Selanjutnya di masa setelah perang dingin, susunan perdagangan dunia ditegakkan oleh negara core secara keseluruhan dan Amerika Serikat khususnya. Ketika GATT dibentuk sebagai suatu organisasi yang mengatur perdagangan dan tariff, sempat mendapat kritikan dari negara berkembang yang merasa dianak tirikan sehingga akhirnya terbentuklah UNCTAD. Tatanan ekonomi internasional yang baru mendapat banyak tanggapan dan prediksi, yang terombang-ambing antara permintaan dari kesepakatan global yang baru dan peningkatan perlingdungan dari pekerjaan di negara core. Tapi secara garis besar, perubahan konstelasi geopolitik global setelah usainya Perang Dingin masih belum menunjukkan akan terbentuknya suatu tatanan internasional yang lebih menjanjikan kestabilan, keseimbangan, dan jaminan keamanan bagi negara dan warga masyarakat serta hubungan antar-bangsa di dunia. Kendatipun di pentas perpolitikan global tidak ada lagi ancaman konflik yang berskala universal, dilandasi oleh ideologi besar dan ditopang oleh kekuatan adikuasa dan blok persekutan negara-negara, sebagaimana Uni Soviet dengan blok dan ideologi totaliter komunisme, namun tidak berarti pada dewasa ini geopolitik global telah bebas dari ancaman yang destruktif. Pada kenyataannya, justru setelah terjadinya serangan teroris di Pentagon pada 11 September 2001, disusul dengan upaya “perang melawan terorisme” yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Selain itu negara-bangsa yang dimasukkan oleh Pemerintah AS di bawah Presiden Bush dalam kategori “the axis of evil” dan negara berpenduduk Muslim yang dimasukan dalam kategori kantong terorisme internasional, semuanya dalam situasi yang rawan dan jauh dari kondisi ideal negara-bangsa berdaulat sebagaimana dimaksud dalam hukum internasional.
Kondisi yang tidak stabil, seimbang, dan aman pada skala global tersebut muncul dan marak karena dipicu oleh beberapa faktor: 1) adanya kevakuman kekuatan penyangga setelah hilangnya kekuatan yang saling mengimbangi antara negara adikuasa, dan 2) terjadinya pergeseran geopolitik dan geostrategis global menyusul munculnya kekuatan ekonomi dan politik baru yang memiliki visi serta strategi yang berbeda. Kevakuman tersebut, membuka peluang bagi AS untuk tampil menjadi kekuatan tunggal yang tak memiliki tandingan dan bahkan sekedar penyeimbang yang dapat mengerem ambisi hegemoninya dalam realitas politik global. Secara riil, kekuatan militer AS yang superior dalam teknologi dan didukung oleh anggaran pertahanan yang besar. Ditambah lagi dengan dorongan untuk menguasai ekonomi dunia dari para pemilik modal raksasa Amerika, maka ambisi hegemoni dan penciptaan sebuah kekaisaran dunia seperti tak terbendung. Hegemonisasi AS justru terancam dengan proses globalisasi yang memunculkan dan memperkuat spirit nasionalisme dan sentimen lokal yang semula terpisah di berbagai wilayah dunia menjadi menyatu akibat terciptanya jejaring pada tataran global. Hal ini menyebabkan legitimasi AS berkurang karena semua negara punya kesempatan yang sama dalam bersaing.
Dengan dalih melindungi kepentingan nasional dan ekonomi pasar bebas, maka AS merasa berkewajiban untuk meningkatkan jangkauan globalnya. Intervensi langsung maupun tak langsung, pemakaian tekanan diplomasi maupun militer dan intelijen, menjadi bagian tak terpisahkan dalam upaya mempertahankan kepentingan nasional dan legitimasinya tersebut. Unipolaritas Amerika sekarang mendapat saingan dari negara yang disebut macan Asia seperti Cina, India, dan Korea Selatan, apalagi akibat resesi ekonomi AS yang saat ini sedang mengalami turbulensi akibat kasus kredit perumahan yang selanjutnya merembet hingga ke tingkat nasional AS, semua negara yang memiliki hubungan kerjasama ekonomi dengannya ikut merasakan imbasnya juga. Konflik timur-barat yang dulunya high political context yang kebanyakan berkutat seputar ideologi dan pengaruh sekarang menjadi low political context yang mengutamakan ekonomi, dan sebagai tambahan biasanya negara tersebut kebanyakan melakukan pengembangan nuklir juga untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara superpower, semua negara yang ikut dalam persaingan tersebut memunculkan tatanan multipolar. Sehinggga perimbangan kekuatan tidak hanya dimonopoli AS lagi yang selama masa kepemimpinannya menerapkan prinsip unilateralisme dengan kedok polisi dunia yang berhak melakukan apapun, seperti yang diungkapkan George W. Bush bahwa yang tidak bersama saya adalah musuh. Menurut saya, sistem multipolar ini dapat diandalkan untuk membentuk tata dunia yang tertib dan damai, dengan asumsi bahwa suatu negara akan memikirkan ulang untuk menguasai dunia karena adanya keseimbangan kekuatan, yang peluangnya menghasilkan kondisi kalah-kalah bukan zero-sum. Jadi bila suatu negara tidak memiliki kans untuk menang paling tidak negara tersebut tidak mengalami kerugian dalam proses persaingan untuk bertahan hidup, yang paling penting dari kesemuanya apapun sistem yang ada semua negara bisa meraih apa yang menjadi kepentingan nasionalnya, baik negara core, semi-periphery ataupun periperhy walaupun tidak dalam proporsi yang sama besar.
REFERENSI
Dodds, Klauss, dan David Atkinson. 2000. Geopolitical Tradition: A Century of Geopolitical Thought. London : Routledge.
Short.. J.R, 1993. An Introduction to Political Geography. London : Routledge
Tuahail, Gearóid Ó, and Simon Dalby. 1998. Rethinking Geopolitics. Routledge : New York
Tidak ada komentar:
Posting Komentar