1. Keadaan geografis
Inggris yang memiliki nama lain Britania raya, merupakan negara bagian yang terbesar dan terpadat penduduknya bila dibandingkan dengan negara bagian lain, seperti Wales, Irlandia Utara dan Skotlandia, yang membentuk Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara (United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland). Wilayah Inggris meliputi 2/3 pulau Britania Raya, di sebelah utara berbatasan dengan Skotlandia dan barat dengan Wales. Sedangkan di selatan Inggris dipisahkan dengan Perancis oleh Selat Inggris. Letak astronomis : 50°LU - 61°LU dan 11°BB - 15°BB. Inggris merupakan negara maritim, karena mayoritas wilayahnya berupa lautan.
2. Politik dan strategi
Dalam bidang perpolitikan, Inggris merupakan negara demokrasi yang berbentuk kerajaan dan berparlemen. Meskipun memegang jabatan yang paling tinggi di kerajaan dan menjabat sebagai kepala negara, Ratu Elizabeth II mempunyai kekuasaan politik yang sangat kecil, hanya memainkan suatu bagian yang resmi dalam proses berpolitik. Kekuasaan politik di tangan pemerintah yang dipilih (dikepalai oleh seorang Perdana Menteri dan Kabinet) didasarkan pada kekuatan dukungan yang ada di parlemen. Selama abad ini, pemerintahan selalu dibentuk oleh salah satu dari ketiga partai politik utama yaitu partai buruh, konservatif dan liberal-demokrat. Pemerintahan koalisi jarang terjadi dalam sejarah politik Inggris. Ada juga dua partai nasional satu di Wales (Plaid Cymru) dan satu di Scotland (The Scotish National Party), seperti juga beberapa partai nasional di Irlandia Utara.
Strategi yang diambil oleh Inggris, tak lepas dari pengaruh aspek geografi negaranya yang berbasis kelautan. Sehingga Inggris berupaya memaksimalkan potensi yang dimilikinya dengan membentuk armada laut dan berusaha menguasai pantai-pantai benua, paling tidak menyewanya. Selain itu laut merupakan sumber kehidupan, sumber daya alam banyak terdapat di laut, oleh karena harus dibangun armada laut yang kuat untuk menjaganya.
Selain digunakan sebagai bentuk pertahanan, armada Inggris juga digunakan untuk melakukan kolonialisme dan imperialisme ke negara-negara jajahannya, baik untuk memperluas wilayah maupun untuk mendapatkan sumber daya alam berharga sekaligus juga pasar. Teori yang paling mempengaruhi adalah Lebensraum. Teori ini berpandangan bahwa negara merupakan suatu organisme, yang memiliki kecerdasan intelektual serta memerlukan ruang hidup.Tak ada satupun negara yang dapat hidup mandiri secara mutlak, karena keterbatasan-keterbatasan dan tidak meratanya ketersediaan Sumber Daya Alam, setiap negara akan mengalami interdependensi, atau keadaan saling membutuhkan. Teori ini pun berpandangan bahwa satu bagian dunia yang relatif mempunyai persamaan dalam sifat-sifat geografis, ras, kebudayaan dan sebagainya. dapat disatukan dalam satu kesatuan wilayah.[1]
Dalam sejarah dan perkembangannya, kemenangan armada laut Inggris mengilhami strategi global dunia mengenai konsep sea power yang ditulis oleh Kapten Angkatan Laut AS Alfred Thayan Mahan yang menekankan pada penguasaan laut untuk menguasai dunia dengan didukung armada dan angkatan laut yang kuat di tahun 1793-1815. Selanjutnya muncul Mackinder yang mengemukakan konsep land power dimana konsep tersebut dikenal dengan heartland. Hal ini sangat bersebrangan dengan konsep sea power Mahan yang menekankan pada penguasaan atas lautan. Mackinder melihat heartland sebagai “pusat dunia” yang memiliki berbagai potensi dan harus bisa dikuasai oleh Inggris karena jika tidak demikian maka akan membahayakan dan mengancam posisi Inggris sebagai kekuatan besar ketika itu. Bahkan di bidang pengembangan air power (teori Seversky) pun Inggris dipandang berpotensi juga, karena kemajuan teknologi yang dimilikinya saat itu. Salah satu contoh penerapan strategi geopolitik dari Inggris adalah pada masa kependudukan Belanda di Hindia Belanda, dimana kehadiran Belanda di Asia Tenggara sebagai partner bawahan yang berguna untuk menahan ekspansi Prancis raksasa Eropa, rival utama Inggris di lautan.
3. Hubungan timbal balik geografi dan politik
Negara maju (terutama Imperium Barat) sangat terpengaruh oleh teori Haushoffer dan Mahan, sehingga mereka berusaha mengupayakan ruang hidup yang cukup. Upaya itu dilaksanakan dengan bentuk kolonisasi atas negara yang mereka anggap masih kurang berbudaya. Dengan demikian sampai pada awal PD I Imperium Barat (terutama Inggris dan Perancis) menguasai wilayah seluas 84% daratan dunia.[2] Power yang dimiliki Inggris semakin meningkat dari waktu ke waktu, hal ini tak lepas dari luasnya wilayah yang ditaklukkan Inggris, akibat militernya yang tangguh dan tak tertandingi sebelum maupun selama perang dunia berlangsung. Kemenangan yang diperolehnya melanggengkan hegemoni Inggris saat itu, dan menjadikannya stabiliser sekaligus.[3]
Di bawah ini terdapat beberapa peperangan yang melibatkan Inggris:
1689-1815: Perang Inggris dan Perancis, dengan perlindungan dari armada lautnya yang sangat kuat (seperti yang diucapkan Admiral Jervis "Saya tidak menjamin bahwa Perancis tidak akan datang menyerang kita, tetapi saya menjamin bahwa mereka tidak akan datang lewat laut"), Inggris dapat tetap mensuplai dan mengadakan perlawanan didarat secara global selama lebih dari satu dekade. Puncaknya pada tahun 1815, tentara Inggris memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Napoleon pada pertempuran Waterloo. Kesepakatan persahabatan, Entente Cordiale, baru tercapai tahun 1904 atas prakarsa Raja Inggris Edward VII, yang disambut hangat oleh Perancis.
1939 : Invasi Polandia dan Finlandia, Perang Dunia II mulai berkecamuk di Eropa dengan dimulainya serangan ke Polandia pada 1 September 1939 yang dilakukan oleh Hitler. Perancis dan kerajaan Inggris menyatakan perang terhadap Jerman pada 3 September sebagai komitment mereka terhadap Polandia pada pakta pertahanan Maret 1939, serta jatuhnya Polandia dan terlambatnya pasukan sekutu yang saat itu dimotori oleh Inggris dan Perancis. Hal ini juga menyebabkan jatuhnya kabinet Neville Chamberlain di Inggris yang digantikan oleh Winston Churchill.
1940: a) Jajahan Perancis Vichy, aksi ini menguatkan konflik Jepang dengan Amerika Serikat dan Britania Raya yang bereaksi dengan boikot minyak.
b) Mesir dan Somaliland, pertempuran di Afrika Utara bermula ketika sejumlah kecil pasukan Inggris di Mesir memukul balik serangan pasukan Italia dari Libya yang bertujuan untuk merebut Mesir terutama Terusan Suez yang vital. Tentara Inggris, India, dan Australia melancarkan serangan balik dengan sandi Operasi Kompas (Operation Compass), yang terhenti pada 1941 ketika sebagian besar pasukan Persemakmuran (Commonwealth) dipindahkan ke Yunani untuk mempertahankannya dari serangan Jerman
c) Jerman bersiap untuk melancarkan serangan ke Inggris dan dimulailah apa yang disebut dengan Pertempuran Inggris atau Battle of Britain, perang udara antara AU Jerman Luftwaffe melawan AU Inggris Royal Air Force pada tahun 1940 memperebutkan kontrol atas angkasa Inggris.
1941: a) Invasi Jepang di Asia Tenggara, Jepang menginvasi Filipina, dan juga koloni-koloni Inggris di Hong Kong, Malaya, Borneo dan Birma, dengan maksud selanjutnya menguasai ladang minyak Hindia Belanda. Seluruh wilayah ini dan daerah yang lebih luas lagi, jatuh ke tangan Jepang dalam waktu beberapa bulan saja. Markas Britania Raya di Singapura juga dikuasai, yang dianggap oleh Churchill sebagai salah satu kekalahan dalam sejarah yang paling memalukan bagi Britania.
b) Suriah, Lebanon, Korps Afrika merebut Tobruk, di Irak, terjadi penggulingan kekuasaan atas pemerintah yang pro-Inggris oleh kelompok Rashid Ali yang pro-Nazi.. Oleh karena merasa garis belakangnya terancam, Inggris mendatangkan bala bantuan dari India dan menduduki Irak. Pemerintahan pro-Inggris kembali berkuasa, sementara Rashid Ali dan Mufti Besar Yerusalem melarikan diri ke Iran. Namun kemudian Inggris dan Uni Soviet menduduki Iran serta menggulingkan shah Iran yang pro-Jerman. Kedua tokoh Arab yang pro-Nazi di atas kemudian melarikan diri ke Eropa melalui Turki, di mana mereka kemudian bekerja sama dengan Hitler untuk menyingkirkan orang Inggris dan orang Yahudi. Korps Afrika dibawah Rommel melangkah maju dengan cepat ke arah timur, merebut kota pelabuhan Tobruk. Pasukan Australia dan Inggris di kota tersebut berhasil bertahan hingga serangan Axis berhasil merebut kota tersebut dan memaksa Divisi Ke-8 (Eighth Army) mundur ke garis di El Alamein
1942: a)Invasi Hindia-Belanda, Jepang sengaja mengambil taktik tersebut sebagai taktik gurita yang bertujuan mengisolasi kekuatan Hindia Belanda dan Sekutunya yang tergabung dalam front ABDA (America (Amerika Serikat), British (Inggris), Dutch (Belanda), Australia) yang berkedudukan di Bandung. Serangan-serangan itu mengakibatkan kehancuran pada armada laut ABDA khususnya Australia dan Belanda.
b) Pertempuran El Alamein Pertama terjadi di antara 1 Juli dan 27 Juli 1942. Pasukan Jerman sudah maju ke yang titik pertahanan terakhir sebelum Alexandria dan Terusan Suez. Namun mereka telah kehabisan suplai, dan pertahanan Inggris serta Persemakmuran menghentikan arah mereka. Pertempuran El Alamein Kedua terjadi di antara 23 Oktober dan 3 November 1942. Rommel, panglima cemerlang Korps Afrika Tentara Jerman, yang dikenal sebagai "Rubah Gurun", absen pada pertempuran luar biasa ini, karena sedang sakit kuning di Eropa. Montgomery tahu Rommel absen. Pasukan Persemakmuran melancarkan serangan, dan meskipun mereka kehilangan lebih banyak tank daripada Jerman ketika memulai pertempuran, Montgomery memenangkan pertempuran ini.
1943–1945: Serangan Sekutu di Asia dan Pasifik, Pasukan Australia and AS melancarkan kampanye yang panjang untuk merebut kembali bagian yang diduduki oleh Pasukan Jepang, New Britain dan New Ireland, pada tahun 1944. Pasukan Jepang telah merebut sebagian dari Burma, memutuskan Jalan Burma yang digunakan oleh Sekutu untuk memasok Tentara Nasionalis Cina. Hal ini menyebabkan Sekutu harus menyusun suatu logistik udara berkelanjutan yang besar, yang lebih dikenal sebagai "flying the Hump". Divisi-divisi Cina yang dipimpin dan dilatih oleh AS, satu divisi Inggris, dan beberapa ribu tentara AS, membersihkan Burma utara dari pasukan Jepang sehingga Jalan Ledo dapat dibangun untuk menggantikan Jalan Burma. Lebih ke selatan, induk dari tentara Jepang di kawasan perang ini berperang sampai dihentikan di perbatasan Burma-India oleh Tentara ke-14 Inggris yang dikenal sebagai "Forgotten Army", yang dipimpin oleh Mayor Jendral Wingate yang kemudian melancarkan serangan balik dan berhasil dengan taktik gerilyanya yang terkenal. Setelah dikepung Uni Soviet, Hitler akhirnya menyerah. Kekalahan Jerman ini mengakhiri PD II.
Pasca PD II, melahirkan banyak negara nasional yang merupakan negara bekas jajahan. Negara-negara baru ini masih dalam upaya membangun identitas baru dan menjadi incaran kedua blok untuk dirangkul dan diberi bantuan untuk pembangunan wilayahnya dengan mencontoh pada salah satu blok. Akhirnya terbentuk negara dunia ketiga dan dikenal sebagai negara sedang berkembang. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya negara ini menjadi sasaran rebutan oleh kedua blok yang bertikai, dan dijadikan negara satelit oleh AS dan US (Proxi war). Pada masa Perang Dunia dan Perang Dingin, AS dan US melakukan pengawasan senjata berupa: usaha pencegahan penyebaran senjata nuklir berdasarkan kesepakatan yang dibuat pada 1968, meskipun ditentang oleh Perancis dan RRC; penangguhan uji coba persenjataan nuklir untuk waktu yang terbatas; pengurangan anggaran militer; dan pencegahan penempatan senjata nuklir dalam berbagai tipe di kawasan damai dan bebas. Bentuk pengawasan tersebut tak lepas dari posisi mereka sebagai negara superpower yang memiliki kekuatan nuklir hegemonik baik pada negara-negara sekutu mereka maupun negara lainnya. Sifat dalam pengawasan tersebut memunculkan stabilitas hegemonik dalam mengendalikan senjata nuklir.
Tampuk kekuasaan Inggris sebagai hegemon mulai berakhir pada PD II , menurut Joseph S. Nye dalam artikelnya yang berjudul memimpin dunia, bahwasanya kejatuhan imperium Inggris adalah karena kekurang efektivannya dalam mengombinasikan soft dan hard power. Penggunaan hard power yang berlebihan, seperti yang dilakukan Inggris dan Jerman pada 1,5 abad lalu. Persaingan militer diantara mereka, menyebabkan terkurasnya kas negara untuk membangun industri militer yang canggih. Yang pada gilirannya mengantarkan keduanya pada kemunduran yang signifikan dan pada saat itulah Amerika mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan dunia.
4. Unsur kebijakan
Kebijakan yang diterapkan Inggris untuk meluaskan pengaruh sebesar-besarnya sebagai hegemon di abad XIX adalah menjadikan poundsterling sebagai alat tukar internasional. Inggris sebagai negara jangkar berjanji untuk membeli atau menjual satu ons emas dengan 4,247 poundsterling (1ons emas = 4,247 Poundsterling), dengan demikian menetapkan nilai par pound tersebut terhadap emas. Implikasinya adalah apabila negara lain ingin melakukan transaksi perdagangan maka mekanisme pembayaran harus menyesuaikan dengan nilai kurs yang telah ditetapkan oleh Inggris. Selain itu, negara lain yang memiliki emas dapat ditukarkan dengan poundsterling sebagai cadangan devisa mereka dan sebaliknya. Keadaan ekonomi dan perdagangan yang relatif stabil selama periode tersebut merupakan faktor utama keberhasilan sistem standar emas berbasis poundsterling (sterling-based gold standard). Namun, dengan adanya Perang Dunia I (1919-1923) serta Depresi Dunia (1931-1934) negara-negara Eropa dilanda inflasi dan ketidakstabilan politik. Sistem moneter internasional menjadi kacau. Kekacauan ini menimbulkan ketidakpercayaan dunia terhadap poundsterling dengan standar emas sehingga posisi poundsterling semakin lemah. Akibatnya, Bank of England Inggris tidak mampu menepati janjinya untuk mempertahankan nilai poundsterling dan membiarkan nilai kurs poundsterling ditentukan oleh permintaan-penawaran pasar. Tidak hanya sampai di situ, Inggris juga melakukan desakan pasar bebas atas Amerika Serikat dan Jerman, setelah ekonominya kuat atas bantuan kebijakan-kebijakan proteksi yang pada saat ini dianggap tercela dalam perdagangan bebas.
Di samping itu tidak dapat dipungkiri bahwa peran bahasa Inggris sebagai bahasa internasional tak tersaingi oleh bahasa-bahasa dunia lainnya dalam rentang waktu yang cukup lama. Ini bukan hanya sebatas kebijakan saja tapi juga merupakan strategi yang berlaku sepanjang jaman. Fenomena seperti ini bahkan tetap berlangsung ketika dunia berada dalam perang dingin, dimana sebagian negara di dunia terpolarisasi dalam blok barat yang dimotori oleh Amerika Serikat dan blok timur yang dimotori oleh Uni Soviet. Kenyataan bahwa pada waktu itu Uni Soviet merupakan salah satu negara super power dunia ternyata tidak mampu menempatkan peran bahasa Rusia sejajar dengan bahasa Inggris dalam percaturan dunia internasional. Sejarah juga mengindikasikan bahwa kegagalan militer Jepang dan Jerman dalam perang dunia II boleh jadi karena tidak adanya language policy (kebijakan berbahasa) yang diterapkan oleh kedua negara tersebut di negara-negara jajahannya. Dengan adanya language policy sebagaimana yang diterapkan oleh penguasa kolonial Inggris di negara-negara jajahannya, secara kultural kemudian terjadi pembentukan persepsi dan pola pikir penduduk dan pemimpin-pemimpin di negeri-negeri jajahannya, dimana persepsi dan pola pikir tersebut adalah persepsi dan pola pikir yang tidak membahayakan kekuasaan kolonialisme Inggris. Kita kemudian dapat berspekulasi bahwa inilah salah satu faktor utama yang menyebabkan kekuasaan imperialisme Inggris bertahan lama.
Referensi
Blanning, T. C. W. (2002). The Culture of Power and the Power of Culture. Oxford : Oxford University Press. ISBN 0-19-822745-0.
Cronin, Vincent (1994). Napoleon. London : HarperCollins. ISBN 0-00-637521-9.
Hidayat, I. Mardiyono. 1983. Geopolitik, Teori dan Strategi Politik dalam
Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan Sumber Daya Alam. Surabaya
Usaha Nasional.
Http://geopolitik.org
http://media.isnet.org/iptek/100/Bonaparte.html Http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/12/Editor/daoedjoe.gif
http://www.geocities.com/johnmanhitu2001/Esperanto_Bahasa_Internasional.doc.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/Bentara/2480023.htm
John Mearsheimer. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. New York : W. W. Norton
Makarim, N.A. 2004. Geopolitik. [Online]. Diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/041228/utama [28 Maret 2007].
Poerwowidagdo, S.J. 1999. Geoekonomi, Abstraksi ekonominya di kepulauan RI. [Online]. Tersedia: — [28 Maret 2007].
Soemiarno, Slamet dkk, 2008, MPKT Buku Ajar III: Bangsa, Negara, dan Lingkungan Hidup di Indonesia, Penerbit FEUI: Depok
Pope, Stephen (1999). The Cassel Dictionary of the Napoleonic Wars. Cassel . ISBN 0-304-35229-2.
Schom, Alan (1998). Napoleon Bonaparte: A Life. Perennial. ISBN 0-06-092958-8.
Sumarsono, S, et.al. 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Tombs, Robert and Isabelle (2006). That Sweet Enemy. William Heinemann. ISBN 978-1-4000-4024-7.
Waltz, Kenneth. 1979. The Theory of International Politics. New York : McGraw-Hill.
Posted by Bandung Circle at 6:46 AM
[1] Harsawaskita, A. 2007.Great Power Politics di Asia Tengah Suatu Pandangan Geopolitik, dalam Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional.Bandung: Graha Ilmu.
[2] Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilization. hal 51
[3] Asprey, Robert (2000). The Rise of Napoleon Bonaparte. New York : Basic Books. ISBN 0-465-04879-X.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar