Adanya dikotomi gender dan sex dalam kajian feminisme mutlak perlu untuk dilakukan pada awal pembahasan jurnal karena selama ini ada penerapan istilah yang salah kaprah. Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips, gender diartikan sebagai harapan-harapan budaya, nilai dan norma terhadap laki-laki (maskulinitas) dan perempuan (feminitas). Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa, hal ini juga bisa kita amati dari pola perilaku Gandhi dan Dalai lama yang menekankan pada cinta kasih dan perdamaian, sedangkan sex sendiri mengarah pada kondisi biologisnya.
Hal yang disoroti oleh kaum feminisme di sini adalah perbedaan perlakuan pada perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan dimana keduanya mengalami ketidaksejajaran dan wanita hanya dianggap sebagai oposisi biner atau bahkan kalau boleh dibilang sebatas pelengkap dari laki-laki saja. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Semua ini tak lepas dari sejarah Revolusi Perancis di tahun 1787 yang mengilhami tulisan yang berjudul The Declaration of The Rights of Men and of the Citizens. [1] Isi tulisan ini menyuarakan tentang harapan bertahun-tahun akan kepemilikan dan perlindungan hak asasi manusia. Namun sayangnya hak yang diperhitungkan saat itu hanyalah “Men” bukan “Men and Women” sehingga menginspirasi Mary Wollstonecraft untuk menulis deklarasi tandingan berjudul A Vindication of The Rights of Women pada 1792 dimana salah satu isi pentingnya adalah bahwa wanita ada bukan semata-mata untuk menjadi seorang istri dalam logika ornamentalisasi/beautiful soul, namun berperan sebagai pendidik untuk anak-anak dan pendamping suami, dan oleh karenanya mempunyai kontribusi yang sama bagi kemajuan masyarakat sehingga mereka juga berhak untuk mendapat hak yang setara dengan laki-laki. Ide revolusioner tersebutlah yang kemudian melahirkan ide-ide feminisme beberapa dekade belakangan ini. Namun feminisme yang merupakan salah satu dari aliran alternatif baru memasuki ranah HI pada saat debat besar ketiga terjadi yaitu tahun 1980-an.
Emansipasi Politik dan Pluralisme Aktor
Emansipasi di sini tidak saja sebatas keikutsertaan dalam pemilihan umum tapi lebih dari itu, yakni penghapusan stigma bahwa laki-laki cenderung diasosiasikan dengan ranah publik, bersifat agresif dalam hal power, kompetitif, rasional, dan sebagai agen dalam tatanan dunia yang anarki sedangkan wanita merupakan makhluk yang pasif, kooperatif, emosional dan hanya mampu beraktivitas pada ranah private –rumah tangga. Kaum feminis menuntut perluasan makna dan peran secara luas ke arah negara dan wilayah internasional sedangkan ilmuwan hubungan internasional yang beraliran tradisional, utamanya realis, menganggap isu-isu gender dan peran wanita bukanlah hal yang penting karena mereka tidak mempengaruhi dinamika perpolitikan yang ada dalam lini lokal atapun global. Namun hal di atas tidak mutlak kebenarannya, semua itu terjadi karena struktur dan konstruksi yang ada memposisikan wanita sebagai ordinat yang paling tidak diuntungkan, hanya 1 persen properti dunia yang dimiliki dan hanya 5 persen kesempatan yang diberikan untuk duduk dikabinet maupun kepala negara dan banyak pekerjaan yang dilakukan wanita yang tidak dilihat dan tidak dibayar.[2]
Perempuan: Perdamaian dan Laki-laki: Peperangan
Sungguh sebuah realitas tragis, dimana dijaman modern telah terlewati (sekarang: pos modern) namun pemikiran bahwa perempuan selalu identik dengan perdamaian dan laki-laki dengan peperangan masih ramai diperbincangkan. Padahal dalam pengambilan keputusan perang atau kebijakan negara lain kesemuanya tak lepas dari peran wanita, baik sebagai korban ataupun pencegah dan pencetus perang, contohnya dalam Perang Irak-AS banyak wanita yang menjadi janda dan pengungsi serta korban penganiayaan tentara AS, kemudian kebijakan AS untuk menginvasi Afghanistan tidak dapat dilepaskan dari dukungan para istri sang komandan perang, yaitu, Laura Bush dan Cherie Blair, yang membawa permasalahan opresi kaum wanita oleh Taliban dalam meja perundingan rencana perang selain itu aktivitas komunal wanita seperti para ibu di Rusia yang menarik dukungan bagi militer Soviet juga berdampak pada kehancuran rezim komunis militeristik di negara itu.[3] Masihkah peran perempuan di sini layak untuk diabaikan? Dan masihkah tangan wanita senantiasa berkutat dengan kosmetik, panci atau botol susu bayi?
Hal ini dapat dibantahkan oleh Margareth Tacher, Perdana Menteri Inggis wanita pertama yang mampu mengukir sejarah dengan tangan besinya, Perang Falkaland dan kebijakan ekonomi liberal Thatcerisme, menunjukkan bagaimana pluralisme aktor dalam hubungan internasional hadir tanpa disadari dan semestinya diperhitungkan dalam aksi-interaksi politik. Bagaimanapun politik tak pernah lepas dari konsepsi dasarnya yang tak lain adalah kekuasaan dan kepentingan, yang untuk meraihnya dibutuhkan kapabilitas dan kredibilitas dari aktor tersebut bukan karena faktor SARA ataupun gender.[4]
Analisa dan Kesimpulan
Adanya peraturan pemerintah Indonesia yang menetapkan kuota 30 persen untuk perempuan duduk dalam pemerintahan menunjukkan bagaimana peran mereka begitu sangat dihargai, namun perwakilan tersebut hendaknya tidak sebatas pemenuhan kuantitas saja tapi juga dengan mempertimbangkan kualitas. Dalam sejarah Indonesia, Cut Nyak Dien dan R.A Kartini disimbolkan sebagai bentuk emansipasi wanita dan feminisme namun dengan skala yang berbeda. Dalam artian, mereka layak untuk memperoleh pendidikan dalam melakukan pembelaan pada bangsa dan negara namun tak melepaskan kodrat dan fungsinya sebagai seorang ibu dan istri.[5] Namun kenytaan ini seolah diabaikan oleh feminisme sendiri yang adakalanya terlalu radikal sampai menuntut pada kesamaan padahal laki-laki dan perempuan memang terlahir dan tercipta berbeda, tergantung bagaimana mereka sendiri berjuang dsan meraih kesempatan agar sejajar dan memang layak untuk diperhitungkan.
Sebagaimana teori yang lain yang tidak absolut kebenarannya, masih bisa dikritisi atau dijatuhkan oleh teori lain, feminisme juga terbuka pada kritik dan tidak memberi patokan yang jelas atau pembatasan atas pemikirannya. Untuk itu penulis disini menyarankan agar pakar feminisme menjawab tantangan jaman, seperti memberi penjelasan atas anomali Tatcher yang identik dengan maskulinitas padahal dulu feminisme menuntut sistem patriarki yang diidentikkan dengan kekerasan dan kerusakan ternyata juga dilakukan oleh perempuan, pemikiran feminisme yang merupakan bentuk perlawanan dari gender semestinya non gender sebab bila dikotomi gender dijadikan sebagai antitesis maka tidak ada perubahan mendasar yang terjadi (hanya pergantian aktor utama dulu lelaki sekarang perempuan). Jadi pihak superior sekarang menjadi yang tertindas begitu juga sebaliknya, ini tidak sesuai dengan prinsip emansipatoris dari feminisme sendiri yang mengatasnamakan kesejajaran.
Namun sejauh ini berbagai aliran feminis yang muncul, liberal, radikal, marxis maupun posmodern tetap konsisten dan satu tujuan, yaitu perjuangan menegakkan kebenaran akan makna kekuatan dan pengetahuan yang dimiliki perempuan, dengan modal tersebut dengan sendirinya akan membuat perempuan layak untuk berdampingan dan bergandengan tangan dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan di lingkup lokal bahkan global sekalipun dengan tujuan membawa dunia ke arah yang lebih baik.
Referensi
Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya : Pustaka Eureka.
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 1999.Introduction to International Relations. New York : Oxford University press Inc
Megawangi, Ratna. Pembangunan Karakter Kunci Perdamaian diakses melalui http://wap.korantempo.com tanggal 5 Juni 2009 diakses tanggal 5 Juni 2009
Microsoft Encharta. 2008
Notosusanto, Smita. 1997. Perempuan dan Politik Internasiona: dalam Perempuan dan Pemberdayaan. Jakarta : Penerbit Obor.
[1] Microsoft Encarta 2008.
[2]Robert Jackson and Georg Sorensen. 1999.Introduction to International Relations. New York : Oxford University press Inc
[3] Smita Notosusanto. 1997. Perempuan dan Politik Internasiona: dalam Perempuan dan Pemberdayaan. Jakarta : Penerbit Obor.
[4] Johan Galtung. 2003. Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya : Pustaka Eureka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar