Jumat, 01 Oktober 2010

ANTARA TEORI, META TEORI DAN FALSIFIKASI



“Siapapun yang ingin menyelesaikan problema politik luar negeri maka harus mengerti teori di tataran filosofis sehubungan untuk memilih teori yang terbaik.” (Chernoff)[1]
Dari kutipan pernyataan Chernoff di atas, terlihat sekali tentang signifikansi sebuah teori. Untuk itulah pengujian kebenaran teori dan hukum kembali mutlak adanya, apakah yang selama ini diterima sebagai sebuah kebenaran umum adalah memang sebuah kebenaran yang benar-benar setiap orang cari dan inginkan dalam melihat permasalahan yang ada. Secara definisi  teori adalah seperangkat proposisi yang berupaya menggambarkan sekaligus menjelaskan suatu gejala atau fenomena yang terjadi, yang berfungsi sebagai pijakan bagi seorang peneliti selama penelitian dilakukan. [2] Namun sayangnya kurang bisa menjelaskan sesuatu yang terjadi di masa yang akan datang. Di dalam suatu teori terdapat dua unsur penting, yaitu penjelas dan yang dijelaskan, dan hubungan keduanya adalah bersifat kausal, logis dan sistematis. [3]  Teori juga sifatnya tidak mengikat, boleh mempercayainya  ataupun tidak meskipun tingkat kevalidannya sudah dibuktikan. Teori biasanya hanya akan dianggap benar dan dijadikan acuan oleh para ilmuwan sementara saja sampai ada teori baru yang dapat menjatuhkannya, terus berulang seperti itu.
Sedangkan hukum adalah generalisasi dari observasi-observasi terhadap suatu fenomena. Dari generalisasi didapat suatu rumusan yang dapat digunakan untuk memprediksikan suatu fenomena di masa yang akan datang, namun tidak menjelaskan mengapa suatu hal tersebut bisa terjadi dan sifat dari hukum adalah mengikat, sehingga yang tidak mematuhinya akan mendapatkan sanksi atau hukuman[4] Perbedaan antara teori dan hukum ini bukanlah hambatan dalam sebuah penelitian, justru keduanya dapat saling melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Sehubungan dengan perkataan Mario Teguh bahwa, ”Jika kamu memiliki ketetapan hati, maka kamu akan menjadi orang sukses’’ bukanlah merupakan teori tapi lebih merupakan ungkapan yang bersifat nasihat yang sifatnya memotivasi setiap orang tentang kiat untuk hidup sukses, karena teori memiliki struktur logik dan terdiri atas sekumpulan argumen sebagai penguatnya.[5]
Berkaitan dengan teori yang dijabarkan di atas, untuk menilai, menguji dan membuktikan sebuah kebenaran maka falsifikasi dan verifikasi dapat digunakan sebagai suatu alternatif cara. Dalam verifikasi, metode yang digunakan adalah saintifik rigid oleh kalangan behavioralis. Akibat ketidakpuasannya terhadap pendekatan induktif tersebut akhirnya  Karl Raymund Popper mengembangkan pendekatan falsifikasi untuk menguji hipotesis, karena menurutnya teori tidak dapat diverifikasi hanya dapat dikukuhkan. Teori tidak hanya membahas benar dan salah tapi bisa saja mungkin benar dan mungkin salah. Teori kemungkinan kemudian disebut sebagai logika kemungkinan. Apabila suatu hipotesis tahan uji atau belum dapat dibuktikan salah, maka hipotesis tersebut semakin dikukuhkan. Tujuan dari suatu penelitian ilmiah menurut Popper adalah untuk membuktikan kesalahan dari suatu hipotesa, bukan untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut. Dengan falsifikasi, ilmu pengetahuan mengalami proses pengurangan kesalahan dan falsifikasi Popper ini dipandang mewakili kekuatan libertarianism.[6]
Selama proses falsifikasi dilakukan, bila suatu hipotesa telah terbukti salah maka hipotesa tersebut dapat diganti dengan hipotesa baru, namun bila hanya sebagian saja yang salah dan bukan merupakan inti dari hipotesa, maka hanya bagian yang salah saja yang diganti.[7] Melalui proses falsifikasi tersebut, ilmu pengetahuan akan mendekati kebenaran namun dengan tetap memiliki ciri falsifiable.  Popper juga pernah memperdebatkan mengenai paradigma ilmu-nya Kuhn yang menekankan pada perlunya suatu revolusi ilmiah dalam menggeser suatu dominasi yang mewakili kekuatan authoritarianism dalam ilmu pengetahuan. [8]Relevansi studi falsifikasi Popper terhadap studi hubungan internasional adalah falsifikasi Popper masih berguna dalam perkembangan kajian teoritik hubungan internasional karena masalah dan fenomena yang ada tidak bisa digeneralisasi, belum lagi berbagai pilihan penggunaan perspektif sebagai sebuah tinjauan yang bisa digunakan. Dengan falsifikasi ini, diharapkan para penstudi HI lebih kritis dalam menganalisa dan tidak menerima begitu saja setiap peristiwa sebagai suatu takdir yang sudah semestinya terjadi tanpa mengetahui alasan mengapa dan bagaimana bisa terjadi, seperti apakah kedaulatan, sejarah dan batas negara memang ada dan benar demikian?
Paska Perang Dingin merupakan sebuah momentum besar dalam hubungan internasional yang tidak saja memunculkan peristiwa baru tapi juga pemikiran-pemikiran baru, karena banyak permasalahan yang tidak bisa terjawab dari teori-teori yang sudah ada, seperti kasus agresi AS ke Irak apakah bermotif sama dengan agresinya ke Vietnam?  Disinilah metateori banyak digunakan, meskipun dari segi sejarah telah ada  sejak tahun 1980an dimana perseteruan positivisme dan pospositivisme akhirnya membuka jalan bagi aliran-aliran alternatif untuk masuk ke dalam ranah studi HI, dimana teori yang tidak mengacu pada scientific rules juga dapat dimaknai sebagai suatu teori dengan tujuan yang sama, yaitu eksplorasi konsep. Saat ini, era dimana scientific theory mulai banyak ditinggalkan, teori yang ada berkembang dan menyesuaikan dengan kemajuan jaman. Thomas Kuhn pun mengatakan bahwa sains bergerak maju seiring tergantikannya paradigma lama dengan yang baru, di mana disipilin sebelumnya gagal menjelaskan atau menyelesaikan permasalahan yang ada. Metateori sendiri adalah seperangkat aturan, prinsip atau narasi yang menjelaskan dan menentukan mana yang dapat diterima dan mana yang tidak sebagai teori dalam sebuah disiplin keilmuan. [9]
Metateori merupakan bagian dari metastudi, yang menganalisa lebih jauh kenyataan yang terjadi di lapangan dan direfleksikan dan diarahkan kembali ke arah yang benar. Jika para ilmuwan mengalami kebuntuan di lapangan, seperti gagal mengkonstruksi teori atau mendapatkan hasil yang memuaskan maka peneliti dapat mempertanyakan ulang segala hal sehubungan dengan permasalahan tersebut dan teori yang melingkupinya, jadi lebih mudahnya seperti berteori dengan teori.  Metateori sering mendapat kritikan karena tidak ada hal baru yang dilakukannya selain menyerang teori-teori yang sudah ada tanpa memberikan solusi, namun metateori penting untuk mengonstruksi ulang teori agar manfaatnya sesuai dengan kehidupan manusia dan lingkungan yang mengitarinya- alam dan makhluk lain selain manusia.
Kerangka Pemikiran
Kemiskinan Negara Berkembang: Suatu Jeratan Sistem
            Selama ini neoliberalisme yang masih merupakan teori yang mendominasi dengan institusi internasional dan rezim- aturan, norma, dan prosedur pembuatan keputusan sebagai pewujudan dari agenda keteraturan dan perdamaian yang diusungnya, neoliberalisme tidak memungkiri adanya konflik, namun konflik yang ada tersebut bisa diminimalisisasi dengan aturan yang ada dan bisa untuk diselesaikan. Namun kenyataan bahwa penerapan-penerapan aturan tersebut sering disalahgunakan dan kurang efektif dalam penerapannya akibat keberadaan negara hegemon yang memiliki power  yang mampu melegitimasi setiap keputusan yang diambilnya, maka pandangan neoliberalisme ini dapat dijatuhkan oleh teori hegemoninya Gramsci. Beberapa bukti yang penulis temukan adalah ada begitu banyak penyimpangan lain sebenarnya yang dilakukan AS selama menjabat, seperti pelanggaran Brettonwood system yang dibuatnya sendiri, yaitu menjadikan dolar sebagai mata uang transaksi internasional dengan melakukan konvertibilitas terhadap emas ($35= 1 ons emas) akibat Perang Vietnam dan embargo minyak untuk mencegah mengalirnya cadangan emas yang mulai menipis. Hal ini dilakukan sepihak tanpa memberitahu negara lain yang mengikuti sistem ini sehingga menimbulkan protes dari negara lain seperti Jerman dan Perancis; kemudian penolakan AS untuk meratifikasi ITO karena alasan perlindungan perekonomian dalam negerinya, ini tidak sesuai dengan paradigma liberal yang menganut asas non intervensi negara; kemudian tindak unilateralisme AS atas Irak  yang ”melangkahi PBB” sebagai rezim keamanan internasional dengan aksi pembumi hangusannya dengan dalih pelanggaran HAM.
Sistematika institusi merupakan struktur yang sengaja dibuat untuk menimbulkan ketergantungan pada negara maju dengan AS sebagai pusatnya. Bila mengadaptasi pemikiran Johan Galtung dengan teori dependensinya tentang konflik yang timbul akibat eksploitasi negara maju pada negara berkembang, negara-negara tersebut memang sengaja dimiskinkan oleh sistem.[10] Dengan asumsi kalaupun ada kemajuan maka analoginya seperti deret ukur dan deret hitung yang sampai kapanpun tidak akan bisa terkejar. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Joseph Stiglitz,[11] ”Secara teori memang lembaga seperti IMF dan Bank Dunia mendukung demokratisasi di negara-negara yang menjadi “pasien” untuk diobati. Namun pada tingkat lapangan, ternyata IMF malah merusak proses demokrasi dengan jalan memaksakan semua kebijakannya.” Dari kasus tersebut dapat ditarik hipotesa bahwasanya aturan yang ada lebih banyak disalahgunakan oleh negara hegemon dan negara berkembang dieksploitasi secara sengaja melalui jeratan sistem yang ada, berupa rezim dan institusi internasional yang tak lebih adalah perpanjangan dan buatan negara hegemon tersebut.
Referensi
Chernoff, Fred (2007) Theory and Metatheory in International Relations. New York: Palgrave
SurbaktRamlan A. i. ”Teori dalam Penelitian Ilmu Sosial” in Bagong Suyanto dan Sutinah (ed) Metode Penelitian Sosial :  Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta. Kencana.  2007. P.34

Berger, Dan. 1999. What is the difference between a theory and a law?. Diakses melalui
http://www.madsci.org/posts/archives/oct99/940942724.Sh.r.html pada 20 Oktober 2009.
Markovsky, Barry. 2004. Theory Construction. Encyclopedia of Social Theory. SAGE Publications diakses melalui http://sage-ereference.com/socialtheory/Article_n307.html pada 20 Oktober 2009.
Fuller, S. 2003. Kuhn vs. Popper: The Struggle for the Soul of Science. Duxford, Cambridge: Icon Books Ltd
Overton, Willis F.. Metatheory and Methodology in Developmental Phsycology. Philapdelphia. 1998. [online] viewed on 18 October 2009. < http://www.csudh.edu/dearhabermas/metatheorybk01.htm>
Jurnal Analisis Sosial, Vol.8, No.1 Februari 2003
Sorensen, Georg dan Jackson. 1989. Introduction to International Relations


[1] Chernoff, Fred (2007) Theory and Metatheory in International Relations. New York: Palgrave
[2] Ramlan A. Surbakti. ”Teori dalam Penelitian Ilmu Sosial” in Bagong Suyanto dan Sutinah (ed) Metode Penelitian Sosial :  Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta. Kencana.  2007. P.34
[3] Ibid.
[4] Dan Berger. 1999. What is the difference between a theory and a law?. Diakses melalui
http://www.madsci.org/posts/archives/oct99/940942724.Sh.r.html pada 20 Oktober 2009.
[5] Barry Markovsky. 2004. Theory Construction. Encyclopedia of Social Theory. SAGE Publications diakses melalui http://sage-ereference.com/socialtheory/Article_n307.html pada 20 Oktober 2009.
[6] S. Fuller. 2003. Kuhn vs. Popper: The Struggle for the Soul of Science. Duxford, Cambridge: Icon Books Ltd
[7] Ibid Fuller
[8] Opcit Fuller
[9] Willis F. Overton. Metatheory and Methodology in Developmental Phsycology. Philapdelphia. 1998. [online] viewed on 18 October 2009. < http://www.csudh.edu/dearhabermas/metatheorybk01.htm>
[10] Georg Sorensen dan Jackson. 1989. Introduction to International Relations.
[11]Jurnal Analisis Sosial, Vol.8, No.1 Februari 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar