Pemahaman terhadap siapa yang akan menjadi pejabat publik sebaiknya dimiliki setiap anggota masyarakat. Sebelum memilih, masyarakat perlu tahu seluk-beluk dan sepak terjang calon pemimpin, termasuk profil kepribadiannya. Seperti dikatakan Leslie Zebrowitz dalam buku Social Perception bahwa setiap orang akan seperti psikolog, cenderung menilai orang yang diamatinya (www.unisosdem.org). Begitu pula dengan presiden di Negara Indonesia. Sebagai contoh adalah Alm. Presiden Abdurrahman Wahid dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat sekarang ini. Warga Negara Indonesia yang tahu, pernah ataupun belum pernah kenal secara pribadi tokoh pemimpin tersebut, pada dasarnya punya kecenderungan untuk berusaha menilai mereka. Dengan kata lain, warga mencoba membentuk persepsi tersendiri akan tokoh tersebut.
Di lain pihak, psikologi sebagai suatu disiplin ilmu telah menemukan beberapa metode yang didukung teori dasar psikologi kepribadian, untuk bisa menelaah dari "kejauhan" profil kepribadian tokoh politik dan pemimpin. Dimana seorang individu yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin menjadi penentu diambilnya sebuah keputusan penting maupun kebijakan baik yang menyangkut urusan dalam maupun luar negeri untuk kepentingan orang banyak. Peran individu di sini juga dijelaskan Mohtar Mas’oed dalam bukunya yang mengutip Patrick Morgan bahwa individu juga termasuk dalam peringkat analisis, selain tingkat analisis kelompok individu, negara-bangsa, kelompok negara-bangsa, dan tingkat analisis sistem internasional (Morgan, 1982). Tingkat analisis individu di sini melihat fenomena hubungan internasional sebagai interaksi perilaku individu-individu. Untuk memahami hubungan internasional, seorang peneliti diharuskan mengkaji sikap dan perilaku tokoh-tokoh utama pembuat keputusan seperti kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, dan sebagainya.
Tingkat analisis biasanya digunakan untuk menyederhanakan dan memperdalam suatu pemahaman atas kompleksitas permasalahan yang ada melalui penitikberatan analisis pada elemen yang dipandang sebagai unsur utama. Melalui instrumen inilah periset menetapkan unit eksplanasi dan bagaimana ia mempengaruhi unit analisa. Mohtar Mas’oed juga menyatakan bahwa dalam proses memilih peringkat analisis, ada dua hal yang perlu dilakukan (Mas’oed, 1990). Pertama, menentukan unit analisis, yaitu yang perilakunya hendak dideskripsikan, dijelaskan, dan diramalkan (karena itu disebut pula variabel dependen). Kedua, menentukan unit eksplanasi, yaitu yang dampaknya terhadap unit analisis hendak diamati (bisa juga disebut variabel independen). Dengan kata lain, unit eksplanasi merupakan faktor yang mempengaruhi unit analisis.
Dalam kaitannya dengan politik luar negeri, James N. Rosenau menyebutkan bahwa penempuh studi mengenai kebijakan dapat memilih dan menggabungkan faktor yang paling penting dan patut diberi perhatian dalam menjelaskan perpolitikan suatu negara yang diteliti-sistemik, masyarakat, pemerintahan dan idiosinkratik (Lentner, 1974). Idiosinkratik individu yang meliputi pengalaman, bakat, kepribadian, persepsi dan kalkulasi serta perilaku dengan kedudukannya sebagai elite pembuatan keputusan sangat menentukan. Di bawah ini terdapat perbandingan antara kebijakan luar negeri ekumenikal pada era Gus Dur dan kebijakan Thousand Friends Zero Enemy pada era SBY.
Pada era kepemimpinan Gus Dur yang saat itu baru saja keluar dari krisis, akhirnya melakukan upaya diplomasi ekumenikal yaitu merangkul semua negara dalam upaya menjalin persahabatan dan kerjasama antar Negara (http://els.bappenas.go.id). Hal ini juga dilatarbelakangi oleh politik bebas aktif yang dianut Indonesia, yaitu aktif menjalin hubungan dengan Negara lain yang saling menguntungkan dengan memprioritaskan: pemulihan citra Indonesia di mata masyarakat internasional, peningkatan hubungan bilateral dengan negara-negara tetangga, dan memajukan kerjasama internasional dalam rangka pemeliharaan perdamaian dunia. Oleh karena itu, Indonesia mesti melaksanakan politik luar negerinya dengan berperan aktif dalam diplomasi preventif serta penyelesaian konflik secara rasional dan moderat dengan mengandalkan prinsip-prinsip kerja sama internasional, saling menghormati kedaulatan nasional, dan non-intervensi.
Kadar hubungan antar Indonesia dengan negara lain berbeda-beda, karena meskipun sudah terjalin kerjasama namun konflik adakalanya tetap terjadi bahkan dengan begara tetangga sendiri, seperti Malaysia dan Singapura. Indonesia sebenarnya menganggap semua negara sama kedudukannya, untuk itu tidak ada patokan yang kaku dalam menentukan pentingnya hubungan dengan suatu negara, semuanya bergantung pada situasi dan kondisi saat itu. Dalam kepemimpinannya Gus Dur pernah membuka kembali hubungan diplomatiknya dengan Israel, yang merupakan musuh bersama Negara Islam karena sengketanya dengan Palestina. Namun inisiatif tersebut menurut penulis justru bagus bila Indonesia berniat untuk menjadi mediator konflik keduanya, karena syarat untuk menjadi mediator adalah tidak memihak dan tentunya mengakui jika Palestina maupun Israel adalah sama-sama Negara berdaulat walaupun sedang bersengketa masalah wilayah.
Pada era SBY, kebijakan luar negerinya juga tidak jauh berbeda dengan ekunomikal di jaman Gus Dur. Diplomasi thousand friends zero enemy di sini dimaksudkan agar Indonesia memiliki hubungan baik dengan banyak Negara dan sebisa mungkin menghindari konflik atau permusuhan dengan negara lain. Namun sisi negatifnya, pemerintah jadi terkesan lemah saat dihadapkan masalah dengan Negara lain, misalnya kasus perbatasan RI-Malaysia yang sudah tentu berhubungan dengan kedaulatan Negara ini di mata Internasional. Ketua DPR Marzuki Alie menilai insiden penangkapan petugas DKP Kepri oleh Polisi Malaysia merupakan sebuah bentuk pelanggaran hukum sehingga harus ditindak lanjuti (Jakartapress.com). Bila masih diselesaikan dengan cara damai, sebaiknya kedua Negara melakukan klarifikasi atas kejadian tersebut serta mempertegas garis perbatasan yang ada agar tidak terulang kesalahpahaman lagi di kemudian hari. Penulis memiliki pendapat berbeda, penyelesaian seperti ini tidak akar menyelesaikan akar konflik dan Malaysia seperti tahun-tahun sebelumnya masih saja mengulangi atau bahkan memancing konflik baru dengan Negara Indonesia. Pemerintahan SBY secara tidak langsung telah mengorbankan kedaulatan demi diplomasi thousand friends zero enemy. Hal ini didukung dengan pernyataan Anderas, dosen Universitas Parahyangan bahwa Pemerintah mengorbankan petugas penjaga perbatasan yang sedang menjalankan tugas demi kepentingan pencitraan semata. Sikap lemah ini akan menurunkan moral petugas yang menjaga perbatasan, karena tidak dilindungi oleh pemerintah yang tidak berkarakter. Anderas menambahkan, bangsa dan negara Indonesia akan terus menerus dilecehkan oleh negara tetangga dan negara-negara di dunia, selama pemimpinnya tidak punya sikap tegas dalam berdiplomasi.
Semestinya hubungan internasional memang tetap dipelihara, namun dalam koridor tetap terjaganya harga diri dan kedaulatan bangsa. Bila ada negara lain yang lebih kuat sekalipun, secara sengaja pamer power atau memicu konflik apalagi berulang seperti Malaysia, Indonesia dan segenap warga negaanya harus membela dan memperjuangkan negara ini seperti yang tercantum dalam pasal 30.
Referensi
Anonim. 2010.Tak Bisa Dibarter diakses dari www.jakartapress.com pada 7 Oktober 2010
Howard Lentner. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill and Howell Co.,hal.18.
Karim, Niniek L dkk. Pemilihan Gubernur Mencermati Kepribadian Calon Pemimpin Jakarta diakses dari http://www.unisosdem.org diakses pada 7 Oktober 2010
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Edisi Revisi (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 35.
Morgan, Patrick, Theories and Approaches to International Politics: What Are We Think? (New Brunswick: Transaction, 1982), seperti dikutip oleh Mas’oed dalam Ibid., hal. 40-42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar