Jumat, 01 Oktober 2010

GLOBALISASI ALTERNATIF MENGUTAMAKAN LINGKUNGAN

Dari judul di atas telah menunjukkan bagaimana penulis mengambil posisi, yaitu globalisasi sebagai sebuah situasi yang tidak bisa dihindari keberadaanya, perlu dimanajemen ulang agar lebih peduli pada suara dari kalangan alternatif seperti aktivis lingkungan hidup ataupun negara berkembang, agar tidak lagi diidentikkan dengan dominasi industrialisasi dan kapitalisme yang lebih cenderung berorientasi mencari keuntungan. Lingkungan di sini tidak terbatas pada alam, hewan, dan tumbuhan tapi juga pada lingkungan dimana manusia hidup seperti tetangga dan keluarga. Manajemen ini dimaksudkan agar kerusakan lingkungan dapat diminimalisasi bukan untuk mencari siapa yang salah, apakah globalisasi yang membuat rusak lingkungan ataukah aktor dari globalisasi yaitu manusia karena perubahan iklim global telah menjadi isu global yang banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat dunia saat ini, dengan dampak yang di timbulkannya pada kelangsungan hidup bumi dan isinya.
Terkait dari sumber utama bacaan penulis yaitu Joshepson yang menyatakan bahwa efek globalisasi ke lingkungan bisa dilihat dari aspek kesejarahan, maka penulis akan memberikan penjabarannya serta alasan mengapa tak sependapat dengan disertai argumen pribadi penulis yang dilandaskan dari realita sosial maupun dari sumber bacaan yang lain. Dalam tulisannya, Joshepson menjabarkan aspek kesejarahan yang dimaksudkannya meliputi tiga aspek yaitu tradisional, kolonial, dan perang dingin.[1] Pertama, aspek tradisional adalah dimana populasi semakin bertambah sedangkan jumlah sumber daya alam (SDA) terbatas, apalagi manusia tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhannya tapi juga keinginannya yang mengarah pada keserakahan. Secara nyata hal ini tergambar pada tingginya tindakan pengabaian keberlangsungan lingkungan hidup, antara lain pembukaan kawasan hutan untuk bertani dan perkebunan yangberakibat pada rusaknya tatanan keseimbangan antara alam dan manusia. Kedua, aspek kolonial di mana modernisasi SDA sebagian di bawa ke negara penjajah karena para pengoloni menginginkan pemaksimalan keuntungan dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri mereka terlebih dahulu daripada negara yang dijajah. Bila mau sedikit merenung pada sejarah Indonesia di era kolonialisme, maka itu akan mengingatkan penulis  pada perjalanan panjang proses kesadaran semangat kebangsaan rakyat Indonesia, sekaligus membawa kesadaran bahwa bumi yang penulis pijak merupakan ibu pertiwi yang telah merdeka ini harus dipertahankan dan dijaga bukannya dieksploitasi terus-menerus. Aspek yang terakhir adalah Perang Dingin dimana selisih antara populasi dan sumber daya alam menyebabkan kelaparan sehingga bantuan oleh negara asing lebih difokuskan pada makanan seperti penanggulangan bahaya kelaparan di Afrika sedangkan  di Asia, MNC lebih peduli pada aspek pertanian seperti bantuan teknologi canggih, penggunaan pestisida, dan pupuk kimia yang ternyata hanya memberi keuntungan sesaat. Keuntungannya seperti panen yang melimpah dalam waktu singkat namun efek lanjutnya adalah degradasi lingkungan yang sangat parah serta   resiko hasil produksi yang mengandung zat kimia berbahaya akibat kemajuan proses pembuatan makanan.
 Hal ini menunjukkan indikasi adanya program tersembunyi atau siasat tersistem dari donatur asing baik negara ataupun non-negara agar para petani lambat laun tergantung pada produksi teknologi pertanian buatan mereka dan mengabaikan atas semua kerusakan yang terjadi. Ini terbukti dengan tingginya angka kemiskinan dan adanya segelintir orang yang memiliki kekayaan yang mencolok diantara jutaan warga miskin. Kedua, tingginya angka pengangguran dan rendahnya upah. Ketiga, tata kelola sumberdaya alam di negara berkembang didominasi oleh pihak asing.[2] Kekurangan dari Joshepson di sini adalah lebih menyoroti masalah siapa yang salah namun tidak memberikan solusi bagaimana mengatasinya dan bagaimana degradasi lingkungan itu akan berjalan linier dengan waktu yang terus berubah. Menurut penulis tanpa adanya kapitalisme dan industrialisasipun, itu tidak akan meniadakan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi baik secara alamiah seperti bencana alam maupun oleh perbuatan manusia. Tuduhan bahwa globalisasi dan masuknya perusahaan multinasional asing merusak lingkungan juga tidak selalu benar. Sebagai contohnya adalah pengelolaan hutan Indonesia yang selama 34 tahun dilindungi pemerintah dan hak kelola sumber daya hutan hanya diberikan kepada perusahaan domestik, ternyata malah merusak hutan dan lingkungan karena berbagai alasan, misalnya manajemen yang tidak profesional dan kasus-kasus KKN yang menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan pengendalian kerusakan lingkungan. Di lain pihak industri migas yang sudah lama mengalami 'globalisasi' malah tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang berarti.[3]
Penulis sebanarnya juga menyadari paradoksal akan keberadaan globalisasi memang nyata ada namun yang terpenting ini bisa diminimalkan, di satu sisi  globalisasi membuat manusia jadi lebih bergantung pada sumber-sumber alam yang akan menyebabkan krisis lingkungan hidup, populasi dunia yang terlalu cepat dan banyak sehingga lahan untuk perumahan dan bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan sudah mulai langka, pemanasan global akibat peningkatan jumlah emisi dari industri ke atmosfer yang meningkatkan suhu global dan berdampak pada lubang di lapisan ozon. Namun di sisi lain globalisasi memberikan konsekwensi luas dalam berbagai segmen kehidupan rakyat dan tata kelola SDA serta para aktivis lingkungan hidup bisa lebih kritis dan menghimbau para simpatisan lingkungan akan bahaya yang mengancam baik dari internet maupun media informasi lain denan lebih cepat. Selain itu berbagai negara juga semakin intensif dalam melakukan kerjasama lingkungan hidup seperti pembuatan beberapa rezim dan pertemuan antar negara yang membahas tentang efek pemanasan global beberapa waktu lalu. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah Indonesia untuk bekerja sama dengan negara-negara tetangga, seperti dalam kawasan ASEAN, untuk menangani permasalahan lingkungan dan bahkan membuat suatu perjanjian, yang merupakan perjanjian internasional lingkungan, di mana perjanjian ini mengikat secara hukum dan ditandatangani antara semua negara-negara ASEAN, sebagai suatu perjanjian yang menanggapi adanya salah satu permasalahan lingkungan, yaitu kabut asap.
Keberadaan rezim yang ada tidak terlalu efektif mana kala tidak didukung oleh Negara besar seperti Amerika Serikat, bahkan AS dan beberapa Negara Barat justru meminta Negara berkembang yang mengurangi emisi karbon dan menyalahkan pembakaran hutan dan berbagai polutan yang dihasilkan dari aktivitas industri mereka, ini sungguh tidak adil padahal justru pusat industrialisasi ada di Negara maju. [4] Solusi yang penulis tawarkan adalah mulai saat ini rekonstruksi pemikiran perlu dilakukan oleh masyarakat dunia, bahwa globalisasi seharusnya mengutamakan rakyat dan bumi.[5] Hal ini mengisyaratkan bahwa satu-satunya cara untuk hidup adil dan damai sebagai suatu negara bangsa dan sebagai warga dunia ialah keharusan pengarusutamaan bagi keberlangsungan kehidupan rakyat dan bumi sebagai wujud kemandirian tata kelola sumberdaya alam, karena globalisasi adalah situasi buatan manusia sehingga keberadaannya adalah digunakan untuk kepentingan manusia dan lingkungannya dengan asumsi tanpa lingkungan manusia tidak bisa hidup karena peranannya sebagai makhluk social. [6] Hal ini didukung oleh pernyatan Stiglitz bahwa manusia dapat mengambil kekuatan ekonomi dari globalisasi yang sejauh ini telah menghancurkan lingkungan hidup dan membuatnya bekerja untuk melindungi lingkungan hidup.[7] Caranya adalah aturan dan kesepakatan yang dibuat perlu adanya sanksi bila dilanggar bukan lagi bersifat sukarela, bila perlu dibuat hukum nasional dan internasional yang mengikat. Paling tidak dalam lingkungan terkecil yaitu keluarga kita bisa mengajak untuk melakukan penghematan energi, kertas, atau penanaman satu rumah minimal dengan satu pohon. Diharapkan dengan tindakan lokal yang sederhana ini akan meluas menjadi global, jadi tidak lagi sebatas pemikirannya yang sudah mencapai taraf global namun tidak ada aksi nyata sama sekali. Di tingkat Negara, Bangladesh, Maladewa, Selandia Baru dan kepulauan kecil lainnya di Asia Pasifik terancam dengan adanya pemanasan global akibat geografinya yang kecil, mereka begitu giat merealisasikan berbagai kebijakan dalam negeri dan luar negeri di bidang lingkungan, ini sebaiknya didukung bahkan bila perlu dilakukan untuk menekan Negara besar agar lebih memperhatikan aspek diluar komersialitas dan keuntungan, karena bila lingkungan rusak maka bukan hanya aspek bisnis mereka yang terancam tapi juga keseluruhan ekosistem dunia. Peran PBB dan organisasi regional serta internasional lainnya sebagai lembaga dunia menjadi sangat penting dan perlu bertindak netral disini, karena sekarang adalah era globalisasi diamana globalisasi mulai menjadi suatu system yang menyediakan kesamaan akses dan kesempatan untuk bersuara dan berbuat di lingkup dunia- bukan lagi dominasi sistem hegemoni AS yang terstrukturalisasi dimana yang kuatlah yang menentukan dan memegang pengaruh.
Referensi
Anonim. 2008. Globalisasi dan Lingkungan hidup diakses dari http:www.tempointeraktif.com diakses pada 14 April 2010
Artikel Development, Colonialism, and the Environment oleh Paul R. Joshepson
Harsono Andi. Globalisasi Tak Seburuk yang Mereka Duga.  Diakses dari hhtp://www.kompas.com pada 14 April 2010
Manurung, Jones Batara. 2010. Mengutamakan Rakyat dan Bumi diakses dari http://www.mediaindonesia.com pada 14 April 2010
Stiglitz , Joseph. 2007. Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.


[1] Artikel Development, Colonialism, and the Environment oleh Paul R. Joshepson
[2] Manurung, Jones Batara. 2010. Mengutamakan Rakyat dan Bumi diakses dari http://www.mediaindonesia.com pada 14 April 2010

[3] Harsono Andi. Globalisasi Tak Seburuk yang Mereka Duga.  Diakses dari hhtp://www.kompas.com pada 14 April 2010
[4] UNFCCC, Protokol Kyoto, dll.                   
[5] Op cit Manurung
[6] Anonim. 2008. Globalisasi dan Lingkungan hidup diakses dari http:www.tempointeraktif.com diakses pada 14 April 2010
[7] Stiglitz , Joseph. 2007. Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar