Kebudayaan tidak hidup dan berkembang dalam ruang kosong. Budaya adalah hasil kreasi suatu masyarakat yang ditujukan kepada kepentingan kehidupan masyarakat tersebut agar tetap eksis dan berkembang. Kreasi kebudayaan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat yang memiliki kebudayaan itu. Oleh karena itu, nilai wawasan kebangsaan tidak dapat kita terima sebagai taken for granted, tetapi sebagai suatu wawasan yang terus menerus harus menjiwai aktivitas kita hidup sebagai suatu bangsa, karena keberhasilan pembangunan bangsa yang kurang diimbangi dengan pembangunan karakter bangsa, telah mengakibatkan goncangan dan krisis budaya, yang kemudian berujung pada lemahnya ketahanan budaya.
Terkait dengan artikel Mary E. Footer yang penulis baca dengan ditambahkan sumber lain dan argumen pribadi, posisi yang saya ambil adalah kebijakan perlindungan budaya perlu dilakukan untuk menjaga keunikan dan keasliannya yang tujuannya adalah menghindari homogenisasi budaya dominan tertentu baik secara alamiah maupun di sengaja untuk motif-motif tertentu seperti komersialisasi atau persebaran soft power. Perlindungan memang perlu namun sebaiknya tidak dilakukan pembatasan persebaran budaya, karena akulturasi lumrah terjadi baik dengan menggabungkan dua budaya berbeda maupun pembentukan sebuah budaya baru akibat migrasi penduduk yang begitu sering terjadi maupun via media di era globalisasi yang tidak mengenal batas ruang dan waktu ini. Selain itu budaya juga akan mengalami stagnanisasi bila terbatasi.
Proses globalisasi mendorong reaksi dari berbagai negara, ada yang menganggapnya sebagai suatu hal yang serius dengan mengembangkan ketahanan budaya agar dapat bertahan dari terpaan globalisasi, ada juga yang menganggapnya biasa saja karena budaya masih belum menjadi permasalahan krusial di negara tersebut sehingga perlu diintervensi-urusan antar individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA yang alamiah terjadi, ada juga yang menganggapnya bukan suatu masalah karena tingkat multikulturalismenya cukup tinggi seperti Kanada.
Kebudayaan dalam Konteks
Diskursus kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari konteksnya, karena kebudayaan adalah respon manusia dengan kemerdekaannnya terhadap pembatasan ruang dan waktu (Ignas Kleden, 2004). Kebudayaan menjadi alat perjuangan untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan dalam pergaulan antarbangsa yang sesungguhnya. Setiap negara akan berusaha tampil dengan kelengkapan budayanya sebagai jati diri yang membedakan dengan negara lainnya. Jadi, menurut saya originalitas budaya yang menjadi tradisi perlu dijaa tapi perkembangannya tidak usah dibatasi karena tradisi sebenarnya tidak akan luntur bila mendapatkan nilai-nilai baru tapi justru bertransformasi dalam suatu bentuk baru, contohnya budaya Cina yang justru menyebar ke berbagai negara karena diaspora yang terjadi, pada saat perayaan imlek di banyak pusat perbelanjaan sengaja didesain dengan pernak-pernik berwarna merah yang khas, ditambah pertunjukan barongsai untuk menarik minat para konsumen Cina atau keturunannya yang merayakan. Namun karena keterbukaan dan penerimaan masyarakat setempat segmentasi konsumen semakin meluas semisal masyarakat yang tertarik dengan budaya Cina ataupun penyuka warna merah. Jadi tujuan para pengusaha untuk memaksimalkan keuntungan tercapai. Dari sini saya bisa mengamati jika budaya dapat menjadi suatu komoditas komersil maupun dipertukarkan, Apalagi pertukaran budaya juga dapat meningkatkan rasa toleransi atas perbedaan yang ada.
Budaya yang definisi sederhananya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, sudah sewajarnya jika siapapun bisa menciptakan kreasi budayanya sendiri. Sebagai wujud penghargaan maka sang pencipta memperoleh hak kaya intelektual atas karyanya. Inilah yang seringkali memunculkan konflik pengklaiman budaya seperti yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Bila ada rasa tidak suka mungkin itu suatu respon yang wajar, karena hal ini seringkali terjadi namun bila ditelaah lebih lanjut kedua negara ini berasal dari rumpun yang sama sehingga kemungkinan kemiripan budaya lumrah terjadi. Untuk itu ke depannya lebih baik keduanya mengakulturasi budaya yang diserap dari luar dan mengkombinasikannya dengan budaya setempat agar tidak sampai mengganggu stabilitas hubungan antar negara.
Dalam konteks globalisasi, kebudayaan memunculkan perdebatan yang panjang karena dijadikan sebagai komoditas. Amerika Serikat beranggapan bahwa identitas cultural sebenarnya tidak bias didefinisikan. Namun di sisi lain aspek media sebagai produk teknologi dan informasi merupakan contoh konkret hasil budaya yang diperdagangkan sebagi bentuk ekspresi budaya nasional di lingkup global. AS juga menuduh negara tujuan melakukan proteksi atas industry media lokal. Sebenarnya industrialisasi budaya ini pertama kali termanifestasi dalam bentuk media cetak seperti majalah, koran, dan buku. Baru setelah itu audiovisual merebak, namun media cetak mampu bertahan samapi sekarang karena harganya yang terjangkau dan membidik pemasaran di tingkat local. Masalah baru muncul saat AS berusaha memasukkan perfilmannya ke negara seperti Kanada, Australia, India, dll. Sementara negara tersebut merasa tersaingi dari segi menarik minat konsumen, maupun ketakutan akan liberalisasi budaya pop.
Permasalahan ini akhirnya dibahas dalam GATT, WTO, dan TRIPs dan melalui serangkaian dialog, namun belum ada kesepakatan yang tercapai. Akibatnya benturan kebudayaan tak terhindarkan, di tengah benturan kepentingan antar negara yang terjadi. Menurut penelitian UNESCO tahun 1995, terjdi penurunan atas keragaman budaya antar bangsa akibat tekanan pasar global dan orientasi ekonomi.
Globalisasi telah merupakan kenyataan hidup bahkan suatu kesadaran baru bagi setiap manusia di bumi ini. Bangsa-bangsa dimanapun perlu mempunyai outward dan forward looking. Sehingga pemikirannya lebih luas akan perbedaan yang ada. Pembangunan nasional terutama di sektor ekonomi sebuah bangsa tidak hanya melihat kepada kebutuhan internal masyarakat dan bangsa itu sendiri, tetapi juga pembangunan harus melihat keluar dan ke depan serta perlu dijalin dengan bangsa yang lain, karena masyarakat dan bangsa adalah bagian dari suatu masyarakat dunia yang semakin maju dan menyatu. Untuk itu perlu nasionalisme masyarakat perlu dibangun kembali, kalau perlu kosopolitanisme perlu dikembangkan agar semua latar belakang dan perbedaan yang ada bisa bersatu dalam keragaman. Tidak perlu penyamaan tapi penyatuan budaya agar komoditas ini memberikan variasi produk bagi penikmatnya.
Referensi
Footer, E. Mary dan C.B. Graber. 2000. Trade Liberalization and Cultural Policy dalam Journal of International Economic Law. Oxford: Oxford University Press
Kleden, Ignas. 2004. Dalam Strategi Mendorong Pengembangan Pusat Kebudayaan Nasional diakses dari Http://www.fraksi-PKS Online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar