Tampilkan postingan dengan label kosmopolitanisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kosmopolitanisme. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Oktober 2010

NILAI BUDAYA DALAM IDE KOSMOPOLITANISME


Globalisasi memiliki konsekuensi multidimensional terhadap berbagi aspek kehidupan masyarakat. Tidak hanya konsekuensi ekonomi dan politik, tetapi juga konsekuensi sosial-budaya seperti terjadinya percampuran atas keragaman yang ada, diferensialisme-identitas dan karakteristiknya khas- dan konvergensi -budaya yang terpusat dan tersebar (PPT Kelompok 1). Ada beberapa pihak yang menerima namun ada juga yang menolak penetrasi budaya, baik lokal yang bisa saja dibawa oleh kaum migran atau hasil penikahan maupun global seperti budaya pop yang menjadi tren dalam dunia nyata maupun entertainmen sampai saat ini, semua itu bergantung pada tingkat adaptasi yang dimiliki oleh masyarakat.
Jika kita menelusuri jejak sejarah dengan cermat, sebenarnya ada pemetaan budaya dimana ada homogenisasi budaya namun polarisasi budaya juga terjadi, untuk menjembatani keduanya akhirnya hibridisasi budaya hadir menjembatani keduanya, seperti musik Jazz yang digemari oleh masyarakat hampir di seluruh dunia, kehidupan religius dan spiritual, teknik agrikultur, pemuda Amerika yang makan masakan Jepang di Toronto, dll (PPT Kelompok 4). Hibridisasi bukanlah fenomena baru, hanya saja dalam konteks globalisasi lebih menekankan pada tingkat kecepatan persebaran- lewat teknologi informasi, media massa, wisata, mode, atau berbagai instrumen gaya hidup modern lainnya, termasuk melalui jalur pendidikan secara sistimatis- serta percampuran budaya termasuk lingkup keluasan dalam kesadaran perubahan struktural utama. Dalam konteks itulah hibridisasi budaya mengalami sebuah fase baru dimana mencuatnya beragam tradisi dan simbol-simbol budaya asing yang sering diistilahkan sebagai sesuatu yang modern, jelas bukan tanpa panduan. Semua itu memiliki agen, tokoh, atau figurnya sendiri-sendiri sehingga hibridisasi budaya dapat berlangsung dengan sukses. Ini merupakan akulturasi budaya yang terkonstruksi dengan tujuan membentuk budaya global, tidak semuanya alamiah seperti yang terjadi akibat migrasi atau faktor pernikahan di jaman dulu yang membutuhkan waktu lebih lama untuk membuat masyarakat secara masif mengadopsi sebuah kebudayaan baru, contohnya seperti McD yang merupakan masakan cepat saji lebih digemari tidak saja oleh anak muda namun juga anak kecil maupun orang tua meskipun harganya lebih mahal dan kurang sehat daripada masakan gado-gado ataupun soto yang memiliki rasa khas indonesia dengan harga yang lebih terjangkau.
McD ini merupakan simbol hegemonisasi internasional Amerika Serikat dalam bentuk soft power  yaitu hasil budaya berupa masakan. Kelebihan yang ditawarkan dari bisnis McD ini berupa rasa masakan yang sesuai dengan selera global dalam hal ini adalah ayam goreng sekaligus mengkombinasikannya dengan berbagai masakan lokal khas negara yang ditempati seperti sop dan nasi bila di Indonesia (PPT Kelompok 3). Kemudian juga promosinya besar-besaran baik melalui iklan di TV, baliho, serta cabangnya yang ada di semua negara dengan lokasi yang selalu strategis sehingga ramai dikunjungi. Jadi ada gengsi tersendiri bila makan di situ, pada titik inilah komersialisasi/komodisasi  budaya terjadi. Menurut Penulis, hal ini sama sekali tidak salah, justru malah bagus untuk memperluas publisitas dan eksistensi budaya tersebut sehingga tetap lestari dan terus berkembang dengan daya kreativitas manusia dalam melakukan inovasi. Namun perlu pemilahan tingkat kekomunalan budaya dimana tidak semua budaya dapat disebarluskan informasinya, perlu adanya beberapa hal yang diekslusivitaskan agar terjaga orijinalitasnya dan kesakralan budaya tersebut, seperti desain batik kerajaan di masa lampau beserta filosofinya, prasasti, dan simbol-simbol atau tokoh keagamaan seperti Nabi Muhammad yang hanya digambarkan sebagai cahaya. Bila hal ini dilanggar, maka tentu saja akan menimbulkan konflik seperti kartun Nabi Muhammad di Denmark.
Bila permasalahan di atas ditinjau dari sisi kosmopolitanisme yang merupakan sebuah konsep yang berangkat dari budaya, dimana semua keragaman diterima, unsur kebebasan, perdamaian, serta kesetaraan dijunjung tinggi, justru disitulah letak keunikan dari tantangan atas persaingan yang ada. Dimana gado-gado atau soto yang merupakan budaya lokal jika memang ingin bersaing semestinya lebih inovatif, seperti dalam penggunaan bumbu, atau bahan masakan yang lebih segar kemudian dari segi tempat berjualan yang mayoritas berada dipinggir jalan mulai berbenah diri dengan pindah ke lokasi yang lebih strategis dan menghadirkan suasana yang lebih cozy namun tetap ke-Indonesiaan misalnya dengan diiringi gamelan atau latar tempat yang dikelilingi kebun sayuran dll. Selain itu juga memperhatikan aspek higienitas bahan untuk menjaga kepuasan konsumen karena yang lebih siap menghadapi perubahanlah yang akan memenangkan sebuah persaingan dan menaklukkan tantangan globalisasi. McD memang bisa mewakili bentuk kosmopolitanisme karena hadir disetiap negara dengan distribusi yang berjalan baik karena diterima oleh semua golongan, namun tidak membuat kebudayaan lokal begitu saja tergantikan (PPT Kelompok 3). Soto dan gado-gado masih memiliki penggemar setianya dan ini merupakan kekuatan tersendiri bagi budaya lokal untuk tetap eksis ke depannya.
Kosmopolitanisme seringkali disamakan dengan hibridisasi budaya, padahal tidak seperti itu budaya lokal maupun global yang murnipun diterima oleh kosmopolitanisme secara otonom meskipun tidak mengalami percampuran antara keduanya. Contoh hibridisasi budaya yang sudah diterima secara global adalah Esperonto (campuran dari bahasa Inggris, Perancis, Jepang). Adanya perbedaan budaya tidak selalu membawa kondisi harmoni seperti yang diasumsikan kosmopolitanisme, karena sampai saat ini banyak terjadi konflik etnis, pengklaiman budaya, bahkan benturan peradaban. Semua ini terjadi karena diferensialisme tidak diimbangi dengan pengimplementasian kosmopolitanisme yang maksudnya adanya keragaman fisik, agama, maupun kebiasaan justru membuat beberapa pihak merasa lebih daripada yang lain, padahal yang ada semua kebudayaan itu setara yang membedakan hanyalah budaya tersebut bisa diterima tidak pada kelompok lain. Bila penetrasi yang dilakukan itu dengan damai maka benturan yang terjadi tidak sampai menimbulkan shock apalagi perang seperti yang diramalkan oleh Hutington.
Hutington menyebutkan sebuah peradaban adaah bentuk budaya yang paling tinggi dari identitas budaya kelompok masyarakat manusia yang dibedakan secara nyata dari makhluk lainnya (Huntington, 2000). Peradaban di sini berbeda dengan kebudayaan yang berarti suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat-istiadat, dan kemampuan dan kebiasaan lain yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah tinggilah yang disebut sebagai peradaban (Soekanto, 1996). Peradaban yang dimaksud adalah Islam, Barat, Jepang, Afrika, Hindu, Konfusian, Amerika Latin, dan Kristen Ortodok. Diantara delapan peradaban tersebut diprediksikan akan terjadi benturan antara Barat dan non Barat khususnya Islam karena konflik di Timur Tengah tidak jelas kapan berakhirnya dan jumlah umat Islam yang terus naik hingga 30 % penduduk dunia di tahun 2025, tesis Huntington ini mengalami pembenaran dengan terjadinya peristiwa pengebowan WTC yang ditengarai dilakukan oleh teroris yang beragama Islam, namun banyak kritikan yang juga muncul karena delapan peradaban tersebut tidak jelas kriterianya apakah berdasarkan agama, wilayah, ataukah ras selain itu terlalu realis pemikirannya sehingga mendapatkan perlawanan Francis Fukuyama dengan artikelnya The End of History (PPT Kelompok 2). Apalagi menurut John Hobson peradaban barat dikembangkan dari budaya-budaya timur (Penjelasan Bu Ani). Sehingga peradaban tersebut saling mempengaruhi bukannya bertolak belakang. Adopsi budaya Timur oleh Barat dilakukan melalui difusi atas ide, institusi, maupun nilai dari Timur seperti etos kerja.
Menurut Penulis benturan yang terjadi lebih berasaskan kepentingan daripada peradaban karena interaksi manusialah maka budaya dan peradaban ikut berinteraksi, dan kepentingan manusia yang tidak ada habisnyalah yang membuat konflik menjadi tidak bisa terhindarkan. Seperti kata Mahatma Gandhi, “bumi yang merupakan tempat peradaban manusia lahir dan tumbuh dapat memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak sanggup memenuhi keinginan satu manusia.” Pernyataan tersebut menunjukkan betapa manusia memiliki kecenderungan untuk tidak pernah puas atas keinginan dan kepentingan yang ingin diraihnya, untuk itu kosmopolitanisme hadir dengan menunjukkan sisi lain tentang betapa indahnya dunia bila semuanya berbagi kasih dalam damai.

Referensi
Huntington, P. Samuel. 2000. Benturan Antar-Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Penerbit Al Qalam
Penjelasan Dosen (Baiq Wardani)
PPT Kelompok 1-4 yang dipresentasikan tanggal 27 Mei 2010
Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada

FUNDAMENTALISME VS KOSMOPOLITANISME

Bila globalisasi merupakan “kendaraan empuk” bagi tumbuh-kembangnya budaya hibrid, maka kosmopolitanisme sikap masyarakat modern pun menemukan habitus sejatinya. Imajinasi globalisasi telah membawa warga masyarakat global sepenuhnya berpijak diatas nilai-nilai universal yang dibawakan oleh kosmopolitanisme seperti persatuan, perdamaian, demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan. Dimana kosmopolitanisme merupakan ekspresi kosmopolitan, yakni warga kosmos yang mengacu pada dunia, tidak dalam pengertian bumi, tapi semesta yang harmoni. Dari sini terlihat jelas mengapa kosmopolitanisme kontra dengan fundamentalisme, karena kosmopolitanisme menjadi sebuah model atau anutan ideal bagi pola sikap kelompok atau perorangan yang tidak lagi terikat oleh suatu format, sistem atau tata-nilai budaya lama atau budaya tertentu. Segala tindak-tanduk kaum kosmopolit didorong dan dipengaruhi oleh kalkulasi rasionalitas, termasuk situasi yang melatarinya. Untuk itulah fleksibilitas menjadi sebuah mekanisme baru dan strategi berperilaku yang dianggap tepat, kapan mesti bersikap tegas dan pada situasi bagaimana harus bersikap kompromis.
Hal ini tidak berlaku pada fundamentalisme, karena gerakan fundamentalisme adalah pergerakan individu atau kelompok dengan memperjuangkan apa yang telah diyakininya sebagai dasar atau pijakan hidup satu-satunya dengan berlandaskan pada kitab sucinya sebagai suatu arah hidup. Pergerakan ini tampil melalui praktek-praktek diskursif yang dari proses sejarah dan budayanya terus dikonstruksi sampai detik-detik pemekarannya. Jejaring teks-teks diskursif tersebut terus merajut melalui ruang sejarah dunia (secara kontekstual) dan terus meneguhkan, mengendap dalam keyakinan penganutnya. Di luar kelompok mereka adalah sesat, salah, dan patut dihapuskan dari bumi (korantempo.com). Mereka berusaha membawa yang bukan mereka (liyan) menjadi sama dengan mereka (homogen).  Dengan demikian, maka jelaslah bahwa sikap kosmopolitanisme menekankan besarnya otonomi kebebasan diri dan jauh dari keterkungkungan primordialisme, tradisionalisme, apalagi fundamentalisme.
Untuk itulah kosmopolitanisme yang kontra dengan fundamentalisme tidak serta-merta menjadikan fundamentalisme sebagai musuh berbahaya, namun menunjukkan pengaruhnya melalui globalisasi dimana tata-nilai dan tata-laku seseorang telah bertransformasi dan melintas batas melampaui habitus lamanya yaitu daerah atau negara tertentu sehingga dapat berjalan beriiringan bukan saling meniadakan. Ikatan tradisi atau nilai budaya lama telah menjadi longgar dan tidak lagi menjerat, yang ada adalah munculnya fenomena budaya global atau hibridisasi, termasuk masalah agama dan kepercayaan.
Gerakan fundamentalisme yang tumbuh subur di segenap penjuru dunia, termasuk di Indonesia merupakan fenomena dunia yang masih belum disadari lebih serius dibandingkan yang lain seperti krisis energi, konflik etnis, korporasi, lingkungan hidup, terorisme, dan beberapa isu lainnya. Gerakan ini sangat beragam dan tentunya dapat merugikan dan terus membuat chaos dunia. Kosmopolitanisme adalah kesadaran etika yang diharapkan bisa mengurangi gerakan-gerakan ini. Terutama fundamentalisme aktif yang cenderung melakukan pemaksaan yang berujung dengan kekerasan, seperti "Perang 30 tahun" di Eropa yang memunculkan gerakan fundamentalisme: Katolik, Protestan dan Klu klux klan. Selain itu, masih banyak yang terjadi sekarang ini seperti fundamentalisme Kristen yang melakukan terorisme di Amerika Serikat, gerakan fundamentalisme Islam dalam bentuk gerakan pendirian negara Islam, gerakan pendirian sistem kekhalifahan dunia, gerakan Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta, gerakan Jamaah Islamiyah, gerakan Al-Qaidah, dan Usamah bin Laden. Sedangkan fundamentalisme pasif lebih mengedepankan toleransi dan cara persuasif pada liyan sehingga fundamentalisme yang ada ini memiliki beberapa persinggungan dengan kosmopolitanisme yang mengedepankan perdamaian. seperti ajaran konfusianisme yang bisa dianut orang dengan agama apapun dari belahan negara manapun yang mengajarkan tentang cinta kasih pada sesama dan lingkungan sekitar manusia (PPT Kelompok 4).
            Fundamentalisme mendapatkan legitimasinya bila didukung oleh pemerintahan suatu negara, seperti Prancis yang merupakan negara sekuler melarang pemakaian ornamen agama, dan di Jerman gerakan ultranasionalisme justru muncul sebagai suatu bentuk fundamentalisme yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena Perang Dunia I dan II, selain motif kepentingan wilayah dan sumber daya alam. Fundamentalisme ini juga memiliki nilai yang sama dengan kosmopolitanisme yang mengarah pada universalisasi atas nilai yang sama (uniformity), hanya cara yang ditempuhnya saja yang berbeda (PPT Kelompok 3). Jadi bila ada orang atau kelompok yang mengaku kosmopolitanisme namun menggunakan pemaksaan atau kekerasan maka itu sudah berada pada tataran fundamentalisme aktif atau ekstrimis. Kosmos menolak kelompok-kelompok (fundamentalis) di antara komunitas, karena akan menimbulkan sifat parokial yang mengarah kepada chaos, yakni semesta yang kacau (lihat saja peristiwa di Monas, Semanggi, WTC, dan lain-lain). Hal ini berbeda dengan kaum fundamentalis yang percaya pada dasar-dasar keyakinan dengan memperjuangkan universalisme, penyeragaman, rasionalitas, dan kebenaran tunggal hanya bagi penganut kelompok ini
Kaum kosmopolitan melihat bahwa semua orang di dunia berbeda-beda, sehingga banyak hal yang menarik untuk dipelajari bahkan dari  yang tidak sepakat (bertentangan). Untuk itulah alternatif hibridisasi atau toleransi atas sesuatu yang berbeda muncul, karena budaya yang berbeda tidak selalu bisa diintegrasikan, contohnya adalah agama meskipun sama-sama menerapkan universalisme namun karena nilai yang telah mengakar berbeda kemudian adanya pengaruh propaganda dan stereotip yang muncul antar agama maka tidak ada agama tunggal global sampai saat ini. Bagi kosmopolitanis, setiap orang mempunyai hak atas hidup mereka masing-masing karena kosmopolitanisme ini bukan solusi, tapi tantangan bagi semua warga semesta untuk  melenyapkan sifat fundamentalisme dalam diri, karena tidak ada kebenaran tunggal menurut penulis tapi yang ada adalah kebenaran berdasarkan konteks yang melatarinya dalam persaingan siapa yang benar dan yang salah. Untuk itu urgensi konsep kosmopolitanisme etis dan politis Imanuel Kant perlu dihidupkan kembali untuk mengimbangi fundamentalisme yang diposisikan kontra dalam review ini.

Referensi
Maliki, Musa. Fundamentalisme dan Kosmopolitanisme diakses dari korantempo.com pada 20 Mei 2010
PPT Kelompok 3 dan 4


MENGUAK EKSISTENSI KOSMOPOLITANISME BESERTA AKTORNYA


 
            Paham Kosmopolitanisme tidak akan lepas pengaruhnya dari pernyataan Diogenes tentang keberadaannya sebagai suatu masyarakat dunia. Batasan jarak berupa Negara berdaulat mulai tergeser legitimasinya, karena rentang waktu perpindahan baik manusia, barang, informasi maupun modal semakin mudah dan cepat dengan datangnya era globalisasi yang ditandai dengan semakin canggihnya teknologi, industrialisasi yang semakin “menggurita”, percampuran budaya yang tak terelakkan dan berbagai fenomena lain yang akan dijelaskan secara komperehensif dalam review penulis di bawah ini.
Dari segi sejarahnya, Kosmopolitanisme kuno mengharapkan dunia yang luas ini penuh dengan perdamaian, pesatuan dan menjunjung tinggi kebebasan. Ideologi ini menganggap bahwa semua kelompok etnis milik suatu komunitas tunggal yang berdasarkan sebuah moralitas tunggal global yang dipatuhi bersama. Salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan faktor turisme dan kunjungan perjalanan antar daerah maupun antar negara serta mendukung adanya migrasi secara ilmiah dengan berbagai factor penarik maupun pendorong seperti bencana alam, ekspansi perdagangan, eksplorasi, mencari peerjaan dan kehidupan yang lebih baik, penyebaran agama dan pencarian kekuasaan. Namun hal ini mulai menjadi sutu permasalahan krusial sekitar tahun 2000an ketika banyak Negara mengalami ledakan penduduk. Terlebih lagi di Cina yang sekarang ini sampai menerapkan kebijakan satu anak untuk mengatasinya. Hal ini dipicu oleh adanya hubungan migrasi yang berbanding lurus dengan jumlah penduduk, semakin tinggi tingkat imigrasi maka jumlah penduduk semakin banyak. Bila keberadaan seseorang yang harus melakakuka kunjungan ke berbagai Negara untuk urusan bisnis, berlibur, kenegaraan, maupun menuntut ilmu dalam waktu sementara maka itu bukanlah suatu masalah. Bahkan keberadaan mereka menguntungkan dari segi ekonomi dan menjadi bisnis terbesar abad ini menurut keterangan dari penyaji yang merupakan kelompok tiga. Pesawat sebagai fasilitas penunjang kenyamanan dalam berwisata menjadi alat transportasi yang paling cosmopolitan, selanjutnya disusul dengan kapal dan mobil. Meskipun mahal, namun pesawat mampu memberikan layanan lebih karena lebih cepat dan nyaman untuk berkunjung ke berbagai Negara kapan saja.
Di era kekinian, Kosmopolitanisme semakin berkembang bukan saja dari faktor manusianya, namun juga di kota dimana manusia hidup dan berbagai peradaban lahir serta berkembang. Kota adalah hasil perpaduan antara imajinasi masyarakatnya dan ciptaan Tuhan yang alami sifatnya. Sebuah kota senantiasa menyimpan sejarah, kenangan, nostaligia, identitas sekaligus utopia. Kelahiran sebuah kota bukanlah sesuatu yang beku dan statis melainkan terbentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang senantiasa berubah. Ungkapan menarik pernah di ungkapkan oleh Micel Foucauld “seluruh sejarah peradaban masih menunggu untuk di tulis”. (http://www:skripsi_komunikasi.com). Identitas sebuah kota merupakan produk budaya yang lahir dari penerjemahan nilai- nilai lokal masyarakat. Misalnya saja Jakarta sebagai Ibu Kota Negara yang menjadi ikon dari kota metropolitan dengan kepadatan penduduknya, majunya tingkat perekonomian serta pusat pemerintahan maupun ekonomi. Namun apakah parameter sebuah kota Kosmopolitan hanya cukup sampai di situ, ternyata tidak, selain itu juga kota tersebut harus memenuhi kriteria percampuran budaya, penyebaran teknologi yang merata, demografi yang proporsional, dan lokasi yang strategis dengan dilengkapi berbagai tempat yang menunjang kebutuhan hidup seperti mall dan hotel.  Negara-negara tersebut seperti Paris, New York, dan London. Negara yang besar tidak menjamin kosmopolitan, seperti halnya Lagos yang penuh konflik dan terletak di Afrika sehingga kurang strategis maupun Tokyo yang masih dalam tahap baru menuju kota internasional. Kota yang kosmopolitan juga tidak menjamin penduduknya orang kosmopolit juga, tapi paling tidak berbagai keragaman dan kemajuan yang ada menjadi suatu katalisator yang tidak bisa diabaikan. Orang-orang kosmopolitan dapat diwakili oleh kalangan diplomat dan intelektual dari segi kelas atas, artis, mauppun olahragawan karena seni dan olahraga dengan mudah diterima oleh berbagai manusia di seluruh dunia. Bahkan seringkali membawa misi kemanusiaan, orang-orang tersebut paling tidak memiliki tingkat intelektualitas tinggi, menjunjung tinggi multikulturalisme, dan berwawasan terbuka.
Seperti yang sempat diutarakan di atas kota kosmopoliatan biasanya dilengkapi dengan hotel yang merupakan hunian sementara namun biasanya memiliki pengaruh global seperti hotel Hilton dan Sheraton yang memiliki cabang di berbagai negara dan mampu meleburkan batas perbedaan budaya dunia (Hyper Mobile Planet Chapter 5). Tingkat pelayanan yang dijaga kualitasnya dan mampu memuaskan konsumen tanpa memandang latar belakang mereka membuat kedua hotel ini layak menjadi standar dari hotel-hotel lainnya.
Dari pemaparan di atas, terlihat sekali mayoritas ciri-ciri kosmopolitanisme begitu beragam, namun mengapa mayoritas selalu diatandai dengan suatu yang serba mewah dan mahal padahal untuk meleburkan berbagai keragaman dari aspek informasi melalui internet dapatdijangkau dengan harga murah. Sepertinya kesempatan untuk memperoleh kesempatan kerja dan pengetahuan perlu dimeratakan agar bibit kosmopolitanisme ke depannya bisa tumbuh subur dan idealisme  berupa kebebasna, persatuan dan perdamaian bisa benar-benar terwujud baik. Sehingga manusia-manusia kosmopolitanisme ini bisa memunculkan kota, hotel, transportasi yang kosmopolit juga yang ramah lingkungan.

Referensi
Immigrates: The hyper mobile planet, Hyper Mobile Planet Chapter 5, hal 172
Kode Budaya diakses dari http://www:skripsi_komunikasi.com pada 5 April 2009
PPT kelompok 1-4