“Kualitas penelitian tidak hanya dilihat dari apa hasil akhirnya, tetapi juga bagaimana proses sebuah penelitian itu berlangsung sehingga dibutuhkan etika dan kode etik untuk mengaturnya.”(Penulis)
Pernyataan pembuka di atas menunjukkan tentang arti penting mengapa seorang peneliti harus beretika, tidak saja terhadap klien, responden, ataupun pada obyek penelitian yang bukan manusia sekalipun. Jadi, meskipun intervensi yang dilakukan dalam penelitian tidak memiliki risiko yang dapat merugikan atau membahayakan subyek penelitian, namun peneliti tetap perlu mempertimbangkan aspek sosioetika dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan (Jacob; 2004).
Bila dirunut dari aspek epistimologinya, etika penelitian merupakan pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian termasuk perilaku peneliti, sedangkan kode etik penelitian adalah hal-hal yang menjelaskan standar kinerja perilaku etis yang diharapkan dari semua pihak yang terlibat penelitian di lingkungan atau mengatas namakan sebuah institusi tertentu (Lestari; 2009). Lantas apa sajakah yang termasuk dalam etika dalam penelitian? Di bawah ini terdapat beberapa prosedur etika dalam melakukan penelitian ilmiah.
Pertama, menghormati harkat dan martabat manusia, yang maksudnya adalah peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian; kedua, menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian; ketiga, keadilan dan inklusivitas, contohnya: dalam prosedur penelitian, peneliti mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian; dan yang terakhir adalah memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (Milton; 1999).
Peneliti, sebagai suatu profesi yang terorganisasi, dalam menjalankan karyanya dibutuhkan suatu kredibilitas dan kapabilitas yang terpercaya dan teruji, sehingga masyarakat mendapatkan jaminan atas hasil penelitian yang para peneliti kembangkan sifatnya adalah tidak merugikan. Setiap resiko yang ada sebisa mungkin harus diminimalisir—resiko yang diantisipasi dalam riset tidak boleh lebih besar daripada yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, harus mempertimbangkan apa keuntungan bagi partisipan, ilmu pengetahuan dan masyarakat. Sehingga pelanggaran atas etika penelitian yang ada sangat berpengaruh terhadap kualitas penelitian dan tingkat profesionalisme seorang peneliti. Pelanggaran etika penelitian bukan saja menyangkut kegiatan di lapangan, akan tetapi bisa juga menyangkut keseluruhan komponen penulisan proposal dan laporan penelitian seperti orisinalitas, aktualitas, dan faktualitas dari obyek penelitian (Lestari; 2009). Untuk itu dibutuhkan sanksi atas setiap pelanggaran yang ada, baik itu berupa tindakan peniruan ide, penipuan hasil, atau merekayasa sebuah penelitian yang sebetulnya tidak pernah dilakukan.
Analisa Penulis
Permasalahan etika dalam penelitian tidak hanya berlaku pada ilmu eksakta tapi juga ilmu sosial baik penelitian mengenai suatu teori ataupun studi kasus lapangan. Bisa dibayangkan bila seorang peneliti tidak mengetahui ataupun melakukan etika yang salah saat meneliti, bisa-bisa informan yang semestinya memberikan info penting atas suatu masalah yang kita teliti justru tersinggung, tidak mau berbicara atau bahkan memberikan data yang salah karena menganggap kita mata-mata dari negara musuhnya, karena bagaimanapun juga dalam ranah ilmu Hubungan Internasional tidak hanya membahas tentang eksistensinya suatu negara tapi juga dinamisitas pergaulan dalam lingkup internasional beserta fenomena-fenomena seperti mempengaruhi atau di pengaruhi, yang kuatlah yang menang dan beberapa aspek krusial lainnya.
Dalam era yang lebih modern, penelitian bahkan banyak yang “ditunggangi” oleh kepentingan politik, contohnya adalah dalam proyek nuklir Korea Utara yang kesannya dilebih-lebihkan seolah-olah menimbulkan dilema keamanan oleh mayoritas negara-negara barat, padahal dalam suatu artikel yang penulis baca penasihat keamanan Amerika Serikat sendiri mengatakan bila peluncuran roket tersebut tidak berbahaya karena tidak memiliki kepala nuklir (www.kompas.com). Masih dari sumber yang sama, kasus nuklir Iran sengaja dipamerkan keberhasilannya oleh Presiden Ahmadinejad, terutama mendekati waktu pemilihan untuk menarik simpati rakyatnya dalam upaya mendulang suara. Kejadian tersebut menunjukkan pertimbangan etik itu sendiri seringkali banyak dimensinya, tidak monolit. Para peneliti yang terkadang mengalami kendala dana, seringkali tidak berdaya atau bahkan secara sengaja memihak pada salah satu pihak yang berkuasa.
Konflik etika ini seharusnya diatasi oleh hukum konstitusi suatu negara dan ketentuan internasional seperti perlindungan hak karya intelektual dan juga perlunya suatu badan pengawas agar crime research tidak marak terjadi karena bisa fatal akibatnya, yaitu “pencemaran” kebenaran yang selama ini justru dicari-cari melalui banyak hal, yaitu bertanya, berpikir, mengamati maupun meneliti. Namun sebaliknya, etika-etika yang ada sebaiknya juga tidak terlalu membatasi perkembangan penelitian itu sendiri, yang penting demi kebaikan bersama, baik manusia maupun makhluk hidup lainnya.
Referensi
Jacob, T. 2004. Etika Penelitian Ilmiah.Warta Penelitian Universitas Gadjah Mada. Hal. 60-63.
Milton , C.L. 1999. Ethical Issues From Nursing Theoretical Perspectives. Nursing Science Quarterly. Hal. 20-25 dalam Palestin, Bondan. Prinsip-prinsip Etika Penelitian Ilmiah diakses melalui http://www.inna-ppni.or.id pada 24 September 2009
Jacob, T. 2004. Etika Penelitian Ilmiah.
Lestari, Fatma. 2009. Petunjuk Pelaksanaan Monitoring, Evaluasi dan Verifikasi
Pusat Riset di Universitas Indonesia diakses melalui http://www.research.ui.ac.id pada 24 September 2009
http://www.kompas.com diakses 245 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar