Tampilkan postingan dengan label rezim internasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rezim internasional. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Oktober 2010

SIGNIFIKANSI AFTA DAN MERCOSUR DALAM GLOBALISASI EKONOMI



Istilah globalisasi ekonomi sebenarnya mengacu kepada semakin menyatunya unit-unit ekonomi di dunia ke dalam satu unit ekonomi dunia, contoh sederhananya adalah komputer yang dipakai mengetik jurnal ini. Layar monitornya mungkin dirakit di Singapura, tapi banyak komponennya yang dibikin di Jepang, Taiwan atau Korea Selatan, sementara kabel listriknya dibuat di Amerika Serikat. CPUnya lebih rumit lagi. Tempat disketnya dibuat di Jerman, tombol-tombolnya di Malaysia, dan komponen lainnya di Argentina. Di sinilah peran perusahaan raksasa yang disebut perusahaan multinasional untuk mengatur arus barang dan menjaga produksi agar selesai tepat pada waktunya, dan agar terus bisa menghasilkan keuntungan karena jaringannya tersebar di mana-mana.
Dalam globalisasi sekarang ini ada tiga hal dasar yang menjadi agendanya yaitu penghapusan hambatan dagang dan penanaman modal lintas batas. Keputusan menghapus batas-batas itu memungkinkan perusahaan Jepang menanam modalnva di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia dan begitu juga sebaliknya; pembentukan blok-blok perdagangan regional seperti ASEAN, NAFTA, CIS, MERCOSUR, APEC, dan lainnya yang punya komitmen memajukan perdagangan bebas. Perkembangan ini kemudian memaksa pemerintah anggota blok perdagangan untuk mengeluarkan peraturan dan undang-undang dan memelihara rezim yang ada agar sesuai dengan kenyataan integrasi ekonomi yang baru, perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi. Banyak pengamat menilai bahwa di dalam situasi seperti ini peran negara sebagai pembuat kebijaksanaan tidak lagi penting, dan hanya sekadar menjadi fasilitator kepentingan pasar bebas. Sepintas memang benar, karena keputusan di bidang ekonomi makin lama makin bergantung pada negosiasi dan kebijaksanaan di tingkat internasional, dalam forum ASEAN, Mercosur dan sejenisnya.

Problem dalam Free Trade Agreement
            Declaration of Singapore tahun 1992 merupakan momen bersejarah bagi masa depan kawasan Asia Tenggara, karena kesepakatan ini merupakan sikap ASEAN terhadap fenomena globalisasi pasca berakhirnya Perang Dingin. Kesepakatan ini direalisasikan dalam bentuk kerjasama free trade yang dikenal dengan AFTA (ASEAN Free Trade Area).[1] Kerjasama AFTA bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk ASEAN di pasar dunia dan menciptakan pasar seluas-luasnya untuk menstimulus peningkatan FDI (Foreign Direct Investment) di kawasan Asia Tenggara.[2] Kerjasama ini pada awalnya hanya beranggotakan enam negara yaitu Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan Malaysia tapi pada perkembangannya, AFTA memperluas keanggotaannya sampai menjadi 10 negara. Dengan perluasan keanggotaan ini diharapkan dapat mempercepat terjadinya integrasi ekonomi di kawasan Asia tenggara menjadi suatu pasar produksi tunggal dan menciptakan pasar regional bagi lebih dari 500 juta orang.[3] 
            Pemberlakuan AFTA merupakan pilihan dilematis bagi negara-negara anggota ASEAN. Di satu sisi, pemberlakuan AFTA dapat dianggap sebagai kesepakatan yang tidak realistis, karena pilihan untuk menjalankan liberalisasi perdagangan antar negara-negara di tengah-tengah masih rendahnya tingkat efisiensi produksi dan jumlah produk kompetitif masing-masing negara justru dapat merugikan, kendala lain yang menghambat adalah lemahnya upaya negara-negara anggota untuk memanfaatkan mekanisme yang telah ditetapkan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan intra ASEAN. Kendala itu juga disebabkan oleh kekurangselarasan antara pilar masyarakat ekonomi ASEAN yang mencita-citakan sebuah pasar tunggal dengan masyarakat keamanan ASEAN yang masih mengedepankan prinsip non-interference.[4] Sedangkan di sisi lain, pemberlakuan AFTA dapat dilihat sebagai upaya ASEAN untuk menyelamatkan perekonomian masing-masing negara anggota dalam  penghapusan tariff bea masuk di negara-negara anggota ASEAN dianggap sebagai sebuah katalisator bagi efisiensi produk yang lebih besar dan kompetisi jangka panjang, serta memberikan para konsumen kesempatan untuk memilih barang-barang berkualitas.[5]
            Oleh karena itu, pemberlakuan AFTA sebagai kerjasama ekonomi ASEAN masih mendapat kritik dan perhatian dari negara-negara anggota yang berupaya untuk melakukan perbaikan penting dalam proses integrasi ekonomi ASEAN serta diharapkan agar AFTA dapat memediasi pertumbuhan perekonomian dan memperkuat kohesivitas antar negara-negara anggota ASEAN.
                     
ASEAN dan Mercosur paska 11 September 2001
            Keberadaan rezim ekonomi di ASEAN yaitu AFTA tak lepas dari pengaruh aspek keamanan dan politik. Logikanya bila stabilitas perpolitikan dan keamanan terpengaruh oleh peristiwa pemboman yang terjadi 11  September 2001 yang dilakukan oleh teroris maka mekanisme perekonomian pasti juga ikut labil dan tidak kondusif. Untuk itu dibutuhkan relasi peranan rezim keamanan seperti ARF dan sejenisnya untuk mengembalikan kepercayaan investor dalam dan luar kawasan.
            Merebaknya terorisme di kawasan Asia Tenggara akan mendorong semakin jatuhnya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini sampai beberapa tahun ke depan, untuk itu semestinya negara anggota ASEAN mampu menjadikan terorisme sebagai isu bersama dalam konteks kawasan, selain sebagai faktor pemersatu juga agar bahaya terorisme lebih mudah ditanggulangi bila dilakukan bersama-sama. Usaha yang dilakukan AFTA dan Mercosur sangat besar dengan menjadikan aspek keamanan sebagai katalisator yang mendukung rezim ekonominya selain kepatuhan akan konsensus diantara negara anggotanya demi kepentingan yang lebih besar yaitu organisasi regional.[6] Langkah konkret yang dilakukan oleh ASEAN dan Mercosur untuk mengatasi terorisme adalah merujuk pada aturan ASEAN yaitu dengan cara damai melalui peningkatan ekonomi, diharapkan negara yang makmur akan mengurangi tindakan teror oleh aktor individu maupun kelompok. Cara lain adalah dengan mengisi kekosongan power di ASEAN paska kegagalan ASEAN di tahun 1997 agar ASEAN maupun Mercosur tidak lagi dipandang sebelah mata karena stigma negara selatan yang terlanjur melekat.

Referensi
http://www.aseansec.org/1163.htm, diakses pada tanggal 6 Juni 2009
www.kompas.com diakses 6 Juni 2009
Eul-Soo Pang.  the World After 11 September 2001


[1] http://www.aseansec.org/1163.htm, diakses pada tanggal 6 Juni 2009
[3]opcit
[4] www.kompas.com diakses 6 Juni 2009
[5] Opcit
[6] Eul-Soo Pang.  the World After 11 September 2001

KONDISI PERDAGANGAN DI EROPA


Pada awalnya, perdagangan merupakan sebuah cara berelasi antar dua pihak untuk memenuhi tujuannya. Dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Tetapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah kenyataan bahwa perdagangan selalu memiliki sisi positif dan negatif. Secara positif, perdagangan bagi sebuah negara merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan negara, yang kelak akan digunakan untuk melaksanakan pembangunan di dalam negeri dan secara tidak langsung akan membantu meningkatkan taraf hidup warga negaranya. Perdagangan juga dapat menjadi stimulus bagi kehidupan sektor-sektor ekonomi yang lain seperti pertanian, industri dan bahkan teknologi.
            Sebaliknya, jika tidak dikelola dengan baik dan diikuti oleh peraturan yang adil maka perdagangan dapat menghancurkan kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Perdagangan menyebabkan orang tidak pernah puas dengan apa yang ia miliki. Pengusaha semakin berambisi untuk memperoleh akumulasi modal mereka dengan berbagai cara dan pengorbanan yang seminimal mungkin, dan bahkan jika perlu melakukan praktek bisnis yang curang. Bukan hal yang aneh jika pengusaha bermodal besar melakukan "kerjasama" dengan kaum birokrat untuk melindungi sekaligus memperbesar usaha bisnis mereka. Akibatnya produsen kecil semakin terjepit. Terjadi eksploitasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Situasi perdagangan tersebut tentu saja dialami oleh produsen kecil (nelayan, petani, buruh, perajin) di belahan negara manapun. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk melakukan tawar-menawar dan melawan sistem yang ada, yaitu sebuah sistem yang tidak adil (karena hanya menguntungkan sekelompok kecil orang), sekaligus eksploitatif. Celakanya, sistem ini justru semakin dikukuhkan dengan berbagai peraturan dan produk legislasi lainnya, baik yang dibuat oleh pemerintah (eksekutif) maupun lembaga legislatif.

Perdagangan Yang Berkeadilan (Fair trade)
Berhadapan dengan situasi demikian maka diperlukan sebuah alternatif perdagangan yang tidak eksploitatif dan berpihak kepada produsen kecil. Perdagangan yang berkeadilan (fair trade) bertujuan untuk perbaikan penghidupan produsen melalui hubungan dagang yang sejajar, mempromosikan peluang usaha dan kesempatan bagi produsen lemah atau termarjinalisasi, meningkatkan kesadaran konsumen melalui kampanye fair trade, mempromosikan model kemitraan dalam perdagangan yang adil, mengkampanyekan perubahan dalam perdagangan konvensional yang tidak adil, melindungi HAM, pendidikan konsumen dan melakukan advokasi bagi terciptanya kondisi yang lebih baik, khususnya yang berpihak kepada produsen kecil sehingga mereka dapat berpartisipasi di pasar.
Dalam pembahasan yang lebih dikhususkan terutama di regional Eropa, kita mengenal keberadaaan Uni Eropa sebagai organisasi kerjasama di bidang ekonomi perdagangan yang lebih mengutamakan free trade daripada konsep fair trade yang diserukan oleh negara-negara berkembang yang selama ini merasa dirugikan. Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan semangat Uni Eropa dalam menegakkan HAM, karena seperti yang kita ketahui bahwa Uni Eropa benar-benar Negara penggiat HAM paling aktif sedunia melebihi Amerika Serikat (AS memperjuangkan HAM hanya kalau dipimpin oleh Demokrat).[1]

Dilema perdagangan dan penegakan HAM
            Dalam proses pembentukannya, Uni Eropa dapat dikatakan sebagai rezim yang sangat kompleks dan pragmatis karena dasar pembentukannya mengacu pada prinsip WTO untuk melakukan integrasi ekonomi regional dan penerapan VCLT sebagai peraturan normatif dalam mengatasi pelanggaran-pelanggaran terhadap kontrak yang telah disepakati, serta membuat hak asasi manusia sebagai elemen esensial dalam perdagangan.[2] Namun dibalik kekomplekannya, Uni Eropa juga memberikan suatu dorongan  atau incentives kepada para pesaingnya untuk dapat melakukan hal-hal berikut :
  • menerima aturan yang berlaku di Uni Eropa meskipun tidak disukai atau mungkin akan merugikan.
  • peraturan-peraturan yang tidak menguntungkan akan menimbulkan suatu objection yang justru merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi pihak lawan untuk dapat mengatasinya
  • menggunakan sistem a la carte dalam menangani suatu isu tertentu
  • berganti-ganti venue ketika kepentingan yang diperjuangkan juga mengalami perubahan kepentingan.[3]
Pragmatisme Uni Eropa dapat dilihat dalam  kepatuhan Uni Eropa atas aturan hukum serta kegiatan yang akan membantu tercapainya kepentingan negara-negara yang tergabung dalam forum Uni Eropa, salah satunya adalah free trade tersebut, inilah yang menjadi asal-muasal sulitnya tercapai fair trade sebagaimana diungkapkan di atas.
Namun terlepas dari kendala tersebut, kepedulian Uni Eropa pada masalah HAM patut diacungi jempol, sampai  menimbulkan overlapping karena tidak adanya badan khusus yang menangani kasus HAM. Sehingga Negara yang terlibat hubungan perdagangan sekaligus juga mengurusi masalah HAM, kebutuhan akan rezim HAM dalam lingkup regional Eropa bisa disebabkan karena kekurangefektifan PBB dalam melaksanakan tugasnya, disamping itu bila badan ini benar-benar ada diharapkan lebih obyektif dan lebih mengetahui keadaan di Eropa sebenarnya. Apalagi dengan keberadaan Inggris dan Perancis yang menjadi anggota DK PBB sekaligus Uni Eropa mulai menjadi sorotan, karena ditakutkan ada kecenderungan subyektivitas atas regionalnya. Hal ini sebaiknya diakomodir oleh Uni Eropa dengan mendirikan badan otonom khusus HAM, bukan sekedar VLCT.
Untuk mengatasi masalah HAM dilingkup internal Uni Eropa serta tumpang tindih peranan yang terjadi, muncullah istilah forum shopping yaitu suatu kondisi yang menyediakan berbagai macam alternatif kebijakan dalam mengatasi suatu masalah yang menempatkan aktor dalam berbagai alternatif pilihan. Ada empat kategori yang tersedia yaitu mengelak, ketika implementasi kebijakan itu gagal, maka alternatif utamanya adalah dengan menentukan persetujuan dagang regional. Yang kedua adalah menantang, yang mana ditunjukkan dengan adanya kondisi ketika suatu isu tidak ditemukan solusi yang tepat dan isu tersebut terus dijadikan bahan pembahasan utama. Dengan demikian, akan muncul suatu dorongan untuk mencari solusi dari isu yang ada dalam skala hubungan internasional. Kategori ketiga adalah a la carte, kategori ini akan diambil saat memang benar-benar dibutuhkan dan tidak diambil ketika tidak diperlukan. Yang terakhir, yang keempat, adalah flip-flop. Flip-flop mengacu pada suatu kondisi ketika suatu isu tidak dapat ditemukan solusinya dalam suatu forum sehingga perlu forum lain untuk mencari solusi atas isu tersebut. Masalah perdagangan di Uni Eropa tidak hanya dihambat oleh masalah HAM tapi juga terorisme, yang mencapai puncaknya pada 11 September 2001, yang akhirnya memunculkan Strategi Kebijakan Tahunan, yang kemudian menambahkan security dalam prioritas dibidang politik untuk tahun 2002 yang fokus pada kesejahteraan dan kemakmuran negara anggota.
Untuk menunjukkan kekonsistenannya semestinya Uni Eropa menangani masalah terorisme ini dengan langkah persuasive, selain itu urgensi atas keberadaan badan khusus HAM semestinya menjadi prioritas Uni Eropa untuk kedepannya.
Referensi:
Hafner-Burton, Emilie M. . The Power Politics of Regime Complexity: Human Rights Trade Conditionality in Europe. Princeton University.
www.kompas.com diakses tanggal 14 Mei 2009


[1] www.kompas.com diakses tanggal 14 Mei 2009
[2] Emilie M. Hafner-Burton. “The Power Politics of Regime Complexity : Human Rights Trade Conditionality in UErope”. Princeton University
[3] Ibid hal 3-8

ANALISA TEORI EKONOMI DALAM REZIM INTERNASIONAL


Rezim internasional dapat diartikan sebagai alat untuk memfasilitasi pembuatan persetujuan dalam politik dunia, khususnya diantara negara-negara dengan menyediakan aturan, norma, prinsip dan prosedur yang mampu membantu aktor untuk mengatasi batasan yang disebut dengan kegagalan pasar. Bagaimanapun aturan dibutuhkan dalam pasar yang merupakan arena pencapaian kepentingan (jika tidak pasar tersebut merupakan ‘pasar gelap’ yang berdasarkan ancaman, penyuapan, dan kekuatan). Keberadaan regulasi dan aturan politik yang merupakan bagian dari aspek rezim, menyatakan kerangka fungsi kerja dari pasar agar tidak merugikan ataupun dirugikan negara lain.[1] Oleh karena itu rezim membuat aktor lebih mudah dalam merealisasikan kepentingan bersama sehingga tidak sampai terjadi benturan kepentingan akibat sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak, apalagi saat terjadinya pembengkakan populasi, ini semakin meningkatkan permintaan akan peranan dari rezim, sehingga rezim dituntut untuk lebih efektif dalam menjalankan norma dan komitmen serta menyediakan informasi akurat bagi pembuat kebijakan. Berdasarkan pengalaman sejarah, peranan aturan tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi. Aturan main dalam pasar ekonomi dapat berubah berdasarkan tindakan politik yang diambil.[2] Contoh kasus yang dapat diamati adalah kolapsnya sistem moneter Bretton Woods pada tahun 1971; kenaikan harga minyak dunia yang dimotori oleh OPEC pada tahun 1973-74 yang menyebabkan krisis minyak; tuntutan negara dunia ketiga agar terjadi restrukturisasi order ekonomi internasional pada pertengahan 70-an.

            Kaum realis menyadari sejak awal bahwa dalam beberapa hal pasar mungkin saja tidak berjalan menurut harapan atas efisiensi dan keuntungan bersama karena pertimbangan rasionalitas yang memperhitungkan untung rugi dari suatu persetujuan yang dibuat; kasus seperti ini disebut sebagai kegagalan pasar, ini tidak berarti bahwa sebuah pasar tidak lagi berfungsi. Malahan, kegagalan pasar adalah situasi dimana sebuah pasar efisien dalam mengatur produksi atau alokasi barang dan jasa ke konsumen atau ketika disugestikan bahwa institusi non pasar akan memberi hasil yang diinginkan. Di sisi lain, pada konteks politik, pemegang modal atau saham menggunakan istilah kegagalan pasar untuk situasi saat pasar dipaksa untuk tidak melayani "kepentingan publik", sebuah pernyataan subyektif yang biasanya dibuat dari landasan moral atau sosial. Ada empat jenis utama penyebab kegagalan pasar, yaitu Monopoli (penyalahgunaan dari kekuasaan pasar dimana "sebuah" pembeli atau penjual bisa memberi pengaruh signifikan pada harga atau keluaran); Eksternalitas, (positif bila terjadi dalam kasus seperti dimana program kesehatan keluarga di televisi meningkatkan kesehatan publik, negatif bila terjadi ketika proses dalam perusahaan menimbulkan polusi udara, eksternalitas negatif bisa dikurangi dengan regulasi dari pemerintah, pajak, atau dengan menggunakan hak properti untuk memaksa perusahaan atau perorangan untuk menerima akibat dari usaha ekonomi mereka pada taraf yang seharusnya); Barang publik, untuk menyediakan penawaran yang baik dari barang publik, negara biasanya menggunakan pajak-pajak yang mengharuskan semua penduduk untuk membayar pada barang publik tersebut; Informasi asimetris yang terjadi ketika salah satu pihak dari transaksi memiliki informasi yang lebih banyak dan baik dari pihak yang lain. Biasanya para penjual yang lebih tahu tentang produk tersebut daripada sang pembeli, tapi ini tidak selalu terjadi dalam kasus ini. Contohnya, para pelaku bisnis mobil bekas mungkin mengetahui dimana mobil tersebut telah digunakan sebagai mobil pengantar atau taksi, informasi yang tidak tersedia bagi pembeli. Jadi untuk mencegah kegagalan pasar maka peran negara dibutuhkan untuk melakukan manajemen yang lebih baik terhadap pasar tersebut dalam tatanan dunia yang anarki. Dalam proses harmonisasi aturan, dimana aturan internasional mempengaruhi aturan nasional, berarti negara harus membuat aturan-aturan nasional yang mendorong realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh dalam bidang perdagangan internasional, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dalam World Trade Organization (WTO) telah mendorong negara-negara membuat aturan nasional sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana internasional. Dalam institusi internasional seperti WTO sendiri juga memiliki aturan internal yang menjadi kesepakatan diantara negara anggotanya.

Perekonomian internasional hanya dapat berfungsi ketika didukung oleh kekuatan politik, ekonomi dan militer yang memimpin, yaitu hegemon, sebab jika kekuatan tersebut tidak ada maka aturan tidak dapat dilaksanakan. Dalam teori stabilitas hegemoni dibedakan  definisi  hegemoni dengan  menekankan  kapasitas kekuatan militer  untuk  mengendalikan tatanan  dunia dan kapasitas kekuatan ekonomi untuk  menentukan  dan mendikte   aturan  yang  mengendalikan  perdagangan,  keuangan   dan investasi internasional, mampu menyediakan barang publik dengan kriteria non rival dan non excludent, mampu mengatasi free rider yang mayoritas adalah negara berkembang, karena dalam  konteks ini,  teori  stabilitas hegemoni didedikasikan terutama pada tugas menjelaskan bukan  perang dan   damai   namun  menerangkan   mengapa   negara-negara hegemon  di hirarki tertinggi (seperti AS setelah  Perang  Dunia II, karena sebelumnya AS sebagai hegemon tidak berkeinginan untuk mengambil tanggung jawab untuk menciptakan tatanan ekonomi dunia yang liberal akibat krisis ekonomi tahun 1930-an) termotivasi mempromosikan rezim internasional yang menguntungkan   yang tak hanya menguntungkan diri sendiri tapi juga negara lain. Dalam teori ini dijelaskan bahwa  kekutan dominan menciptakan suatu perekonomian dunia yang terbuka berdasarkan pada perdagangan bebas yang bermanfaat bagi semua negara yang berpartisipasi bukan hanya hegemon. Komitmen sebagai hegemon dan stabiliser bukan hanya dalam keadaan baik dan harmoni dalam bentuk kerja sama, ketika perekonomian negara meluas, tetapi juga dalam keadaan buruk, ketika perekonomian dunia dalam resesi karena negara yang berartisipasi mungkin saja berupaya merampok tetangganya.

Ada kritikan sehubungan dengan teori ini, yaitu ketika kekuasaan AS menurun, kerjasama tidak pecah seperti yang dibayangkan teori stabilitas hegemoni sehingga kesimpulannya kekuatan hegemonik mungkin penting bagi awal pembentukan kerjasama, tetapi ketika institusi internasional yang diperlukan dibentuk, mereka memiliki kekuatan yang tetap ada dan mampu meningkatkan kerjasama yang lebih baik dalam lingkungan penurunan hegemon, jadi peran sebuah rezim tidak bisa dipungkiri di sini. Tata aturan itu ada, bisa berubah dan bisa dibuat serta di strukturalisasikan oleh negara ataupun non negara (Institusi internasional, MNC, dll.) bergantung dari upaya kooperatif di antara negara dalam tatanan multipolar seperti sekarang tanpa merubah rezim yang ada, berbeda dengan prinsip dan norma. Pemaksimalan aturan haruslah dilaksanakan secara keseluruhan, bukan sepotong-sepotong, dan dalam waktu bersamaan. Adanya pengecualian dan penangguhan salah satu unsur aturan akan merusak keseluruhan sistim. Pada tataran ide normatif dalam aturan secara tegas diletakkan sebagai pendorong pembangunan, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satu contohnya adalah dengan tetap memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan fungsinya sebagai pengendali pasar melalui berbagai regulasi ekonomi, menyerahkan sepenuhnya aktivitas ekonomi nasional pada mekanisme pasar yang diyakini sebagai “self regulating” justru akan menimbulkan ketidakadilan bagi banyak pihak di dalam negeri dan sebaliknya membuka peluang pemerintah transnational untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi suatu bangsa. Pelaksanaan roda pemerintahan dengan demokratis dan menggunakan aturan sebagai salah satu instrumen untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang komprehensif, semoga akan membawa negara (yang meskipun terus berkembang secara dinamis ini) menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan, karena tiap aktor seringkali mengalami dilema perubahan tingkah laku yang kadangkala menghambat interaksi kerjasama.

REFERENSI
Artikel Robert O. Keohane.The Demand for International Regime
Gilpin, K.1987. The Political Economy of International Relations. Princeton: Princeton University Press.
Jackson, Robert J. and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York.  Oxford University. Pp228
Perwita, Banyu. 2006. Pengantar Ilmu hubungan internasional. Bandung: PT Rosda Karya. Hal 75



[1] Robert J. Jackson  and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York.  Oxford University. Pp228


PERAN ASEAN DAN ARF SEBAGAI PERIMBANGAN KEKUATAN DUNIA



            Secara fungsional, ASEAN didirikan sebagai institusi regional di kawasan Asia Tenggara serta menerapkan mekanisme diplomasi formal dalam menyelesaikan konflik internal dan eksternal maupun dalam pencapaian kepentingan semua negara anggotanya tanpa mengesampingkan keutuhan dan eksistensi ASEAN. Di sisi lain juga muncul keniscayaan akan pentingnya perimbangan kekuatan, ASEAN dalam hal ini melalui ASEAN Regional Forum (ARF) berusaha membentuk tatanan regional pada khususnya dan global pada umumnya agar berjalan damai dan stabil melalui rezim kerjasama keamanan.

Teori, Politik dan Militer dalam Perimbangan Kekuatan
            Teori perimbangan kekuatan (bop) dapat diartikan sebagai situasi, kebijakan ataupun sistem. Pendefinisian ini bergantung bagaimana seorang praktisi menggunakannya. Sebagai sebuah kebijakan, bop melibatkan penciptaan dan pemeliharaan keseimbangan, setiap konfrontasi kekuatan yang muncul dari hegemoni tunggal dicegah melalui pendistribusian dan pembatasan kekuatan, ini berlaku pada hegemon dari kawasan Asia Tenggara sendiri maupun dari luar kawasan.[1]
            Sejak blok komunis runtuh dan kekuatan Uni Soviet berkurang, negara-negara anggota ASEAN memandang perlunya saingan bagi Amerika Serikat sebagai pihak yang menang dalam Perang Dingin untuk menghindari unilateralisme hegemon yang sewenang-wenang (malevolent hegemon) serta mencegah bilamana terjadi keruntuhan hegemon secara tiba-tiba maka kerjasama internasional yang sudah terjalin dipastikan tidak akan morat-marit karena telah digantikan oleh peran rezim. Dari sinilah pemikiran strategis ASEAN melahirkan ARF yang merupakan forum dialog regional yang begitu intens dalam urusan keamanan multilateral yang sifatnya mandiri dan independen dengan menggandeng negara-negara besar seperti Cina, Korea Selatan dan Jepang yang berpotensi sebagai atau merupakan hegemon sebagai mitra dialog.[2] Bagaimanapun paska pergantian kepemimpinan yang memiliki arti signifikan dalam ASEAN seperti Soeharto (Indonesia), Lee Kuan Yew (Singapura) dan Mahathir Muhammad (Malaysia) turut memperburuk pamor ASEAN di mata internasional, sehingga anggota ASEAN yang sudah ada kurang dapat diandalkan dalam melakukan bop.[3]
            Untuk itu keberadaan ARF di sini diharapkan memberikan warna baru dengan konsep yang berbeda dengan ASEAN dalam melakukan mekanisme ”binding” diantara negara anggotanya. Dipasikan agar semua negara anggota menaati setiap prinsip dan norma yang telah disepakati dalam rezim, untuk menghindari ”penunggangan” negara dominan serta egoisme kepentingan nasional setiap negara di atas kepentingan regional. Keberadaan ARF ini tidaklah dibentuk berdasarkan prinsip seperti aliansi militer pada umumnya, tapi lebih kepada prinsip kerja sama, keterbukaan dan saling pengertian antar sesama anggota dalam upaya mewujudkan semangat penciptaan kawasan yang tertib, aman dan damai.[4] Jadi menurut saya, bila semua aktor berpikir rasional, memang kita tidak akan bisa memprediksi tindakan apa yang akan dilakukan lawan, namun dengan adanya institusi yang merupakan buah pemikiran neoliberalisme diharapkan akan menumbuhkan rasa saling percaya diantara negara-negara melalui jalan kerjasama keamanan ini.

Relevansi BOP dan Momentum Pendirian ASEAN
            Keberhasilan ASEAN di awal kemunculannya dalam meredam konflik internal di bawah permukaan ternyata memukau SAARC, organisasi regional di Asia Selatan, untuk menjadikannya model percontohan. Namun, sayangnya konflik tersebut bukannya hilang sama sekali tapi justru menimbulkan konflik laten yang suatu saat bisa meledak kapan saja ke permukaan.  Hal ini ternyata luput dari pantauan ASEAN, sehingga memunculkan masalah seperti perebutan Sipadan-Ligitan dan Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, kasus Mischief Reef antara Philipina-China serta masalah Kepulauan Spratly antara China dengan beberapa negara ASEAN. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan mudah sebenarnya bila saja semua negara mematuhi hukum internasional mengenai perbatasan dan mau mengakui kedaulatan negara lain, bila cara ini dipandang sudah tidak efektif maka negosiasi bilateral ataupun dengan bantuan ASEAN sebagai mediator dapat dilakukan yakni melalui diplomasi asosiatif yang merupakan salah satu dari multi-track diplomacy.
            Dalam tatanan dunia anarki yang berkembang begitu dinamis, tak selamanya negara mampu melakukan self help, kekurangan ini dapat ditutupi dengan keikutsertaan negara dalam interaksi dan integrasi regional ataupun global. Kunci utama berjalannya keseimbangan kekuatan adalah penolakan akan kehadiran hegemon tunggal dan adanya rasa saling percaya bahwa konflik apapun dapat diakhiri melalui kerjasama. Untuk itulah mengapa kekuatan disini dibatasi dan didistribusikan secara merata sebagai wujud partisipasi semua negara anggota untuk mewujudkan kehidupan dunia yang aman dan stabil sesuai mimpi para liberalis.
            Semestinya kegagalan ASEAN di tahun 1997 dulu tak melenakan para founding father ASEAN, karena bila tidak kekosongan power tersebut memberikan peluang negara besar seperti AS, Cina dan Jepang untuk mencaplok dan menyetir ASEAN karena mereka sudah menjadikan ARF sebagai pintu masuk untuk menyebarluaskan pengaruh. Saya rasa waktu 12 tahun cukup untuk negara anggota ASEAN untuk bangkit dari kegagalannya, terutama Indonesia yang merupakan big brother, untuk menunjukkan kebijakan-kebijakan revolusioner dalam upaya menghapuskan stigma negatif utara-selatan yang selama ini identik dengan negara-negara Asia Tenggara, kecuali Singapura.

Referensi
The Role of the Balance of Power within and beyond Regimes for Cooperative Security dalam Emmers, Ralf. 2003. Cooperative Security and the Balance of Power in  ASEAN and the ARF. London and New York
www.kompas.com diakses 27 Mei 2009
www.korantempo.com diakses 27 Mei 2009



[1] The Role of the Balance of Power within and beyond Regimes for Cooperative Security dalam Ralf Emmers. 2003. Cooperative Security and the Balance of Power in  ASEAN and the ARF. London and New York
[2] www.kompas.com diakses 27 Mei 2009
[3] www.korantempo.com diakses 27 Mei 2009
[4] Ibid hal 60

IMPLEMENTASI TEORI STABILITAS HEGEMONI DI ERA KONTEMPORER


Abstract: The stability of the international system can be realized by  order which  regulate all elements- state, nation, market, individual and their interaction. The function of hegemon here is a single leader to keep implementation of order, to manage system in crisis condition, etc.  To be a hegemon, a state must have three attributes: the capability to enforce the rules of the system (economy, military, and politic), the will to do so, and a commitment to a system which is perceived as mutually beneficial to the major states. In the progress era and in complexity of state competition, International organization is needed to help hegemon from decline and as hegemon’s proxy all at once. Positive side of hegemon is regularity but in other side is domination tendency, because there are no rival. Will US Position now as incumbent hegemon be  shifted by New Industrial Countries like India, South Korea and China which have potency to be infant hegemon or even be replaced by International organization  itself which same role as hegemon? The Writer will explain and analyze more based on contemporary reality about this problem and give own opinion as conclusion of  this article.

Keyword: hegemonic stability theory, NIC’s, International organization, relation between order, regime, and system, functional theory.

            Dalam kehidupan modern, manusia tak pernah lepas dari aspek ekonomi dan politik, yang sebagian besar memperoleh kebutuhan hidupnya dengan alat transaksi berupa uang. Semakin kompleksnya interaksi dan tuntutan akan kebutuhan, menyebabkan perluasan ruang lingkup yang semula lokal-negara ke arah internasional-global. Kompleksitas tersebut membutuhkan tata aturan (order) untuk mewujudkan keteraturan pada stabilitas tatanan kehidupan, karena menurut pandangan realis sifat dasar manusia adalah egois sehingga rawan terjadinya konflik dan benturan kepentingan. Aturan (order) merupakan bagian dari perangkat penyusun rezim, selain prinsip, norma dan pengambilan keputusan, sedangkan rezim sendiri merupakan bagian kecil dari sistem yang ada (Krasner, 1983:2). 
Keberadaan aturan dan rezim bukan serta merta menjanjikan kestabilan dalam sistem dunia yang anarki ini, untuk itu dibutuhkan hegemoni suatu negara. Hegemon tersebut berfungsi untuk menjaga pelaksanaan, melakukan pengawasan serta pembuatan dari aturan, menjadi manajer atau penolong di saat status quo maupun krisis, mampu menyediakan  kepentingan umum yang sifatnya non- rival and non-excludent, dan mampu mengatasi free rider yang bermunculan (Keohane, 1984). Beratnya tugas tersebut memunculkan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh sebuah negara hegemon yang sekaligus bertindak sebagai stabilitator, diantaranya adalah memiliki kapabilitas militer, ekonomi dan politik yang tangguh, adanya komitmen untuk mengemban tugas tersebut dan yang terakhir adalah keterbukaan sistem yang memberi kompensasi saling menguntungkan di antara negara-negara yang terlibat dalam sistem.
Dalam teori stabilitas hegemoni, baik menurut Kindleberger maupun Keohane (Keohane, 1984) hegemon harus berjumlah tunggal, karena bila ada saingan yang seimbang maka akan lebih sesuai bila dibahas dalam kajian teori perimbangan kekuatan (balance of power). Lantas bagaimana dengan kemunculan negara-negara industri baru seperti India, Cina dan Korea Selatan, apakah mereka berpotensi sebagai pengganti hegemoni Amerika Serikat (AS) yang saat ini sedang “sakit” akibat krisis ataukah sebagai penyeimbang  atas unilateralisme AS atau bahkan peran tersebut tergeser oleh organisasi internasional yang mampu menggantikan fungsi dari hegemon?
Ada beberapa konsep yang digunakan penulis untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, tinjauan sejarah dari negara yang sedang atau pernah menjadi hegemon. Kedua, teori fungsi yang dapat menjelaskan dikotomi peran rezim dalam organisasi internasional dan hegemon dalam kerjasama internasional. Ketiga, strategi dan politik negara industri baru.

Inisiasi Hegemon dari Waktu ke Waktu
            Sebelum perjanjian Wespalia yang mengatur tentang negara-bangsa dan kedaulatannya, kerajaan Yunani dan Romawilah yang berkuasa saat itu. Kemudian pada abad XIX, Inggris yang mayoritas wilayahnya berupa lautan akhirnya menerapkan strategi pertahanan maritim untuk menyebarluaskan pengaruh, wilayah dan kekuasaannya (Asprey, 2000). Untuk melanggengkan hegemoni yang sudah diraihnya, Inggris menjadikan mata uang dan bahasanya sebagai acuan di lingkup internasional, yang dimulai dari daerah yang menjadi koloninya (Das, 2002). Inggris bersedia menjadi negara jangkar penjamin stabilitas perekonomian dunia melalui mata uangnya yaitu poundsterling serta menjadi meredam krisis pada tahun 1825,1836,1847,1866 dan 1907 dengan menjamin laju bantuan keuangan pada negara-negara di Eropa yang terkena imbas krisis (stabilitator).
            Power yang dimiliki Inggris semakin meningkat dari waktu ke waktu, hal ini tak lepas dari luasnya wilayah yang ditaklukkan Inggris, berkat militernya yang tangguh dan tak tertandingi sebelum maupun selama perang dunia berlangsung. Namun dengan munculnya negara lain yang mulai membangun kekuatan seperti Jerman dan Amerika Serikat serta negara yang telah menjadi rival lama Inggris yaitu Perancis, lama kelamaan posisi Inggris sebagai hegemon mulai turun dan puncak kehancuran hegemoni Inggris ini terjadi pada masa Perang Dunia (PD) II dimana terjadi dekolonisasi di hampir seluruh negara koloni Inggris. Kemerdekaan negara-negara dunia ketiga tersebut menyebabkan posisi Inggris menurun drastis dan digantikan oleh hegemon baru yang berkembang pesat saat itu yaitu Amerika Serikat.
Kegagalan Inggris dalam mempertahankan geostrategi ekspansi dan kolonialisme pada akhir abad XIX dan runtuhnya posisi hegemon bukanlah sesuatu yang diluar dugaan.  Ancaman bagi hegemoni Inggris datang tidak hanya dari luar namun juga adanya penentangan dari negara koloni seperti India yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi. Menurut Joseph S. Nye, kegagalan ini bukanlah karena Inggris kurang kuat atau memiliki strategi militer yang lemah namun karena Inggris gagal dalam mengkombinasikan hard power dan soft power dalam geostrateginya menguasai wilayah lain- terlalu fokus pada perang sehingga perannya sebagai stabilitator mengalami disfungsi (http://www.kompas.com).
Sebenarnya AS telah memiliki kapabilitas untuk menjadi hegemon sejak paska PD I, tapi sayangnya AS enggan menerima komitmen tersebut. Baru setelah paska PD II, AS menerimanya karena saat itu Inggris sebagai hegemon mulai kelelahan dan Jepang yang berpotensi untuk menjadi hegemon hancur akibat dibom oleh AS saat PD II (Sorensen, 1999). Tidak berbeda jauh dengan Inggris, Amerika juga memperluas pengaruhnya melalui mata uangnya yaitu dolar, penyebaran budaya pop barat- melalui industri perfilman Hollywood, gaya hidup, bahasa, ilmu pengetahuan- dan satu hal yang membedakannya yaitu penerapan paradigma neoliberal sebagai sebuah struktur ekonomi dan politik yang mendunia. Beberapa postulatnya adalah globalisasi, perdagangan bebas, dan pendirian institusi/organisasi internasional. Sehingga wajar bila banyak kebijakan dari rezim internasional dari sebuah organisasi yang ditunggangi kepentingan AS dan sekutunya sehingga negara berkembang menjadi pihak yang paling menderita dalam sistem tersebut (Miller, 2006). Semua negara berusaha memaklumi ketika AS sebagai pemenang PD II menentukan institusi dan peraturan baru yang mendasari perekonomian dunia dengan dalih atas nama liberalisme.

Penjelasan Teori Fungsi Terkait Implementasi Teori Stabilitas Hegemoni
            Dalam teori stabilitas hegemoni ini menurut penulis berlaku hubungan sebagai berikut, hegemoni sebagai variabel independen/bebas dan rezim sebagai variabel dependen/terikat. Dengan asumsi hegemon adalah pembentuk rezim sehingga pengimplementasiannya tak lepas dari kepentingan hegemon tersebut. Jadi bila kekuasaan hegemon runtuh, maka runtuhlah kerjasama yang terjalin diantara negara-negara dalam sistem tersebut karena tidak ada yang mengatur (imposed order) (Sorensen, 1999). Hal ini dikritisi oleh Keohane, bahwasanya kekuatan hegemoni membantu membentuk kerjasama internasional dalam bidang tertentu seperti seperti keuangan, perdagangan dan minyak. Ketika kekuasaan AS menurun, kerjasama tidak pecah seperti yang dibayangkan teori stabilitas hegemoni sehingga kesimpulannya kekuatan hegemoni mungkin penting bagi awal pembentukan kerjasama, tetapi ketika institusi internasional yang diperlukan dibentuk untuk menegakkan rezim, mereka memiliki kekuatan yang tetap ada dan mampu meningkatkan kerjasama yang lebih baik dalam lingkungan penurunan hegemoni sekalipun (Keohane, 2005). Kritikan dari Keohane tersebut dapat dijelaskan melalui teori fungsi yang di dalamnya berlaku hubungan sebab akibat yang dipengaruhi aspek rasionalitas yang berlangsung dua arah. Sederhananya, rezim dan institusi ada karena fungsi-fungsi yang diharapkan dapat diperoleh yaitu untuk membantu hegemon dan menjadi perpanjangan tangan bahkan saat peran hegemon itu menurun. Namun, sejatinya peran dari rezim tersebut adalah sebagai stabilitator yang dicetuskan oleh kaum liberal, yaitu mempertahankan fungsi agar berjalan normal dan terkontrol untuk mewujudkan sistem yang harmoni dengan aktor yang berjumlah plural/jamak.  
Dari penjelasan di atas jelas sekali, bahwa keberadaan hegemon dalam bentuk negara dominan tunggal tetap penting dan tidak dapat digantikan oleh rezim atau organisasi internasional yang kuat sekalipun, sehingga tidak berpotensi menimbulkan ancaman. Kritikan lain juga muncul akibat persepsi bahwa negara berkembang hanya menjadi free rider dalam pemenuhan barang  publik, untuk itu mereka menuntut perubahan order yang ada karena ingin diperhitungkan dalam sistem yang dipimpin oleh hegemon (Sorensen, 1999). Tuntutan tersebut semestinya diakomodir oleh hegemon agar tercipta keteraturan seperti yang diharapkan. Keteraturan dan kestabilan yang tercipta ini sebenarnya merupakan sebuah hasil temporer dari hegemon, karena agenda utama dari hegemon sebenarnya adalah dominasi/power (aspek politik) daripada penciptaan keteraturan (dalam aspek perekonomian) itu sendiri (Keohane, 2005). Hal ini dapat diamati dari tindakan pelanggaran Bretton Wood System oleh Amerika di saat jumlah cadangan emasnya menipis akibat membiayai Perang Vietnam, yang saat itu bersamaan dengan terjadinya krisis minyak. Padahal penetapan exchange fixed rate adalah gagasan dari Amerika Serikat sendiri untuk mengkonversikan emas dalam dolar, tapi karena saat itu merugikan maka AS lebih memilih untuk melanggarnya. Hal ini mempengaruhi kepercayaan publik pada hegemon dan menimbulkan protes dari negara-negara lain (Jerman dan Perancis) atas tindakan unilateralisme AS (predator hegemon), contoh lain adalah tindakan proteksi pertanian dalam negeri AS, padahal dalam paradigma liberal dianut sistem mekanisme pasar yang bebas dari intervensi negara dan membebaskan persaingan yang terjadi (Sorensen, 1999) dan gagalnya pembentukan ITO akibat tidak diratifikasi AS dengan alasan senat ingin melindungi perekonomian dalam negerinya. Dari sini bisa dilihat bahwa pragmatisme kepentingan pribadi AS lebih diutamakan mengingat dominasi tunggal yang dimilikinya (Plano,1982).    
Selain bertindak sebagai hegemon predator, AS juga pernah bertindak sebagai hegemon yang ramah dan stabilitator, yaitu pada saat membantu Eropa Barat dan Jepang dengan rencana Marshallnya, yaitu membantu pembangunan kembali dua negara tersebut pasca PD II, Jepang juga diperbolehkan mempertahankan akses pasar terbatasnya pada pasar domestik, sedangkan Eropa Barat diperbolehkan melanjutkan subsidi dan proteksionismenya dalam pertanian, tapi yang perlu digaris bawahi adalah kebaikannya ini hanya berlaku pada negara sekutunya yang dianggap potensial memberi keuntungan balik pada AS, yaitu mencegah pengaruh komunis di kedua negara ini.

Strategi dan Politik Negara Industri Baru
            Dewan Intelijen Nasional AS (NIC) belum lama ini merilis hasil risetnya tentang kepemimpinan global AS (www.republika.com). Mereka menyatakan dominasi dan hegemoni kekuatan ekonomi, politik, dan militer AS akan merosot tajam pada 2025. Pada sisi lain, dunia akan melihat kekuatan baru: Cina, Rusia, dan India. Jelas, hasil penelitian ini tidaklah mengejutkan. Lahirnya negara-negara industri baru yang selama era 1944-1970-an dibesarkan AS melalui Marshall Plan dan Bretton Woods juga berpengaruh terhadap keruntuhan hegemoni global AS. Jerman dan Jepang menjadi faktor penting yang memunculkan pandangan tentang runtuhnya kekuasaan AS di percaturan internasional, begitu pula dengan Korea Selatan.
            Prediksi tersebut dilandasi oleh peningkatan kapabilitas persenjataan dan nuklir di negara-negara tersebut, begitu pula dengan perekonomiannya. Bahkan kebangkitan Cina dan India  juga terletak pada nilai-nilai kebudayaannya yang meliputi bidang seni dan hiburan, kerajinan tangan, nilai-nilai filosofi kehidupan seperti swadesi dan konfusianisme, serta bebagai keunggulan lunak (soft advantages) lainnya. Ketika Amerika masih terus bergantung pada brain-power yang diimpor dari negara-negara Asia dan Eropa, Cina dan India justru setiap saat dapat memanggil para ahli mereka yang tersebar di seluruh dunia untuk datang kembali ke negaranya, mengingat iklim usaha di negara mereka telah berubah dan terus berkembang pesat dari tahun ke tahun. Fenomena tersebut sekarang dikenal dengan istilah brain gain atau reserved brain drain (Faiz,2007).
Penurunan hegemoni AS saat ini adalah karena perubahan cara pandang dari defensif ke arah ofensif realis, yaitu great powers akan selalu mencari kesempatan untuk mendapatkan power yang lebih dari rival-rivalnya, dengan hegemoni sebagai tujuan utamanya. Inilah klaim yang dibuat oleh John Mearsheimer dalam bukunya The Theory of Great Power Politics. Asumsinya negara yang menjadi great powers harus memiliki kapabilitas untuk memproyeksikan power diluar wilayahnya. Dengan kata lain, mereka butuh untuk membangun sebuah kekuatan militer yang hebat, hal inilah yang memunculkan miskalkulasi perekonomian AS dan menjadi pemicu penurunan hegemoninya serta membawanya dalam keadaan krisis yang terus berulang, selain faktor kegagalan pasar itu sendiri tentunya.
Momen ini tidak dijadikan peluang oleh negara industri baru dan Rusia untuk menjadi hegemon pengganti AS, berdasarkan data terakhir yaitu pada bulan Februari 2007, Menteri Luar Negeri dari Rusia, Cina, dan India bertemu di New Delhi untuk melakukan aliansi kerjasama untuk mempromosikan perdamaian internasional, kemakmuran, dan persamaan negara-negara dunia. Tidak ada satu negara pun yang dapat mendominasi Asia ataupun benua lainnya, keseimbangan tata dunia harus dibangun dengan menciptakan iklim kerjasama yang sehat, terutama dengan menghindari terjadinya konfrontasi dalam hubungan antarnegara (Nalapat, 2007).
            Dari data tersebut, sangat jelas terlihat mereka lebih memilih menjadi penyeimbang dalam era posmodern sekarang ini karena persoalan hegemoni kekuasaan internasional yang terjadi pada dunia posmodern tidak lagi dilakukan oleh suatu negara tertentu namun didasarkan pada kolektivitas negara melalui organisasi/rezim internasional.

Kesimpulan
            Dari pemaparan mengenai hegemon dimasa lalu maupun saat ini, penulis menganggap bila teori stabilitas hegemoni masih relevan untuk digunakan untuk menjelaskan tentang kedudukan AS dalam hirarki tertinggi di dunia, walaupun ada beberapa kekurangan karena ketidakmampuannya menjelaskan peran rezim dan organisasi internasional yang layak diperhitungkan dan sifat anomali AS yang tidak dapat diprediksi. Untuk beberapa dekade ke depan AS kemungkinan besar masih tetap unggul sebagai hegemon meskipun kebijakannya mayoritas bersifat unilateral yang berorientasi dominasi daripada pencapaian keteraturan, karena belum adanya komitmen dari negara yang berpotensi untuk mengambil alih posisi tersebut. Apalagi dengan pergantian Kepala Negara AS dari Bush Jr. ke Obama, ternyata menimbulkan optimisme dari beberapa kalangan, bila AS menjanjikan perubahan ke arah hegemon yang ramah dan mampu bangkit dari krisisnya saat ini, yang diharapkan keberhasilannya mampu menyebar dan menstimulasi perekonomian internasional untuk ikut bangkit (trickle down effect).
Peran serta berbagai negara yang tergabung dalam NIC’s dalam politik internasional dapat menjadi check and balance dari AS agar kembali pada komitmen awalnya sebagai kekuatan dominan, yaitu menciptakan perekonomian yang terbuka untuk semua negara yang berpartisipasi, tidak lagi mementingkan egoisme kepentingan pribadinya. Namun, bila tindakan ofensif AS seperti pengeboman Irak dan Afganistan yang lebih ke arah pamer power dengan dalih penegakan demokrasi dan HAM, yang akhirnya sampai sekarang tidak mampu membuktikan keberadaan senjata pemusnah massal, maka penulis tidak bisa menjamin bila negara penyeimbang justru menjadi negara penyerang sebagai bentuk dari pertahanan keamanan nasional mereka. Dengan asumsi tiap aktor berpikir rasional atas dilema keamanan yang terjadi.
Semestinya AS lebih banyak belajar dari pemikiran Gramsci bahwasanya hegemoni dapat diamati dalam dimensi  intelektual, moral, dan politik, lebih dari sekedar ideologi dan legitimasi atas kekerasan tindak militer untuk menyebarluaskan pengaruh.




REFERENSI
Asprey, Robert .2000,  The Rise of Napoleon Bonaparte . New York: Basic Books
Das, Gurcharan. India Unbound: From Independence to the Global Information Age in Penguin Books India. 2002. New Delhi.
Faiz, Pan Mohamad. Brain Drain dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa terhadap Reversed Brain Drain di India, disampaikan pada International Conference for Indonesian Students di Sydney, Australia, September 2007.
Http://www.republika.com diakses 14 Juni 2009
Jackson, Robert J. and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York.  Oxford University. Pp228
Keohane, R., 1982. The Demand for International Regimes.. International Organization, pp.141-171
 Keohane, Robert O. 1984. The Incomplete Decline of Hegemonic Regimes dalam After Hegemony Coopertion and Discord In The World Political Economy. New Jersey: Princenton University Press pp. 195-216
Keohane, Robert O. 2005. The Demand for International Regimes. in After Hegemony: Cooperation and Discord in The World Political Economy. New Jersey
Keohane, Robert O. 2005. Rational Choice and Functional Explanation. in After Hegemony – Cooperation and Discord in the World Political Economy,New Jersey
Krasner, Stephen D. (ed.).1983. International Regimes. Ithaca. New York: Cornell University Press. pp 2
 Miller, Lyn H.. 2006. penerjemah Daryatno. Agenda Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nalapat, Madhav D. Partnership for Peace, Prosperity, and Parity. dalam China Daily, 14 Februari 2007, hal. 11.
Plano, Jack C. 1982. The International Relation Dictionary. England: Clio press Ltd
R.Young,Oran. Regimes Dynamics : The Rise and Fall of International Regimes dalam Krasner, Stephen(ed). 1983. International Regimes. Cornell University Press: Ithaca and London

KERJASAMA KEAMANAN DALAM REZIM ASEAN: ASEAN WAY SAMPAI ARF



Pola hubungan negara-negara di kawasan Asia Tenggara tidak lepas dari sistem hubungan internasional. Hubungan tersebut tidak hanya berdimensi kekinian, tapi juga berorientasi kesejarahan maupun era yang akan datang. Untuk lebih jelasnya,  di bawah ini terdapat pemaparan singkat sekaligus analisa mengenai pola interaksi antara negara-negara untuk mengatasi masalah konflik keamanan dan keterkaitan hubungan dengan rezim regional yang ada, yaitu ASEAN.
ASEAN dan Kompleksitas Keamanan di Asia Tenggara
            Setelah Perang Dunia II  berakhir, banyak bermunculan negara-negara yang baru merdeka, di Asia Tenggara sendiri semua negara pernah dijajah kecuali Thailand. Diantara semua negara yang terjajah tersebut, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang meraih kemerdekaannya dengan perlawanan militer. Pengalaman kolonial tersebut kemudian mempengaruhi politik luar negeri beberapa tahun kemudian.
            Perbedaan etnis mewarnai keadaan negara-negara baru ini, tapi disisi lain juga menimbulkan pesimistik wilayah. Prospek perdamaian dan keamanan dalam wilayah terlihat suram. Pemerintah negara anggota ASEAN menghadapi tantangan internal terhadap kebijakannya, baik dalam masalah komunisme, pemberontakan kelompok etnis, ataupun perubahan indentitas. Masalah ini bahkan dapat merusak hubungan persahabatan antar negara tetangga. Pada tahun 1962, sebagai contoh, Filiphina membuat klaim atas wilayah Sabah. Jadi, keberadaan organisasi ASEAN bisa dibilang memang meredam potensi konflik antar anggotanya, namun bukan berarti hilang sama sekali.[1] Hal ini semakin diperparah oleh orientasi yang berbeda tentang persepsi mereka tentang ancaman eksternal/persepsi tentang negara besar mana yang paling menguntungkan bagi kepentingan nasional negara mereka. Sementara itu negara besar, khususnya negara adidaya yang sedang mencari pengaruh saat Perang Dingin berlangsung, menanggapi secara aktif fenomena ini dan semakin intens berkiprah dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Kesadaran akan kebutuhan bersama baru muncul setelah tahun 1967an sampai 1976, sedangkan konsolidasi ”semangat ASEAN” baru muncul pada fase 1976-1989 karena adanya ancaman dari luar ASEAN yaitu dari Vietnam. Pada periode 1980-1996 konsiderasi ekonomi mulai lebih santer terdengar dalam semangat ASEAN, namun semangat tersebut masih ditopang oleh institusi keamanan. Perlu diketahui bahwa kemunculan ASEAN (1967) awalnya dibentuk sebagai wadah kerja sama bidang Sosial, ekonomi, dan budaya regional serta membahas secara minoritas masalah keamanan regional. Namun, dengan pengalaman-pengalaman masalah keamanan yang muncul kemudian, para pemimpin menyadari bahwa masalah seperti konfrontasi, separatisme, dan masalah perbatasan maka dibutuhkan kerjasama yang baik antar negara tetangga.
            Secara signifikan, eksistensi dan cara pelaksanaan ASEAN saat itu dibatasi pada dua masalah utama yang mengacaukan regional ASEAN pada periode awal, yaitu ambisi Indonesia dan klaim Philipina atas Sabah. Kesalahan penanganan Soekarno pada perekonomian Indonesia menyebabkan kejatuhannya dan pada tahun 1966, Indonesia dan Malaysia mengakhiri kofrontasinya. ASEAN pun menjadi tempat institusi dimana Indonesia dapat memulihkan keyakinan negara tetangga dan melalui pihak ketiga yang dapat mengurangi ancaman. Usaha manajemen konflik yang dilakukan ASEAN tak hanya sebatas itu, tetapi juga menutup peluang negara besar diluar ASEAN seperti AS dan China untuk dapat melakukan intervensi mendalam. Antipati terhadap “campur tangan” negara luar dipicu karena adanya perang Vietnam. Pada pertemuan deklarasi ASEAN 1971 yaitu pembentukan ZOPFAN untuk meminimalisasikan great power AS, Rusia dan China serta mempertahankan kestabilan ASEAN dalam menyelenggarakan kerjasama internal mereka sebaik ekonomi dan keamanan yang sekaligus merefleksikan keinginan ASEAN untuk memisahkan diri mereka dari hegemoni negara-negara besar, pada saat Perang Dingin terjadi negara di Asia Tenggara ada yang pro AS seperti Filiphina dan Thailand, pro US seperti Vietnam dan Laos, namun ada juga yang netral seperti Indonesia. Penolakan atas keberadaan hegemoni ini merupakan bentuk keseimbangan kekuatan yang hadir dalam rezim ASEAN sebagai salah satu wujud dari agenda kerjasama keamanan.
            Dalam pemikiran realis, power menjadi suatu instrumen politik yang lazim dipakai untuk pencapaian kepentingan terutama oleh hegemon, untuk itulah kerjasama keamanan dirasa perlu diantara negara-negara ASEAN, karena bila berhadapan satu lawan satu dengan Amerka Serikat misalnya, mereka tidak akan mampu. Dengan bergabung dalam Institusi regional otomatis posisi tawar mereka akan naik, sehingga tidak terjadi satu kekuatan tunggal yang berkuasa karena tersaingi oleh distribusi kekuatan diantara negara-negara yang menjalin kerjasama tersebut. Karakteristik  konflik yang dulu terjadi kemudian bertansformasi dari keadaan hubungan keamanan intra-ASEAN dari sebuah perseteruan, ketakutan dan persaingan menjadi hubungan persahabatan, kepercayaan, dan kerjasama.
The Asean Way dan kelemahan ASEAN sejak 1997
            Keberadaan ASEAN sebagai institusi dapat difungsikan sebagai salah satu strategi diplomasi, asosiatif, bilamana hubungan bilateral negara secara formal tidak sanggup dalam menyelesaikan konflik yang ada. Namun kemajuan yang dialami ASEAN bukanlah tanpa hambatan. Pada tahun 1997 banyak kalangan, baik di lingkungan ASEAN sendiri maupun di dunia internasional, menilai bahwa organisasi ini hampir lumpuh dan dibuat tidak berdaya oleh berbagai kesulitan yang merupakan akibat dari sejumlah perkembangan. Pertama, ASEAN dinilai terlalu cepat dalam melakukan perluasan keanggotaan yang kini telah mencakup seluruh negara Asia Tenggara. Kedua, kesulitan yang dihadapi ASEAN sekarang ini juga disebabkan oleh terjadinya sejumlah perubahan fundamental di bidang politik dan ekonomi di beberapa negara kunci, seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina. Ada juga yang menilai bahwa kelemahan ASEAN sekarang ini disebabkan oleh runtuhnya kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN. Singkatnyanya, ASEAN dianggap telah kehilangan sentralitas diplomatik yang pernah dinikmatinya selama dekade 1980-an sampai awal 1990-an, kemudian masalah pelanggaran HAM oleh rezim militer Myanmar yang berlarut-larut sampai sekarang serta masalah kebakaran hutan di Indonesia yang menyebabkan kabut asap sampai ke Malaysia, Brunei dan Singapura. Semua kasus ini menunjukkan tidak efektifnya diplomasi dan ketidakkompakkan diantara negara anggota ASEAN dalam mengatasi konflik regional atas isu yang sensitif, bahkan melalui The ASEAN Way sekalipun (negosiasi informal ASEAN untuk membangun konsensus bersama dalam upaya untuk menghindari konflik).[2]
Kinerja ASEAN Regional Forum (ARF)
            Dengan segala kelebihan dan kelemahannya, The ASEAN Way tetap dipertahankan sampai sekarang, termasuk dalam menyelesaikan masalah terorisme. Namun perkembangan ASEAN dengan keberadaan ARF, tampaknya dapat menjadi pelengkap dari kekurangefektivan dari The ASEAN Way. ARF, didirikan 23 Juli 1993, adalah wadah dan sarana saling bertukar pandangan dan informasi secara terbuka mengenai berbagai masalah, mulai dari politik, keamanan, lingkungan hidup, dst. Secara khusus ARF ditunjukan untuk bisa bersama-sama memecahkan masalah keamanan baik regional maupun internasional. Sasaran yang hendak dicapai melalui ARF adalah mendorong saling percaya melalui transparansi dan mencegah kemungkinan timbulnya ketegangan maupun konflik di kawasan Asia Pasifik. Sebagai satu-satunya forum dialog keamanan di luar PBB, yang dihadiri kekuatan besar dunia antara lain: Amerika Serikat, China, Rusia, Uni Eropa dan Jepang, pembahasan dan tukar pandangan dalam ARF memiliki makna penting dan strategis.[3] Proses ARF lebih mencerminkan “ ide ASEAN Way” yaitu menjalin hubungan untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan kebiasaan berdialog serta berkonsultasi dalam masalah-masalah keamanan. ARF telah berhasil meningkatkan kenyamanan diantara para peserta dalam membicarakan isu keamanan. Sebagai contoh, China telah bersedia untuk membicarakan masalah Laut China Selatan dalam ARF, yang sebelumnya sulit dilakukan. ARF, dengan segala perundingan dan konsensusnya bisa dibilang telah berkarakter sangat ASEAN.
Kesimpulan
Kekurangan ASEAN di sana-sini, menunjukkan bagaimana perjuangan jatuh bangunnya sebuah rezim. Untuk sementara ini memang ARF masih dominan, tapi sampai kapan akan bertahan, apalagi negara-negara diluar Asia Tenggara sedang bersaing untuk melakukan proliferasi nuklir yang merupakan ancaman non-konvensional. Untuk itu dibutuhkan suatu norma yang menjadi standar internasional untuk dijadikan patokan yang bebas dari tungggangan negara penguasa (hegemon), yang memberi sanksi tegas bagi siapapun yang melanggarnya. Keberhasilan ARF ini termasuk lumayan, akan lebih bagus lagi bila diperluas pada aspek ekonomi maupun budaya. Tantangan ini akan terjawab dengan keberadaan ASEAN+3 dan komunitas ASEAN di era sekarang, apakah akan membawa keberhasilan atau justru melemahkan/meruntuhkan ASEAN sebagai incumbent South East regional regime. Semakin banyak keseimbangan kekuatan yang muncul, maka semakin tenteram dunia ini, hal ini didasari oleh  aspek pilihan rasional negara-negara yang tetap menjadikan kepentingan nasional sebagai prioritas pertama.
Referensi
Artikel mata kuliah Asia Tenggara bab 2, Pola Hubungan Internasional di Kawasan Asia Tenggara Setelah Perang Dunia II
Emmers, Ralf. 2003. Cooperative Security and the Balance of Power in  ASEAN and the ARF. London and New York


[1] Artikel mata kuliah Asia Tenggara bab 2, Pola Hubungan Internasional di Kawasan Asia Tenggara Setelah Perang Dunia II
[2] Ralf Emmers. 2003. Cooperative Security and the Balance of Power in  ASEAN and the ARF. London and New York