Negara Republik Timor Leste yang dulunya dikenal dengan Timor Timur secara geografis terletak di Asia Tenggara berbatasan langsung dengan kepulauan Maluku dan laut Banda di utara, laut Timor dan samudra Hindia di selatan, Nusa Tenggara Timur, laut Savu dan Flores di barat dan berbatasan dengan samudra Hindia di sebelah timur, memisahkan diri dari Indonesia dan berdiri sebagai negara republik pada 20 Mei 2002.[2] Timor Leste yang lagu kebangsaannya adalah Patria dan bahasa resminya adalah Tetum, Portugis, Inggris dan Indonesia yang digunakan dalam pekerjaan, sebagai negara republik dipimpin oleh Presiden Jose ramos Horta dan Perdana menterinya, Estanislau da Silva.[3] Negara yang memiliki populasi sebanyak 1.084.971 jiwa ini, menggunakan mata uang USD $ dengan mayoritas penduduknya berkebangsaan Timonese, melayu dan papua. Agama mayoritas nya adalah Katolik dengan 4 etnis yaitu Eastern Tetum, Damata, Galolo, dan Vaikino.
Fretilin sebagai partai politik pro kemerdekaan di Timor Leste menyatakan kemerdekaannya sebagai Republica Democratica da Timor Leste pada tanggal 28 Nopember 1975.[4] Pernyataan ini dijawab oleh gerakan pro-integrasi dengan pengumuman Deklarasi Balibo yang merupakan pernyataan integrasi Timor Portugis di dalam Republik Indonesia, pada tanggal 30 Nopember 1975. Selanjutnya, pada tanggal 17 Juli 1976 Daerah Tingkat I Timor Timur dibentuk, menyusul dikeluarkannya Undang-undang No. 7 1976 tentang penyatuan Timor Timur dengan Republik Indonesia.[5] Timor Timur menjadi propinsi ke-27 secara resmi dan menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat. Tanggal 30 Agustus 1999, di Timor Leste diadakan jajak pendapat dengan hasil 78.5% suara menolak otonomi khusus dan menerima kemerdekaan.[6] Pada 12 September 1999, presiden BJ Habibie mengijinkan para pasukan internasional untuk mengakhiri instabilitas politik dan keamanan di Timor Leste. Di bawah kepermimpinan PBB, INTERFET (International Force in East Timor/ Pasukan Internasional di Timor Lorosae) didirikan untuk memulihkan pendamaian dan menghentikan kekerasan dan supaya badan ini bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka TNI pun mundur dan self-determination pun dapat diwujudkan.
Indonesia merupakan partner utama Timor Leste dalam bidang perdagangan.[7] Karena walaupun telah resmi merdeka dari Indonesia pada 20 Mei 2002, namun Timor Leste masih sangat tergantung oleh pasokan kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak dari Indonesia. Sebelum berdiri sebagai sebuah entitas negara berdaulat, Timor Leste merupakan provinsi ke 27 Republik Indonesia yang bergabung dengan Indonesia setelah mengumumkan kemerdekaannya dari Portugal pada tahun 1999. Karena keterikatan itulah, Timor Leste dan Indonesia masih sering terlibat sengketa terutama dalam masalah penetapan batas-batas wilayah. Sebagai negara yang relatif masih muda, kerusuhan dan instabilitas politik adalah realitas sosial yang mewarnai kehidupan di Timor Leste. Berbagai kerusuhan terus terjadi dan sebagian besar karena alasan yang kurang jelas yang merupakan hasutan dan provokasi. Puncaknya, ketika Ramos Horta ditembak di kediamannya pada 11 Februari 2008 dalam serangan oleh kelompok pemberontak yang akhirnya terlibat pertempuran dengan petugas keamanan.[8] Dalam insiden tersebut, pemimpin pemberontak Alfredo Reinado, tewas tertembak. Hal inilah yang kemudian memicu gelombang pengungsian dan eksodus warga negara Timor Leste ke Indonesia, terutama ke wilayah yang berbatasan darat langsung seperti Atambua di Nusa Tenggara Timur.
Hubungan Australia-Timor Leste
Menurut perspektif Australia, semasa masih menjadi bagian dari Indonesia, diketahui bahwa Indonesia kerap melakukan pelanggaran HAM berat atas Timor Timur. Banyak organisasi dunia, misalnya Amnesti Internasional, memperkirakan bahwa sebanyak 100.000 orang Timor Portugis terbunuh oleh pihak keamanan. Kesimpulan ini dipertegas oleh Laporan Dunn, mantan diplomat Australia, yang mengatakan hampir 15 persen penduduk Timor Portugis dibunuh.[9] Penderitaan berat yang dialami warga Timor Timur selama bergabung inilah yang kemudian menempatkan Indonesia sebagai penjahat HAM dan menjadi bahan kajian serius bagi PBB dan Mahkamah Internasional. Isu HAM ini tidak lekas dilupakan oleh warga Timor Leste bahkan setelah merdeka, sehingga kedua negara sepakat membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) untuk menyelesaikan ketegangan kedua negara dalam masalah HAM.
Kondisi ini dimanfaatkan Australia dengan memasukkan perusahaan pengeksplor LNG nya, Woodside Petroleum dan Conoco Philips.[10] Bagi kepentingan Australia, masuknya perusahaan itu ke Timor Leste memiliki arti penting karena dapat mengurangi ongkos produksi yang mahal jika menggunakan pipa. Bagi Timor Leste, kerjasama dengan Australia ini tidak memiliki pilihan lain karena minimnya alat-alat produksi yang dimiliki oleh Timor Leste. Timor Leste mengharapkan bisa mengeksploitasikan minyak bumi di Celah Timor (Timor Gap), namun sepertinya sulit untuk mendapatkan pendapatan devisa yang besar di Celah Timor karena Australia telah mengiming-imingi Timor Leste dengan pengelolaanya dan Australia mendapatkan hasil eksploitasinya sebesar 80% dan sisanya diberikan ke Timor Leste, Australia juga telah menghalang-halangi Timor Leste untuk dapat menguasai Celah Timor secara penuh, dengan cara mengulur-ulur penyelesaian perbatasan kedua negara.[11]
Pada tahun-tahun pertama kemerdekaannya, Timor Leste dapat dikatakan tidak memiliki hubungan baik dengan banyak negara kecuali Australia. Namun, satu hal yang menghambat hubungan baik antara Timor Leste–Australia adalah sengketa mengenai batas maritim (Maritim Boundaries) Laut Timor yang oleh kedua negara disepakati menunggu sampai 20 tahun berdasarkan Traktat Laut Timor 2002. Kesepakatan ini kemudian menimbulkan permasalahan di kalangan masyarakat Timor Leste karena mereka menganggap bahwa sesuai UNCLOS 1982 dan prinsip hukum internasional lainnya, seharusnya Timor Leste layak mendapatkan hak nya di Laut Timor. Pada 2001 Timor Leste dan Australia menyepakati, Timor Leste akan mendapat 90 persen royalti dari pengeboran Timor Sea atau 2,8 miliar poundsterling-3,5 miliar poundsterling selama 20 tahun mulai 2004. Australia bersedia menerima hanya 10 persen royalti dari kegiatan hulu (eksploitasi) migas di Timor Gap, dapatlah dipastikan sebenarnya Australia justru akan mendapatkan manfaat ekonomi yang jauh lebih besar dari hanya sekadar iming-iming royalti sebesar 7 milyar dollar AS selama 20 tahun yang akan diterima Timor Leste. Pasalnya, dengan dialirkannya gas dari Lapangan Bayu Undan di Timor Gap dan dari Lapangan Sunrise dari Woodside ke daratan Australia (Darwin), maka seluruh keuntungan dan manfaat dari kegiatan hilir migas (pipa gas, kilang LNG, pabrik methanol, dan sebagainya) akan dinikmati oleh Australia sendiri.[12]
Bergabungnya Timor Leste dalam ASEAN
Sejak pertama kali merdeka, bahkan sebelum mencapai kemerdekaannya, Timor Leste telah mempunyai hubungan yang cukup erat dengan Australia. Bayang-bayang Australia inilah yang kemudian membawa Timor Leste pada keinginan untuk bergabung dengan Asia Pasific Economic Community (APEC) karena ia merasa sebagai bagian dari pasifik dan merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak tergabung ke dalam ASEAN. Namun beberapa tahun terakhir, Timor Leste dengan intens menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan ASEAN (Assosiation of Southeast Asia Nation) sebagai bagian dari negara-negara Asia Tenggara paling lambat pada tahun 2012. Bahkan pada tahun 2007, Timor Leste menandatangani ASEAN Treaty of Emity and Cooperation untuk mempererat kerjasamanya dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.[13]
Motif Timor Leste bergabung dalam organisasi regional dan internasional adalah lebih kepada alasan prgamatisme ekonomi sebenarnya. Kenyataan bahwa sumber daya gas yang melimpah ternyata tidak dapat mensejahterakan rakyat Timor Leste membuat negara ini harus memikirkan kebijakan yang lebih strategis dalam hubungan luar negerinya.[14] Timor Leste merupakan negara dengan GDP (Gross Domestic Product) terendah di Asia dan menduduki peringkat 159 dunia. Selain karena keterbatasan sumber daya manusia, kemunduran pembangunan Timor Leste juga disebabkan oleh korupsi yang mewabah di dalam negeri Timor Leste. Dari segi sumber daya manusia, prosentasi untuk penduduk melek huruf hanya sekitar 43 %. Begitu pula dengan kesehatannya, angka harapan hidup untuk laki-laki 47,9 tahun dan untuk perempuan adalah 51,8 tahun dimana angka kematian balita 83/1000 populasi.[15] Kondisi ini diperparah oleh praktik korupsi oleh para petingginya. Sekalipun Timor Leste tergolong negara yang cukup muda di kawasan asia, tapi tingkat korupsi nya tergolong cukup hebat bila dibandingkan dengan negara lain.
ASEAN dengan programnya ASEAN Community merupakan wadah strategis untuk meningkatkan bargaining position Timor Leste di mata dunia. Timor Leste dapat mengoptimalkan sumber daya hayati seperti kopi yang dimilikinya sebagai komoditas ekspor. Selain itu berbagai persoalan dengan Australia yang dihadapinya membuat Timor Leste merasa lebih condong bergabung dengan ASEAN daripada dengan APEC[16]. Langkah ini merupakan salah satu kebijakan luar negerinya terutama untuk kepentingan pengembangan LNG setelah Timor Leste menjalin kerjasama infrastruktur dengan Jepang dan kerjasama penjualan gas dengan Korea Selatan. Selain itu kepentingan di bidang peningkatan ekonomi, lingkungan hidup dan integrasi kawasan, masuknya Timor Leste ke dalam ASEAN juga merupakan wujud pengharapan Timor Leste kepada ASEAN untuk membantu mewujudkan stabilitas keamanan dalam negeri yang tak kunjung terealisasi, terutama ketika instabilitas keamanan itu diikuti oleh travel warning yang diberlakukan Uni Eropa Timor Leste. Di Asia Tenggara sendiri, negara yang masih dikenai travel warning adalah Myanmar dan Filipina.[17]
Hikmah dari sebuah Gejolak
Sebenarnya selain gejolak dan kemiskinan yang mewarnai Timor Leste, ada beberapa kemajuan yang mampu diraih sampai saat ini seperti peluncuran Maskapai Timor Air pada November 2008 serta pemasangan akses internet yang walaupun kecepatannya masih terbatas dan biaya operasional yang mahal. Kemiskinan bertahun-tahun adalah sebuah resiko yang harus ditanggung oleh Timor Leste karena memilih berpisah dari Negara Indonesia, namun itu adalah harga yang setara demi yang namanya sebuah kebebasan. Pelajaran berharga untuk pihak Indonesia sendiri adalah perlu adanya desentralisasi kekuasaan dan pemerataan pembangunan serta ekonomi yang lebih nyata dan terawasi bukan sekedar jargon mengenai otonomi daerah, khususnya kawasan di luar Jawa agar tidak muncul Timor Leste-Timor Leste yang lain serta penggunaan upaya defensive-persuasif untuk menyelesaikan permasalahan dalam bentuk apapun, tidak harus militer tapi bisa juga dengan jalan negosiasi dengan pemuka agama, kepala suku atau pemerintah setempat agat tidak dipolitisasi oleh negara lain, dalam hal ini Australia.
Referensi
Adhitama. T. 1985. Indonesia-Australia: Jalan Menuju Peningkatan Kerja Sama dalam Kitley .P. Chauvel. R. dan Reeve .D. (peny.). 1989. Australia di Mata Indonesia. Kumpul Pers Indonesia 1973-1988. Jakarta: PT Gramedia. h. 138.
Dunn Mengganggu Adam Malik Keras. Tempo. 26 Maret 1977 dalam Kitley .P. Chauvel. R. dan Reeve .D. (peny.). 1989. Australia di Mata Indonesia. Kumpul Pers Indonesia 1973-1988. Jakarta: PT Gramedia. h. 87.
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/fp.html
http://www.kompas.com diakses pada 6 Oktober 2009
Jejak Panjang Timor Lorosa'e dalam Laporan The National Security Archieve 28 November 2005 Penyelesaian Diplomasi Pelanggaran HAM Timor Leste. Diterbitkan Juli 31, 2008 Artikel Dosen
Purwaningsih. 2002.Indonesia Harus Jalin Hubungan Ekonomi-Politik Dengan Timor Leste. Diakses melalui http://www.tempointeraktif.com pada 6 Oktober 2009
[1] https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/fp.html
[2] Ibid CIA
[3] Op cit CIA
[4] Adhitama. T. 1985. Indonesia-Australia: Jalan Menuju Peningkatan Kerja Sama dalam Kitley .P. Chauvel. R. dan Reeve .D. (peny.). 1989. Australia di Mata Indonesia. Kumpul Pers Indonesia 1973-1988. Jakarta: PT Gramedia. h. 138.
[5] Dunn Mengganggu Adam Malik Keras. Tempo. 26 Maret 1977 dalam Kitley .P. Chauvel. R. dan Reeve .D. (peny.). 1989. Australia di Mata Indonesia. Kumpul Pers Indonesia 1973-1988. Jakarta: PT Gramedia. h. 87.
[6] Ibid.
[7] Purwaningsih. 2002.Indonesia Harus Jalin Hubungan Ekonomi-Politik Dengan Timor Leste. Diakses melalui http://www.tempointeraktif.com pada 6 Oktober 2009
[10] Op cit Dunn
[11] OP cit Dunn
[13] Op cit Kompas
[14] Op cit Kompas
[15] Op cit Kompas
[16] Op cit Kompas
[17] Op cit Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar