Selama ini konflik selalu diidentikan dengan kekerasan, menurut Johan Galtung, konflik dapat diartikan sebagai benturan fisik dan verbal dimana akan muncul penghancuran, tapi konflik juga bisa dipahami sebagai sekumpulan permasalahan yang menghasilkan penciptaan penyelesaian baru, sedangkan kekerasan adalah situasi ketidaknyamanan yang dialami aktor dimana ketidaknyamanan adalah apa yang “seharusnya” tidak sama dengan apa yang “ada” bisa juga berupa suatu sikap yang ditujukan untuk menekan pihak lawan, baik secara fisik, verbal, ataupun psikologi (Galtung: 1960). Untuk lebih mudahnya, menurut saya keduanya kadang muncul sendiri-sendiri terkadang bisa juga bersamaan, dimana suatu konflik dapat berupa/berujung dengan kekerasan dan kekerasan sendiri dapat memunculkan konflik.
Dalam teori tentang segitiga kekerasan Galtung, kekerasan terbagi menjadi tiga yaitu kekerasan langsung, kultural dan struktural. Dimana kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resource power), yang dibedakan menjadi kekuasaan yang bersifat menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan renumeratif. Baik kekuasaan sumber dan kekuasan struktural saling berkaitan, saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural dan personal dapat menghalangi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial.
Agar bisa merespon konflik secara tepat, maka perlu memahami level analisa konflik karena ada konflik yang bersifat mikro dengan level individual (di dalam diri individu yang bersangkutan maupun antar individu) dan ada pula konflik yang makro dengan level kelompok (baik dalam lingkup masyarakat maupun organisasi), negara maupun internasional. Konflik dalam diri seseorang terjadi ketika dia mempunyai dua atau lebih kepentingan yang sifatnya bertentangan. Sehingga individu tersebut harus menentukan pilihan dan prioritas. Konflik antar individu, terjadi akibat keterbatasan sumberdaya, perbedaan pandangan atas nilai, atau tujuan yang tidak sejalan, bisa juga karena keterlibatan dalam kerjasama (bila ada benturan kepentingan), maupun saat konsensus tidak tercapai (tidak ada pihak yang mau mengalah). Sedangkan konflik dalam lingkup yang lebih luas, seperti kelompok dan lainnya hampir sama dengan konflik antar individu sebagaimana disebutkan di atas, tetapi sifatnya lebih kompleks dan lebih banyak individu yang terlibat dalam konflik. Dalam konflik makro dikenal kategori kita dan mereka, untuk memisahkan pihak yang berkonflik, contoh konflik dalam lingkup internasional seperti penyerangan AS ke Afghanistan dan Irak yang lebih didorong oleh motif "Military Industrial Complex" dan Soal minyak di Asia Tengah.
Pada tingkatan apapun, konflik yang terjadi pada dasarnya melibatkan unsur-unsur dasar yang khas. Kemunculannya dipicu oleh suatu kejadian penting. Dalam melakukan manajemen konflik, maka perlu diketahui apa yang memicu konflik, siapa saja yang terlibat dalam konflik, apa isu yang disengketakan, bagaimana strategi yang dipakai masing-masing pihak yang berkonflik untuk mencapai kemenangan, peluang konflik untuk meluas/mereda, dan apa konsekuensi dari konflik yang terjadi. Pengumpulan informasi yang akurat seputar pertanyaan di atas diharapkan dapat menghasilkan analisa yang akurat dalam memahami suatu permasalahan, dan meraih tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Pengembangan teori konflik sebagai sebuah fenomena sosial mempunyai berbagai dimensi yang melahirkan berbagai perspektif dalam melakukan analisa dan mencari solusi. Dimensi konflik perlu dipahami sebagai landasan analisis dalam melakukan resolusi konflik dan membangun perdamaian. Secara umum setidaknya ada tiga pendekatan dalam melihat dimensi konflik: Pertama, Pendekatan yang berfokus paada Dinamika Konflik. Dalam pendekatan ini, konflik dilihat sebagai fenomena dinamis dimana reaksi salah satu actor konflik ditentukan dari aksi lawannya. Fokus ini melihat konflik dalam konsep triangle : A: Sikap terhadap Konflik (conflict attitude), B: Perilaku Konflik (Behavior), C: Konflik itu sendiri dalam bentuk, kontradiksi, atau ketidaksesuaian (incompatibility). Konflik bisa mulai dari salah satu sudut dari triangle ini tetapi biasanya menekankan kepada dimensi C. Resolusi konflik dilakukan dengan cara melakukan transformasi transendental, melakukan kompromi atau pembatalan. Resolusi secara transenden artinya berupaya agar tujuan dari konflik dapat tercapai. Resolusi kompromi artinya semua pihak yang berkonflik harus berkorban untuk tidak menerima seratus persen tuntutannya. Resolusi dengan Pembatalan adalah dengan menghilangkan tujuan konflik. Dialog dan negosiasi dipandang sebagai salah satu cara. Dalam melakukan dialog dan negosiasi perlu dilandasi dengan dengan membangun kekuatan ekonomi, kekuatan sosial, kekuatan militer dan kekuatan kultural (Confidence Building Measures). Kedua, fokus Pada Kebutuhan Dasar (Cosser: 1956). Dalam perspektif ini konflik dilihat sebagai sebuah fenomena yang dinamis, yaitu sebagai fungsi sosial yang dinamis. Walaupun ada juga konflik yang disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai Konflik yang Realistik. Konflik disebabkan oleh ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai dalam masyarakat, tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan politik. Resolusi Konflik diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu dengan memberikan akses kepada pihak-pihak yang berpotensi konflik. Tetapi harus disadari bahwa menghentikan kekerasan itu bukan satu-satunya kepentingan dari pihak yang tengah berkonflik. Dalam perspektif ini, resolusi konflik menunggu momen yang matang (ripe moment). Peran Pihak Ketiga adalah mendorng atau mempengaruhi kalkulasi tersebut dengan cara memberikan "reward atau punishment".
Perspektif lama mendefiniskan perdamaian sebagai ketiadaan perang /konflik (negative peace). Pada masa PDI, PDII, hingga Perang Dingin, konflik lebih dilihat sebagai inter-state conflict, atau armed conflict. Dunia dipenuhi oleh rasa was-was dengan perlombaan senjata berat seperti Nuklir. Pasca perang dingin, yang terjadi adalah karaktersitik konflik bergeser dari kompetisi senjata menjadi kompetisi ekonomi, teknologi, informasi dan pengaruh politik. Definisi Conflic atau Perang berubah dari "The absence of war" menjadi "The absence of potentials to war" Konflik kekerasan bergeser dari Interstate conflict menjadi intra-state yang biasanya diwarnai dengan warna etnik, agama atau identitas yang sifatnya structural. Dilihat dari persepektif konflik diatas, bisa jadi terjadi pergeseran antara focus Dynamic conflict dan Rasional yang menekankan kepada aktor menjadi basic needs yang menekankan kepada isu dan akar dari konflik. Bahkan konflik sendiri bisa dijadikan mekanisme dalam melakukan integrasi, seperti pejajahan Belanda atas Indonesia yang memunculkan rasa kebangsaan dikalangan masyarakat dan akhirnya terbentuklah negara Indonesia.
Jadi bisa diamati bahwa konflik yang dulunya termanifestasi (terobservasi, perilakunya disadari, dan konflik jelas terlihat) mulai mengarah dalam bentuk laten atau kebalikannya (berupa perang psikologi, teror, motif politik namun berkedok ekonomi, dll.), teori konflik sendiri juga mengalami perkembangan yang berawal dari teori Marxis yang membahas konflik perbedaan kelas, konsep detterence di jaman nuklir, maupun teori konflik ala Galtung dan teori resolusi konflik. Hal yang perlu ditekankan disini adalah dalam kehidupan itu tak ada teman atau lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Untuk itu bagaimana pintar-pintarnya kita dalam membuat sebuah keputusan yang tepat pada waktu yang tepat, agar kepentingan yang ingin diraih bisa tercapai dengan pengorbanan sesedikit mungkin, untuk meraih hasil maksimal, baik dengan cara kekerasan maupun kerjasama (damai).
Referensi
Coser, Lewis A. 1956. The Function of Social Conflict. New York : Free press.
Doughertty, James E dan Robert L. Pfalagraff. Jr. 1971. Contending Theories of International. Relations. J. B. Lippincolt Company.
Galtung, Johan. 1960. Violence, War, and Their Impact On Visible and Invisible Effects of Violence dalam http://www.dadalos.org diakses tanggal 5 Mei 2009
http: //redaksi@pelita.or.id// diakses tanggal 5 Mei 2009
Peace Education Basic Course 2- Violence Typology, International UNESCO education server dalam http://them.polylog.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar