Rasa solidaritas muncul dari sikap kolektivisme yang merupakan lawan dari individualisme. Namun apakah globalisasi yang banyak disebarkan oleh kaum Barat yang notabenenya menganut paham individualisme dan kebebasan mampu memunculkan solidaritas global? Pertanyaan tersebut akan terjawab dalam review ini, dengan artikel dari Peter Waterman yang berjudul Globalization, Civil Society, Solidarity sebagai sumber utama dan berbagai dukungan dari sumber lain untuk menguatkan argument Penulis.
Nilai-nilai individualisme yang sempat disinggung di atas, dalam persebarannya melahirkan paradigma liberalisme dan merkantilisme yang kemudian melahirkan Revolusi Industri. Berbagai spektrum gerakan muncul sebagai resistensi terhadap kebangkitan paham individualisme. Sosialisme memberikan tanggapan terhadap kondisi-kondisi yang diciptakan revolusi industri. Marx tidak menganggap revolusi dapat terwujud lewat penggantian struktur ekonomi saja, tetapi harus diiringi oleh perjuangan politik kaum buruh-tani yang menghimpun diri dalam sebuah partai revolusioner (Waterman, 1993). Di kutub yang lain, anarkisme mencita-citakan tatanan sosial tanpa pemerintahandengan metode perjuangan yang khas seperti lakukan segala sesuatu sendiri, berkarya, dan solidaritas. Seperti tampak dalam gerakan kelompok Black Bloc pada aksi protes pertemuan WTO di Seattle tahun 1999. Hal ini didukung oleh pernyataan Malatesta bahwa penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas (Husotlo, 2010).
Gerakan sosial terfragmentasi menjadi gerakan sosial lama yang semata-mata memperjuangkan perubahan tatanan ekonomi, sedang pergerakan sosial baru mengusung isu-isu HAM, lingkungan, gender dan budaya (Waterman, 1993). Konsep masyarakat sipil pun mengalami evolusinya jika dulu Hobbes melihat masyarakat sipil sama dengan masyarakat politik dan negara maka Cohen membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan negara (Husotlo, 2010). Sehubungan dengan keberadaan pasar bebas yang merupakan turunan dari globalisasi menurut paradigma neoliberalisme (nama baru dari liberalisme yang sebenarnya tetap menggunakan konsep lama), hal ini memunculkan kesadaran global dari masyarakat yang kemudian memunculkan berbagai global common interest, seperti pembangunan sosial, pemberantasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, memperkokoh solidaritas global, mempererat integrasi sosial, proteksi dan pemeliharaan lingkungan dll (Waterman, 1993). Bahkan sampai pada penangkalan bersama terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia dan terorisme dalam berbagai bentuknya (sebagaimana yang telah ditetapkan dalam berbagai konvensi dan keputusan PBB).
Tanggung jawab global ini harus secara bersama-sama digalang oleh seluruh negara di dunia terutama untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh persaingan dan perdagangan bebas dan dampaknya pada ekonomi, social, dan budaya setempat, karena semestinya perekonomian global tidak begitu saja mengabaikan perekonomian nasional suatu negara (Suyanto, 2010). Tindakan nyata dari kesadaran dan tanggung jawab global tersebut terlihat dari globalisasi perlawanan yang merupakan tanggapan terhadap neoliberalisme di masing-masing negara bahkan benua (Suyanto, 2010). Di Eropa, gerakan mengambil bentuk kelompok-kelompok sipil penekan. Di Dunia Islam berupa pertentangan Islam dengan kapitalisme, dipicu oleh peristiwa WTC 11 September 2001. Kelompok-kelompok yang cukup sukses seperti gerakan petani tak bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil, gerakan Zapatista di Meksiko, dan aksi penolakan KTM ke-6 WTO di Hongkong oleh ribuan buruh migran Indonesia (2006). Terbentuk pula jaringan perlawanan sosial global, ditandai dengan penyatuan dua konfederasi buruh terbesar, diselenggarakannya Forum Sosial Dunia, pembentukan jaringan petani internasional La Via Campesina, atau jaringan lain seperti Our World Is Not For Sale dan APNFS.
Berbagai perlawanan global tersebut, terfasilitasi oleh kecanggihan teknologi yang memperluas jaringan perekat solidaritas, massa dapat diorganisir dengan cepat dalam jumlah massal dengan internet (Waterman, 1993). Hal yang harus dilakukan oleh gerakan-gerakan social tersebut adalah memasalkan pendidikan politik-ekonomi budaya rakyat, pengorganisiran (sektoral dan kelas sosial), pembangunan kelompok penekan, pembangunan gerakan sektoral, penyinergian gerakan antar sektor yang termaju (buruh, tani, kaum miskin kota, mahasiswa, gerakan budaya dan adat), masyarakat ekonomi bekerja sama dengan masyarakat politik, perubahan kebijakan/pelurusan kekuasaan rakyat dan pembangunan ekonomi rakyat (Suyanto, 2010). Globalisasi dan wujud globalisasi memang masih dalam proses mencari bentuknya. Untuk itu tak seorang pun tahu format dan hubungan antar keduanya yang terlalu kompleks dan masih sulit dirumuskan. Untuk itu pada masa proses globalisasi ini masing-masing negara harus berbenah diri untuk meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional ke arah mengurangi ketergantungan pada pihak luar. Kemudian menggalang kerjasama regional dan bergabung dalam gerakan-gerakan di forum internasional yang menentang ketidakadilan inheren dari globalisasi sebagaimana yang terjadi saat ini, disertai kesadaran tentang perlunya berbagai koreksi harus kita lakukan terhadap proses perkembangan globalisasi yang terlalu menyudutkan negara-negara berkembang. Jadi dengan adanya semangat kerjasama dan kesadaran global, ini harus dapat dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan nasional kita dengan berbagai ideologi yang telah dipilih.
Berpikir global dan bertindak lokal adalah slogan revolusioner di tahun 1960an. Menurut Harvey ini terlahir kembali (Waterman, 1993). Namun menurut Penulis, akan lebih baik bila dalam memanfaatkan proses globalisasi yang menyediakan banyak peluang dan prospek kemajuan dilakukan dengan semangat go global dengan local specifics. Go global artinya ikut proaktif menyusun aturan global dalam tatanan internasional yang ada dan ikut membentuk mekanisme globalisasi. Merencanakan dan membentuk keunggulan komparatif domestik adalah tugas memperkokoh local specifics. Ini harus menjadi sikap budaya politik maupun ekonomi kita. Jadi bukan kita yang harus beradaptasi dengan globalisasi, tapi bagaimana caranya globalisasilah yang beradaptasi dengan kita dan negara ini, tanpa mengabaikan kepentingan nasional dan menggerus semua yang tradisional (lokal meredifinisikan global). Selain itu globalisasi tidak hanya muncul dari pengaruh pemerintah dan kebijakannya, tapi bisa juga muncul revolusi globalisasi dari bawah yang digerakkan oleh masyarakat sipil dengan motif politik maupun alasan ekonomi.
Referensi
Waterman, Peter. 1993. Globalization, Civil Society, Solidarity
Husotlo, Revitriyoso. 2010. Resistensi Global terhadap Ketidakadilan Global diakses dari www.kompas.com pada 20 Juni 2010
Suyanto. 2010. Mengubah Mindset Globalisasi diakses dari www.tempointeraktif.com pada 20 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar