Rabu, 13 Oktober 2010

REALISME DAN NEOREALISME: CS ATAU VS



Perspektif  realisme  lahir dari  kegagalan  membendung  Perang Dunia  I  dan II serta ketidaksempurnaan pendekatan kaum idealis tentang perang yang dinilai lemah karena terlalu meremehkan power, dan menyanjung tinggi rasionalitas, bahkan meyakini negara bangsa telah mengorbankan kepentingan bersama demi mencegah perang. Debat mengenai permasalahan power, rasionalitas, kepentingan bersama dan perang muncul akhir 1930-an. Realisme politik atau politik kekuasaan merupakan perspektif yang bisa dibilang tertua dan paling sering diadopsi dalam teori hubungan internasional.[1] Ide inti dan asumsinya adalah pandangan pesimis atas sifat manusia, keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya penuh konflik yang harus diselesaikan dengan perang, politik dunia terdiri dari anarki internasional negara berdaulat, mengutamakan keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara serta keraguan akan adanya kemajuan politik internasional seperti dalam politik domestik, menyangkal kerja sama kalaupun ada hanya untuk jangka pendek dan sifatnya insidental. Jadi, sistem  internasional harus diatur sesuai sifat alami negara dan sifat alami manusia agar ketertiban dan stabilitas tercapai.
 Sifat alami manusia menurut realis adalah selalu cemas atas keselamatannya dalam persaingan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri karena resource yang terbatas, sehingga kompetisi kadang berjalan tidak sehat, tidak peduli otak atau otot yang digunakan. Dalam hal ini manusia dipandang sama sehingga keinginan untuk memperoleh keuntungan dan mencegah adanya dominasi lain adalah wajar, seperti dijelaskan Hans Morgenthau bahwa aturan main dalam politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan, apapun tujuan akhirnya, kekuasaanlah yang terpenting dan cara memperoleh dan memeliharanya menentukan tindakan politik yang digunakan, yang kuatlah yang akan menang.[2] Sedangkan sifat alami negara sebagai aktor utama (Individu, NGO, dan yang lain dianggap tidak penting) adalah tidak dapat diatur dan memiliki kedaulatan yang telah dibangun selama puluhan abad, semenjak bentuk municipal state hingga nation state. Kedaulatan negara ini adalah untuk mengatasi individu manusia ‘yang menjadi serigala’ bagi individu manusia lain, menurut pemikiran Thomas Hobbes. Dari sinilah ditarik analogi yang membatasi perilaku negara dengan kapabilitas yang dimilikinya. Konsekuensinya adalah tiap negara akan berusaha meningkatkan kekuatannya, agar tidak ‘dimangsa’ negara lain, sehingga terciptalah keseimbangan kekuatan di berbagai negara yang menimbulkan anarki internasional karena tidak ada kekuasaan tunggal/kolektif yang mampu mengatur. Bahkan PBB pun dapat dikatakan gagal dalam mengelola hubungan anarkis ini (meski berhasil mereduksi konflik inter-state, namun konflik menjadi meresap ke intra-state conflict). Intinya, kalangan realis adalah kalangan yang ‘hati-hati’ dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih dalam pencapaian kepentingan nasional yang merupakan penentu kebijakan luar negerinya yang unilateral, nasionalis, strategi penangkalan akibat dilemma keamanan- bersiaplah berperang bila menginginkan perdamaian, dan aliansi pertahanan. Untuk keamanan negara, pemimpin harus memberlakukan kode etik untuk menghukum tindakan seseorang/sebuah institusi berdasarkan akibat yang ditimbulkannya, bukan berdasarkan benar-tidaknya tindakan tersebut. Kalaupun ada sebuah moral universal, maka itu hanya dianut oleh segolongan saja.
Realisme dapat diklasifikasikan berdasarkan tahun kemunculannya yaitu klasik (hingga abad 20) dengan Hobbes, Machiavelli dan Thucydides sebagai tokohnya yang setuju bahwa kondisi manusia tidak aman dan penuh konflik, adanya kumpulan pengetahuan politik/kebijaksanaan untuk menghadapi masalah keamanan, dan tidak ada solusi permanen atau akhir dari masalah politik; realisme neo-klasik (1939-1979) dengan Hans Morgenthau sebagai  tokoh, politik dianggap berakar dalam sifat manusia yang self-(centered, regarding, dan interested), pemimpin politik tidak mempunyai kebebasan melakukan yang benar seperti rakyatnya, dan rasa pesimis muncul karena keterbatasan manusia, dan neo-realisme (1979-sampai sekarang) yang merupakan karya Kenneh Waltz (sebenarnya menyebut teori “realisme struktural” di dalam bukunya). Perbedaannya dengan realis adalah tidak menyetujui penjelasan perilaku dalam hubungan internasional, berusaha ilmiah dan lebih positivis karena neo-realis ingin mensistemasikan  realisme politik  ke dalam  teori  sistem yang kuat dan  deduktif  dari  politik internasional. Persamaannya dengan realis yaitu anarki dan  ketiadaaan  lembaga sentral menjadi ciri struktur  sistem, negara sebagai aktor utama, bertindak dengan  prinsip menolong diri sendiri dan mengusahakan agar bisa bertahan dengan kekuatannya, karena itu negara sama dalam   tugas  yang  dihadapinya, yang   berbeda   adalah kapabilitas posisi  negara   dalam sistem dan distribusi dalam  mendefinisikan sistem struktur. Perubahan dalam distribusi kapabilitas merangsang perubahan  dalam struktur sistem seperti konfigurasi  kekuatan multipolar ke bipolar atau menuju unipolar. Namun merebut kekuasaan dengan usaha internal seperti meningkatkan ekonomi, militer,  strategi  yang  lebih pintar  serta  usaha  eksternal seperti  memperluas aliansi  atau  membubarkan aliansi musuhnya. tidak dianggap  tujuan dan tidak  dilihat  sebagai karakter manusia seperti dalam realisme klasik. Keseimbangan  kekuatan muncul  secara  otomatis   dari  instink  untuk bertahan.
Bila dibandingkan, kedua aliran ini bukan teman atau lawan melainkan kelanjutan dari pemikiran sebelumnya yang diperbarui untuk menutupi segala kekurangan tanpa mengganti prinsip dasar pemikiran secara keseluruhan, karena neo-realisme bukanlah non realisme. Menurut saya untuk  memahami perubahan dunia dibutuhkan pemikiran yang masuk akal, karena meskipun idealis tapi berusahalah realistis seperti ungkapan tidak ada teman atau musuh yang abadi kecuali kepentingan, sehingga tidak tersesat dalam kebaikan dan tahu kapan menjadi setan ketika kebutuhan memintanya (terinspirasi dari Machiavelli). Sejauh ini pamor realisme masih dominan walaupun menerima banyak kritik, diantaranya adalah fokus yang terlalu sempit, gagal menangkap perluasan politik internasional yang merupakan dialog aliran dan perspektif  yang berbeda, alasannya jelas, masalah hubungan internasional adalah problem global, yang kompleks, berat, tidak dapat direduksi menjadi penilaian tunggal dan sederhana, contoh nyata adalah tidak ada yang bisa dilakukan oleh realis  untuk menyelesaikan masalah krisis ekonomi AS yang mulai mendunia, walaupun untuk sementara ini realisme adalah aliran paling mendekati kebenaran, sifat alami manusia dan negara sehingga banyak dianut.
REFERENSI
Burchill, Scott and Linklater, Andrew. Theories of International Relation. Oxford University press, pp. 29-55.
Jackson, J. Robert and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New YorkOxford University.
Perwita, banyu dan Mohammad Yani, Yanyan. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung. Pt Remaja Rosda Karya.










[1] Burchill, Scott AND Linklater, Andrew. Theories of International Relation. Oxford University press, pp. 29-55
[2] Jackson, J. Robert and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New YorkOxford University.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar