Jumat, 01 Oktober 2010

GLOBALISASI VS PERTUMBUHAN DAN PEMERATAAN


            Dari artikel Neoliberalisme on Trial yang saya baca beserta beberapa dukungan artikel lain, penulis menentukan posisi bahwasanya neoliberalisme yang salah satu agendanya mengusung globalisasi ternyata lebih cenderung menimbulkan ketimpangan. Beberapa ulasan di bawah ini merupakan argumen penguat dari posisi penulis.
            Masalah mendasar yang timbul akibat neoliberalisme adalah pengerukan aset dan kekayaan dari rakyat ke tangan segelintir kelas dari negara berkembang ke negara maju, dan negara yang menerapkan monopoli kekerasan dan membuat aturan main adalah yang paling bertanggung jawab dalam mendukung dan mempromosikan proses ini. Jadi pertumbuhan dan pemerataan akibat neoliberalisme ekonomi berupa pasar bebas dan perdagangan di era globalisasi ini, yang rencananya dengan pengurangan batasan ruang dan waktu serta akses informasi dan perpindahan modal yang begitu cepat dapat memaksimalkan keuntungan dan menstimulasi bisnis dunia ternyata justru hanya memanjakan pengusaha dan tingkat kemiskinan sama sekali tidak berkurang (Harvey, 2005). Orang miskin tetap saja jadi korban dan Harvey menyebut hal ini sebagai accumulation by dispossession,  yang meliputi pengonversian berbagai bentuk hak milik (bersama, kolektif, negara, dan sebagainya) ke dalam hak-hak kepemilikan pribadi secara eksklusif; komodifikasi tenaga kerja dan eliminasi secara paksa bentuk-bentuk alternatif model-model produksi dan konsumsi; proses-proses pengambil alihan aset dengan cara-cara kolonial, neokolonial, dan imperial (termasuk sumber daya alam); moneterisasi nilai tukar, pajak, dan terutama tanah; peminjaman dengan bunga yang mencekik, utang nasional dan yang paling merusak adalah penggunaan sistem kredit yang merupakan cara-cara paling radikal dari akumulasi primitif (Harvey, 2007).
Globalisasi yang idealnya membuat jarak semakin menyempit dan tanpa batas
melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain, justru menjadi alat untuk memperalat. Bagaimana tidak, kesuksesan masyarakat di level atas yang diprediksi akan menyebar pada kalangan sekitarnya dan golongan menengah ke bawah justru mempertinggi ketimpangan. Analogi yang tepat untukk mengggambarkan keadaan ini adalah seperti deret ukur dan deret hitung, jadi bila si kaya memperoleh 1,3,5,7 dst. Maka si miskin kalaupun mengalami kenaikan pendapatan hanya 1,2,3, dst. Tidak akan bisa menyusul keberhasilan dan keuntungan berlipat dari si kaya. World Bank kurang jitu dalam menghitung tingkat pendapatan dunia, karena sama sekali tidak memperhitungkan nilai kurs dollar saat menyurvei tingkat pendapatan individu dibawah 1 $ yang merupakan patokan termiskin, selain itu yang mereka hitung dari orang kaya adalah aset sekaligus pendapatannya padahal orang miskin seringkali tidak memiliki aset bahkan ada yang pengangguran dan menjadi beban bagi negaranya (Harvey, 2005).
Globalisme ini tak lebih dari wujud kapitalisme lama dalam kemasan baru yang diusung oleh negara adikuasa. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing bahkan sengaja dibelit dengan hutang dan bunganya. Apalagi bantuan dana yang digelontorkan biasanya lebih sering tidak tepat sasaran dan dikorupsi oleh pimpinan masing-masing negara berkembang,  bukannya untuk menggeliatkan pasar dan membangun infrastruktur. Kennedy dan Cohen menyebutkan bahwa transformasi globalisasi telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu (Muhammad, 2010).
. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan orang sadar bahwa sebenarnya mereka turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Baik dalam bidang ekonomi, budaya, teknologi dan informasi serta transportasi. Namun mengapa yang menjadi acuan selama ini justru hanya aspek kapital? Apakah itu bukan penyempitan makna dari globalisasi yang bersifat universal dan menyeluruh dalam aspek kehidupan, motif di belakang itu sebenarnya apa? Menurut penulis, globalisasi memang ada tapi keberadaannya terlalu dibesar-besarkan, aspek eksploitasi justru seolah dilegalkan karena kesempatan bersaing terutama dalam hal ekonomi benar-benar tanpa batas. Pertumbuhan ekonomi ternyata tak seglobal pemerataan yang terjadi, memang seperti di Cina ada begitu banyak orang kaya baru sehingga pendapatan dunia melesat begitu tinggi tapi faktor ketimpangan dalam negeri Cina yang sangat tinggi.
Pendukung globalisasi menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Lantas bagaimana dengan negara agraris atau negara lain yang memiliki keterbatasan modal, teknologi dan mesin produksi yang kurang canggih sehingga belum mampu mengolah sumber daya alam yang ada menjadi suatu komoditas barang jadi, pastinya mereka lebih cenderung untuk ekspor dan mendapatkan hasil yang minim meskipun sebenarnya kaya dari segi faktor alamnya. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat dan kemakmuran otomatis juga akan meningkat, begitu seterusnya. Namun menurut Tanry abeng, kritik sosial yang terjadi adalah upah yang rendah dari para buruh seringkali dijadikan sasaran untuk mendapatkan untung berlebih dan faktor diluar keuntungan sama sekali tidak penting dan diabaikan (Muhammad, 2010).
Pasar yang semula menjadi tempat aktivitas ekonomi, menjadi ajang berpolitik bagaimana yang kuat akan selalu menang. Keberadaan krisis yang berulang akibat permainan finansial global justru semakin menyengsarakan rakyat miskin, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka saja susah seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan. Negara-negara yang kena imbas globalisasi pun belum tentu memiliki tingkat kesiapan yang sama dalam bersaing, bahkan bukan hanya ketidakmerataan dan kemiskinan yang semakin tinggi, bisa saja nantinya malah mengarah pada munculnya negara-negara gagal baru.

Referensi
Harvey, David. 2005. “Neoliberalisme on Trial” dalam A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press
Harvey,David.  2007. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. hal 268-278
Muhammad, C. 2010. Penghancuran Terpimpin. Diakses melalui http://www.kompas.com pada 20 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar