Sabtu, 02 Oktober 2010

ADA APA DENGAN REGIONALISME DI TIMUR TENGAH?

       Keberadaan judul artikel di atas justru menimbulkan pertanyaan baru yang mendasar yaitu sudahkah tercipta regionalisme di Timur Tengah? Karena yang ada selama ini yang menonjol masih sebatas pada kerjasama regional, belum mengarah pada hakikat dari regionalisme sendiri yang sampai saat ini masih diperdebatkan dimana suatu regionalisme tidak selalu menekankan faktor kedekatan geografis semata (Timur Tengah adalah kawasan negara penghasil minyak, masyarakatnya beragama Islam, penghasil minyak dan daerah gurun), tapi lebih dari itu. Menurut Andrew Hurrell paling tidak regionalisme harus memenuhi kriteria: social, economic,  political, and  organizational cohesiveness serta adanya saling ketergantungan atau interdependensi antara satu negara dengan negara lainnya.[1] Sehingga disadari atau tidak  regionalisme merupakan konstruksi sosial bukannya suatu doktrin atau dogma yang tak bisa diperdebatkan.

Regionalisasi atau regionalisme?
            Melihat bahwa regionalisme sebagai suatu konsep masih debatable sehingga kemungkinan besar akan berkembang dan semakin meluas maka terdapat kategori- kategori dari untuk lebih memudahkan analisa terkait aspek teori dengan tataran praksisnya.[2] Pertama, Regionalisasi yaitu perkembangan integrasi sosial dalam sebuah kawasan yang didalamnya melibatkan proses interaksi tak langsung antara ekonomi dan sosial. Kondisi ini sebenarnya telah terbukti dengan adanya interaksi aspek sosial dan ekonomi antara daerah kekuasaan Pan Islamisme klasik seperti bagaimana kerjasama perdagangan para kabilah dagang bangsa Arab dan Persia, Jazirah Arab dengan Asia Tenggara khususnya Indonesia sehingga kondisi ini mendukung untuk terciptanya regionalisme di era modern sekarang. Kedua, Kesadaran kewilayahan dan identitas, merupakan sekumpulan persepsi akan kepemilikan terhadap komunitas partikularistik dan biasanya menyandarkan pada faktor-faktor internal tapi bisa pula merupakan aksi bersama terhadap ancaman atau tantangan eksternal seperti munculnya gerakan revivalisme Islam sebagai respon terhadap pengaruh dominan Barat atau terbentuknya OKI yang merupakan terhadap Israel karena mencoba menghancurkan Masjid Suci Al- Aqsha dan pendudukan bangsa Yahudi tersebut atas tanah suci Palestina. Ketiga, kerjasama antar negara dalam satu kawasan, merupakan inisiatif dari pemerintah untuk membentuk suatu organisasi regionalisme. Sebagai ajang penyelesaian masalah bersama (terutama masalah- masalah seperti isu Palestina dan kerjasama ekonomi yang selama ini hanya berjalan di atas kertas dan lebih bersifat bilateral daripada kolektif). Keempat, promosi penggabungan kawasan negarayang menitikberatkan pada kerjasama dalam aspek ekonomi. Di sini dibuat suatu aturan untuk membahas batas-batas antar negara guna memperlancar arus barang, jasa, modal dan mobilitas warganya. Aspek ini meliputi dimensi scope (keluasan cakupan isu yang diperbincangkan), depth ( tingkat harmonisasi politik antar negara yang melakukan bekerjasama), institutionalisasi (eksistensi kesekretariatan organisasi formal yang dibentuk, misal sekretariat OKI di Kairo, Mesir sebagai salah satu negara pusat di dunia Islam) dan sentralisasi (derajat otoritas yang efektif dalam organisasi dan aspek ini dalam dunia Islam terutama dalam tubuh OKI masih lemah). Kelima, kohesi regional yaitu kombinasi dari keempat proses sebelumnya tersebut menjadi sebuah unit regional yang kohesif dan terkonsolidasikan. Kohesi inilah sepertinya yang belum tampak dan menjadi penghambat ketidak sempurnaan regionalisme Timur tengah, karena adanya egoisme masing-masing negara dalam mengutamakan kepentingan nasional masing-masing untuk melanggengkan status quo, seperti Arab Saudi yang merupakan negara pengekspor minyak terbesar dunia dan Iran dengan proliferasi nuklirnya untuk mewujudkan ambisi sebagai penguasa regional Timur Tengah. Faktor ini menjadi tantangan terbesar yang harus segera dijawab negara- negara Islam untuk segera membenahi organisasi yang sudah terbentuk menjadi lebih merepresentasikan terciptanya suatu integrasi kawasan yang murni sebagaimana hakikatnya di atas serta menunjukkan pada dunia bahwa Timur Tengah lebih dari sekedar regionalisasi.
Bagaimana Dinamika Regionalisme Timur Tengah dan Interaksinya di Dunia Internasional?
            Membahas lebih jauh mengenai dinamika regionalisme Timur Tengah, sepertinya tak lepas dari isu geopolitik yang terjadi disana: batas internasional, senjata pemusnah massal, penyelundupan senjata, migrasi dan pengungsi, penjualan narkotika, minyak, air, ketahanan pangan, pan-Arabisme, fundamentalisme, terorisme dan konflik.[3] Pada era perang dunia hingga perang dingin, Timur Tengah tak pernah luput dari masalah sengketa batas internasional. Perang Teluk (1991) antara Irak dan Kuwait memberikan kita salah satu contoh tentang pentingnya penjaga keamanan internasional untuk mengamankan eksistensi negara tersebut. Solusi bagi masalah kawasan ini setidaknya ada dua, pertama adalah fusion atau bergabung menjadi satu, dan kedua adalah fission yaitu berpisah. Pada kasus fusion kita bisa melihat di negeri Yaman, sedangkan pemisahan atau fission bisa dilihat dari negara Israel dan Palestina dengan konsepsi solusi dua negara.
            Masalah kedua adalah tentang senjata pemusnah massal seperti nuklir, senjata kimia dan senjata biologi. Israel, seperti kesaksian dari mantan teknisi nuklir Israel Mordechai Vanunu, termasuk negara yang membuat nuklir, begitu juga dengan Iran, Libya, dan Pakistan. Isu lain berkenaan dengan migrasi dan pengungsi. PBB mengestimasikan sekitar 20 juta pengungsi pada akhir abad keduapuluh. Cohen (1995) menyebut bahwa migrasi orang Yahudi dari Eropa ke tanah Palestina adalah salah satu migrasi yang besar di Timur Tengah.[4] Kaum Zionis Politik merencanakan bahwa migrasi itu adalah suatu homecoming, “pulang kembali” ke tanah yang telah dijanjikan oleh Tuhan kepada mereka setelah sebelumnya mereka tercerai-berai. Masalah lain adalah tentang penjualan narkoba. Narkoba adalah elemen kunci dalam agenda politik makro. Ini telah menjadi isu internasional. Bahkan, kontrol dari pembuatan hingga penjualan barang tersebut telah mencakup negara-negara di dunia. Keuntungan yang diperoleh dari bisnis ini juga sangat fenomenal dan menjanjikan. Isu lainnya adalah tentang minyak dimana Timur Tengah sebagai tambang emas hitam dunia. Semua negara sampai saat ini, sangat membutuhkan minyak untuk industri maupun transportasi. Akibat banyaknya minyak, maka konflik antar sesama negara Timur Tengah pun terjadi, seperti antara Irak dan Kuwait. Begitu juga dengan kepentingan negara-negara besar seperti Amerika yang ingin menguasai minyak di kawasan tersebut. Semestinya negara produsen minyak menyiapkan diri untuk meningkatkan pertahanan barangkali ada negara lain yang ingin menguasai sumber minyak di negaranya bukan malah puas dengan kemakmuran yang merupakan hasil dari penjualan minyak, seperti negara Arab Saudi, yang menurut saya terlalu menggantungkan diri pada sokongan Amerika Serikat padahal sebenarnya justru malah dimanfaatkan oleh MNC dari AS seperti Exxon, Texaco, dan Aramco.[5] Lainnya adalah adalah tentang Pan-Arabisme atau nasionalisme Arab. Gerakan ini adalah untuk penyatuan negara-negara Arab untuk menjadi sebuah kekuatan besar dalam dunia politik. Kesamaan bahasa, geografis, dan budaya yang membuat gerakan ini dibuat. Kata kunci dari gerakan ini adalah negara-negara berbahasa Arab, yang kemudian menjadi unsur penyatu bagi negara-negara Timur Tengah. Selain itu, adalah karena mereka memiliki agama yang sama, yaitu Islam. Hal ini memicu timbulnya masalah fundamentalisme diantara Kristen, Yahudi dan Islam. Namun dari segi politik, fundamentalisme kaum Zionis Yahudi adalah lebih efektif karena berhasil mendirikan yang the state of Israel di Timur Tengah yang sampai saat ini kedaulatannya masih kontroversial. Ini cukup beralasan karena, dalam kalangan fundamentalis Islam kerap mengalami kegagalan internal ketika hendak mendirikan sebuah gerakan transnasional, seperti nasionalisme Arab, atau pan-Islamisme-nya Jamaluddin al-Afghani. Persoalan Timur Tengah sendiri yang tidak bisa bersatu karena egoisme ingin menjadi pemimpin adalah masalah tersendiri yang membuat negara gerakan Pan-Arabisme atau gerakan negara-negara Timur Tengah tidak memberi arti banyak bagi umat Islam, sebutlah kasus Palestina yang belum juga merdeka padahal OKI telah lama didirikan oleh negara-negara Arab untuk menyelesaikan masalah Palestina.
Masalah terakhir sekaligus menjadi topik yang paling hangat dalam perbincangan dunia internasional yaitu terorisme. Dewasa ini kerap ditujukan pada gerakan-gerakan Islam, padahal dalam agama lain juga ditemukan adanya terorisme seperti yang dilakukan Timothy McVeigh, pengebom gedung federal di Oklahoma City pada 1995 yang menewaskan 168 orang, namun seolah kasus ini sengaja untuk diabaikan. Gerakan Hamas di Palestina dengan infadah-nya kerap juga disebut sebagai teroris. Padahal, sejatinya definisi teroris yang belum paten juga berimplikasi pada tindakan Israel, juga Amerika yang menyerang Afghanistan, juga Irak adalah tindakan terorisme negara walaupun dengan dalih untuk menumbangkan rezim Sadam Husein yang otoriter dan terjadinya pelanggaran HAM. Namun, mengapa kondisi non- demokrasi yang juga terjadi di Arab  Saudi dibiarkan begitu saja, begitu pula aksi ”ganas” Israel atas Palestina yang mengorbankan puluhan ribu nyawa justru malah dibela oleh AS yang notabenenya adalah hegemon yang sekaligus mengaku atau justru malah mengaku-ngaku polisi dunia. Standar kebijakan ganda AS ini memang patut dipertanyakan?
Analisa dan kesimpulan
Di tengah konflik dan kekerasan bersenjata yang kini berkecamuk di Timur Tengah, khususnya karena campur tangan Barat, tampaknya sulit membangun sebuah dialog peradaban yang konstruktif akibat benturan antar peradaban dan kepentingan. Apalagi mewujudkan regionalisme dengan kohesi regional yang komperehensif, kecuali dengan adanya semangat untuk bersatu dan mengutamakan kepentingan regional diatas egoisme kepentingan nasional masing-masing negara di Timur Tengah. Semestinya Arab Saudi yakin akan power yang dimilikinya dan keefektivan organisasi regional seperti OKI dan Liga Arab[6] (sebuah organisasi yang terdiri dari negara- negara Arab untuk memajukan kerja sama politik antara negara anggota, menyelesaikan sengketa-sengketa antar negara Arab, menggalakkan dan mengawasi kerja sama di bidang ekonomi, komunikasi, kebudayaan, sosial dan lainnya) yang dalam perkembangannya menjadi wadah penyusunan kerja sama yang mendukung integritas ekonomi di antara negara anggota di Timur Tengah untuk melawan dominasi Amerika Serikat, bukan malah menjadi sekutu AS yang jelas-jelas menganiaya saudara sekawasannya sendiri, Palestina, melalui Israel ataupun tangan AS sendiri, Irak dan Afganistan. Begitupun dengan Iran, semestinya menurunkan arogansi atas ambisinya sebagai penguasa, demi kebaikan bersama. Bila memiliki kapabilitas ekonomi, politik serta militer yang tangguh dengan sendirinya, tanpa memaksakan, semua negara di Timur Tengah akan mengakui kehebatannya.Walapun memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak ada satu kawasanpun yang tidak dipengaruhi tekanan dari luar (teori sistem) dalam tatanan dunia yang anarki dimana pengaruh hegemon masih mendominasi dan sering melanggar aturan bahkan hukum internasional. Apalagi tidak adanya jaminan negara demokrasi selalu terbebas dari konflik dan menurut pengamatan saya konsep demokrasi dan penegakan HAM didefinisikan menurut kepentingan negara hegemon sendiri. Jadi prospek regionalisme ke depannya, 100% bergantung pada mau tidaknya negara di Timur Tengah untuk bersatu lebih dari sekedar persepsi kedekatan geografis, dimana kebaikan dan keuntungan dari organisasi regional diharapkan akan mengakomodir semua kepentingan nasional anggotanya.
Referensi
Anderson,Ewan W. The Middle East Geography & Geopolitics
Fawcett, Louise, and Andrew Hurrel. 2002. Regionalism in World Politics. Oxford University Press. pp.7-36
Göteborg University: Department of Peace and Development Research

Hayati, Sri dan Ahmad Yani. 2007. Geografi Politik. Bandung: Refika Aditama. Hal 6
Lindholm, Helena -Schulz and Michael Schulz The Middle East - exception or embryonic regionalism?



[1] Louise Fawcett and Andrew Hurrel. 2002. Regionalism in World Politics. Oxford University Press. pp.7-36
[2] Ibid

[3] Ewan W. Anderson, The Middle East Geography & Geopolitics
[4] Sri Hayati dan Ahmad Yani. 2007. Geografi Politik. Bandung: Refika Aditama.
[5] Helena Lindholm-Schulz and Michael Schulz The Middle East - exception or embryonic regionalism? Göteborg University: Department of Peace and Development Research hal 6








Tidak ada komentar:

Posting Komentar