Rezim internasional dapat diartikan sebagai alat untuk memfasilitasi pembuatan persetujuan dalam politik dunia, khususnya diantara negara-negara dengan menyediakan aturan, norma, prinsip dan prosedur yang mampu membantu aktor untuk mengatasi batasan yang disebut dengan kegagalan pasar. Bagaimanapun aturan dibutuhkan dalam pasar yang merupakan arena pencapaian kepentingan (jika tidak pasar tersebut merupakan ‘pasar gelap’ yang berdasarkan ancaman, penyuapan, dan kekuatan). Keberadaan regulasi dan aturan politik yang merupakan bagian dari aspek rezim, menyatakan kerangka fungsi kerja dari pasar agar tidak merugikan ataupun dirugikan negara lain.[1] Oleh karena itu rezim membuat aktor lebih mudah dalam merealisasikan kepentingan bersama sehingga tidak sampai terjadi benturan kepentingan akibat sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak, apalagi saat terjadinya pembengkakan populasi, ini semakin meningkatkan permintaan akan peranan dari rezim, sehingga rezim dituntut untuk lebih efektif dalam menjalankan norma dan komitmen serta menyediakan informasi akurat bagi pembuat kebijakan. Berdasarkan pengalaman sejarah, peranan aturan tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi. Aturan main dalam pasar ekonomi dapat berubah berdasarkan tindakan politik yang diambil.[2] Contoh kasus yang dapat diamati adalah kolapsnya sistem moneter Bretton Woods pada tahun 1971; kenaikan harga minyak dunia yang dimotori oleh OPEC pada tahun 1973-74 yang menyebabkan krisis minyak; tuntutan negara dunia ketiga agar terjadi restrukturisasi order ekonomi internasional pada pertengahan 70-an.
Kaum realis menyadari sejak awal bahwa dalam beberapa hal pasar mungkin saja tidak berjalan menurut harapan atas efisiensi dan keuntungan bersama karena pertimbangan rasionalitas yang memperhitungkan untung rugi dari suatu persetujuan yang dibuat; kasus seperti ini disebut sebagai kegagalan pasar, ini tidak berarti bahwa sebuah pasar tidak lagi berfungsi. Malahan, kegagalan pasar adalah situasi dimana sebuah pasar efisien dalam mengatur produksi atau alokasi barang dan jasa ke konsumen atau ketika disugestikan bahwa institusi non pasar akan memberi hasil yang diinginkan. Di sisi lain, pada konteks politik, pemegang modal atau saham menggunakan istilah kegagalan pasar untuk situasi saat pasar dipaksa untuk tidak melayani "kepentingan publik", sebuah pernyataan subyektif yang biasanya dibuat dari landasan moral atau sosial. Ada empat jenis utama penyebab kegagalan pasar, yaitu Monopoli (penyalahgunaan dari kekuasaan pasar dimana "sebuah" pembeli atau penjual bisa memberi pengaruh signifikan pada harga atau keluaran); Eksternalitas, (positif bila terjadi dalam kasus seperti dimana program kesehatan keluarga di televisi meningkatkan kesehatan publik, negatif bila terjadi ketika proses dalam perusahaan menimbulkan polusi udara, eksternalitas negatif bisa dikurangi dengan regulasi dari pemerintah, pajak, atau dengan menggunakan hak properti untuk memaksa perusahaan atau perorangan untuk menerima akibat dari usaha ekonomi mereka pada taraf yang seharusnya); Barang publik, untuk menyediakan penawaran yang baik dari barang publik, negara biasanya menggunakan pajak-pajak yang mengharuskan semua penduduk untuk membayar pada barang publik tersebut; Informasi asimetris yang terjadi ketika salah satu pihak dari transaksi memiliki informasi yang lebih banyak dan baik dari pihak yang lain. Biasanya para penjual yang lebih tahu tentang produk tersebut daripada sang pembeli, tapi ini tidak selalu terjadi dalam kasus ini. Contohnya, para pelaku bisnis mobil bekas mungkin mengetahui dimana mobil tersebut telah digunakan sebagai mobil pengantar atau taksi, informasi yang tidak tersedia bagi pembeli. Jadi untuk mencegah kegagalan pasar maka peran negara dibutuhkan untuk melakukan manajemen yang lebih baik terhadap pasar tersebut dalam tatanan dunia yang anarki. Dalam proses harmonisasi aturan, dimana aturan internasional mempengaruhi aturan nasional, berarti negara harus membuat aturan-aturan nasional yang mendorong realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh dalam bidang perdagangan internasional, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dalam World Trade Organization (WTO) telah mendorong negara-negara membuat aturan nasional sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana internasional. Dalam institusi internasional seperti WTO sendiri juga memiliki aturan internal yang menjadi kesepakatan diantara negara anggotanya.
Perekonomian internasional hanya dapat berfungsi ketika didukung oleh kekuatan politik, ekonomi dan militer yang memimpin, yaitu hegemon, sebab jika kekuatan tersebut tidak ada maka aturan tidak dapat dilaksanakan. Dalam teori stabilitas hegemoni dibedakan definisi hegemoni dengan menekankan kapasitas kekuatan militer untuk mengendalikan tatanan dunia dan kapasitas kekuatan ekonomi untuk menentukan dan mendikte aturan yang mengendalikan perdagangan, keuangan dan investasi internasional, mampu menyediakan barang publik dengan kriteria non rival dan non excludent, mampu mengatasi free rider yang mayoritas adalah negara berkembang, karena dalam konteks ini, teori stabilitas hegemoni didedikasikan terutama pada tugas menjelaskan bukan perang dan damai namun menerangkan mengapa negara-negara hegemon di hirarki tertinggi (seperti AS setelah Perang Dunia II, karena sebelumnya AS sebagai hegemon tidak berkeinginan untuk mengambil tanggung jawab untuk menciptakan tatanan ekonomi dunia yang liberal akibat krisis ekonomi tahun 1930-an) termotivasi mempromosikan rezim internasional yang menguntungkan yang tak hanya menguntungkan diri sendiri tapi juga negara lain. Dalam teori ini dijelaskan bahwa kekutan dominan menciptakan suatu perekonomian dunia yang terbuka berdasarkan pada perdagangan bebas yang bermanfaat bagi semua negara yang berpartisipasi bukan hanya hegemon. Komitmen sebagai hegemon dan stabiliser bukan hanya dalam keadaan baik dan harmoni dalam bentuk kerja sama, ketika perekonomian negara meluas, tetapi juga dalam keadaan buruk, ketika perekonomian dunia dalam resesi karena negara yang berartisipasi mungkin saja berupaya merampok tetangganya.
Ada kritikan sehubungan dengan teori ini, yaitu ketika kekuasaan AS menurun, kerjasama tidak pecah seperti yang dibayangkan teori stabilitas hegemoni sehingga kesimpulannya kekuatan hegemonik mungkin penting bagi awal pembentukan kerjasama, tetapi ketika institusi internasional yang diperlukan dibentuk, mereka memiliki kekuatan yang tetap ada dan mampu meningkatkan kerjasama yang lebih baik dalam lingkungan penurunan hegemon, jadi peran sebuah rezim tidak bisa dipungkiri di sini. Tata aturan itu ada, bisa berubah dan bisa dibuat serta di strukturalisasikan oleh negara ataupun non negara (Institusi internasional, MNC, dll.) bergantung dari upaya kooperatif di antara negara dalam tatanan multipolar seperti sekarang tanpa merubah rezim yang ada, berbeda dengan prinsip dan norma. Pemaksimalan aturan haruslah dilaksanakan secara keseluruhan, bukan sepotong-sepotong, dan dalam waktu bersamaan. Adanya pengecualian dan penangguhan salah satu unsur aturan akan merusak keseluruhan sistim. Pada tataran ide normatif dalam aturan secara tegas diletakkan sebagai pendorong pembangunan, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satu contohnya adalah dengan tetap memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan fungsinya sebagai pengendali pasar melalui berbagai regulasi ekonomi, menyerahkan sepenuhnya aktivitas ekonomi nasional pada mekanisme pasar yang diyakini sebagai “self regulating” justru akan menimbulkan ketidakadilan bagi banyak pihak di dalam negeri dan sebaliknya membuka peluang pemerintah transnational untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi suatu bangsa. Pelaksanaan roda pemerintahan dengan demokratis dan menggunakan aturan sebagai salah satu instrumen untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang komprehensif, semoga akan membawa negara (yang meskipun terus berkembang secara dinamis ini) menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan, karena tiap aktor seringkali mengalami dilema perubahan tingkah laku yang kadangkala menghambat interaksi kerjasama.
REFERENSI
Artikel Robert O. Keohane.The Demand for International Regime
Gilpin, K.1987. The Political Economy of International Relations. Princeton: Princeton University Press.
Jackson, Robert J. and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York . Oxford University. Pp228
Perwita, Banyu. 2006. Pengantar Ilmu hubungan internasional. Bandung: PT Rosda Karya. Hal 75
[1] Robert J. Jackson and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York . Oxford University . Pp228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar