Politik luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan (formula nilai, sikap serta sasaran) yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.[1] Konsep policy berakar dari adanya pilihan dalam bertindak maupun membuat keputusan untuk mencapai tujuan tersebut dengan pertimbangan rasionalitas. Pembuatan foreign policy juga harus mengingat konsep wilayah dan kedaulatan, untuk membedakannya dengan politik domestik, karena bagaimanapun juga politik luar negeri adalah perpanjangan tangan dari politik nasional atau domestik dalam lingkup suatu negara berdaulat.
Aktor pembuat kebijakan dan keputusan luar negeri dapat berupa individu yang dominan (ideosinkratik, yaitu bakat, pengalaman dan kepribadian aktor tersebut), kelompok (mayoritas-minoritas dalam konsep mayoritarianisme dan kelompok kepentingan, penekan serta partai politik dalam pluralisme), birokrasi pemerintahan seperti menteri pertahanan dan luar negeri, negara (situasi dan kondisi dalam negeri) serta internasional. Pada kebanyakan negara, presiden, perdana menteri dan menteri memainkan peran kunci dalam pengambilan keputusan, sedangkan di negara lain pucuk pimpinan justru di bawah partai tunggal, seperti di negara-negara komunis, ada juga yang tidak memiliki kedudukan resmi tapi menguasai proses pengambilan kepeutusan (oligarki) seperti di negara fasis. Opini masyarakat dapat juga mempengaruhi, ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa publik merupakan entitas yang sangat sulit untuk dikendalikan sehingga opini publik dirasa penting pula untuk dikuasai, dengan pertimbangan bahwa segala bentuk kebijakan politik luar negeri yang akan diterapkan oleh suatu negara harus mendapatkan dukungan yang kuat dari publik. Selain itu, opini publik merupakan mekanisme yang sangat kuat dalam menguasai paradigma publik internasional tentang suatu kebijakan politik luar negeri yang akan diambil, salah satu caranya adalah dengan pengaruh media, yang menunjukkan interpretasi dan ekspektasi aktor non-pemerintah, alat untuk mensosialisasikan kebijakan dan agenda pemerintah serta dengan kemampuan jaringannya yang luas bisa menghimpun berbagai informasi di lapangan, termasuk di luar negeri. Ini bisa menjadi sumber akurat bagi pemimpin untuk menganalisa kondisi internasional, contoh konkretnya antara lain dapat terlihat dalam kasus Al-Jazeera. Sejak tenarnya stasiun televisi ini pada tahun 2003 dengan memberikan pemberitaan yang berbeda dari media internasional lainnya mengenai perang Irak, kantor berita ini dapat dikategorikan sebagai pembentuk opini publik oposisi yang paling kuat di tataran dunia internasional, selain CNN dan BBC. Jadi, pada akhirnya, proses pembuatan dan perumusan kebijakan politik luar negeri negara tersebut tidak akan sulit. Hal ini disebabkan karena values yang berada di tataran paradigma publik telah dikuasai secara signifikan oleh negara itu sehingga keputusan kebijakan politik luar negeri juga akan dapat diimplementasikan secara optimal.
Politik luar negeri mencakup proses dinamis dari penerapan pemaknaan kepentingan nasional yang relatif tetap terhadap faktor situasional yang sangat fluktuatif di lingkungan internasional dengan maksud untuk mengembangkan suatu cara tindakan yang diikuti oleh upaya untuk mencapai pelaksanaan diplomasi sesuai dengan panduan kebijakan yang telah ditetapkan. Langkah utama dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri adalah penjabaran kepentingan nasional dalam bentuk tujuan dan sasaran spesifik, menetapkan faktor situasional di lingkungan domestik dan internasional, menganalisis kapabilitas nasional untuk menjangkau hasil yang dikehendaki, mengembangkan perencanaan atau strategi, melaksanakan tindakan yang diperlukan dan secara periodik meninjau dan mengevaluasi perkembangan yang telah berlangsung. Dari langkah-langkah di atas, maka koordinasi harus dipelihara untuk memudahkan pencapaian tujuan nasional. Kebanyakan aktivitas demikian dilakukan oleh kementerian luar negeri melalui birokarasi yang terbagi dalam unit-unit regional dan nasional. Namun realitanya, khusus untuk masalah evaluasi ini sangat sulit dilakukan karena keuntungan dan kerugian jangka pendek harus diperhitungkan dalam kaitannya dengan perolehan jangka panjang, dampak terhadap perilaku politik negara lain sulit untuk dievaluasi serta kebanyakan hasil dari kebijakan merupakan perpaduan antara keberhasilan dan kegagalan dalam diplomasi dan ini sukar untuk diuraikan. Tujuan yang hendak dijangkau melalui politik luar negeri dihasilkan dari serangkaian analisis terhadap ends dan means, adakalanya tujuan menentukan alat apa yang akan dipakai (biasanya negara besar yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas power yang kuat) tapi bisa juga alat yang ada menentukan tujuan apa yang ingin diraih (biasanya terjadi pada negara berkembang yang memiliki keterbatasan power). Meskipun tujuan nyata yang hendak dijangkau melalui politik luar negeri pada setiap negara berbeda namun secara keseluruhan mengarah pada kelangsungan hidup, keamanan, kesejahteraan, prestise, ideologi dan perolehan power. Menurut K.J. Holsti, ada tiga kriteria untuk mengklasifikasi tujuan politik luar negeri suatu negara yaitu nilai, jangka waktu pencapaian (panjang, pendek dan menengah), tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain, serta tingkat urgensi kepentingan tersebut (vital interest: kepentingan yang sangat tinggi nilainya sehingga suatu negara bersedia untuk berperang dalam mencapainya serta secondary interest yang bisa dilakukan dengan jalur lain seperti kerjasam dan perundingan).[2]
Pemahaman mengenasi sifat dan tingkah laku politik luar negeri suatu negara berhubungan dengan lingkungan kehidupan internal dan kebutuhan eksternal sperti populasi, aspirasi, atribut nasional, kebudayaan, konflik, kapabilitas, institusi dan aktivitas rutin yang ditujukan untuk mencapai dan memelihara identitas nasional (manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas, dimana suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya), hukum serta geografi dari suatu negara-bangsa.[3] Menurut Sprout ada tiga tipe hubungan yang terjadi antara unit kesatuan politik dan lingkungannya, yaitu enviromentalism possibilism (lingkungan merupakan sekumpulan keterbatasan yang mungkin dilakukan aktor dalam lingkungannya), enviromental probabilism (lingkungan memaksa situasi untuk menjadikan tindakan tertentu menjadi lebih mungkin) dan cognitive behaviorism (para pembuat keputusan bertindak sesuai dengan persepsi mereka mengenai lingkungannya) ditambah dengan aspek kesempatan (keadaan sistem internasional dan situasi pada waktu tertentu yang paling sesuai untuk melakukan interaksi) serta perhitungan untung rugi tentunya.
Dalam perumusan politik luar negeri seringkali terjadi kesulitan yang disebabkan bukan karena kurangnya informasi tapi lebih kepada pemilahan dan pemilihan informasi yang tepat dan akurat untuk membantu proses pembuatan keputusan maupun saat diterapkan nantinya. Untuk itu dibutuhkan kejelian dalam melakukan penilaian informasi, baik dari tuntutan maupun dorongan aktor yang merupakan input kemudian diproses serta menghasilkan keluaran berupa undang-undang ataupun kebijakan yang selanjutnya memperoleh umpan balik dari aktor maupun non-aktor untuk dijadikan input lagi, begitu terus tiada henti karena perkembangn situasi internasional begitu dinamis. Hal yang terpenting dalam kebijakan adalah tidak menjadikan kita sebagai objek konflik internasional tersebut tapi jadilah subyek yang memiliki hak untuk memutuskan takdir kita sendiri dalam artian tujuan serta kepentingan untuk bertahan dalam kancah persaingan yang begitu kompetitif melalui jalur damai maupun kekerasan.
REFERENSI
Goldstein, Joshua. 2005. International Relations. 6th edition. New York , Pearson-Longman
Hill, Christopher. 2003. The Changing Politics of Foreign Policy. 1st edition.New York , Palgrave Macmillan
Perwita, Banyu. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Rosda Karya hal 51-52.
Hill, Christopher. 2003. The Changing Politics of Foreign Policy. 1st edition.
Perwita, Banyu. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Rosda Karya hal 51-52.
Rosenau, James N. Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New York : The Free Press, hal 27.
Hudson, Valerie.Culture and National Identity
[1] Jack C. Plano. 1982. The International Relation Dictionary. England : Clio press Ltd. Hal 5
[2] Banyu Perwita. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Rosda Karya hal 51-52.
[3] James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New York : The Free Press, hal 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar