Jumat, 01 Oktober 2010

MENGUAK EKSISTENSI KOSMOPOLITANISME BESERTA AKTORNYA


 
            Paham Kosmopolitanisme tidak akan lepas pengaruhnya dari pernyataan Diogenes tentang keberadaannya sebagai suatu masyarakat dunia. Batasan jarak berupa Negara berdaulat mulai tergeser legitimasinya, karena rentang waktu perpindahan baik manusia, barang, informasi maupun modal semakin mudah dan cepat dengan datangnya era globalisasi yang ditandai dengan semakin canggihnya teknologi, industrialisasi yang semakin “menggurita”, percampuran budaya yang tak terelakkan dan berbagai fenomena lain yang akan dijelaskan secara komperehensif dalam review penulis di bawah ini.
Dari segi sejarahnya, Kosmopolitanisme kuno mengharapkan dunia yang luas ini penuh dengan perdamaian, pesatuan dan menjunjung tinggi kebebasan. Ideologi ini menganggap bahwa semua kelompok etnis milik suatu komunitas tunggal yang berdasarkan sebuah moralitas tunggal global yang dipatuhi bersama. Salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan faktor turisme dan kunjungan perjalanan antar daerah maupun antar negara serta mendukung adanya migrasi secara ilmiah dengan berbagai factor penarik maupun pendorong seperti bencana alam, ekspansi perdagangan, eksplorasi, mencari peerjaan dan kehidupan yang lebih baik, penyebaran agama dan pencarian kekuasaan. Namun hal ini mulai menjadi sutu permasalahan krusial sekitar tahun 2000an ketika banyak Negara mengalami ledakan penduduk. Terlebih lagi di Cina yang sekarang ini sampai menerapkan kebijakan satu anak untuk mengatasinya. Hal ini dipicu oleh adanya hubungan migrasi yang berbanding lurus dengan jumlah penduduk, semakin tinggi tingkat imigrasi maka jumlah penduduk semakin banyak. Bila keberadaan seseorang yang harus melakakuka kunjungan ke berbagai Negara untuk urusan bisnis, berlibur, kenegaraan, maupun menuntut ilmu dalam waktu sementara maka itu bukanlah suatu masalah. Bahkan keberadaan mereka menguntungkan dari segi ekonomi dan menjadi bisnis terbesar abad ini menurut keterangan dari penyaji yang merupakan kelompok tiga. Pesawat sebagai fasilitas penunjang kenyamanan dalam berwisata menjadi alat transportasi yang paling cosmopolitan, selanjutnya disusul dengan kapal dan mobil. Meskipun mahal, namun pesawat mampu memberikan layanan lebih karena lebih cepat dan nyaman untuk berkunjung ke berbagai Negara kapan saja.
Di era kekinian, Kosmopolitanisme semakin berkembang bukan saja dari faktor manusianya, namun juga di kota dimana manusia hidup dan berbagai peradaban lahir serta berkembang. Kota adalah hasil perpaduan antara imajinasi masyarakatnya dan ciptaan Tuhan yang alami sifatnya. Sebuah kota senantiasa menyimpan sejarah, kenangan, nostaligia, identitas sekaligus utopia. Kelahiran sebuah kota bukanlah sesuatu yang beku dan statis melainkan terbentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang senantiasa berubah. Ungkapan menarik pernah di ungkapkan oleh Micel Foucauld “seluruh sejarah peradaban masih menunggu untuk di tulis”. (http://www:skripsi_komunikasi.com). Identitas sebuah kota merupakan produk budaya yang lahir dari penerjemahan nilai- nilai lokal masyarakat. Misalnya saja Jakarta sebagai Ibu Kota Negara yang menjadi ikon dari kota metropolitan dengan kepadatan penduduknya, majunya tingkat perekonomian serta pusat pemerintahan maupun ekonomi. Namun apakah parameter sebuah kota Kosmopolitan hanya cukup sampai di situ, ternyata tidak, selain itu juga kota tersebut harus memenuhi kriteria percampuran budaya, penyebaran teknologi yang merata, demografi yang proporsional, dan lokasi yang strategis dengan dilengkapi berbagai tempat yang menunjang kebutuhan hidup seperti mall dan hotel.  Negara-negara tersebut seperti Paris, New York, dan London. Negara yang besar tidak menjamin kosmopolitan, seperti halnya Lagos yang penuh konflik dan terletak di Afrika sehingga kurang strategis maupun Tokyo yang masih dalam tahap baru menuju kota internasional. Kota yang kosmopolitan juga tidak menjamin penduduknya orang kosmopolit juga, tapi paling tidak berbagai keragaman dan kemajuan yang ada menjadi suatu katalisator yang tidak bisa diabaikan. Orang-orang kosmopolitan dapat diwakili oleh kalangan diplomat dan intelektual dari segi kelas atas, artis, mauppun olahragawan karena seni dan olahraga dengan mudah diterima oleh berbagai manusia di seluruh dunia. Bahkan seringkali membawa misi kemanusiaan, orang-orang tersebut paling tidak memiliki tingkat intelektualitas tinggi, menjunjung tinggi multikulturalisme, dan berwawasan terbuka.
Seperti yang sempat diutarakan di atas kota kosmopoliatan biasanya dilengkapi dengan hotel yang merupakan hunian sementara namun biasanya memiliki pengaruh global seperti hotel Hilton dan Sheraton yang memiliki cabang di berbagai negara dan mampu meleburkan batas perbedaan budaya dunia (Hyper Mobile Planet Chapter 5). Tingkat pelayanan yang dijaga kualitasnya dan mampu memuaskan konsumen tanpa memandang latar belakang mereka membuat kedua hotel ini layak menjadi standar dari hotel-hotel lainnya.
Dari pemaparan di atas, terlihat sekali mayoritas ciri-ciri kosmopolitanisme begitu beragam, namun mengapa mayoritas selalu diatandai dengan suatu yang serba mewah dan mahal padahal untuk meleburkan berbagai keragaman dari aspek informasi melalui internet dapatdijangkau dengan harga murah. Sepertinya kesempatan untuk memperoleh kesempatan kerja dan pengetahuan perlu dimeratakan agar bibit kosmopolitanisme ke depannya bisa tumbuh subur dan idealisme  berupa kebebasna, persatuan dan perdamaian bisa benar-benar terwujud baik. Sehingga manusia-manusia kosmopolitanisme ini bisa memunculkan kota, hotel, transportasi yang kosmopolit juga yang ramah lingkungan.

Referensi
Immigrates: The hyper mobile planet, Hyper Mobile Planet Chapter 5, hal 172
Kode Budaya diakses dari http://www:skripsi_komunikasi.com pada 5 April 2009
PPT kelompok 1-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar