America Relations In the XXI Century: Partners or Rivals?.pdf, CRIS
[3] Ibid

KONFLIK SUDAN: MASALAH HAM ATAU MINYAK




            Sudan merupakan salah satu negara di benua Afrika, dan pembahasan mengenai konflik di dalamnya merupakan kelanjutan sekaligus mejadi salah satu contoh dari kompleksitas  hubungan internasional kawasan di Afrika pada pertemuan sebelumnya. Sebagaimana diketahui, dari segi sejarahnya dulu, mayoritas negara di kawasan ini pernah dijajah  dan dengan memahami sejarah Sudan khususnya, diharapkan akan diperoleh pemahaman mendasar tentang krisis Darfur dan seluruh persoalan terkini di Sudan. Apakah murni masalah konflik SARA, ataukah justru konflik tersebut sengaja dibuat untuk memuluskan kepentingan negara besar terutama Amerika Serikat (AS) dalam menguasai minyak?
  • Sejarah Sudan
Kemerdekaan negara ini diberikan oleh Inggris pada 1956. Sebelumnya, yang menguasai adalah Mesir pada 1899. Saat itu Mesir sendiri berada di bawah imperium Inggris. Inggris secara langsung menduduki Darfur pada 1916. Ketidakadilan pemberian bantuan terhadap daerah pedalaman telah membuat munculnya kesenjangan kesejahteraan rakyat Sudan secara keseluruhan. Penjajah Inggris lalu membuat sejumlah kebijakan dengan membagi Sudan menjadi dua, utara dan selatan. Sudan utara dikembangkan dan diisolasi dari Sudan wilayah selatan. Mereka melarang penduduk wilayah utara untuk masuk ke selatan. Di Selatan mereka mencegah penyebaran Islam dan tradisi Islam dan memperkenalkan misionaris Kristen. Inggris pun membangun kesadaran identitas penduduk Sudan wilayah selatan, bahwa mereka adalah penduduk asli Afrika (yang berbeda dengan Utara). Tidak hanya itu, Inggris pun membangun pola pemerintahan tradisional di bawah pimpinan para syaikh di Utara dan pemimpin suku di Selatan yang memberikan andil terhadap lemahnya sistem pemerintahan Sudan dikemudian hari. Mirip dengan konflik yang lain, masalah kemiskinan menjadi faktor yang menonjol dalam konflik sekarang ini. Setelah kemerdekaan, Sudan harus menghadapi perang sipil yang pertama tahun 1970, namun bisa diatasi oleh pemerintah. Tahun 1983 perang kembali pecah yang berakhir tahun 2003 dan AS diduga membantu pemberontak Kristen di sana.
  • Campur tangan asing
Keberadaan asing turut memberikan andil yang cukup besar dalam krisis Sudan. Distabilitas ini biasanya terjadi di daerah yang alamnya kaya dan strategis. Bisa dimengerti mengapa negara-negara besar ingin menguasai Darfur, karena minyak dari Darfur telah memberikan pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS kepada pemerintah Sudan, lebih dari setengah pendapatan total negara itu. Pemerintah Sudan juga sudah membuka hubungan erat dengan Cina. Sudan mensuplai hampir 10 persen impor minyak Cina. Sementara itu, AS memiliki kepentingan minyak di Chad, tetangga Sudan. Kekayaan minyak Darfur tentu saja menjadi pendorong besar bagi negara-negara haus minyak untuk menguasai daerah itu.
  • Analisa
Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Sudan selama ini sepertinya sengaja dilakukan untuk menutupi persaingan Cina dan Amerika merebut minyak Sudan. Persoalan minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras terhadap Sudan. Negara-negara Barat mengetahui kekayaan minyak yang ada di Barat dan Selatan Sudan. Di wilayah Barat Sudan ditemukan uranium selain gas dan emas. Memang, AS-lah yang menemukan sumber minyak itu dulunya. Namun, kemudian Sudan mengarahkan kerjasama di bidang perminyakan dan pertambangan kepada negara-negara Asia antara lain Cina dan Malaysia. Karena itu, wajar saja kalau AS kemudian berang.[1] Tuduhan HAM ini pun semakin kehilangan legitamasi moralnya, mengingat pelanggaran HAM berat yang justru dilakukan oleh AS di negara seperti Irak dan Afganistan dengan dalih penegakan demokrasi dan pembasmian teroris.
Seperti biasa, PBB pun digunakan oleh negara-negara kolonialis demi kepentingan penjajahan Barat. Rencana pengiriman 20 ribu pasukan PBB untuk menggantikan 7000 pasukan African Union dalam konflik ini harus dibaca dalam konteks memuluskan kepentingan AS dan sekutunya di Sudan. Intervensi asing adalah langkah pertama untuk menghilangkan pengaruh pemerintah Sudan di Darfur. Kasus Sudan ini kembali membuktikan, bahwa PBB tidak lain merupakan alat kolonial negara-negara Imperialis. Pengkotakan Sudan oleh Inggris pun sebenarnya disengaja berdasarkan SARA yang merupakan hal sensitif, tujuannya tak lain sebagai upaya adu domba sehingga sedikit kesalahpahaman antar individu bisa langsung direaksi oleh satu suku akibat chauvinisme yang masih tinggi. Sehingga dalam melakukan pengeksploitasian minyak akan berjalan mulus tanpa gangguan atau ijin dari masyarakat lokal yang terlalu sibuk dengan konfliknya, karena rasa persatuan dalam satu negara masih lemah.
Peran pemerintah dalam negeri Sudan semestinya tegas dalam menolak intervensi asing, untuk menyelesaikan konflik dalam negerinya. Selain itu juga harus bertindak adil dalam memperlakukan rakyat untuk meminimalisir terjadinya pemberontakan, bilama terjadi konflik SARA di Sudan khususnya dan Afrika pada umumnya, semestinya negara menjadi penengah atau fasilitator pendamai agar tidak sampai menimbulkan perang dengan banyak korban. Penangkapan atas presiden Sudan, Omar al-Bashir, oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dengan dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Darfur dilakukan adalah untuk menghentikan Bashir menghancurkan bukti-bukti serta membuat kejahatan baru, tapi menurut saya itu justru malah menimbulkan chaos akibat vacum of power. Logikanya, bagaimana mungkin negara terbelakang seperti Sudan menjadi hirauan internasional bila didalamnya tidak mengandung suatu hal yang potensial dan strategis, apalagi kalau bukan minyak. Bahkan rakyat Sudan sendiri mendemo ICC dan menudingnya  sebagai hasil konspirasi Barat. Kalau memang dalang pelanggaran HAM adalah presidennya sendiri pasti rakyat akan mendukung ICC, bukan malah sebaliknya.
Faktor sebenarnya penangkapan ini adalah akibat keberanian Bashir menolak bantuan internasional yang tentunya mencoreng wibawa AS dan PBB, selain itu juga karena Sudan lebih memilih bekerjasama dengan Cina yang notabenenya berseberangan dengan AS. Jadi meskipun, Presiden Omar Hasan al-Bashir, berusaha mengakomodasi kelompok di Sudan Selatan, yang Kristen. Nampaknya, ini masih belum memuaskan pihak Amerika. Bahkan, Amerika justru pernah melakukan serangan pemboman ke Ibukota Sudan, Khartoum, yang mengakibatkan puluhan orang tewas dan luka. Dengan bukti-bukti ini siapa sebenarnya yang lebih patut dipersalahkan?
Dengan adanya perintah penangkapan Bashir, otomatis itu membatasi gerakannya dalam melakukan kunjungan ke luar negeri terutama negara sekutu AS dan surat perintah itu boleh jadi akan semakin mengucilkan Bashir karena akan mempercepat kehancuran politiknya. Bukan hanya rakyatnya saja yang menentang keputusan ICC, tapi juga Liga Arab, mereka mengatakan sangat terganggu dengan perintah penangkapan itu. Negara-negara Uni Afrika menyatakan itu merusak upaya perdamaian. Keduanya ingin Dewan Keamanan PBB membekukan seluruh prosedur pengadilan terhadap pemimpin Sudan itu. Rusia dan Cina pun terus mendukung Sudan dari awal. Cina mendesak Dewan Keamanan PBB supaya mengikuti seruan negara-negara Arab dan Afrika untuk membekukan kasus ini, karena bagaimanapun Sudan tidak termasuk negara yang menandatangani statuta Roma yang salah satu pasalnya berbunyi bahwa setiap negara harus..... mau bekerjasama, tentunya itu secara sah tidak berlaku untuk Sudan. Apalagi ICC tidak punya kekuatan untuk melaksanakan sendiri penahanan itu karena tidak memiliki tentara (sehingga menggatungkan dukungan negara anggotanya), maupun untuk mengadili Bashir in absentia (Bashir tidak mau menyerahkan diri). Tiga faktor ini membuat Amerika kelabakan dan frustasi akibat ketidakmampuan administrasi dan PBB untuk menghentikan kekerasan di Darfur, yang terus-menerus digambarkan sebagai "genosida." Sehingga AS berupaya memberi sanksi baru seperti larangan perjalanan dan pembekuan aset serta memperluas embargo senjata maupun peralatan untuk industri minyak, seruan tindakan untuk menutup rekening partai mayoritas pemerintah termasuk milisi. Diplomat pun mengatakan bahwa mereka juga mencari cara untuk menerapkan larangan pada pemerintah dan melakukan serangan ofensif militer atas Darfur.[2]
Dari segi realita, sama sekali tidak dipungkiri bahwa memang benar, ada konflik di Sudan. Menurut banyak Badan Bantuan yang ada di sana, diperkirakan ratusan ribu orang terbunuh. Selain itu 2,5 juta melarikan diri sebagai pengungsi. Namun, banyak fakta yang tidak diungkap oleh media massa Barat dan masyarakat internasional apa yang sebenarnya terjadi disana, mulai dari intervensi AS dan adu domba negara besar lainnya. Lantas apa hak yang dimiliki AS sebagai pihak luar untuk ikut di dalamnya, bukankah dalam entitas negara berdaulat tidak boleh ikut campur atas urusan dalam negeri negara lain? Justru negara tersebutlah yang lebih tahu situasi dan akar penyebab konflik serta cara penyelesaiannya, keterlibatan pihak asing justru malah memperkeruh suasana apalagi tanpa seijin negara tuan rumah. Peran Uni Afrika sebenarnya diperlukan di sini karena merupakan organisasi regional yang sudah semestinya mengakomodir kepentingan negara anggotanya, Sudan dan Chad, selain itu juga stabilitas sebuah kawasan baru dapat diwujudkan bilamana stabilitas masing-masing negara anggota sudah aman dan terkendali.  Baik SARA maupun egoist delf interest of USA sama-sama dominan sebagai penyebab konflik, dan ini bisa ditanggulangi dengan kesadaran politik bebas-aktif atas intervensi negara-negara besar serta inisiatif kerjasama yang saling menguntungkan antar negara, dimana AS sebagai pengelola mendapatkan minyak sebagai kepentingannya dan Sudan meraih kemakmuran yang lebih layak sebagai negara penghasil, yang tentu saja baru bisa diraih bilamana semangat persatuan antar warga telah terjalin, yaitu dengan mengingat persamaan nasib saat dijajah dulu.
REFERENSI
http://www.Kapanlagi.com.// diakses tanggal 23 April 2009 pukul 14:00
http://www.Kompas.com.// diakses tanggal 23 April 2009 pukul 14:00
http://www.Radionetherlands.// diakses tanggal 23 April 2009 pukul 14:00
http://www.Washington Post.// diakses tanggal 23 April 2009 pukul 14:00
http://www.Csis.org// Africa Note number 5,2, and 24, Desember 2004



[1] http://www.Csis.org// Africa Note number 22, Desember 2004

[2] http://www.Csis.org// Africa Note, Desember 2004

ADA APA DENGAN REGIONALISME DI TIMUR TENGAH?

       Keberadaan judul artikel di atas justru menimbulkan pertanyaan baru yang mendasar yaitu sudahkah tercipta regionalisme di Timur Tengah? Karena yang ada selama ini yang menonjol masih sebatas pada kerjasama regional, belum mengarah pada hakikat dari regionalisme sendiri yang sampai saat ini masih diperdebatkan dimana suatu regionalisme tidak selalu menekankan faktor kedekatan geografis semata (Timur Tengah adalah kawasan negara penghasil minyak, masyarakatnya beragama Islam, penghasil minyak dan daerah gurun), tapi lebih dari itu. Menurut Andrew Hurrell paling tidak regionalisme harus memenuhi kriteria: social, economic,  political, and  organizational cohesiveness serta adanya saling ketergantungan atau interdependensi antara satu negara dengan negara lainnya.[1] Sehingga disadari atau tidak  regionalisme merupakan konstruksi sosial bukannya suatu doktrin atau dogma yang tak bisa diperdebatkan.

Regionalisasi atau regionalisme?
            Melihat bahwa regionalisme sebagai suatu konsep masih debatable sehingga kemungkinan besar akan berkembang dan semakin meluas maka terdapat kategori- kategori dari untuk lebih memudahkan analisa terkait aspek teori dengan tataran praksisnya.[2] Pertama, Regionalisasi yaitu perkembangan integrasi sosial dalam sebuah kawasan yang didalamnya melibatkan proses interaksi tak langsung antara ekonomi dan sosial. Kondisi ini sebenarnya telah terbukti dengan adanya interaksi aspek sosial dan ekonomi antara daerah kekuasaan Pan Islamisme klasik seperti bagaimana kerjasama perdagangan para kabilah dagang bangsa Arab dan Persia, Jazirah Arab dengan Asia Tenggara khususnya Indonesia sehingga kondisi ini mendukung untuk terciptanya regionalisme di era modern sekarang. Kedua, Kesadaran kewilayahan dan identitas, merupakan sekumpulan persepsi akan kepemilikan terhadap komunitas partikularistik dan biasanya menyandarkan pada faktor-faktor internal tapi bisa pula merupakan aksi bersama terhadap ancaman atau tantangan eksternal seperti munculnya gerakan revivalisme Islam sebagai respon terhadap pengaruh dominan Barat atau terbentuknya OKI yang merupakan terhadap Israel karena mencoba menghancurkan Masjid Suci Al- Aqsha dan pendudukan bangsa Yahudi tersebut atas tanah suci Palestina. Ketiga, kerjasama antar negara dalam satu kawasan, merupakan inisiatif dari pemerintah untuk membentuk suatu organisasi regionalisme. Sebagai ajang penyelesaian masalah bersama (terutama masalah- masalah seperti isu Palestina dan kerjasama ekonomi yang selama ini hanya berjalan di atas kertas dan lebih bersifat bilateral daripada kolektif). Keempat, promosi penggabungan kawasan negarayang menitikberatkan pada kerjasama dalam aspek ekonomi. Di sini dibuat suatu aturan untuk membahas batas-batas antar negara guna memperlancar arus barang, jasa, modal dan mobilitas warganya. Aspek ini meliputi dimensi scope (keluasan cakupan isu yang diperbincangkan), depth ( tingkat harmonisasi politik antar negara yang melakukan bekerjasama), institutionalisasi (eksistensi kesekretariatan organisasi formal yang dibentuk, misal sekretariat OKI di Kairo, Mesir sebagai salah satu negara pusat di dunia Islam) dan sentralisasi (derajat otoritas yang efektif dalam organisasi dan aspek ini dalam dunia Islam terutama dalam tubuh OKI masih lemah). Kelima, kohesi regional yaitu kombinasi dari keempat proses sebelumnya tersebut menjadi sebuah unit regional yang kohesif dan terkonsolidasikan. Kohesi inilah sepertinya yang belum tampak dan menjadi penghambat ketidak sempurnaan regionalisme Timur tengah, karena adanya egoisme masing-masing negara dalam mengutamakan kepentingan nasional masing-masing untuk melanggengkan status quo, seperti Arab Saudi yang merupakan negara pengekspor minyak terbesar dunia dan Iran dengan proliferasi nuklirnya untuk mewujudkan ambisi sebagai penguasa regional Timur Tengah. Faktor ini menjadi tantangan terbesar yang harus segera dijawab negara- negara Islam untuk segera membenahi organisasi yang sudah terbentuk menjadi lebih merepresentasikan terciptanya suatu integrasi kawasan yang murni sebagaimana hakikatnya di atas serta menunjukkan pada dunia bahwa Timur Tengah lebih dari sekedar regionalisasi.
Bagaimana Dinamika Regionalisme Timur Tengah dan Interaksinya di Dunia Internasional?
            Membahas lebih jauh mengenai dinamika regionalisme Timur Tengah, sepertinya tak lepas dari isu geopolitik yang terjadi disana: batas internasional, senjata pemusnah massal, penyelundupan senjata, migrasi dan pengungsi, penjualan narkotika, minyak, air, ketahanan pangan, pan-Arabisme, fundamentalisme, terorisme dan konflik.[3] Pada era perang dunia hingga perang dingin, Timur Tengah tak pernah luput dari masalah sengketa batas internasional. Perang Teluk (1991) antara Irak dan Kuwait memberikan kita salah satu contoh tentang pentingnya penjaga keamanan internasional untuk mengamankan eksistensi negara tersebut. Solusi bagi masalah kawasan ini setidaknya ada dua, pertama adalah fusion atau bergabung menjadi satu, dan kedua adalah fission yaitu berpisah. Pada kasus fusion kita bisa melihat di negeri Yaman, sedangkan pemisahan atau fission bisa dilihat dari negara Israel dan Palestina dengan konsepsi solusi dua negara.
            Masalah kedua adalah tentang senjata pemusnah massal seperti nuklir, senjata kimia dan senjata biologi. Israel, seperti kesaksian dari mantan teknisi nuklir Israel Mordechai Vanunu, termasuk negara yang membuat nuklir, begitu juga dengan Iran, Libya, dan Pakistan. Isu lain berkenaan dengan migrasi dan pengungsi. PBB mengestimasikan sekitar 20 juta pengungsi pada akhir abad keduapuluh. Cohen (1995) menyebut bahwa migrasi orang Yahudi dari Eropa ke tanah Palestina adalah salah satu migrasi yang besar di Timur Tengah.[4] Kaum Zionis Politik merencanakan bahwa migrasi itu adalah suatu homecoming, “pulang kembali” ke tanah yang telah dijanjikan oleh Tuhan kepada mereka setelah sebelumnya mereka tercerai-berai. Masalah lain adalah tentang penjualan narkoba. Narkoba adalah elemen kunci dalam agenda politik makro. Ini telah menjadi isu internasional. Bahkan, kontrol dari pembuatan hingga penjualan barang tersebut telah mencakup negara-negara di dunia. Keuntungan yang diperoleh dari bisnis ini juga sangat fenomenal dan menjanjikan. Isu lainnya adalah tentang minyak dimana Timur Tengah sebagai tambang emas hitam dunia. Semua negara sampai saat ini, sangat membutuhkan minyak untuk industri maupun transportasi. Akibat banyaknya minyak, maka konflik antar sesama negara Timur Tengah pun terjadi, seperti antara Irak dan Kuwait. Begitu juga dengan kepentingan negara-negara besar seperti Amerika yang ingin menguasai minyak di kawasan tersebut. Semestinya negara produsen minyak menyiapkan diri untuk meningkatkan pertahanan barangkali ada negara lain yang ingin menguasai sumber minyak di negaranya bukan malah puas dengan kemakmuran yang merupakan hasil dari penjualan minyak, seperti negara Arab Saudi, yang menurut saya terlalu menggantungkan diri pada sokongan Amerika Serikat padahal sebenarnya justru malah dimanfaatkan oleh MNC dari AS seperti Exxon, Texaco, dan Aramco.[5] Lainnya adalah adalah tentang Pan-Arabisme atau nasionalisme Arab. Gerakan ini adalah untuk penyatuan negara-negara Arab untuk menjadi sebuah kekuatan besar dalam dunia politik. Kesamaan bahasa, geografis, dan budaya yang membuat gerakan ini dibuat. Kata kunci dari gerakan ini adalah negara-negara berbahasa Arab, yang kemudian menjadi unsur penyatu bagi negara-negara Timur Tengah. Selain itu, adalah karena mereka memiliki agama yang sama, yaitu Islam. Hal ini memicu timbulnya masalah fundamentalisme diantara Kristen, Yahudi dan Islam. Namun dari segi politik, fundamentalisme kaum Zionis Yahudi adalah lebih efektif karena berhasil mendirikan yang the state of Israel di Timur Tengah yang sampai saat ini kedaulatannya masih kontroversial. Ini cukup beralasan karena, dalam kalangan fundamentalis Islam kerap mengalami kegagalan internal ketika hendak mendirikan sebuah gerakan transnasional, seperti nasionalisme Arab, atau pan-Islamisme-nya Jamaluddin al-Afghani. Persoalan Timur Tengah sendiri yang tidak bisa bersatu karena egoisme ingin menjadi pemimpin adalah masalah tersendiri yang membuat negara gerakan Pan-Arabisme atau gerakan negara-negara Timur Tengah tidak memberi arti banyak bagi umat Islam, sebutlah kasus Palestina yang belum juga merdeka padahal OKI telah lama didirikan oleh negara-negara Arab untuk menyelesaikan masalah Palestina.
Masalah terakhir sekaligus menjadi topik yang paling hangat dalam perbincangan dunia internasional yaitu terorisme. Dewasa ini kerap ditujukan pada gerakan-gerakan Islam, padahal dalam agama lain juga ditemukan adanya terorisme seperti yang dilakukan Timothy McVeigh, pengebom gedung federal di Oklahoma City pada 1995 yang menewaskan 168 orang, namun seolah kasus ini sengaja untuk diabaikan. Gerakan Hamas di Palestina dengan infadah-nya kerap juga disebut sebagai teroris. Padahal, sejatinya definisi teroris yang belum paten juga berimplikasi pada tindakan Israel, juga Amerika yang menyerang Afghanistan, juga Irak adalah tindakan terorisme negara walaupun dengan dalih untuk menumbangkan rezim Sadam Husein yang otoriter dan terjadinya pelanggaran HAM. Namun, mengapa kondisi non- demokrasi yang juga terjadi di Arab  Saudi dibiarkan begitu saja, begitu pula aksi ”ganas” Israel atas Palestina yang mengorbankan puluhan ribu nyawa justru malah dibela oleh AS yang notabenenya adalah hegemon yang sekaligus mengaku atau justru malah mengaku-ngaku polisi dunia. Standar kebijakan ganda AS ini memang patut dipertanyakan?
Analisa dan kesimpulan
Di tengah konflik dan kekerasan bersenjata yang kini berkecamuk di Timur Tengah, khususnya karena campur tangan Barat, tampaknya sulit membangun sebuah dialog peradaban yang konstruktif akibat benturan antar peradaban dan kepentingan. Apalagi mewujudkan regionalisme dengan kohesi regional yang komperehensif, kecuali dengan adanya semangat untuk bersatu dan mengutamakan kepentingan regional diatas egoisme kepentingan nasional masing-masing negara di Timur Tengah. Semestinya Arab Saudi yakin akan power yang dimilikinya dan keefektivan organisasi regional seperti OKI dan Liga Arab[6] (sebuah organisasi yang terdiri dari negara- negara Arab untuk memajukan kerja sama politik antara negara anggota, menyelesaikan sengketa-sengketa antar negara Arab, menggalakkan dan mengawasi kerja sama di bidang ekonomi, komunikasi, kebudayaan, sosial dan lainnya) yang dalam perkembangannya menjadi wadah penyusunan kerja sama yang mendukung integritas ekonomi di antara negara anggota di Timur Tengah untuk melawan dominasi Amerika Serikat, bukan malah menjadi sekutu AS yang jelas-jelas menganiaya saudara sekawasannya sendiri, Palestina, melalui Israel ataupun tangan AS sendiri, Irak dan Afganistan. Begitupun dengan Iran, semestinya menurunkan arogansi atas ambisinya sebagai penguasa, demi kebaikan bersama. Bila memiliki kapabilitas ekonomi, politik serta militer yang tangguh dengan sendirinya, tanpa memaksakan, semua negara di Timur Tengah akan mengakui kehebatannya.Walapun memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak ada satu kawasanpun yang tidak dipengaruhi tekanan dari luar (teori sistem) dalam tatanan dunia yang anarki dimana pengaruh hegemon masih mendominasi dan sering melanggar aturan bahkan hukum internasional. Apalagi tidak adanya jaminan negara demokrasi selalu terbebas dari konflik dan menurut pengamatan saya konsep demokrasi dan penegakan HAM didefinisikan menurut kepentingan negara hegemon sendiri. Jadi prospek regionalisme ke depannya, 100% bergantung pada mau tidaknya negara di Timur Tengah untuk bersatu lebih dari sekedar persepsi kedekatan geografis, dimana kebaikan dan keuntungan dari organisasi regional diharapkan akan mengakomodir semua kepentingan nasional anggotanya.
Referensi
Anderson,Ewan W. The Middle East Geography & Geopolitics
Fawcett, Louise, and Andrew Hurrel. 2002. Regionalism in World Politics. Oxford University Press. pp.7-36
Göteborg University: Department of Peace and Development Research

Hayati, Sri dan Ahmad Yani. 2007. Geografi Politik. Bandung: Refika Aditama. Hal 6
Lindholm, Helena -Schulz and Michael Schulz The Middle East - exception or embryonic regionalism?



[1] Louise Fawcett and Andrew Hurrel. 2002. Regionalism in World Politics. Oxford University Press. pp.7-36
[2] Ibid

[3] Ewan W. Anderson, The Middle East Geography & Geopolitics
[4] Sri Hayati dan Ahmad Yani. 2007. Geografi Politik. Bandung: Refika Aditama.
[5] Helena Lindholm-Schulz and Michael Schulz The Middle East - exception or embryonic regionalism? Göteborg University: Department of Peace and Development Research hal 6








MODEL INTEGRASI KAWASAN UNI EROPA

          Keberhasilan Uni Eropa (UE) dalam melakukan integrasi kawasan dapat diamati melalui proses perluasan keanggotaan UE yang terus berlangsung dan pada akhirnya menjadikan keanggotaan organisasi tersebut berjumlah 27 negara pada saat ini (2007). Fenomena penggabungan regional Eropa paska Perang Dingin yang hadir menyertai kecenderungan penurunan internasionalisme Amerika Serikat (AS), diprediksi akan bergerak menjadi sebuah kutub kekuatan baru melalui pasar dan mata uang tunggalnya, modal ini dirasa cukup untuk mempunyai bobot kolektif dalam perdagangan dan keuangan untuk menyaingi AS yang sedang sakit parah akibat krisis. Hal ini menimbulkan wacana baru dalam tataran internasional yang diprakarsai oleh Uni Eropa yaitu mengadakan pertemuan Bretton wood II, untuk membahas pergantian dolar sebagai mata uang internasional karena nilainya sering menbgalami ketidakstabilan. Namun sayangnya usulan ini ditolak oleh AS yang ditengarai ketakutan akan berkurang hegemoninya karena dominasi dolar mulai tersingkir.[1]  Mengapa Uni Eropa seolah tidak berdaya menghadapi AS? Ada beberapa alternatif jawaban yang muncul, bisa jadi karena orientasi politik dan pertahanan mereka masih merupakan bayang-bayang dari negara adidaya dengan NATO-nya, sejarah Eropa modern tidak lepas dari kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II dan peran besar Marshall Plan yang dikendalikan AS dalam memulihkan kembali Eropa, selain itu juga negara Eropa dan AS memiliki kesamaan peradaban yaitu Barat sehingga mustahil untuk bertikai secara politik, apalagi bila mengingat ramalan Samuel P. Hutington yang mensinyalir bahwa perang masa depan adalah konflik antar peradaban yaitu Barat-Islam, yang seolah terbukti dengan adanya peristiwa 9/11.[2]

Perkembangan Sejarah Uni Eropa
            Penyatuan bangsa Eropa sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1800-an oleh Napoleon I Perancis, namun gagal karena dilakukan dalam keadaan dipaksa oleh negara kolonial. Hal ini mengilhami suatu inovasi penyatuan secara damai melalui kerjasama dan persamaan anggota, apalagi dengan kejadian Perang Dunia I dan II, yang semakin mendorong semangat untuk membentuk UE dalam upaya pembangunan kembali Eropa dan mencegah terjadinya perang-perang lainnya. Oleh karena itu dibentuklah European Coal and stell Community oleh Jerman, Perancis, Italia dan negara Benelux yang merupakan “buah” dari Perjanjian Paris tahun 1951. Setelah itu terbentuk juga European Economic Community tahun 1958 yang kemudian bertransformasi menjadi Europe Community yang merupakan pilar pertama dari UE. Dengan demikian UE merupakan hasil dari suatu evolusi dari sebuah badan perdagangan menjadi sebuah kerjasama ekonomi dan politik.[3]

Prospek Uni Eropa: Sebuah Tinjauan
            Eksistensi Eropa secara ekonomis dan pada akhirnya juga politis, sangat ditentukan oleh bagaimana mereka mampu mengelola apa yang mereka implementasikan dalam Uni Eropa yang merupakan sebuah penyatuan ”intergovernmental dan supranasional” dimana negara menyerahkan kedaulatan pada para tetangganya yang seolah-olah begitu percaya akan adanya penyatuan demi kebaikan bersama yaitu organisasi regional.
Pada saat ini UE telah  merealisasikan pasar dan mata uang tunggal serta kebijakan keamanan dan luar negeri bersama dimana ruang gerak antar perbatasan diminimalisir dengan keberadaan paspor bersama sehingga memudahkan arus mobilitas untuk tinggal, bekerja dan berinvestasi, selain itu UE juga telah berhasil mengintegrasikan negara-negara Eropa, yang tadinya berbeda ideologi, ekonomi dan politik, ke dalam suatu blok integrasi kawasan. Namun dibalik keberhasilannya, UE tak lepas dari kritik permasalahan internal yang dihadapinya, misalnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tidak terlalu tinggi seperti yang diharapkan sebelumnya, peningkatan penduduk berusia lanjut dan imigran, serta penolakan konstitusi oleh masyarakat Perancis dan Belanda.[4]
Dalam perkembangannya UE mengalami banyak kemajuan pesat dalam mengatasi problematika persoalan yang dihadapinya, seperti pembentukan ESDP, sebagai basis kekuatan pertahanan Uni Eropa yang dilatarbelakangi oleh krisis Yugoslavia tahun 1991 dimana permasalahan tersebut diselesaikan oleh intervensi ketat dari NATO dan PBB sebagai akibat ketidakberdayaan UE saat itu, serta menjadikan kegiatan promosi integrasi kawasan sebagai bagian dari soft diplomacy atau diplomasi publik. Dengan melakukan hal tersebut, UE dapat berperan dalam mengembangkan stabilitas kawasan dan pada saat bersamaan memelihara kredibilitasnya sebagai model integrasi regionalisme yang sukses.
Ada beberapa hal yang kiranya dapat dijadikan kunci dalam model integrasi kawasan UE yang dapat diteladani regional lain, diantaranya adalah pengikatan negara anggota dalam suatu perjanjian/traktat yang mengikat negara anggotanya, seperti Traktat Roma, Maastricht, Amsterdam dan Niece; pembentukan dan pelaksanaan secara efektif institusi-institusi yang memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan (Dewan UE) dan melaksanakannya (Komisi Eropa/KE), penetapan legislasi (Parlemen Eropa) ataupun lembaga peradilan (Pengadilan UE); dan pembentukan komunitas bersama Masyarakat Eropa. Dengan ”resep-resep” tersebutlah UE mampu meraih masa kejayaanya setelah kurun waktu 50 tahun (2007).

EU: Suatu Keseimbangan Kekuatan atau Kesetiaan Sekutu atas AS
            Dalam perhitungan ekonomi, UE memang memiliki cakupan ekonomi luar biasa demikian pula dengan potensi pengembangannya, namun sayang ”impoten” dalam perpolitikan. Kehadiran UE dalam konstelasi perpolitikan global bisa dibilang masih ”malu-malu” dan kurang percaya diri serta berlindung di bawah alasan fokus kerjasama ekonomi daripada politik, ini terlihat dari pernyataan:
            ”The EU did not set out to become a world power. Born in the aftermath of World War II, its first concern was bringing together the nations and peoples of Europe. But as the Union expanded and took on more responsibilities, it had to define its relationship with the rest of the world. Just as it has worked to remove trade barriers, develop poorer regions and promote peaceful cooperation withinits frontiers, so the aunion works with other countries and international organizations to bring everyone the benefits of open markets, economic growth and stability in an increasingly interdependent world. At the same time, the EU defends its legitimate economic and commercial interests in the international arena.”[5]
            Padahal kalau saja UE mau, tidak menutup kemungkinan akan tumbuh menjadi kekuatan hegemon pengganti, lebih dari sekedar keseimbangan kekuatan, karena dari kapabilitas ekonomi sudah tangguh, jumlah populasi yang besar yaitu 450 juta-lebih besar dari AS dan US bila disatukan serta peningkatan aspek pertahanan melalui ESDP, sudah lengkaplah semua kriteria yang dimiliki untuk menguasai dunia. Namun tampaknya paling tidak sampai satu dekade ke depan Eropa masih harus mempertimbangkan AS apalagi sekarang dipimpin oleh Obama yang memiliki berbagai kebijakan yang memulihkan simpati dunia akan harapan perubahan tatanan dunia yang lebih baik dalam mengatasi krisis.

Kesimpulan
            Model integrasi kawasan ala Eropa menjadi sebuah keniscayaan tersendiri manakala warna politik UE sesungguhnya tidak monolitik. Ada beberapa sinyal yang mengindikasikan betapa UE semakin tumbuh menjadi sebuah kekuatan otonom yang lepas dari bayangan AS dan menjadi loebih otonom daripada sekarang. Pertama, munculnya bibit kritisme di kalangan elit Eropa atas scenario politik AS saat melakukan serangan ke Irak dan Afganistan- Perancis dan Jerman. Dua negara ini menanyakan keabsahan penyerangan secara militer setelah PBB tidak menemukan bukti akurat kepemilikan senjata nuklir. Kedua, UE semakin menampakkan peranannya tidak saja dibidang ekonomi tapi juga dibidang penanganan kemanusiaan dan perdamaian, bisa dibilang sebagai polisi dunia sejati bila dibandingkan AS yang mengaku-ngaku padahal lebih cocok bila disebut sebagai penjahat perang atas semua yang terjadi di Irak dan Afganistan. Contoh nyata peran UE dapat diamati dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dimana UE bertindak sebagai mediator selain itu UE juga menjadi pendonor bagi kalangan masyarakat sipil di banyak negara dalam pengembangan demokrasi. Ketiga, UE telah menjadi factor referensi referensi tersendiri atas fenomena unipolaritas paska Perang Dingin disamping potensi dari negara industri baru seperti India, Cina dan Jepang.
            Selama UE masih setia sebagai sekutu, maka AS tidak menganggap UE sebagai suatu ancaman karena AS tidak membesarkan “anak macan” untuk melawan “induk” yang membesarkannya. Namun tidak ada jaminan bahwa kepatuhan itu akan terjadi selamanya karena konteks perpolitikan begitu dinamis dimana tindakan yang diambil suatu aktor tidak dapat diprediksikan dengan pertimbangan rasionalitas saja.

Referensi
Alfan, M A.M. 2006. Uni Eropa dan Politik Global dalam Jurnal Politika volume 2, no.1
Buku Epi
http://resources.unpad.ac.id diakses 6 Juni 2009
Ojong, P.K.. 2005. Perang Eropa Jilid III. Jakarta: Kompas



[1] Buku Epi
[2] P.K. Ojong. 2005. Perang Eropa Jilid III. Jakarta: Kompas
[3] M alfan A.M. 2006. Uni Eropa dan Politik Global dalam Jurnal Politika volume 2, no. 1

INTEGRASI DAN INTERDEPENDENSI DALAM NAFTA


            Dalam studi interaksi antar negara yang berlangsung begitu dinamis, muncullah suatu prioritas baru yang dinamakan regionalisme atau blokisme, dalam istilah saya, yang menjadi dasar kepentingan regional yang ada. Pada gilirannya diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional atas negara-negara yang tergabung di dalamnya. Paradigma atas nama kepentingan regional ini, lantas diformulasikan dalam bentuk kerjasama regional di beberapa kawasan/wilayah dunia, yang saat ini mengarah pada sifat pengelompokan diri ke dalam konstelasi kepentingan ekonomi regional/global, misalnya North American Free Trade Agreement (NAFTA).

Signifikansi NAFTA
   NAFTA beranggotakan Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, seperti yang telah diutarakan di atas, yakni menjanjikan negara-negara pesertanya kemudahan di bidang ekonomi, mulai dari diberikannya pembebasan tarif bea masuk bagi komoditi-komoditi tertentu hingga adanya perlakuan adil terhadap penanam modal asing yang akan menanamkan modalnya di tiga negara tersebut.[1]
Namun, sebagaimana teori integrasi pada umumnya, aspek ekonomi dimanapun tidak akan berjalan sendirian tanpa didampingi oleh muatan politis di dalamnya. Untuk itulah konsep free trade tidak bisa menjadi fair trade, diantara negara-negara anggotanya. Konsep interdependensi yang semula digaung-gaungkan mulai menunjukkan bentuk aslinya yaitu dependensi, baik antara negara maju dan berkembang maupun dikalangan sesama negara maju. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini terdapat analisa mengenai pola hubungan yang terjadi pada keanggotaan NAFTA.

Analisis melalui pendekatan realis dan liberalis
            Dalam perspektif realisme, regionalisme yang berarti integrasi pasar nasional ke pasar regional berimplikasi menurunnya otonomi negara dalam pembuatan kebijakan pembangunan karena keharusan untuk menyesuaikan kebijakan nasional dengan aturan regional, yang terjadi kemudian bukan hanya "komplementaritas ekonomi" antarnegara, tetapi persaingan terbuka yang dilembagakan di tingkat regional. Prinsip competition and survival  berlaku di sini, karena tatanan dunia saat ini masih dalam tataran anarki. Akibatnya, penciptaan struktur industri nasional yang terintegrasi menjadi lebih sulit diwujudkan. Hal ini tampak jelas pada pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) pada 1994 yang terinspirasi dari kehadiran Uni Eropa. Saat itu para pendukung regionalisme meramalkan, NAFTA yang meliputi 376 juta orang akan meningkatkan kemakmuran warganya dan akan mengurangi kesenjangan ekonomi AS-Meksiko. Faktanya, sepuluh tahun seusai NAFTA diimplementasikan, kesenjangan pendapatan antara warga AS dan Meksiko meningkat 10 persen. Meksiko juga lebih tergantung secara ekonomi kepada AS. [2] Belakangan, sebagian besar rakyat AS merasa dirugikan NAFTA, terutama dengan "direbutnya" lapangan kerja untuk buruh murah oleh warga Meksiko. Tak heran bila dalam kampanyenya Obama menjanjikan negosiasi ulang terkait substansi NAFTA.[3]
            Sejak awal kemunculannya, NAFTA memang menuai kontroversi. Keberadaan perdagangan bebas menuntut perubahan masyarakat yang berorientasi agrikultur ke arah industrialisasi. Hal ini menimbulkan keterkejutan sosial dalam masyarakat bila tidak bisa beradaptasi, apalagi persaingan antara masyarakat lokal dengan pihak swasta tidak mendapat perlindungan lagi oleh negara. Hal ini memicu pemusatan kekuatan ekonomi dikalangan terbatas, masyarakat lokal semakin termarjinalkan bahkan dieksploitasi karena upahnya yang murah. Dampak lain yang muncul akibat regionalisme diantaranya diskriminasi gender, buruh usia dini, penekanan upah, pengangguran, migrasi akibat masalah kemiskinan, serta kerusakan lingkungan akibat pengalihan lahan agraris menjadi bangunan-bangunan perusahaan asing.[4]
            Idealisme yang dicita-citakan oleh kesepakatan negara anggota NAFTA ternyata tidak sesuai realita, dulunya mereka memandang bahwa perkembangan kelompok-kelompok perdagangan global/regional dengan menempatkannya ke dalam kawasan-kawasan tertentu akan mudah terwujud dengan diiringi penyatuan kelembagaan (institusinal) di bawah naungan NAFTA, yang bisa melakukan kontrol serta batasan aturan demi terwujudnya kemakmuran bersama, mengatasi masalah bersama maupun mengahdapi musuh bersama, terorisme misalnya, dalam percaturan di tingkat lebih tinggi yaitu politik internasional. Namun apa mau dikata, semua sudah terjadi. Kerugian yang terjadi menunjukkan bahwa adanya pengabaian kondisi domestik, semestinya sebelum melangkah lebih jauh dalam konteks reginal ataupun internasional, perlu dilakukan penguatan dan pengaturan semua aspek dalam negeri.[5]Bagaimanapun juga adanya blok-blok perdagangan, menjadikan dunia seperti terkotak-kotak di mana tiap-tiap blok atau kotak memasang pagar tinggi untuk menahan keluar masuknya peredaran barang (dan jasa).
   Di balik semua kerugian di atas, sebenarnya NAFTA memberi aspek yang positif juga, diantaranya adalah Kanada dan Meksiko berhasil menyelenggarakan penyesuaian dan konsolodasi ekonomi, sehingga mampu memanfaatkan NAFTA sebagai unsur kekuatan peluang yang terbuka bagi masing-masing negara. Oleh karena itu pada saat ini dapat kita lihat negara Meksiko dan Kanada mampu bangkit menjadi negara yang maju dengan roda perekonomian yang mantap. Kanada dan Meksiko juga menjadi pasar ekspor kedua dan ketiga terbesar bagi Amerika.

Prospek masa depan NAFTA
            Dari keuntungan dan kerugian di atas, jelas kiranya bahwa kerjasama tidak selalu menguntungkan sifatnya. Dikarenakan semua negara lebih mengutamakan kepentingan negaranya, namun melupakan elemen penyusun negaranya sendiri, yaitu kondisi masyarakat lokal yang menjadi pihak termarginalkan. Padahal aspek masyarakat justru bisa menunjang power negara bila dimaksimalkan, dengan asumsi bila masyarakat makmur maka negara pun akan menjadi sejahtera, dan konsep regionalisme sendiri menjadi salah satu jalan untuk mencapainya. Dikotomi tujuan dan instrumen ini penting karena fenomena yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat dikorbankan atas nama negara, padahal keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati golongan terbatas, karena aspek pemerataan yang buruk. Di samping itu  perlu adanya manajemen kepentingan, dimana satu negara tidak harus selalu mengalah oleh dominasi negara tertentu, seperti AS, agar keuntungan atas kerjasama yang terjalin bisa bersifat mutualisme yang ke depannya akan melanggengkan atau bahkan semakin meluaskan regionalisme yang sebelumnya sudah terjalin.
            Sampai saat ini, pola integrasi dalam NAFTA penting adanya, karena sistem yang ada belum mengarah pada  interdependensi tapi dependensi, untuk ke depannnya bila ada konsep regionalisme tandingan NAFTA yang ’lebih ramah’ maka bisa dipastikan keanggotaan NAFTA akan bubar, karena hegemoni AS perlahan namun pasti mulai menurun akibat krisis sehingga tidak mampu mengikat dan mempesona Meksiko, Kanada dan negara-negara Amerika latin yang ingin bergabung.
            Solusi untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan membentuk badan-badan dibidang lingkungan, hak asasi manusia, pengawasan ekonomi dan pangan, serta penerapan sanksi bila ada negara anggota yang melakukan pelanggaran. Di samping itu bisa juga dengan pembedaan penerapan pengurangan tarif diantara negara maju dan berkembang, ataupun diantara negara hegemon (AS) dan non-hegemon (Meksiko, Kanada, dan Amerika Latin) untuk mengimbangi laju persaingan ekonomi politik internasional, yang sekali lagi, begitu dinamis.

Referensi
Artikel NAFTA oleh Wawat Krimawati hal 2
Artikel pdf Introduction Labour, Trade and Regionalism hal 1
 Chase, Kerry A. Trading Blocs: States, Firms and Regions in the World Economy. The University of Michigan Press diakses melalui www.press.umich.edu
Hadi, Syamsul. 2003. Politik Integrasi ASEAN. Diakses melalui  www.sinarharapan.com pada 14 Mei 2009
www.kompas.com diakses pada 14 Mei 2009



[1] Artikel NAFTA oleh Wawat Krimawati hal 2
[2]Syamsul Hadi. 2003. Politik Integrasi ASEAN. Diakses melalui  www.sinarharapan.com pada 14 Mei 2009
[3] www.kompas.com diakses pada 14 Mei 2009
[4] Artikel pdf Introduction Labour, Trade and Regionalism hal. 1
[5] Kerry A. Chase. Trading Blocs: States, Firms and Regions in the World Economy. The University of Michigan Press diakses melalui www.press.umich.edu