Pola hubungan negara-negara di kawasan Asia Tenggara tidak lepas dari sistem hubungan internasional. Hubungan tersebut tidak hanya berdimensi kekinian, tapi juga berorientasi kesejarahan maupun era yang akan datang. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini terdapat pemaparan singkat sekaligus analisa mengenai pola interaksi antara negara-negara untuk mengatasi masalah konflik keamanan dan keterkaitan hubungan dengan rezim regional yang ada, yaitu ASEAN.
ASEAN dan Kompleksitas Keamanan di Asia Tenggara
Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak bermunculan negara-negara yang baru merdeka, di Asia Tenggara sendiri semua negara pernah dijajah kecuali Thailand. Diantara semua negara yang terjajah tersebut, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang meraih kemerdekaannya dengan perlawanan militer. Pengalaman kolonial tersebut kemudian mempengaruhi politik luar negeri beberapa tahun kemudian.
Perbedaan etnis mewarnai keadaan negara-negara baru ini, tapi disisi lain juga menimbulkan pesimistik wilayah. Prospek perdamaian dan keamanan dalam wilayah terlihat suram. Pemerintah negara anggota ASEAN menghadapi tantangan internal terhadap kebijakannya, baik dalam masalah komunisme, pemberontakan kelompok etnis, ataupun perubahan indentitas. Masalah ini bahkan dapat merusak hubungan persahabatan antar negara tetangga. Pada tahun 1962, sebagai contoh, Filiphina membuat klaim atas wilayah Sabah. Jadi, keberadaan organisasi ASEAN bisa dibilang memang meredam potensi konflik antar anggotanya, namun bukan berarti hilang sama sekali.[1] Hal ini semakin diperparah oleh orientasi yang berbeda tentang persepsi mereka tentang ancaman eksternal/persepsi tentang negara besar mana yang paling menguntungkan bagi kepentingan nasional negara mereka. Sementara itu negara besar, khususnya negara adidaya yang sedang mencari pengaruh saat Perang Dingin berlangsung, menanggapi secara aktif fenomena ini dan semakin intens berkiprah dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Kesadaran akan kebutuhan bersama baru muncul setelah tahun 1967an sampai 1976, sedangkan konsolidasi ”semangat ASEAN” baru muncul pada fase 1976-1989 karena adanya ancaman dari luar ASEAN yaitu dari Vietnam. Pada periode 1980-1996 konsiderasi ekonomi mulai lebih santer terdengar dalam semangat ASEAN, namun semangat tersebut masih ditopang oleh institusi keamanan. Perlu diketahui bahwa kemunculan ASEAN (1967) awalnya dibentuk sebagai wadah kerja sama bidang Sosial, ekonomi, dan budaya regional serta membahas secara minoritas masalah keamanan regional. Namun, dengan pengalaman-pengalaman masalah keamanan yang muncul kemudian, para pemimpin menyadari bahwa masalah seperti konfrontasi, separatisme, dan masalah perbatasan maka dibutuhkan kerjasama yang baik antar negara tetangga.
Secara signifikan, eksistensi dan cara pelaksanaan ASEAN saat itu dibatasi pada dua masalah utama yang mengacaukan regional ASEAN pada periode awal, yaitu ambisi Indonesia dan klaim Philipina atas Sabah. Kesalahan penanganan Soekarno pada perekonomian Indonesia menyebabkan kejatuhannya dan pada tahun 1966, Indonesia dan Malaysia mengakhiri kofrontasinya. ASEAN pun menjadi tempat institusi dimana Indonesia dapat memulihkan keyakinan negara tetangga dan melalui pihak ketiga yang dapat mengurangi ancaman. Usaha manajemen konflik yang dilakukan ASEAN tak hanya sebatas itu, tetapi juga menutup peluang negara besar diluar ASEAN seperti AS dan China untuk dapat melakukan intervensi mendalam. Antipati terhadap “campur tangan” negara luar dipicu karena adanya perang Vietnam. Pada pertemuan deklarasi ASEAN 1971 yaitu pembentukan ZOPFAN untuk meminimalisasikan great power AS, Rusia dan China serta mempertahankan kestabilan ASEAN dalam menyelenggarakan kerjasama internal mereka sebaik ekonomi dan keamanan yang sekaligus merefleksikan keinginan ASEAN untuk memisahkan diri mereka dari hegemoni negara-negara besar, pada saat Perang Dingin terjadi negara di Asia Tenggara ada yang pro AS seperti Filiphina dan Thailand, pro US seperti Vietnam dan Laos, namun ada juga yang netral seperti Indonesia. Penolakan atas keberadaan hegemoni ini merupakan bentuk keseimbangan kekuatan yang hadir dalam rezim ASEAN sebagai salah satu wujud dari agenda kerjasama keamanan.
Dalam pemikiran realis, power menjadi suatu instrumen politik yang lazim dipakai untuk pencapaian kepentingan terutama oleh hegemon, untuk itulah kerjasama keamanan dirasa perlu diantara negara-negara ASEAN, karena bila berhadapan satu lawan satu dengan Amerka Serikat misalnya, mereka tidak akan mampu. Dengan bergabung dalam Institusi regional otomatis posisi tawar mereka akan naik, sehingga tidak terjadi satu kekuatan tunggal yang berkuasa karena tersaingi oleh distribusi kekuatan diantara negara-negara yang menjalin kerjasama tersebut. Karakteristik konflik yang dulu terjadi kemudian bertansformasi dari keadaan hubungan keamanan intra-ASEAN dari sebuah perseteruan, ketakutan dan persaingan menjadi hubungan persahabatan, kepercayaan, dan kerjasama.
The Asean Way dan kelemahan ASEAN sejak 1997
Keberadaan ASEAN sebagai institusi dapat difungsikan sebagai salah satu strategi diplomasi, asosiatif, bilamana hubungan bilateral negara secara formal tidak sanggup dalam menyelesaikan konflik yang ada. Namun kemajuan yang dialami ASEAN bukanlah tanpa hambatan. Pada tahun 1997 banyak kalangan, baik di lingkungan ASEAN sendiri maupun di dunia internasional, menilai bahwa organisasi ini hampir lumpuh dan dibuat tidak berdaya oleh berbagai kesulitan yang merupakan akibat dari sejumlah perkembangan. Pertama, ASEAN dinilai terlalu cepat dalam melakukan perluasan keanggotaan yang kini telah mencakup seluruh negara Asia Tenggara. Kedua, kesulitan yang dihadapi ASEAN sekarang ini juga disebabkan oleh terjadinya sejumlah perubahan fundamental di bidang politik dan ekonomi di beberapa negara kunci, seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina. Ada juga yang menilai bahwa kelemahan ASEAN sekarang ini disebabkan oleh runtuhnya kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN. Singkatnyanya, ASEAN dianggap telah kehilangan sentralitas diplomatik yang pernah dinikmatinya selama dekade 1980-an sampai awal 1990-an, kemudian masalah pelanggaran HAM oleh rezim militer Myanmar yang berlarut-larut sampai sekarang serta masalah kebakaran hutan di Indonesia yang menyebabkan kabut asap sampai ke Malaysia, Brunei dan Singapura. Semua kasus ini menunjukkan tidak efektifnya diplomasi dan ketidakkompakkan diantara negara anggota ASEAN dalam mengatasi konflik regional atas isu yang sensitif, bahkan melalui The ASEAN Way sekalipun (negosiasi informal ASEAN untuk membangun konsensus bersama dalam upaya untuk menghindari konflik).[2]
Kinerja ASEAN Regional Forum (ARF)
Dengan segala kelebihan dan kelemahannya, The ASEAN Way tetap dipertahankan sampai sekarang, termasuk dalam menyelesaikan masalah terorisme. Namun perkembangan ASEAN dengan keberadaan ARF, tampaknya dapat menjadi pelengkap dari kekurangefektivan dari The ASEAN Way. ARF, didirikan 23 Juli 1993, adalah wadah dan sarana saling bertukar pandangan dan informasi secara terbuka mengenai berbagai masalah, mulai dari politik, keamanan, lingkungan hidup, dst. Secara khusus ARF ditunjukan untuk bisa bersama-sama memecahkan masalah keamanan baik regional maupun internasional. Sasaran yang hendak dicapai melalui ARF adalah mendorong saling percaya melalui transparansi dan mencegah kemungkinan timbulnya ketegangan maupun konflik di kawasan Asia Pasifik. Sebagai satu-satunya forum dialog keamanan di luar PBB, yang dihadiri kekuatan besar dunia antara lain: Amerika Serikat, China, Rusia, Uni Eropa dan Jepang, pembahasan dan tukar pandangan dalam ARF memiliki makna penting dan strategis.[3] Proses ARF lebih mencerminkan “ ide ASEAN Way” yaitu menjalin hubungan untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan kebiasaan berdialog serta berkonsultasi dalam masalah-masalah keamanan. ARF telah berhasil meningkatkan kenyamanan diantara para peserta dalam membicarakan isu keamanan. Sebagai contoh, China telah bersedia untuk membicarakan masalah Laut China Selatan dalam ARF, yang sebelumnya sulit dilakukan. ARF, dengan segala perundingan dan konsensusnya bisa dibilang telah berkarakter sangat ASEAN.
Kesimpulan
Kekurangan ASEAN di sana-sini, menunjukkan bagaimana perjuangan jatuh bangunnya sebuah rezim. Untuk sementara ini memang ARF masih dominan, tapi sampai kapan akan bertahan, apalagi negara-negara diluar Asia Tenggara sedang bersaing untuk melakukan proliferasi nuklir yang merupakan ancaman non-konvensional. Untuk itu dibutuhkan suatu norma yang menjadi standar internasional untuk dijadikan patokan yang bebas dari tungggangan negara penguasa (hegemon), yang memberi sanksi tegas bagi siapapun yang melanggarnya. Keberhasilan ARF ini termasuk lumayan, akan lebih bagus lagi bila diperluas pada aspek ekonomi maupun budaya. Tantangan ini akan terjawab dengan keberadaan ASEAN+3 dan komunitas ASEAN di era sekarang, apakah akan membawa keberhasilan atau justru melemahkan/meruntuhkan ASEAN sebagai incumbent South East regional regime. Semakin banyak keseimbangan kekuatan yang muncul, maka semakin tenteram dunia ini, hal ini didasari oleh aspek pilihan rasional negara-negara yang tetap menjadikan kepentingan nasional sebagai prioritas pertama.
Referensi
Artikel mata kuliah Asia Tenggara bab 2, Pola Hubungan Internasional di Kawasan Asia Tenggara Setelah Perang Dunia II
Emmers, Ralf. 2003. Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN and the ARF. London and New York
Tidak ada komentar:
Posting Komentar