Bila globalisasi merupakan “kendaraan empuk” bagi tumbuh-kembangnya budaya hibrid, maka kosmopolitanisme sikap masyarakat modern pun menemukan habitus sejatinya. Imajinasi globalisasi telah membawa warga masyarakat global sepenuhnya berpijak diatas nilai-nilai universal yang dibawakan oleh kosmopolitanisme seperti persatuan, perdamaian, demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan. Dimana kosmopolitanisme merupakan ekspresi kosmopolitan, yakni warga kosmos yang mengacu pada dunia, tidak dalam pengertian bumi, tapi semesta yang harmoni. Dari sini terlihat jelas mengapa kosmopolitanisme kontra dengan fundamentalisme, karena kosmopolitanisme menjadi sebuah model atau anutan ideal bagi pola sikap kelompok atau perorangan yang tidak lagi terikat oleh suatu format, sistem atau tata-nilai budaya lama atau budaya tertentu. Segala tindak-tanduk kaum kosmopolit didorong dan dipengaruhi oleh kalkulasi rasionalitas, termasuk situasi yang melatarinya. Untuk itulah fleksibilitas menjadi sebuah mekanisme baru dan strategi berperilaku yang dianggap tepat, kapan mesti bersikap tegas dan pada situasi bagaimana harus bersikap kompromis.
Hal ini tidak berlaku pada fundamentalisme, karena gerakan fundamentalisme adalah pergerakan individu atau kelompok dengan memperjuangkan apa yang telah diyakininya sebagai dasar atau pijakan hidup satu-satunya dengan berlandaskan pada kitab sucinya sebagai suatu arah hidup. Pergerakan ini tampil melalui praktek-praktek diskursif yang dari proses sejarah dan budayanya terus dikonstruksi sampai detik-detik pemekarannya. Jejaring teks-teks diskursif tersebut terus merajut melalui ruang sejarah dunia (secara kontekstual) dan terus meneguhkan, mengendap dalam keyakinan penganutnya. Di luar kelompok mereka adalah sesat, salah, dan patut dihapuskan dari bumi (korantempo.com). Mereka berusaha membawa yang bukan mereka (liyan) menjadi sama dengan mereka (homogen). Dengan demikian, maka jelaslah bahwa sikap kosmopolitanisme menekankan besarnya otonomi kebebasan diri dan jauh dari keterkungkungan primordialisme, tradisionalisme, apalagi fundamentalisme.
Untuk itulah kosmopolitanisme yang kontra dengan fundamentalisme tidak serta-merta menjadikan fundamentalisme sebagai musuh berbahaya, namun menunjukkan pengaruhnya melalui globalisasi dimana tata-nilai dan tata-laku seseorang telah bertransformasi dan melintas batas melampaui habitus lamanya yaitu daerah atau negara tertentu sehingga dapat berjalan beriiringan bukan saling meniadakan. Ikatan tradisi atau nilai budaya lama telah menjadi longgar dan tidak lagi menjerat, yang ada adalah munculnya fenomena budaya global atau hibridisasi, termasuk masalah agama dan kepercayaan.
Gerakan fundamentalisme yang tumbuh subur di segenap penjuru dunia, termasuk di Indonesia merupakan fenomena dunia yang masih belum disadari lebih serius dibandingkan yang lain seperti krisis energi, konflik etnis, korporasi, lingkungan hidup, terorisme, dan beberapa isu lainnya. Gerakan ini sangat beragam dan tentunya dapat merugikan dan terus membuat chaos dunia. Kosmopolitanisme adalah kesadaran etika yang diharapkan bisa mengurangi gerakan-gerakan ini. Terutama fundamentalisme aktif yang cenderung melakukan pemaksaan yang berujung dengan kekerasan, seperti "Perang 30 tahun" di Eropa yang memunculkan gerakan fundamentalisme: Katolik, Protestan dan Klu klux klan. Selain itu, masih banyak yang terjadi sekarang ini seperti fundamentalisme Kristen yang melakukan terorisme di Amerika Serikat, gerakan fundamentalisme Islam dalam bentuk gerakan pendirian negara Islam, gerakan pendirian sistem kekhalifahan dunia, gerakan Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta, gerakan Jamaah Islamiyah, gerakan Al-Qaidah, dan Usamah bin Laden. Sedangkan fundamentalisme pasif lebih mengedepankan toleransi dan cara persuasif pada liyan sehingga fundamentalisme yang ada ini memiliki beberapa persinggungan dengan kosmopolitanisme yang mengedepankan perdamaian. seperti ajaran konfusianisme yang bisa dianut orang dengan agama apapun dari belahan negara manapun yang mengajarkan tentang cinta kasih pada sesama dan lingkungan sekitar manusia (PPT Kelompok 4).
Fundamentalisme mendapatkan legitimasinya bila didukung oleh pemerintahan suatu negara, seperti Prancis yang merupakan negara sekuler melarang pemakaian ornamen agama, dan di Jerman gerakan ultranasionalisme justru muncul sebagai suatu bentuk fundamentalisme yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena Perang Dunia I dan II, selain motif kepentingan wilayah dan sumber daya alam. Fundamentalisme ini juga memiliki nilai yang sama dengan kosmopolitanisme yang mengarah pada universalisasi atas nilai yang sama (uniformity), hanya cara yang ditempuhnya saja yang berbeda (PPT Kelompok 3). Jadi bila ada orang atau kelompok yang mengaku kosmopolitanisme namun menggunakan pemaksaan atau kekerasan maka itu sudah berada pada tataran fundamentalisme aktif atau ekstrimis. Kosmos menolak kelompok-kelompok (fundamentalis) di antara komunitas, karena akan menimbulkan sifat parokial yang mengarah kepada chaos, yakni semesta yang kacau (lihat saja peristiwa di Monas, Semanggi, WTC, dan lain-lain). Hal ini berbeda dengan kaum fundamentalis yang percaya pada dasar-dasar keyakinan dengan memperjuangkan universalisme, penyeragaman, rasionalitas, dan kebenaran tunggal hanya bagi penganut kelompok ini
Kaum kosmopolitan melihat bahwa semua orang di dunia berbeda-beda, sehingga banyak hal yang menarik untuk dipelajari bahkan dari yang tidak sepakat (bertentangan). Untuk itulah alternatif hibridisasi atau toleransi atas sesuatu yang berbeda muncul, karena budaya yang berbeda tidak selalu bisa diintegrasikan, contohnya adalah agama meskipun sama-sama menerapkan universalisme namun karena nilai yang telah mengakar berbeda kemudian adanya pengaruh propaganda dan stereotip yang muncul antar agama maka tidak ada agama tunggal global sampai saat ini. Bagi kosmopolitanis, setiap orang mempunyai hak atas hidup mereka masing-masing karena kosmopolitanisme ini bukan solusi, tapi tantangan bagi semua warga semesta untuk melenyapkan sifat fundamentalisme dalam diri, karena tidak ada kebenaran tunggal menurut penulis tapi yang ada adalah kebenaran berdasarkan konteks yang melatarinya dalam persaingan siapa yang benar dan yang salah. Untuk itu urgensi konsep kosmopolitanisme etis dan politis Imanuel Kant perlu dihidupkan kembali untuk mengimbangi fundamentalisme yang diposisikan kontra dalam review ini.
Referensi
Maliki, Musa. Fundamentalisme dan Kosmopolitanisme diakses dari korantempo.com pada 20 Mei 2010
PPT Kelompok 3 dan 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar