Tampilkan postingan dengan label politik luar negeri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik luar negeri. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Oktober 2010

Pengaruh Variabel Domestik dalam Politik Luar Negeri




Studi politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional. Pengaruh faktor domestik ini sama pentingnya dengan faktor internasional dalam mempengaruhi output politik luar negeri, hanya seberapa besar kekuatannya dalam mempengaruhi, didasarkan pada situasi dan kondisi negara tersebut dalam menghadapi negara lain. Faktor domestik ini meliputi nilai-nilai seperti kebudayaan dan identitas nasional serta politik domestik dan oposisi.
Kebudayaan dan Identitas Nasional
Identitas nasional itu terbentuk melalui setiap kejadian yang ada dalam kehidupan sosial. Dimana komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sosial merupakan mesin pengubah dalam identitas nasional sehingga perubahan sosial melalui kebudayaan yang merupakan salah satu unsur dalam identitas nasional dapat terjadi dalam kehidupan sosial (Hudson, 2007). Masalah tentang budaya dan identitas nasional ini mulai marak dibahas paska  Perang Dingin tekait dengan munculnya negara-negara baru terutama negara CIS. Pembahasan ini kemudian menjadi hal yang penting dimana juga terkait dengan kepentingan nasional sebuah bangsa serta tujuan nasional bangsa terutama dalam aspek perekonomian. Seperti yang dikatakan Woods bahwa negara memandang kepentingan nasionalnya melalui seperangkat pemikiran dan kepercayaan terhadap bagaimana sistem ekonomi dunia itu bekerja dan kesempatan yang ada di dalamnya. Contohnya pada Negara Jepang, Cina, dan Korea Utara  yang menggunakan kebijakan isolasionis sebelumnya, namun saat ini bisa mengejar kemajuan setara dengan beberapa Negara Barat lain yang terlebih dahulu maju.
Kebudayaan dan identitas nasional di sini merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dimana kebudayaan suatu negara mencerminkan identitas nasional di negara tersebut yang membedakannya dengan negara lain (untuk menilai siapa kita dan siapa mereka). Di dalam kebudayaan tersebut tentu ada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu negara dan menjadi identitas nasionalnya. Signifikansi kebudayaan dan identitas nasional inilah yang membuatnya menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Meskipun ada kalangan seperti Vertzberger yang mengatakan bahwa sangat sulit memberikan keterkaitan antara variabel sosial-budaya dengan proses kebijakan luar negeri. Hal ini dikarenakan pengamatan dengan efek dari sosial budaya tersebut sulit untuk dilakukan dan untuk memastikan sejauh mana kebudayaan mampu memberikan pengaruhnya. Oleh karena itu Hudson meencoba mengaitkan budaya dengan faktor-faktor lain seperti individu dan kelompok yang mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri (Hudson, 2007).
Kebudayaan dan identitas nasional yang berbeda tiap negara tentunya membuat politik luar negeri antar negara berbeda-beda meskipun merespon kasus yang sama. Oleh karena itu, menurut K.J Holsti diperlukan adanya "culture syndrome" untuk mendeskripsikan sindrom nasional untuk menghargai hubungan dengan negara lain (Hudson, 2007). Kemudian juga dibutuhkan adanya konseptualisasi tentang kebudayan sebagai suatu sistem dalam pemaknaan dan nilai yang dibawa. Untuk konseptualisasi ini, dapat dilakukan melalui "operational code" yaitu situasi yang sulit tidak dapat dilalui tanpa kebijakan yang benar dan jangan mengalkulasikan kesuksesan untuk memprediksi apa yang akan terjadi, kemudian memaksimalkan pencapaian dan menghindarkan tindakan yang dapat melahirkan kerugian, serta penggunaan kekerasan untuk menunjukkan kekuatan kepada musuh kita.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa dalam aktivitas manusia termasuk dalam kebijakan luar negeri merupakan produk dan bagian dari kebudayaan. Kebijakan luar negeri ini juga bergantung pada kebijakan nasional sehingga perlu adanya komunikasi untuk menyelaraskan visi dan misi. Di sinilah proses pembudayaan juga terjadi, dimana kebudayaan diartikan oleh Geerst, sebagai kesatuan dari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi untuk menambah pengetahuan dan bertingkah laku dalam kehidupan (Hudson, 1997).
 Politik Domestik dan Oposisi

Selain kebudayaan dan identitas nasional, politik domestic dan peran oposisi juga menyumbangkan pengaruhnya dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Menurut Dahl, hal yang terpenting dalam politik domestik dilihat dari sisi rezim yang ada dan bagaimana efektivitasnya. Namun, Milner sedikit berbeda dengan Dahl yang lebih mengemukakan terminologi seperti preferensi kebijakan, distribusi informasi, dan gaya dalam pendistribusian (Hudson, 2007).
Baik rezim maupun preferensi kebijakan tentu tidak lepas dari peranan seorang aktor, dimana aktor yang berkuasa saat itu pasti sangat mempengaruhi kebijakan yang diambil. Baik dari tingkat kedekatan aktor tersebut dengan pembuatan keputusan, jumlah aktor, potensi serta keaktivan aktor dalam merespon isu yang ada. Ada beberapa strategi dasar untuk keamanan dalam upaya menghadapi oposisi dan mempertahankan kebijakan luar negeri baik yang akan atau yang telah diambil, antara lain yaitu mengabaikan atau menolak permohonan oposisi, taktik langsung, taktik  tak langsung seperti membentuk aliansi dengan kelompok lain, tidak melibatkan oposisi dalam pembuatan kebijakan, mengalihkan perhatian nasional pada isu lain, serta kompromi. Hal ini dilakukan karena oposisi seringkali menuntut hal-hal yang mengancam kekuasaan dari para inkumben yang berkuasa, untuk itu bila menginginkan kestabilan maka seorang actor harus memiliki kapabilitas yang di atas rata-rata dari orang kebanyakan untuk memilah dan memilih factor yang berpengaruh dalam  proses pembuatan kebijakan luar negeri, apakah mendukung ataukah justru menghambat.

Referensi
Hudson, Valerie. 1997. “Culture and Foreign Policy: Developing a Research Agenda. In V. Hudson” (ed). Culture and Foreign Policy. Boulder: Lynne Rienner Publishers. Ch.1
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis : Classic and Contemporary Theory. Plymouth: Rowman and Littlefield Publishers, Inc

Sabtu, 16 Oktober 2010

DINAMIKA KELOMPOK PEMBUAT KEBIJAKAN LUAR NEGERI



Pembuatan keputusan oleh suatu negara dapat diartikan memilih berbagai kemungkinan alternatif yang ada untuk kesinambungan kehidupan suatu negara-bangsa. Dimana isu-isu strategis dan keputusan kebijakan luar negeri yang penting biasanya dibuat oleh kelompok kecil para pembuat kebijakan, dalam arti terdiri dari lima belas orang atau kurang. Hal ini bukan berarti bahwa hanya kurang dari lima belas orang terlibat dalam isu tertentu. Charles F. Hermann  menyatakan bahwa elemen-elemen dari struktur kelompok seperti distribusi kekuasaan di dalam grup sama halnya dengan tipe dari peran yang dimainkan oleh anggota-anggota kelompok akan mendapatkan akibat yang penting dalam proses kelompok yang pada akhirnya dapat menghasilkan percabangan dalam pemilihan kebijakan public (www.voxprof.com). Untuk itu interaksi antar anggota kelompok dapat memberikan pengaruh yang mendalam, bahkan adakalanya merusak kualitas keputusan dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat sebuah persetujuan karena semakin banyak masukan atau pilihan yang muncul. Pilihan kelompok ini pun juga sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil kebijakan sebelumnya dan bagaimana kelompok mengevaluasi hasil tersebut (http://www.allacademic.com).
Namun untuk meneliti sebuah kasus, penelititi dapat melihat fokus mana yang lebih penting untuk disoroti dan memberikan pengaruhnya. Bila itu adalah kelompok, maka untuk meninjaunya dibutuhkan literatur yang relevan serta perlunya eksplorasi atas suatu perspektif atas suatu kasus yang berdasarkan situasi dan konteks yang ada sebagai sebuah dukungan dalam berpikir. Untuk itu perlu juga menghubungkannya dengan organisasi dan politik untuk mengembangkan pemahaman yang multi-level dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri yang sifatnya kolegial (kelompok) (http://www.allacademic.com). Hal ini didukung oleh penjelasan Graham T. Allison  tentang model Politik-birokratik yang mendeskripsikan mengenai hasil dari proses interaksi, penyesuaian diri dan perpolitikan di antara berbagai aktor dan organisasi (http://countrystudies.us). Dimana politik luar negeri muncul dari proses politik berupa tawar-menawar, kompromi, penyesuaian diri, dan sebagainya, yang merupakan inti dari proses sosial pembuatan keputusan.
Model ini lebih lanjut menggambarkan suatu proses di mana masing-masing pemain berusaha bertindak secara rasional. Sebagian besar dari politik birokrasi terjadi pada kelompok antar agensi, yang di mana sangat penting keberadaannya di mata pemerintah. Meskipun banyak hal-hal penting pada umumnya dibebankan pada satu kelompok antar agensi. Untuk mengembangkan sebuah serial opsi atau rekomendasi untuk kelompok kecil yang tingkatannya lebih tinggi, contohnya seperti NSC, merupakan sebuah bentuk kelompok interagensi yang tidak hanya fokus pada usaha untuk mempengaruhi dengan cara berpartisipasi pada beberapa organisasi, tetapi juga berperan dalam perpolitikan dalam negeri. Menurut penulis, secara garis besar, politik birokrasi menghasilkan sebagian besar drama perpolitikan penuh intrik yang menggugah dimana bisa ditemukan pada satu pemerintahan.
Dalam kelompok pembuat keputusan, baik yang terorganisasi secara formal maupun informal tentu terdapat struktur di dalamnya yang melibatkan pemimpin dan anggota. Dimana tanggung jawab terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan persoalan
organisasional seperti struktur organisasi, kelancaran roda organisasi dan deskripsi kerja ada ditangan seorang pemimpin, sehingga ia perlu memiliki bekal kemampuan mengelola organisasi yang tentunya lebih baik dibandingkan anggota kelompok lainnya. Namun setiap aktor dalam kelompok tersebut, seperti Presiden, para menteri, penasehat, jenderal, anggota parlemen dan lain-lainnya sama-sama berusaha menetapkan tujuan, menilai berbagai alternatif sarana dan menetapkan pilihan melalui suatu proses intelektual. Meskipun dalam prakteknya, tidak semua aktor dapat secara maksimal memberikan kontribusi yang merata dalam waktu yang bersamaan pada sebuah pilihan kebijakan. Hal ini bisa dilihat dalam kondisi perumusan kebijakan 
luar negeri Vietnam yang berpusat pada Partai Komunis Vietnam sebagai partai tunggal yang memiliki kekuasaan (http://countrystudies.us). Ketika kebijakan luar negeri menyangkut masalah keamanan nasional, jajaran pimpinan militerlah yang memonopoli proses pengambilan keputusan yang dalam hal ini presiden merupakan kepala negara yang memiliki komando tentara nasional dan merupakan Ketua Pertahanan Nasional dan Dewan Keamanan. Sedangkan untuk urusan di luar keamanan nasional, kementrianlah yang menjadi pemain kunci.
Di Indonesia sendiri, terdapat kelompok studi yang muncul dengan kesadaran untuk mendukung terciptanya mekanisme perumusan kebijakan luar negeri yang optimal dan kesadaran untuk melibatkan publik seluas mungkin (www.crawford.anu.edu.au). Inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk membentuk suatu forum yang secara konsisten berfungsi untuk membahas berbagai diskursus mengenai masalah internasional sekaligus bagaimana Indonesia menyikapinya dalam bentuk kebijakan luar negeri yang rasional dan efektif. Dalam pengorganisasiannya, kelompok studi ini akan dapat berfungsi juga sebagai media pendidikan dan penyadaran masyarakat secara luas mengenai pentingnya untuk memperhatikan masalah internasional sekaligus guna mendorong timbulnya kesadaran akan keterkaitan yang erat antara bebagai masalah di dalam negeri dengan masalah-masalah di tingkat eksternal. Harus diakui bahwa dewasa ini diskursus publik mengenai berbagai masalah intenasional sangat terbatas dan didominasi hanya oleh beberapa forum. Kurangnya pemahaman publik inilah yang cenderung terefleksi dalam sikap reaktif sebagian kelompok masyarakat terhadap isu-isu seperti keterlibatan Indonesia dalam kasus nuklir Iran dan masalah perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Salah satu contoh kelompok studi tersebut adalah Indonesian Foreign Policy Study Group (IFPIS) yang bersifat independen, nonpartisan, sebagai think tank, dan bertujuan sebagai sumber masukan bagi anggotanya yang terdiri dari pejabat pemerintah, akademisi, wartawan, mahasiswa, pengamat, dan kalangan usaha serta kalangan lain yang memiliki perhatian atau kepentingan untuk lebih memahami isu-isu internasional dan bagaimana Indonesia menyikapinya dalam bentuk kebijakan luar negeri yang rasional dan efektif (www.crawford.anu.edu.au).

Referensi
Anonim. Dinamika Kelompok Kecil dan Pembuatan kebijakan Luar Negeri: Eksperimental Bukti dari berulang Dilema Narapidana Games diakses dari http://www.allacademic.com pada 13 Oktober 2010
Anonim. Indonesia Study Group - Indonesia Project. Diakses dari www.crawford.anu.edu.au pada 13 Oktober 2010
Anonim. Political Dynamics diakses dari http://countrystudies.us pada 13 Oktober 2010
Hermann, Charles F. 1978. Small Group Decision Making. Diakses dari www.voxprof.com pada 13 Oktober 2010

Rabu, 13 Oktober 2010

GLOBALIZATION: INSTRUMENT OF HEGEMON TO INCREASE ITS POWER IN CHANGING SITUATION




Abstract: International politic after cold war concern more about low politic like culture, economy, environment, and gender than high politic like military and war even though nowadays they are still exist. Hegemony as usual nature always talks about how to get and spread of power using globalizations as instrument to increase its power after cold war because international situation change from bipolar to multi polar where globalization concept make local and national culture facing three choices: lost or decline situation, transform as standardized international culture where strong culture can be trend setter, or more increase (multiculturalism) because every country realize dangerous of globalizations. To answer that question author use self assumption which supported by case study and theory of hegemony, and globalization  to explain phenomena like identity crisis in many developing countries, ambiguities of globalization, westernization, or Americanization terms, technology and international business role as agent of cultural change and advantage and disadvantage of standardized international culture and how to solve this problem

Key word: international politic, globalization discourse, culture, hegemony

            Globalization is popular term nowadays. Epistemologically globalization is definited as developing relation between interdependency interrelation and inter human in the world by trade, investment, trip, popular culture, and other bias interaction so globalization still become discourse.[1] Most activities in the post cold war is influenced by globalization even though origin time of globalization unknown exactly. Free trade concept and international business is part of its derivation.  Globalization also stimulate presence  of  regional economic institutions such as European Union, APEC, and OPEC. Globalization issue is popular more and more by information technology progression rapidly, so it makes every one  from many parts of the world enable to communicate and change information every time. Space is not problem any more because world become borderless and look whole in one. Technology also facilitate to change and spread culture one another, like music, clothes, life style, movie, etc. Culture itself is values or perception which believed by people to everything. Both value and perception which related to psychology aspect which is in the world mind. Psycology aspect is important if realized that someone’s behavior is very influenced by what be in our mind. 
In reality not all of them share information fairly and equally but western country especially hegemonic country more dominate in extending information about culture and their interests to developing countries. It is not a big deal if  follow positive values of the other countries like knowledge of sophisticated technology and discipline hard work method. The  real problem  is that developing countries tend to follow western thing so globalization identical with westernization or Americanization because United State (US) is hegemon  in the post cold war era where international system is facing change situation from bipolar to multi polar and the next problem which presence is US use this gap by globalization motif  as instrument to legitimate and mantain his hegemony because international system is not unipolar and make local and national culture between evil and blue deep sea. There are three possibility which available: culture may be in lost or decline situation because culture which is unique is opponent of globalization which tend to be standardized but in contrary culture can be modified naturally, or transform as standardized international culture where certain culture is engineered to be trend setter, or more increase (multiculturalism) because every country realize dangerous of globalizations.
There are some theories to answer those problems, hegemonic theory where hegemony tend to expand its power to other countries which give priority to culture approach, ideology and economy than military.[2] There is no country which can be hoped to ignore this hegemonic condition except change it and compete to get the highest power if do not want to be  influenced. Japan and China which well known having strong character of nation not sliupped away from globalizations issue but it does not mean that they leave their own culture but they can take the bright side and eliminate the negative one even they can show to the world that by their unique culture and creation, they become exist and survive from identity crisis which is faced by most of Asian countries like Indonesia. Indonesia have just taken care of this culture after claimed by Malaysia because Indonesian people for this time more proud of US trend mark than local product.
According to Geert Hofstede about culture, there is power orientation where people respect to the highest hierarchy.[3] Its relation is manifest of transnational economic expansion in capitalism spirit where its interest is varieties from politic, trade and economic expansion itself because they is inherent with culture expansion so culture tend to support that political economy policy. So globalization which is disabuse by US as incumbent  hegemon even though get crucial economy crisis can be toleranced. More over spread of culture influence is unaware if we do not learn more and have deep culture background. Pop culture like hollywood movies exist between us from television and internet which we listen and watch in our daily life. So that Cochrane and Pain said that in globalization theory, there are three position which can be observed.[4] First, globalist believe that globalization is reality which has real consequence to how people and institution in the world work. They believe that countries and local culture will be lost by global culture and economic homogen and standardized which penetrated and refer to  international capitalism and trade. Globalist is divided into two extremely side, positive and optimistic who receive well that progressive and say that globalization produce tolerance and respect world people. Pessimism globalist say that globalization is negative phenomena because in reality it is western imperialism especially United Stated which force some homogenous  culture and consumption  as the right manifest. Most of them shape contra globalization group. Second, traditionalist unbelieve that globalization is happening. They say that this phenomena is myth. if it is really happen, it is enlarged too much. They think that capitalism is   international phenomena in the last hundred years. What we face is the next step or evolution of produce and capital trade. Third, transformationalist which is between globalist and traditionalist  agree that globalization influence is enlarged by globalist but they also think that fool if we deny this concept because globalization should be understood by a power which most of them is indirectly but its process can be reversed especially for negative effect or minimally can be handled.
From positions above, author choose the last one because globalizations is proved as instrument of hegemon as Cox  said that stability hegemonic order is based on horde of values which possessive together which from the ways of thinking and behave of dominance social stratification of hegemon which has power to influence the other countries to follow.[5] We can reject that influence by our increase our self confidence and understanding of our own culture and having nationality and unity, like japan and China so our multiculturalism can be maintained well not influenced by  Pop culture which is intended to be international culture. Existence of national culture is linier with our nation character. Even though we now learn about international politic but it does not guarantee result international culture. We need revival of traditional culture to stimulate revival national culture which now getting international culture threaten and avoid claimed cultural case which cause instability politic intra regionalism like batik which identical with Indonesia is patented to UNESCO in order that not possessived by Malaysia which has claimed because both of them is neighbor countries and people migration  is high so each country can confess if batik is belong to them beside that we can show to hegemon if we are independent even though by culture symbolization. 
Actually by culture standardization, conflict can minimalize because  misunderstanding between people which has different culture and human right and position is same and equal but the weakness is we do not become critical human and can stop innovation of knowledge and technology, because both of them is some example of culture which is result of creation, feeling, and creativity of human being. Our challenge is how to solve this problem where culture made by human so it should be advantage for human who have that culture. By having dynamic culture, we do not drugged into structuralis determinism, because even all of our culture is worse than American, they must have uniqueness which make them worthy and precious. So it  can be commodity of tourisme which finally can proud of our country and make prosper our people again. We as citizens have to support our government to do cultural exchange with other region or countries but also cared of filtration of foreign culture which has negative effect to support multiculturalism where different cultures precisely bind us in unity. If all people like that so identity crisis will not happen not only in Asia but also another non hegemon countries.
           

EPILOG
            Globalization movement plays role in decline and crisis of national identity because penetrate Pop Culture as hegemon’s instrument to legitimate his hegemonic by technology and international institution and business. To revival our culture, we have to respect and understand our culture and nationality, beside that to avoid conflict we can increase our tolerance to differences. In position as noun, culture has to be received by us but as verb, culture has to be managed by human. Context of culture is debatable depends on what perspective which we use. So that if we understand it textually where every culture is opened text, every culture an be interpretated and red again by every one whenever. Even author conclude that globalization is culture itself-product of hegemon country.

REFERENCES
Cox, Robert and Sinclair. 1996. Approaches to World Order. Cambridger: Cambridge University Press
Griffin, W. Ricky and Michael W. Pustay. 2005. International Business. New Jersey: Person Education Upper Saddle River page 109
Gunawan, Redy Hendra. 2007. Restorasi Budaya Nasional Melalui Transformasi Olahraga Tradisional sebagai upaya memperkokoh Jati Diri Bangsa.

Mustofa. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan SMP
Plano, Jack C. 1982. The International Relation Dictionary. England: Clio press Ltd. hal. 204



[1] Redy Hendra Gunawan. 2007. Restorasi Budaya Nasional Melalui Transformasi Olahraga Tradisional sebagai upaya memperkokoh Jati Diri Bangsa.
[2] Jack C. Plano. 1982. The International Relation Dictionary. England: Clio press Ltd. hal. 204
[3] Ricky W. Griffin, and Michael W. Pustay. 2005. International Business. New Jersey: Person Education Upper Saddle River page 109
[4] Mustofa. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan SMP
[5]  Robert Cox and Sinclair. 1996. Approaches to World Order. Cambridger: Cambridge University Press.

DEFINISI DAN GENERASI POLITIK LUAR NEGERI



            Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppy mendefinisikan politik/kebijakan luar negeri sebagai keputusan dan perilaku yang ditempuh oleh negara-negara dalam interaksinya dengan negara lain atau dalam organisasi internasional (Viotti dan Kauppy, 1999:478). Politik luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional (Plano, 1999:5). Politik luar negeri yang spesifik dilaksanakan oleh suatu negara sebagai inisiatif atau reaksi inisiatif yang dilakukan oleh negara lain. Kebijakan luar negeri mencakup proses dinamis dari penerapan pemaknaan kepentingan nasional yang relatif tetap terhadap faktor situasional yang sangat fluktuatif di lingkungan internasional dengan maksud untuk mengembangkan suatu cara tindakan yang diikuti oleh upaya untuk mencapai pelaksanaan diplomasi sesuai dengan panduan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Politik luar negeri ini merupakan salah satu bidang kajian studi hubungan internasional. Dimana bidang kajian ini berada pada interseksi antara aspek dalam negeri suatu negara (domestik) dan aspek internasional (eksternal) dari suatu negara. Dalam pandangan Coplin, politik luar negeri terbagi dalam tiga sifat, yaitu umum, administratif, dan krisis (Coplin, 1992). Politik luar negeri yang bersifat umum terdiri atas serangkaian keputusan yang diekspresikan melalui pernyataan-pernyataan kebijakan dan tindakan-tindakan langsung. Sementara, politik luar negeri yang bersifat administratif dibuat oleh anggota-anggota birokrasi pemerintah yang bertugas melaksanakan hubungan luar negeri negaranya. Salah satu contohnya adalah  Amerika Serikat di bawah administrasi Presiden George Walker Bush menetapkan politik luar negeri berupa Global War on Terrorism (GWOT). Sedangkan, politik luar negeri yang bersifat krisis merupakan kombinasi dari kedua keputusan yang bersifat umum dan administratif. Keputusan krisis merupakan pengambilan keputusan yang diambil secara cepat dalam situasi darurat.
Ada beberapa langkah utama dalam proses pembuatan kebijakan politik luar negeri yaitu, menjabarkan pertimbangan kepentingan nasional ke dalm bentuk tujuan dan sasaran yang spesifik, menetapkan faktor situasional di lingkungan domestik dan internasional yang berkaitan dengan tujuan klebijakan luar negeri, menganalisis kapabilitas nasional untuk menjangkau hasil yang dikehendaki, mengembangkan perencanaan atau strategi untuk memakai kapabilitas nasional dalam menanggulangi variabel tertentu sehingga mencapai tujuan yang telah ditetapkan, melaksanakan tindakan yang diperlukan, dan secara periodik meninjau dan melakukan evaluasi perkembangan yang telah berlangsung dalam mencapai tujuan yang dikehendaki (Plano, 1999:5). Tujuan kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh pengalaman yang dilihat dari masa lalu dan sasaran serta aspirasi di masa depan. 
Untuk mencapai tujuan di atas, politik/kebijakan luar negeri perlu dibuat dan dianalisa terlebih dulu oleh pembuat keputusan (decision maker). Dimana formulasi dari kebijakan tersebut didahului dari adanya masukan, proses dan keluaran yang akhirnya menimbulkan umpan balik untuk pembuatan kebijakan baru atau sebagai suatu bahan untuk evaluasi. Ada beberapa generasi dalam analisis kebijakan luar negeri menurut Pinar Bilgin dalam reviewnya terhadap tulisan Valerie Hudson (Hudson, 2007). Pertama, dikonstruksikan oleh kaum behavioralis pasca Perang Dunia II, mereka mentransformasikan ilmu sosial dengan pendekatan yang bersifat eksak atau ilmu alam. Generasi tersebut merupakan pemikir klasik atau yang disebut dengan generasi pertama (1954-1973). Generasi ini menekankan pada struktur dan proses dari kelompok kecil pembuat keputusan luar negeri, yang bekerja dan memiliki pengaruh besar dalam suatu organisasi dan birokrasi besar. Kelompok tersebut terbagi dalam beberapa dimensi yaitu ukuran, peranan pemimpin dan aturan dalam pembuatan keputusan. Tradisi penelitiannya bersifat empiris yang menggunakan analisa tetap dari data eksperimental seperti studi kasus. Generasi berikutnya tahun 1974-1993 namun masih disebut pemikir klasik, mengkritik sekaligus menghadirkan metode-metode baru, dengan kontribusi dari ilmuwan pos positivis. Generasi terakhir muncul di tahun 1993-sekarang, yang lebih komprehensif dalam memandang analisis kebijakan luar negeri dan melengkapi kekurangan yang ada dari generasi sebelumnya. Generasi ketiga ini terdiri dari kaum pos positivis dan konstruktivis yang menawarkan solusi  lebih lugas dan komprehensif untuk analisis kebijakan luar negeri serta menghadirkan berbagai alternatif pemikiran baru yang selama ini termarjinalkan atau belum muncul dipermukaan. Saat itu merupakan era kejatuhan blok soviet yang kalah dari Amerika Serikat dalam perang dingin, dimana zero sum game dari teori struktur system neorealist dan model pilihan rasional mengalami masa kejayaannya. Aktor dalam generasi ini tidak lagi didominasi oleh Negara bangsa tapi juga actor dengan informasi yang spesifik serta menerima teori-teori menengah ke bawah bukan hanya grand teori saja, dimana kedudukan dari proses pengambilan keputusan pun dipertimbangkan sama pentingnya dengan hasil kebijakan yang didapatkan.

Referensi
Hudson, Valerie M. Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory. (USA: Rowman & Littlefield Publisher.Inc, 2007)
Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, terj. Wawan Juanda (Jakarta: Putra A. Bardin, 1999), hal. 5.
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppy, International Theory: Realism, Pluralism, Globalism and Beyond, Third Edition (Boston: Allyn and Bacon, 1999), hal. 478.
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochammad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006) 47-51.
William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoretis, terj. Marsedes Marbun, Edisi Kedua  (Bandung: Sinar Baru, 1992), hal. 37-42. 

Kamis, 07 Oktober 2010

PERAN INDIVIDU DALAM PEMBUATAN KEPUTUSAN LUAR NEGERI




Pemahaman terhadap siapa yang akan menjadi pejabat publik sebaiknya dimiliki setiap anggota masyarakat. Sebelum memilih, masyarakat perlu tahu seluk-beluk dan sepak terjang calon pemimpin, termasuk profil kepribadiannya. Seperti dikatakan Leslie Zebrowitz dalam buku Social Perception bahwa setiap orang akan seperti psikolog, cenderung menilai orang yang diamatinya (www.unisosdem.org). Begitu pula dengan presiden di Negara Indonesia. Sebagai contoh adalah Alm. Presiden Abdurrahman Wahid dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  yang menjabat sekarang ini. Warga Negara Indonesia yang tahu, pernah ataupun belum pernah kenal secara pribadi tokoh pemimpin tersebut, pada dasarnya punya kecenderungan untuk berusaha menilai mereka. Dengan kata lain, warga mencoba membentuk persepsi tersendiri akan tokoh tersebut.
Di lain pihak, psikologi sebagai suatu disiplin ilmu telah menemukan beberapa metode yang didukung teori dasar psikologi kepribadian, untuk bisa menelaah dari "kejauhan" profil kepribadian tokoh politik dan pemimpin. Dimana seorang individu yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin menjadi penentu diambilnya sebuah keputusan penting maupun kebijakan baik yang menyangkut urusan dalam maupun luar negeri untuk kepentingan orang banyak. Peran individu di sini juga dijelaskan Mohtar Mas’oed dalam bukunya yang mengutip Patrick Morgan bahwa individu juga termasuk dalam peringkat analisis, selain tingkat analisis kelompok individu, negara-bangsa, kelompok negara-bangsa, dan tingkat analisis sistem internasional (Morgan, 1982). Tingkat analisis individu di sini melihat fenomena hubungan internasional sebagai interaksi perilaku individu-individu. Untuk memahami hubungan internasional, seorang peneliti diharuskan mengkaji sikap dan perilaku tokoh-tokoh utama pembuat keputusan seperti kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, dan sebagainya.
Tingkat analisis biasanya digunakan untuk menyederhanakan dan memperdalam suatu pemahaman atas kompleksitas permasalahan yang ada melalui penitikberatan analisis pada elemen yang dipandang sebagai unsur utama. Melalui instrumen inilah periset menetapkan unit eksplanasi dan bagaimana ia mempengaruhi unit analisa.  Mohtar Mas’oed juga menyatakan bahwa dalam proses memilih peringkat analisis, ada dua hal yang perlu dilakukan (Mas’oed, 1990). Pertama, menentukan unit analisis, yaitu yang perilakunya hendak dideskripsikan, dijelaskan, dan diramalkan (karena itu disebut pula variabel dependen). Kedua, menentukan unit eksplanasi, yaitu yang dampaknya terhadap unit analisis hendak diamati (bisa juga disebut variabel independen).  Dengan kata lain, unit eksplanasi merupakan faktor yang mempengaruhi unit analisis.
            Dalam kaitannya dengan politik luar negeri, James N. Rosenau menyebutkan bahwa penempuh studi mengenai kebijakan dapat memilih dan menggabungkan faktor yang paling penting dan patut diberi perhatian dalam menjelaskan perpolitikan suatu negara yang diteliti-sistemik, masyarakat, pemerintahan dan idiosinkratik (Lentner, 1974). Idiosinkratik individu yang meliputi pengalaman, bakat, kepribadian, persepsi dan kalkulasi serta perilaku dengan kedudukannya sebagai elite pembuatan keputusan sangat menentukan. Di bawah ini terdapat perbandingan antara kebijakan luar negeri ekumenikal pada era Gus Dur  dan kebijakan Thousand Friends Zero Enemy pada era SBY.
            Pada era kepemimpinan Gus Dur yang saat itu baru saja keluar dari krisis, akhirnya melakukan upaya diplomasi ekumenikal yaitu merangkul semua negara dalam upaya menjalin persahabatan dan kerjasama antar Negara (http://els.bappenas.go.id). Hal ini juga dilatarbelakangi oleh politik bebas aktif yang dianut Indonesia, yaitu aktif menjalin hubungan dengan Negara lain yang saling menguntungkan dengan memprioritaskan: pemulihan citra Indonesia di mata masyarakat internasional, peningkatan hubungan bilateral dengan negara-negara tetangga, dan memajukan kerjasama internasional dalam rangka pemeliharaan perdamaian dunia. Oleh karena itu, Indonesia mesti melaksanakan politik luar negerinya dengan berperan aktif dalam diplomasi preventif serta penyelesaian konflik secara rasional dan moderat dengan mengandalkan prinsip-prinsip kerja sama internasional, saling menghormati kedaulatan nasional, dan non-intervensi.
Kadar hubungan antar Indonesia dengan negara lain berbeda-beda, karena meskipun sudah terjalin kerjasama namun konflik adakalanya tetap terjadi bahkan dengan begara tetangga sendiri, seperti Malaysia dan Singapura. Indonesia sebenarnya menganggap semua negara sama kedudukannya, untuk itu tidak ada patokan yang kaku dalam menentukan pentingnya hubungan dengan suatu negara, semuanya bergantung pada situasi dan kondisi saat itu. Dalam kepemimpinannya Gus Dur pernah membuka kembali hubungan diplomatiknya dengan Israel, yang merupakan musuh bersama Negara Islam karena sengketanya dengan Palestina. Namun inisiatif tersebut menurut penulis justru bagus bila Indonesia berniat untuk menjadi mediator konflik keduanya, karena syarat untuk menjadi mediator adalah tidak memihak dan tentunya mengakui jika Palestina maupun Israel adalah sama-sama Negara berdaulat walaupun sedang bersengketa masalah wilayah.
Pada era SBY, kebijakan luar negerinya juga tidak jauh berbeda dengan ekunomikal di jaman Gus Dur. Diplomasi thousand friends zero enemy di sini dimaksudkan agar Indonesia memiliki hubungan baik dengan banyak Negara dan sebisa mungkin menghindari konflik atau permusuhan dengan negara lain. Namun sisi negatifnya, pemerintah jadi terkesan lemah saat dihadapkan masalah dengan Negara lain, misalnya kasus perbatasan RI-Malaysia yang sudah tentu berhubungan dengan kedaulatan Negara ini di mata Internasional.  Ketua DPR Marzuki Alie menilai insiden penangkapan petugas DKP Kepri oleh Polisi Malaysia merupakan sebuah bentuk pelanggaran hukum sehingga harus ditindak lanjuti (Jakartapress.com). Bila masih diselesaikan dengan cara damai, sebaiknya kedua Negara melakukan klarifikasi atas kejadian tersebut serta mempertegas garis perbatasan yang ada agar tidak terulang kesalahpahaman lagi di kemudian hari. Penulis memiliki pendapat berbeda, penyelesaian seperti ini tidak akar menyelesaikan akar konflik dan Malaysia seperti tahun-tahun sebelumnya masih saja mengulangi atau bahkan memancing konflik baru dengan Negara Indonesia. Pemerintahan SBY secara tidak langsung telah mengorbankan kedaulatan demi diplomasi thousand friends zero enemy. Hal ini didukung dengan pernyataan Anderas, dosen Universitas Parahyangan bahwa Pemerintah mengorbankan petugas penjaga perbatasan yang sedang menjalankan tugas demi kepentingan pencitraan semata. Sikap lemah ini akan menurunkan moral petugas yang menjaga perbatasan, karena tidak dilindungi oleh pemerintah yang tidak berkarakter. Anderas menambahkan, bangsa dan negara Indonesia akan terus menerus dilecehkan oleh negara tetangga dan negara-negara di dunia, selama pemimpinnya tidak punya sikap tegas dalam berdiplomasi.
            Semestinya hubungan internasional memang tetap dipelihara, namun dalam koridor tetap terjaganya harga diri dan kedaulatan bangsa. Bila ada negara lain yang lebih kuat sekalipun, secara sengaja pamer power atau memicu konflik apalagi berulang seperti Malaysia, Indonesia dan segenap warga negaanya harus membela dan memperjuangkan negara ini seperti yang tercantum dalam pasal 30.

Referensi         
Anonim. 2010.Tak Bisa Dibarter diakses dari www.jakartapress.com pada 7 Oktober 2010
Howard Lentner. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill and Howell Co.,hal.18.
Karim, Niniek L dkk. Pemilihan Gubernur Mencermati Kepribadian Calon Pemimpin Jakarta diakses dari http://www.unisosdem.org diakses pada 7 Oktober 2010
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Edisi Revisi (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 35.
Morgan, Patrick, Theories and Approaches to International Politics: What Are We Think? (New Brunswick: Transaction, 1982), seperti dikutip oleh Mas’oed dalam Ibid., hal. 40-42.