Jumat, 15 Oktober 2010

STRATEGI PENANGKALAN, PENCEGAHAN DAN KEPATUHAN DALAM MENGATASI PERANG NUKLIR




Berpijak pada hubungan antar negara yang memunculkan pertemuan kepentingan nasional, setidaknya ada tiga kemungkinan, kepentingan nasional antar negara berlangsung sejalan, saling bekerjasama, tetapi bisa juga berpotensi terjadi konflik. Untuk mengamankan kepentingan nasional, memenangkan perang atau konflik bukanlah satu-satunya cara yang tersedia. Masih ada cara lain yaitu melalui penangkalan (deterrence), yang menurut Glenn Snyder berarti kegiatan yang dilakukan oleh sebuah atau sekelompok negara untuk mencegah negara lain menjalankan kebijaksanaan yang tidak dikehendaki, yang mencakup reward and punishment.[1] Namun, yang biasanya berlaku hanya punishment-nya saja,  penangkalan bukan saja berbentuk unilateral, namun bisa berwujud bilateral, multilateral, bahkan regional. Aktor penangkalan tidak dapat mengandalkan pada militer saja, karena yang selama ini dipahami selalu identik dengan peningkatan kapabilitas militer, selain itu juga pembentukan alliansi dan pelucutan senjata, agar efektif maka penangkalan ini harus bisa meyakinkan pihak lawan yang menjadi sasaran dan bersandar pada semua instrumen kekuatan nasional.[2] Untuk melakukan penangkalan pemerintah harus menetapkan siapa yang mengancam kepentingan nasional sehingga harus ditangkal bisa berupa aktor negara atau non negara. Melaksanakan penangkalan bukan berarti tidak siap untuk melakukan perang. Penangkalan dengan perang sama pentingnya dalam strategi keamanan nasional suatu bangsa. Biaya penangkalan lebih murah daripada perang, sehingga upaya itu sudah sepantasnya ditempuh. Tetapi pada sisi lain kita harus bersiap dengan biaya untuk perang atau konflik, bilamana jalur diplomasi sudah mengalami kebuntuan. Pengembangan nuklir baru booming pada masa Perang Dingin dimana Blok Timur dan Barat menggunakan nuklir sebagai strategi pertahanan menghadapi kemungkinan serangan musuh. Dulunya AS memonopoli atom, bahkan pernah menggunakannya pada PD II untuk mengebom Hiroshima dan Nagasaki, sehingga konsep deterrence dimunculkan bahkan ada yang menganggap deterrence sebagai produk dari era nuklir.[3]
Walaupun atom pernah digunakan untuk memenangkan perang, sejarah memperlihatkan bahwa nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan daripada untuk memenangkan perang. Hal ini memungkinkan keseimbangan kekuatan yang mengarah pada kondisi stalemate, sehingga kedua belah pihak merasa akan terkena dampak besar jika terjadi perang nuklir, karena bagaimanapun juga pembuat kebijakan sebelum memutuskan untuk perang memperhitungkan untung-rugi berdasarkan rasionalitas pilihan dan perhitungan ekonomi. Perkembangan kekuatan serangan  nuklir antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US) telah menciptakan sebuah sistem deterrence timbal balik yang sempurna. Selain aspek rasionalitas, watak defensive bisa saja muncul, yaitu interaksi strategis baru berlangsung pada saat atau setelah serangan pertama dari pihak lawan. Serangan balasan dilakukan dengan mengandalkan persenjataan yang dapat diselamatkan dari serangan pertama lawan. Kegagalan deterrence dapat terjadi bilamana ada perang yang tidak sengaja akibat kesalahan manusia akibat kenekadan atau kegagalan teknik.
Sejarahnya US baru menguasai teknologi nuklir tahun 1949, namun belum memiliki minat untuk mengembangkan persenjataan nuklir akibat dominasi pemikiran Joseph Stalin di dalam perumusan strategi militer US yang mengandalkan  disiplin moral pasukan. Seiring berkembangnya kemampuan dan kekuatan nuklir AS, US mulai merasakan arti penting keberadaan senjata nuklir.  Sejak pertengahan tahun 1950-an di US muncul perdebatan antara kelompok Tradisional dan Modern mengenai penggunaan senjata nuklir. Perdebatan ini menyebabkan US mengambil jalan tengah dengan mempertahankan tingkat kepemilikan senjata konvensional dan juga mengembangkan kemampuan nuklir. Selanjutnya muncullah doktrin nuklir yang menyatakan bahwa senjata nuklir digunakan pada “serangan mendadak di setiap perang lokal yang melibatkan AS atau perang antara kubu sosialis dan kapitalis yang “pasti” meningkat menjadi perang nuklir habis-habisan.[4] Pada 1970, US akan menjawab tantangan AS pada setiap konflik, lokal dan global dengan senjata konvensional ataupun nuklir”. Ukuran kemenangan US saat itu  adalah tetap bertahan meskipun tidak terhindar dari kehancuran, melanjutkan perang sampai musuh tidak berdaya, mampu menduduki Eropa, memegang kendali untuk mengembangkan sosialisme ke seluruh dunia. US sangat mengandalkan persenjataannya pada peluru-peluru kendali landas darat karena ketepatan dan kecepatannya.
Sedangkan AS pada pertengahan tahun 1950-an mengembangkan strategi massive retaliation yaitu kekuatan nuklir strategis dan taktis digunakan tidak saja untuk menangkal serangan terhadap AS dan sekutunya melainkan juga untuk menangkal setiap serangan komunis terhadap negara lain di seluruh dunia. Namun, strategi ini mengandung kelemahan yaitu AS diragukan untuk menggunakan senjata nuklir. Pandangan ini didasari fakta bahwa di Perang Korea, AS tidak menggunakan senjata nuklir. Dengan demikian yang terjadi adalah paradoks: menghindari perang nuklir malah memicu perang nuklir global. Kelemahan tersebut mendorong AS untuk mengembangkan strategi nuklir yang baru yaitu MAD (Mutual Assured Destruction) yang menekankan pada pemikiran “siapapun yang memulai serangan pertama tidak akan memenangkan perang atau menjadi pihak yang kalah karena second strike kedua belah pihak akan melakukan pembalasan yang dahsyat. Salah satu pengaruh positif dari MAD adalah dicapainya kesepakatan mengenai ABM dan SALT I pada tahun 1972.  
Pasca Perang Dingin, George Bush mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan yang terpasang di kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama di Jerman Barat. Tujuannya adalah agar Perang Dunia III tidak terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di US melakukan hal yang serupa dan mengembangkan pengaturan pengontrolan senjata nuklir. Upaya Amerika Serikat ini berpusat pada perjanjian START II tahun 1993. Walaupun, AS telah melakukan sejumlah kebijakan terkait persenjataan nuklirnya, saat ini strategi nuklir AS dalam kondisi tidak menentu karena US telah runtuh sehingga  tidak lagi relevan bagi strategi keamanan AS saat ini. Namun, di sisi yang lain AS masih enggan untuk meninggalkan pendekatan dan konsep keamanan pada masa Perang Dingin. Perkembangan itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet tahun 1991 bersamaan dengan mundurnya Mikhail Gorbachev. Setelah berakhirnya Perang Dingin yang ditandai antara lain runtuhnya Tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet, AS menjadi satu-satunya negara adidaya. Mencermati peran militer sebagai elemen pertahanan negara terutama pada kemampuan menyampaikan pesan dan penggambaran kemampuan, inilah yang pada akhirnya menunjukkan kepentingan nasional apa yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak asing. Melalui upaya penangkalan ini, disampaikan pesan kepada pihak asing bahwa dengan kemampuan (power) yang dimiliki, dapat ditimbulkan suatu balasan hingga pada taraf kerusakan yang jauh diluar dugaan musuh, ketika kepentingan nasional dicederai. Inti dari penyampaian ‘pesan’ ini adalah pembentukan kesan psikologis bahwa mencoba melakukan operasi militer baik secara terbuka maupun terselubung (operasi intelejen) berakibat pada kerugian yang bakal diderita oleh pihak asing tersebut Sisi inilah yang harus dicermati para pengambil kebijakan negara. Bilamana strategi penangkalan ini tidak bisa berjalan dengan cara membentuk aliansi, dan menyepakati (compliance) prosedur pengembangan nuklir yang ada berdasarkan aturan internasional yang ditunggangi negara hegemon maka deterrence akan mengambil jalur paksaan berupa upaya militer  seperti di atas dan terror serta ancaman sanksi berupa embargo atau yang lainnya (compellence). Menurut saya deterrence ini bisa dilakukan saat damai atau jeda perang, untuk membalas serangan pertama.
Daftar Pustaka
Dougherty, James and Robert Manzginrtior, Contending Theories International Relations:A Comperehensive Study (4th ed), 1996, New York : Longman.
Neier,  Aryeh  Asia’s Unacceptable Standard. Foreign Policy, Vol. 32, No. 92, Autumn 1993
Plano Jack.C., The International Relation Dictionary, England: Clio Press Ltd. Pp145-146


[1] James Dougherty and Robert Manzginrtior, Contending Theories International Relations:A Comperehensive Study (4th ed), 1996, New York : Longman.
[2] Jack.C. Plano, The International Relation Dictionary, England: Clio Press Ltd. Pp145-146

[3] Ibid. pp 367
[4]   Aryeh Neier,  Asia’s Unacceptable Standard. Foreign Policy, Vol. 32, No. 92, Autumn 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar