Sabtu, 02 Oktober 2010

INTEGRASI DAN INTERDEPENDENSI DALAM NAFTA


            Dalam studi interaksi antar negara yang berlangsung begitu dinamis, muncullah suatu prioritas baru yang dinamakan regionalisme atau blokisme, dalam istilah saya, yang menjadi dasar kepentingan regional yang ada. Pada gilirannya diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional atas negara-negara yang tergabung di dalamnya. Paradigma atas nama kepentingan regional ini, lantas diformulasikan dalam bentuk kerjasama regional di beberapa kawasan/wilayah dunia, yang saat ini mengarah pada sifat pengelompokan diri ke dalam konstelasi kepentingan ekonomi regional/global, misalnya North American Free Trade Agreement (NAFTA).

Signifikansi NAFTA
   NAFTA beranggotakan Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, seperti yang telah diutarakan di atas, yakni menjanjikan negara-negara pesertanya kemudahan di bidang ekonomi, mulai dari diberikannya pembebasan tarif bea masuk bagi komoditi-komoditi tertentu hingga adanya perlakuan adil terhadap penanam modal asing yang akan menanamkan modalnya di tiga negara tersebut.[1]
Namun, sebagaimana teori integrasi pada umumnya, aspek ekonomi dimanapun tidak akan berjalan sendirian tanpa didampingi oleh muatan politis di dalamnya. Untuk itulah konsep free trade tidak bisa menjadi fair trade, diantara negara-negara anggotanya. Konsep interdependensi yang semula digaung-gaungkan mulai menunjukkan bentuk aslinya yaitu dependensi, baik antara negara maju dan berkembang maupun dikalangan sesama negara maju. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini terdapat analisa mengenai pola hubungan yang terjadi pada keanggotaan NAFTA.

Analisis melalui pendekatan realis dan liberalis
            Dalam perspektif realisme, regionalisme yang berarti integrasi pasar nasional ke pasar regional berimplikasi menurunnya otonomi negara dalam pembuatan kebijakan pembangunan karena keharusan untuk menyesuaikan kebijakan nasional dengan aturan regional, yang terjadi kemudian bukan hanya "komplementaritas ekonomi" antarnegara, tetapi persaingan terbuka yang dilembagakan di tingkat regional. Prinsip competition and survival  berlaku di sini, karena tatanan dunia saat ini masih dalam tataran anarki. Akibatnya, penciptaan struktur industri nasional yang terintegrasi menjadi lebih sulit diwujudkan. Hal ini tampak jelas pada pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) pada 1994 yang terinspirasi dari kehadiran Uni Eropa. Saat itu para pendukung regionalisme meramalkan, NAFTA yang meliputi 376 juta orang akan meningkatkan kemakmuran warganya dan akan mengurangi kesenjangan ekonomi AS-Meksiko. Faktanya, sepuluh tahun seusai NAFTA diimplementasikan, kesenjangan pendapatan antara warga AS dan Meksiko meningkat 10 persen. Meksiko juga lebih tergantung secara ekonomi kepada AS. [2] Belakangan, sebagian besar rakyat AS merasa dirugikan NAFTA, terutama dengan "direbutnya" lapangan kerja untuk buruh murah oleh warga Meksiko. Tak heran bila dalam kampanyenya Obama menjanjikan negosiasi ulang terkait substansi NAFTA.[3]
            Sejak awal kemunculannya, NAFTA memang menuai kontroversi. Keberadaan perdagangan bebas menuntut perubahan masyarakat yang berorientasi agrikultur ke arah industrialisasi. Hal ini menimbulkan keterkejutan sosial dalam masyarakat bila tidak bisa beradaptasi, apalagi persaingan antara masyarakat lokal dengan pihak swasta tidak mendapat perlindungan lagi oleh negara. Hal ini memicu pemusatan kekuatan ekonomi dikalangan terbatas, masyarakat lokal semakin termarjinalkan bahkan dieksploitasi karena upahnya yang murah. Dampak lain yang muncul akibat regionalisme diantaranya diskriminasi gender, buruh usia dini, penekanan upah, pengangguran, migrasi akibat masalah kemiskinan, serta kerusakan lingkungan akibat pengalihan lahan agraris menjadi bangunan-bangunan perusahaan asing.[4]
            Idealisme yang dicita-citakan oleh kesepakatan negara anggota NAFTA ternyata tidak sesuai realita, dulunya mereka memandang bahwa perkembangan kelompok-kelompok perdagangan global/regional dengan menempatkannya ke dalam kawasan-kawasan tertentu akan mudah terwujud dengan diiringi penyatuan kelembagaan (institusinal) di bawah naungan NAFTA, yang bisa melakukan kontrol serta batasan aturan demi terwujudnya kemakmuran bersama, mengatasi masalah bersama maupun mengahdapi musuh bersama, terorisme misalnya, dalam percaturan di tingkat lebih tinggi yaitu politik internasional. Namun apa mau dikata, semua sudah terjadi. Kerugian yang terjadi menunjukkan bahwa adanya pengabaian kondisi domestik, semestinya sebelum melangkah lebih jauh dalam konteks reginal ataupun internasional, perlu dilakukan penguatan dan pengaturan semua aspek dalam negeri.[5]Bagaimanapun juga adanya blok-blok perdagangan, menjadikan dunia seperti terkotak-kotak di mana tiap-tiap blok atau kotak memasang pagar tinggi untuk menahan keluar masuknya peredaran barang (dan jasa).
   Di balik semua kerugian di atas, sebenarnya NAFTA memberi aspek yang positif juga, diantaranya adalah Kanada dan Meksiko berhasil menyelenggarakan penyesuaian dan konsolodasi ekonomi, sehingga mampu memanfaatkan NAFTA sebagai unsur kekuatan peluang yang terbuka bagi masing-masing negara. Oleh karena itu pada saat ini dapat kita lihat negara Meksiko dan Kanada mampu bangkit menjadi negara yang maju dengan roda perekonomian yang mantap. Kanada dan Meksiko juga menjadi pasar ekspor kedua dan ketiga terbesar bagi Amerika.

Prospek masa depan NAFTA
            Dari keuntungan dan kerugian di atas, jelas kiranya bahwa kerjasama tidak selalu menguntungkan sifatnya. Dikarenakan semua negara lebih mengutamakan kepentingan negaranya, namun melupakan elemen penyusun negaranya sendiri, yaitu kondisi masyarakat lokal yang menjadi pihak termarginalkan. Padahal aspek masyarakat justru bisa menunjang power negara bila dimaksimalkan, dengan asumsi bila masyarakat makmur maka negara pun akan menjadi sejahtera, dan konsep regionalisme sendiri menjadi salah satu jalan untuk mencapainya. Dikotomi tujuan dan instrumen ini penting karena fenomena yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat dikorbankan atas nama negara, padahal keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati golongan terbatas, karena aspek pemerataan yang buruk. Di samping itu  perlu adanya manajemen kepentingan, dimana satu negara tidak harus selalu mengalah oleh dominasi negara tertentu, seperti AS, agar keuntungan atas kerjasama yang terjalin bisa bersifat mutualisme yang ke depannya akan melanggengkan atau bahkan semakin meluaskan regionalisme yang sebelumnya sudah terjalin.
            Sampai saat ini, pola integrasi dalam NAFTA penting adanya, karena sistem yang ada belum mengarah pada  interdependensi tapi dependensi, untuk ke depannnya bila ada konsep regionalisme tandingan NAFTA yang ’lebih ramah’ maka bisa dipastikan keanggotaan NAFTA akan bubar, karena hegemoni AS perlahan namun pasti mulai menurun akibat krisis sehingga tidak mampu mengikat dan mempesona Meksiko, Kanada dan negara-negara Amerika latin yang ingin bergabung.
            Solusi untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan membentuk badan-badan dibidang lingkungan, hak asasi manusia, pengawasan ekonomi dan pangan, serta penerapan sanksi bila ada negara anggota yang melakukan pelanggaran. Di samping itu bisa juga dengan pembedaan penerapan pengurangan tarif diantara negara maju dan berkembang, ataupun diantara negara hegemon (AS) dan non-hegemon (Meksiko, Kanada, dan Amerika Latin) untuk mengimbangi laju persaingan ekonomi politik internasional, yang sekali lagi, begitu dinamis.

Referensi
Artikel NAFTA oleh Wawat Krimawati hal 2
Artikel pdf Introduction Labour, Trade and Regionalism hal 1
 Chase, Kerry A. Trading Blocs: States, Firms and Regions in the World Economy. The University of Michigan Press diakses melalui www.press.umich.edu
Hadi, Syamsul. 2003. Politik Integrasi ASEAN. Diakses melalui  www.sinarharapan.com pada 14 Mei 2009
www.kompas.com diakses pada 14 Mei 2009



[1] Artikel NAFTA oleh Wawat Krimawati hal 2
[2]Syamsul Hadi. 2003. Politik Integrasi ASEAN. Diakses melalui  www.sinarharapan.com pada 14 Mei 2009
[3] www.kompas.com diakses pada 14 Mei 2009
[4] Artikel pdf Introduction Labour, Trade and Regionalism hal. 1
[5] Kerry A. Chase. Trading Blocs: States, Firms and Regions in the World Economy. The University of Michigan Press diakses melalui www.press.umich.edu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar