Power merupakan term yang tidak asing lagi dalam hubungan internasional, yang berarti pengaruh dan kekuasaan yang dilakukan sebuah negara terhadap negara lainnya. Power dapat menjadi alat untuk meraih tujuan yaitu kepentingan nasional di setiap negara seperti Amerika yang memiliki power dibidang militer kemudian memanfaatkannya untuk menghancurkan Irak dengan dalih penegakan demokrasi, padahal ingin pamer kekuatan untuk meraih legitimasi sebagai polisi dunia, tapi bisa juga menjadi alat sekaligus tujuan yaitu untuk meraih power yang lebih besar lagi, contohnya Amerika yang maju secara ekonomi menganut kapitalisme ingin meyebarkan perdagangan bebas untuk semakin menguatkan pengaruh kapitalisme di semua negara di dunia. Pemakaian dan pencapaian power dilakukan oleh para pembuat keputusan yang mempergunakan mesin pemerintahan untuk membangun dan menyelenggarakan politik luar negeri oleh karena itu power politik mencakup hubungan pskologis antara elit yang menyelenggarakan kekuasaan serta mereka yang dipengaruhi atau dikendalikan ole elit. Pelaksanaan power dilakukan memlalui berbagai bentuk meliputi persuasi, perang psikologis dan ideology, tekanan ekonomi, maupun imperialisme kebudayaan.[1]
Power dari negara yang agresif cenderung untuk diatasi oleh negara yang merasa terancam dengan membangun power yang berimbang (balance of power). Konsep ini dapat diungkapkan dalam bentuk terminologi kesetaraan power, yang artinya setara dalm keadan equilibrium, atau salah satu negara dalam konteks ini memiliki power (sementara) yang lebih kuat disbanding negara lainnya, karena setiap negara memiliki kedaulatan dan berusaha untuk memaksimalakan kepentingan nasionalnya, maka balance of power pada umumnya berlangsung dalam suatu kondisi yang senantiasa berubah. Sebuah negara bisa jadi sangat sadar dan percaya diri dalam menetapkan kebijaksanaaan luar negeri balance of power seperti halnya Inggris memandang kepentingan nasionalnya yang terbaik adalah dengan menjadi balancer untuk mempertahankan equilibrium of power di daratan Eropa karena jumlah negara jajahannya yang sangat banyak, dalam memainkan peranannya ini Inggris berusaha mengubah dukungan yang diarahkan untuk memperkuat negara yang lemah powernya manakala perimbangan kekuatan didaratan Eropa terancam. Fenomena balance of power merasuki politik internasional dan menjadi bentuk utama dalam power struggle, yang merupakan buah pikiran realis.[2]
Balance of power tidak memiliki pranata pengatur yang memandu pelaksanaannya sehingga seluruh negara yang terpaut dalam perimbangan biasanya ditandai dengan perubahan atau pergantian anggota di dalam aliansi atau blok yang tujuannya untuk memaksimalkan atau memadukan power agar lebih besar dan dapat mengimbangi negara tandingan yang menjadi musuh bersama, ikatan aliansi atau blok yang relative tidak lama, serta memiliki tujuan yang terbatas. Contoh balance of power bipolaritas adalah sistem perimbangan kekuatan duakutub timbul setelah berakhir Perang Dunia Kedua yang didominasi oleh Uni Soviet (US) dan Amerika Serikat (AS). Konfigurasi ini menjadi berbahaya karena meningkatkan ketegangan diantara dua negara hegemon tersebut, yang memperkecil peluang bagi penataan kembali model aliansi dan persekutuan. Perlu digaris bawahi bahwa balance of power tidak hanya terjadi pada saat bipolaritas, tapi disaat satu negara atau beberapa kelompok negara memiliki saingan kekuatan yang sama besar (multipolar). Selain itu perubahan yang terjadi disetiap negara selalu bersifat dinamis, karena melalui berbagai perubahan, seperti naik turunnya kekuatan dan kelemahan, tingkat pengaruh diantara sesama negara, dan hubungan internasional diantara mereka. Itu sebabnya akan sulit untuk membuat konsep analisis yang permanen dalam memahami situasi internasional pada setiap masa karena keniscayaan perubahan.
Salah satu cara memahami perubahan power maupun balance of power adalah dengan mengetahui definisi dari hegemon, selaku aktor pemilik kekuatan, yaitu negara yang memperluas pengaruh atau kekuasaan sutu negara ke negara atau kawasan lainnya akibat ketidaksetaraan kekuatan secara luas. Tidak ada satu negara pun yang dapat diharapkan untuk membiarkan suasana hubungan hegemoni dan tetap tinggal diam untuk mengubahnya dan teoritisi stabilitas hegemoni membedakan definisi hegemoni dengan menekankan kapasitas kekuatan militer untuk mengendalikan tatanan dunia dan kapasitas kekuatan ekonomi untuk menentukan dan mendikte aturan yang mengendalikan perdagangan, keuangan dan investasi internasional.
Dalam konteks institusionalisme neoliberal, teori stabilitas hegemoni didedikasikan terutama pada tugas menjelaskan bukan perang dan damai namun menerangkan mengapa negara-negara penting (hegemonik) di hirarki tertinggi (seperti AS setelah Perang Dunia II) termotivasi mempromosikan rejim internasional yang menguntungkan yang tak hanya menguntungkan diri tapi juga negara lain. Padahal dalam kenyataannya hegemon tunggal (unipolar) tak lebih baik dari bipolar maupun multipolar. Kenyataannya adalah penyalahgunaan power AS untuk melibas negara yang tak sepaham dengan kepentingan negaranya, seperti pernyataan Bush-manatan Presiden AS- yang tidak bersama saya adalah musuh sehingga mencuatlah tindakan pre-emptive (pencegahan) dan deterrence (penangkalan) yang mengarah pada unilateralisme.
Perspektif ini juga mengajak memperhatikan peran menentukan kekuatan besar Amerika Serikat dalam mempromosikan stabilitas dan operasi efektif rejim moneter dan perdagangan pasca Perang Dunia II. Masalah yang muncul adalah: Apa pengaruh menurunnya kekuasaan AS akibat krisis ekonomi seperti yang dipersepsikan banyak pihak tehadap lembaga rancangannya untuk mendorong kerja sama internasional? Masalah-masalah inilah yang masih menjadi pertanyaan yang masih membingungkan saya, selain itu sebenarnya mampukan keseimbangan kekuatan apakah dapat dilakukan oleh actor negara? Dengan pesatnya arus globalisasi saya rasa ini bukanlah hal muskil.
Untuk memahami perubahan dunia sekarang dan membuat prognosa yang masuk akal tentang masa depan, kita pertama-tama perlu melengkapi dengan pengetahuan secukupnya dan alat-alat konseptual, interpretasi yang bertentangan mengenai cara-cara melihat peta politik dunia dan masalah dari asumsi-asumsi cara pandang dunia ini, dan prediksi saya keseimbangan kekuatan akan condong ke timur dengan kehadiran Cina, Korea Selatan daqn India yang berkembang pesat di bidang ekonomi dan pengembangan nuklir. Masalah definisi dari balance of power sendiri sampai sekarang masih ambigu dan multitafsir (Ernst B. Haas).
REFERENSI
Baldwin, D.A., 2002, “Power and International Relation, Handbook of International, pp. 177-189
Dougherty, J.E and P faltzgraff, R.L.,1971. “Theoretical Approaches to International Relation,” Contending Theories of International Relation, pp.30-38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar