Konflik atau perang baru merupakan istilah yang digunakan M. Kaldor dan Vashee B untuk membedakannya dengan perang konvensional model Clausewitzian dimana ciri-cirinya dapat dilihat dari tujuan politik, ideologi dan mobilisasi, pembiayaan perang, dukungan eksternal dan bentuk peperangan yang terjadi. Sedangkan Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse menggunakan konflik kontemporer untuk mengacu secara spesifik pada konflik-konflik yang terjadi setelah Perang Dingin berakhir (Miall, 1999). Pada umumnya pertikaian dan kontak senjata antar-warga terjadi dalam wilayah yurisdiksi suatu negara dan menjadi konflik internal. Dimana paska Perang Dingin terjadi beberapa ledakan fenomena konflik internal pada berbagai negara di dunia yang di landasi oleh beberapa faktor, yaitu bangkitnya etnisitas, nasionalisme dan fundamentalisme agama, faktor sosial ekonomi, dan dinamika politik global.
Secara teoritis konflik berpotensi timbul dalam setiap interaksi sosial, tidak hanya disebabkan karena adanya perjuangan untuk bertahan hidup dengan keterbatasan ruang/sumber daya, tetapi dikarenakan adanya insting agresif dan kompetitif yang dimiliki oleh manusia. Miall di sini menyebutkan, jika konflik adalah pengejaran tujuan yang saling bertentangan dari kelompok yang berbeda (Miall, 1999). Menurut penulis, hal ini seakan-akan jika ada pengejaran tujuan yang saling bertentangan baru di sebut konflik, padahal ada kalanya seseorang atau kelompok mengalami konflik tanpa tujuan dan alasan yang jelas. Selain itu bisa juga terjadi karena masalah persepsi atas tujuan dan kepentingan yang berbeda. Berdasarkan sumbernya, ada lima tingkatan konflik di era kontemporer yaitu mulai dari individu atau elit, masyarakat social, negara, regional, global. Sebagai respon dari konflik ini, studi resolusi konflik menawarkan wacana solusi berupa pencegahan dan mengakhiri konflik (Miall, 1999). Pencegahan ini membutuhkan preventor yang berbeda berdasarkan tingkatan konflik, dengan tujuan mencegah terjadinya konflik sekaligus mencegah agar konflik yang sudah ada agar tidak semakin besar dan menjadi konflik kekerasan.
Salah satu konsep yang terkait dengan proses atau kerangka kerja resolusi konflik di negara-negara yang mengalami konflik adalah konsep peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding yang ditawarkan oleh Johan Galtung (Galtung, 1975). Galtung mendefinisikan peacekeeping sebagai proses penghentian atau pengurangan aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Kemudian peacemaking mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan strategis dari pihak- pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Selanjutnya, peacebuilding diartikan sebagai proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik dan ekonomi demi terciptanya perdamaian dalam artian positive peace di mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik internal, khususnya masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan keterwakilan politik yang efektif. Hal ini bisa juga ditambahkan dengan penggunaan multi-track diplomacy yang berguna dalam membantu meningkatkan fleksibilitas pengaruh dan perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat, seperti inisiator, mediator, fasilitator, rekonsiliator dan determinator non Negara. Aktor non negara tersebut bisa berupa institusi atau masyarakat. Berangkat dari para pemikir transformasi konflik yang berargumen bahwa konflik kontemporer memerlukan lebih dari memposisikan kembali identifikasi win-win tapi lebih kepada mengubah (atau mentransformasi) hubungan, minat, wacana, dan jika perlu mengubah konstitusi yang melanggengkan konflik. Ini berarti perdamaian diciptakan dari mentransformasi potensi yang ada untuk berkontribusi pada usaha perdamaian (Miall, 1999).
Penulis sendiri lebih setuju, pendekatan yang komprehensif menekankan pada dukungan kelompok dalam masyarakat yang berkonflik daripada mengandalkan mediasi dari pihak luar. Secara bersamaan, usaha-usaha resolusi konflik juga harus selalu diimbangi dengan upaya-upaya mengoptimalkan alat-alat perdamaian. Semua hal yang terdapat setelah terjadi konflik bisa ditransformasi atau diubah untuk menjadi alat perdamaian. Misalnya, ’radio perdamaian’, ’koran perdamaian, ’ kelompok perdamaian’ dan diseminasi informasi.
REFERENSI
Galtung, Johan. 1975. Three Approaches to peace: peacekeeping, peacemaking and peacebuilding. Copenhagen: Christian Eljers
Miall, Hugh, et all. 1999. Contemporary Conflict Resolution. UK: Politic Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar