Anarki: Transformasi Tatanan Paska Perang Dingin
Pada dekade akhir abad 20 yang dikenal dengan zaman orde baru ekonomi global, ada dua pandangan yang berbeda yang muncul yaitu optimis dan pesimis. Barnet dan Cavanagh melihat dunia saat itu mengalami perdagangan transnasional, sehingga diperlukan persaingan yang tinggi dan kompetitif (http://www.suaramerdeka.com). Sedangkan pandangan pesimis muncul dari Kaplan yang meramalkan datangnya anarki dalam artian yang negatif (Kaplan, 1994). Berbagai tindakan kekerasan dan anarki yang berkelanjutan merupakan suatu ancaman terbesar pada kehidupan manusia yang akan datang, di mana kontur keamanan mengalami perubahan yaitu, (1) degradasi lingkungan hidup karena hanya dianggap sebagai hostile power. (2) penyebarluasan berbagai penyakit (biological weapon) (3) konflik kultural karena rapuhnya pembangunan nation-state (4) variasi perang di era posmodernis (tidak vis a vis secara langsung) yang menghancurkan struktur masyarakat di bumi ini dan terjadi sangat pesat sekali. Tindak kekerasan ini bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif apa saja. Ramalan Kaplan, masa depan dunia nanti akan seperti Afrika Barat saat ini dimana ledakan penduduk, kerusakan lingkungan, dan “kebusukan” politik menyebarluaskan anarki di seluruh dunia, dan akan terjadi perang di antara negara-negara besar sehingga perlu sumber-sumber yang menjamin stabilitas internasional. Hal pesimis juga disampaikan oleh Bill McKibben tentang malapetaka ekologi, yang jelas berakhirnya perang dingin bukannya menghadirkan orde baru dunia tapi planet yang dilanda pergolakan dan keretakan. Masalah planet ini mendapat perhatian serius dari ahli politik dan orang awam (http://www.suaramerdeka.com).
Keberadaan antusiasme pada sebagian masyarakat untuk menerapkan demokratisasipun menimbulkan pesimisme dan kekhawatiran dari masyarakat lokal, mengutip James Rosenau bahwa semakin cepat tingkat perubahan sosial terjadi, semakin mungkin terjadi bentuk-bentuk kekerasan dalam masyarakat (http://www.suaramerdeka.com). Hal ini terlihat dari prisma konflik di Negara Sierra Leone, dimana pemberontak memutus jari tangan masyarakat agar mereka tidak bisa mengikuti pemilu sebagai wujud partisipasi pada demokrasi dan ketiranian sistem yang muncul akibat kurangnya kesadaran hukum dan menjadi wujud eksperimen dari demokrasi. Untuk itu, perubahan sosial-politik semestinya diimbangi kedewasaan elite politik lokal serta diiringi prinsip dan strategi transformatif masyarakat lokal yang mencerahkan dan memberdayakan. Jika tidak, kondisi demikian sepertinya paralel dengan kekhawatiran Kaplan terhadap demokratisasi yang dapat memunculkan kedatangan anarki (Kaplan, 1994).
Berbagai kekerasan dan kejahatan yang terjadi juga dapat diminimalisasi dengan keberadaan pendidikan dan indoktrinasi agama yang masih terjadi dalam masyarakat. Hal ini dapat diamati di Afrika Utara yang tidak terlalu banyak terjadi kejahatan karena karena islam menyediakan jangkar social yang kuat di situ. Sedangkan di Afrika barat kebanyakan tidak benar-benar menerapkan agama yang mereka percaya karena keyakinan pada animisme masih melekat kuat. Adanya fenomena poligami dan kehidupan urban yang meningkatkan resiko HIV, komunalisme dan animisme yang menyediakan perlindungan lemah dalam melawan kerusakan efek sosial kehidupan perkotaan, akhirnya menyebabkan budaya Afrika ini perlu didefinisikan ulang sebagai deforestasi dan desertifikasi. Afrika Barat sebenarnya menawarkan eksotisme dan potensi sumber daya alam namun karena tidak tereksplorasi dan dikelola dengan baik maka Afrika Barat menjadi suatu negara yang terbelakang dan tidak diperhitungkan.
Referensi
Bahtiar, Asep Purnama dan Saud El-Hujjaj. 2004. Menyiasati Otda untuk Transformasi Masyarakat. Diakses dari http://www.suaramerdeka.com pada 5 Oktober 2010
Kaplan, Robert D. 1994. The Coming Anarchy. New York: Random House, Inc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar