Jumat, 01 Oktober 2010

REGULASI DAN OTORITAS DALAM FINANSIAL GLOBAL

Globalisasi adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena. Di satu sisi, revolusi dalam bidang komunikasi misalnya, telah dengan cepat mengatasi (masalah) jarak. Di sisi lain, teknologi baru juga telah ikut memunculkan sebuah sistem ekonomi yang didominasi oleh uang. Hal yang paling berperan dalam era globalisasi saat ini adalah finance capital, posisi yang sebelumnya dipegang oleh industri kapital.[1] Kapital disini merupakan representasi dari akumulasi kemakmuran atas bisnis, yang berupa aset berharga berbentuk uang ataupun barang. Sedangkan financial capital lebih kepada suatu bentuk kemakmuran berlebih dalam artian bagaimana melakukan suatu rangkaian produksi agar lebih makmur.[2]
Lantas dimanakah signifikansi peran globalisasi? Jawabannya adalah instabilisasi finansial yang rentan terjadi dapat diimbangi dengan deregulasi ekonomi-moneter, adanya liberalisasi pasar uang dalam negeri dan dibukanya pasar uang bagi transaksi internasional agar memudahkan spekulasi finansial. Keberadan teknologi informasi mutakhir sangat disadari oleh penulis telah mempercepat proses integrasi pasar uang dunia, karena bagaimanapun juga ketersediaan informasi yang cukup atas kondisi internasional dalam waktu yang cepat, terutama dalam aspek permintaan dan penawaran sangat penting dalam pertimbangan berinvestasi ataukah melepas aset yang dimiliki dalam upaya peraihan keuntungan.
Terkait dengan tulisan Phillipe Legrain sebagai sumber utama dalam review kali ini beserta dukungan dari referensi lain, penulis ingin menyatakan posisi bahwasanya globalisasi finansial perlu diregulasi dan dipengaruhi oleh otoritas yang ada sebagai suatu siasat menghadapi volatilitas yang terjadi. Agar penjelasan lebih komperehensif, penulis akan memaparkan argumen disertai dengan fakta dan contoh kasus.
Menurut Phillipe, kapital haruslah diatur karena para investor bisa saja menjadi spekulan, mereka hanya berorientasi mencari keuntungan maksimal namun tidak memperhatikan aspek krisis yang nantinya bisa muncul bila terjadi bubble economy.[3] Bila pasar jatuh memang negara akan menjadi penengah sekaligus pengontrol, namun yang dilupakan di sini adalah tidak semua negara memiliki perekonomian yang kuat. Bila negara sudah tidak dapat lagi membantu, imbasnya adalah kesejahteraan rakyat menjadi taruhannya. Untuk itulah kompromi antara investor dengan pemerintah perlu dilakukan dan negara memiliki peranan untuk membuat aturan main dalam berinvestasi di dalam negerinya karena pemerintah memiliki otoritas untuk melakukan itu. Masalahnya muncul apabila pemerintah lebih condong ramah kepada pengusaha asing dan mengabaikan rakyat dalam negerinya, maka legitimasi dari regulasi semestinya ditinjau ulang karena sudah semestinya negara menjamin hak-hak rakyatnya untuk bisa hidup dengan layak.
Dalam bentuk barunya, kapital bertransformasi dimana uang melampaui fungsinya sebagai alat tukar, yaitu komoditas selayaknya barang yang bisa diperdagangkan. Komersialisasi kapital dengan bentuk fisik berupa uang dan kemunculan pertukaran mata uang asing untuk bertransaksi lintas batas negara ternyata memunculkan pro dan kontra. Bagi para pendukungnya, finansial global dapat menjadi mesin kemakmuran tapi bagi para penentangnya ini justru menyengsarakan rakyat miskin karena bila uang dijadikan sebagai komoditas maka inflasi dan krisis finansial akan lebih sering terjadi. Bila saat konflik ataupun saat perekonomian sedang sulit, para investor yang panik akan berebut menarik saham yang telah ditanamnya dan akan mempertukarkannya dengan uang. Padahal uang yang ‘benar-benar nyata ada’ sebagai penjamin tidak sebanyak nilai saham dan obligasi yang mereka miliki karena selama ini bisnisnya lebih berorientasi pada kepercayaan atas suatu bank bank atau institusi ekonomi.
Jadi bisa dibilang semakin modern pasar, maka semakin tidak riil komoditas yang diperdagangkan meskipun yang riil tetap bertahan dan dibutuhkan, contohnya adalah dulu uang di pasar riil-terlihat bentuknya saat digunakan untuk jual beli barang kebutuhan sehari-hari- sekarang uang lebih banyak ada di pasar modal, padahal itu hanya klaim di atas kertas. Ini menunjukkan sistem ekonomi yang semakin irasional dan berjalan tidak seperti perkiraan liberal yang diasumsikan jika para aktor adalah rasional dan pasar dapat berjalan optimal. Krisis Asia pada tahun 1997 maupun krisis Amerika Serikat tahun 2008 adalah contoh yang tepat untuk menjelaskan bagaimana volatilitas finansial masih saja tidak bisa terkontrol meskipun regulasi telah ada dan otoritas aktor telah menunjukkan peranannya.
Krisis terus berulang semenjak sistem keuangan mengambang diberlakukan, begitu pula yang terjadi dengan krisis 1997. Penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut adalah akibat kerapuhan fundamental ekonomi dan kebijakan hutang yang tidak transparan. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: ”Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi.”[4] Hal ini menunjukkan bahwa efek dari semua ini beruntun serta menyebar ke negara lain di masa kini dan nanti. Ini terbukti dengan terjadinya krisis ekonomi lagi tahun 2008 akibat naiknya harga minyak yang menyebabkan naiknya harga makanan di seluruh dunia, krisis kredit dan bangkrutnya berbagai investor bank, meningkatnya pengangguran sehingga menyebabkan inflasi global, penumpukan hutang nasional, pengurangan pajak korporasi, pembengkakan biaya perang Irak dan Afghanistan, serta Subprime Mortgage yang kesemuanya menimbulkan dampak pada lingkup internasional. Apalagi Asia memiliki kebergantungan yang  tinggi pada ekspor beberapa dekade belakangan ini. Dampak tersebut adalah  bursa saham di beberapa negara terpaksa ditutup beberapa hari termasuk di Indonesia, harga-harga saham juga turut anjlok.
Semua masalah tersebut diatasi dengan cara beragam diberbagai negara, seperti resep kebijakan pengetatan, bantuan langsung tunai, serta dibukanya paket penyelamatan oleh IMF 16 milyar dolar AS untuk menyelamatkan Bath yang turun tajam sehingga menyebabkan Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut untuk yang tahun 1997. Sedangkan di tahun 2008 kemarin, yang dilakukan adalah  penyehatan sistem finansial dan mendongkrak permintaan agregat, serta peluncuran paket stimulus fiskal  yang tepat waktu, masif, berkelanjutan sebesar $900 miliar dolar yang dilakukan oleh Barrack Obama  di tahun 2009.
Dari pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa globalisasi semestinya tidak berjalan dari atas ke bawah namun juga dari bawah ke atas, yang maksudnya adalah nasib dunia tidak boleh hanya ditentukan oleh para korporat besar dan para elite yang asyik bermain kapital dan melakukan komersialisasi moneter dan finansial, namun juga mendengarkan suara-suara pihak yang termarjinalkan seperti suara buruh, aktivis lingkungan dan negara-negara berkembang. Setiap keputusan harus transparan, akses ke dokumen pun harus dibuka, begitu pula kejelasan konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil oleh negara. Sehingga segitiga antara pemerintah, pengusaha dan rakyat sama-sama diuntungkan dalam setiap negara. Regulasi yang kurang efektif seharusnya diperbarui, bila aturan sudah bagus maka pelaksanaannya juga perlu diawasi oleh pemerintah bersama dengan rakyat sekaligus. Sehingga perdagangan yang bebas sekaligus adil bisa terwujud, baik yang riil maupun non riil yaitu finansial dan kapital. Sebagaimana dikatakan oleh Steger, ‘’relasi pasar memang penting, akan tetapi demi melayani kebutuhan manusia, maka pasar harus diabdikan pada kesejahteraan seluruh manusia’’  yaitu melalui regulasi dan kebijakan para pemegang otoritas dengan bijaksana.

Referensi
Hadar, Ivan. Jalan Ketiga Bukan Sekedar Jalan Tengah. Diakses dari www.unisosdem.com pada 15 April 2010
Kaufman, GG., Krueger, TH., Hunter, WC. 1999. The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer. ISBN 0-7923-8472-5
Legrain, Phillipe. Financial Failings: why global money should be caged





[1] Hadar, Ivan. Jalan Ketiga Bukan Sekedar Jalan Tengah. Diakses dari www.unisosdem.com pada 15 April 2010
[2] Ibid
[3] Legrain, Phillipe. Financial Failings: why global money should be caged
[4] Kaufman, GG., Krueger, TH., Hunter, WC. 1999. The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer. ISBN 0-7923-8472-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar