Rabu, 13 Oktober 2010

Marxisme dan Strukturalisme Dulu dan Sekarang


Keruntuhan Uni soviet diakhir Perang Dingin dengan didukung perkembangan Kapitalisme global yang semakin “booming” menunjukkan kemunduran eksistensi dari komunis. Perjuangan ideologisnya dimulai oleh Marxisme revolusioner yang bereaksi atas kapitalisme pada akhir abad ke-19. Teori Marxis, merupakan paham yang dibuat oleh Karl Marx dan Friedrich Engels,  dan Neo-Marxis dalam Hubungan Internasional yang menolak pandangan realis/liberal tentang konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek ekonomi dan materi. Marxisme membuat asumsi bahwa ekonomi lebih penting daripada persoalan yang lain, sehingga memungkinkan bagi peningkatan kelas sebagai fokus studi. Para pendukung Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal. Dengan demikian, periode kolonialisme membawa masuk berbagai sumber daya untuk bahan mentah dan pasar yang pasti untuk ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk kesempatan baru dalam bentuk dependensi negara berkembang pada negara maju. Para penganut Marxisme ini berpendapat bahwa negara bukan satu-satunya aktor yang mempunyai pengaruh dan kekuatan melaui pertentangan kelas dalam hubungan trans-nasional. Kemudian sifat dasar sistem internasionalnya adalah formal anarki, namun berbasis kelas transnasional, dengan sifat dasar interaksi antar negara yakni kompetitif dan ekploitatif dalam hubungan utara-selatan dan transnasional. [1]
Berkaitan dengan teori Marx yaitu teori dependensi yang berargumen bahwa negara-negara maju, dalam usaha mereka untuk mencapai kekuasaan, menembus negara berkembang lewat penasihat politik, misionaris, pakar, dan perusahaan multinasional untuk mengintegrasikan negara berkembang tersebut ke dalam sistem kapitalis terintegrasi untuk mendapatkan sumber-sumber daya alam dan meningkatkan dependensi negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju. Teori-teori Marxis kurang mendapatkan perhatian di Amerika Serikat di mana tidak ada partai sosialis yang signifikan, berbeda halnya dengan Negara Cina, Vietnam dan Kuba  yang masih mempertahankan partai komunis, walaupun sudah tidak dianggap sebagai ancaman lagi sekarang bagi kapitalisme global. Bahkan Negara Korea Utara yang mempertahankan bentuk brutal dan idiosinkratik di bidang ekonomi dan masyarakat menghasilkan kelaparan massal sebagai hasilnya. Tidak dapat dibantah lagi bahwa komunis mengalami jalan buntu karena terlalu banyak memiliki mimpi-mimpi yang menjunjung tinggi masalah kesetaraan dan penghapusan kelas. Sehingga prospek Liberalis dan kapitalis merupakan paradigma yang berprospek cemerlang  pasca Perang Dingin. Walaupun selalu jatuh bangun setiap terjadi krisis global seperti sekarang yang lantas muncul dengan kemasan “neo” atau bisa jadi post-liberalis dan kapitalis.
Kemunduran komunis bukan berarti menyurutkan pamor teori Marxis, bahkan sampai saat ini banyak yang menjadi pengagumnya termasuk saya sendiri, karena sejak kemunculannya yang bermula  atas rasa empati pada kesenjangan proletar dan borjuis yang kemudian berdampak pada terjadinya konflik di suatu negara. Dan pada abad 18 kesenjangan yang terjadi karena revolusi industri, tidak hanya terjadi pada satu negara saja, tetapi juga dapat terjadi dalam sistem internasional yang kapitalis. Oleh karena itu, Karl Marx berusaha menyampaikan teorinya tersebut, untuk menggugah nasionalisme kaum proletar agar tidak terus berada dalam bayang-bayang “kolonialisme” kaum borjuis, selain itu kapitalisme melakukan “kejahatan” penyembunyian kerja dengan kata lain ada kepentingan terselubung dalam konteks internasional seperti bantuan operasi internasional dan berbagai kesepakatan yang, selain itu untuk memahami tatanan dunia yang kompleks butuh pemahaman yang lebih dari kapitalisme global, dan teori Marxis lah yang dapat menjawab tantangan tersebut, karena teori ini dapat diterapkan dalam bidang politik, sosial, budaya dan hubungan internasional. Memang Marxisme selama ini selalu identik dengan kemiskinan tapi dengan awal seperti itu ke depannya justru lebih mampu bertahan dari turbulensi krisis ekonomi seperti halnya Kuba dan Rusia, dan perlahan namun pasti menuju kearah kemakmuran. Secara realita Marxisme di kalangan kaum buruh memang tidak bisa dipadamkan atau dilawan dengan cabang ilmu lainnya seperti kapitalisme dan beberapa contoh di atas. Namun jika ditinjau dari segi Empiris,di belahan dunia manapun sekarang sudah mulai memasuki era globalisasi dimana tidak ada batasan antara ruang dan waktu. Pada era global inilah Kapitalis telah menguasai dunia, jadi secara empiris Marxisme tidak dapat memebendung kekuatan ekonomi kapital karena tidak semua negara mengikuti paham ini kecuali dengan didukung kebangkitan Rusia dan negara yang sepaham yang tidak tergerus oleh krisis ekonomi tahun ini. Namun saya juga mengkritik keberadaan Marxisme karena dijadikan dasar dari komunisme tapi tidak menjelaskan bagaimana pemerataan dilakukan sehingga yang terjadi kemudian justru menimbulkan konflik, karena peran negara  semakin meningkat dalam mengawasi dan mengontrol kegiatan ekonomi, sehingga negara menjadi lebih otoriter, seperti yang terjadi di Uni Soviet pada masa pemerintahan Stalin dimana kepemilikan sepenuhnya berada ditangan negara.
Pengembangan Marxisme yang berskala nasional mulai melebarkan sayap dalam skala global yaitu teori strukturalism, yang membagi negara menjadi negara core, semi-pinggiran, dan pinggiran atau periphery yang umumnya merupakan kumpulan negara-negara berkembang. Pembagian tersebut merupakan teori Sistem Dunia yang diciptakan oleh Wallerstein. Para strukturalis lebih menekankan pada struktur dari sistem internasional dibandingkan dengan aktor dalam hubungan internasional itu sendiridengan dibatasi oleh system yang ada, namun dalam kenyataannya, negara core yang dikenal sebagai negara pusat secara tidak langsung melakukan eksploitasi  bukan dependensi mutualisme terhadap negara pinggiran dan negara semi-pinggiran, dengan menjadikannya sebagai pasar penjualan hasil produksinya. Kelebihan teori  struktur ini dalam sistem internasional bersifat fleksibel terhadap perubahan yang memberi kesempatan negara berkembang menjadi negara core. Teori Wallerstein ini juga menjadi mainstream dalam pelajaran geopolitik yang dapat digunakan dalam peningkatan bargaining position suatu negara dan dalam pengejawantahannya dapat digunakan untuk memperoleh kepentingan yang memakmurkan seluruh bangsa dan negara manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Abercrombie, Nicholas (et.al). 1994. Dictionary of Sociology. London : The Penguin Books.
 Burchill, Scott, dkk. 2005. Theories of International Relations (third eds). New York : Pallgrave Macmillan. p.110
Covey, Stephen R. 1990. The Seven Habits of Highly Effective People. New York : Simon & Schuster Inc.
Perwita, Banyu.2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Rosda Karya.




[1] Banyu Perwita.2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Rosda Karya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar