Kamis, 07 Oktober 2010

KONTRADIKSI PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA TERKAIT MASALAH HAK ASASI MANUSIA TAHUN 2005-2010


 
ABSTRAK
Ada begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Cina, diantaranya adalah masalah kebijakan satu anak dan tragedi Tiananmen. Awalnya dunia internasional tidak tahu bahwa ternyata begitu banyak pelanggaran HAM terjadi karena dulunya begitu tertutup, sehingga tidak banyak informasi dalam negeri Cina yang diketahui dunia internasional. Dengan adanya keterbukaan sistem ekonomi dan informasi sejak jaman Deng Xiao Ping, berbagai kecaman internasional mulai menyoroti masalah pelanggaran HAM di Cina. Selain itu masuknya paham liberal ikut serta dalam memunculkan aktivis Cina yang peduli HAM, seperti Han Depei, Li Buyun, dan Liu Xiaobo. Perjuangan mereka dan dukungan berbagai tekanan internasional seperti media dan organisasi HAM internasional selama puluhan tahun akhirnya membuahkan hasil, pemerintah perlahan mulai peduli dengan pelaksanaan HAM di Cina serta aktif mengikuti berbagai konferensi HAM internasional. Keberhasilan tersebut bukan berarti tanpa kendala, karena pembatasan informasi yang masih terjadi meskipun tidak seradikal  saat era Mao dan sulitnya mengubah pola pikir rakyat Cina yang memang tidak mengenal konsep HAM sebelumnya. Konfusianisme yang merupakan paham yang dianut bangsa Asia terutama Cina hanya mengajarkan tentang apa yang menjadi kewajiban mereka saja berdasarkan status sosial yang disandang tanpa berbicara tentang hak. Kontradiksi kemudian muncul di saat tahun 2005-2010 dimana pelanggaran masih saja terjadi bahkan meningkat seperti penangkapan aktivis HAM, represi kelompok minoritas seperti Tibet dan praktisi Falun Gong, serta pembatasan media yang terlalu kritis menyoroti kinerja pemerintah. Selain itu apakah memang HAM menjadi begitu penting bagi pemerintah Cina dengan adanya peran dari para aktivis HAM dan tekanan internasional saja. Bukan dikarenakan oleh kepentingan nasional dari pemerintah Cina yang sempat mengalami pergantian pemerintahan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, peneliti akan menggunakan teori pengambilan keputusan kebijakan dalam negeri, konstruktivisme, image, dan sistem pengaruh kebijakan untuk merumuskan dugaan sementara yang sekaligus menjadi penguat argumen peneliti jika memang ada pengaruh antara variabel-variabel tersebut dengan masalah yang ada.

KATA KUNCI: KONTRADIKSI, PERUBAHAN, KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA, HAM









BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah
Salah satu prestasi signifikan yang diraih Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rentang sejarah organisasi ini berdiri adalah keberhasilan PBB menyusun satu deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Hak Asasi manusia (HAM). Pada tahun 1948 seluruh bangsa sepakat untuk mendeklarasikan kesamaan martabat, nilai dan pengakuan bahwa setiap manusia di bumi ini memiliki hak-hak yang sama, tidak peduli jenis kelamin, lelaki atau perempuan, tanpa membedakan warna kulitnya, merah, coklat, putih ataukah hitam. Hak asasi yang berlaku bagi semua bangsa baik yang besar, kaya, dan maju maupun dari bangsa kecil, terbelakang, miskin, dan primitif. Saat itulah tercapai kata sepakat untuk membuat bumi menjadi lebih manusiawi, humanis dan egaliter dengan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan yang paling dasar.
Dari sinilah maka setiap negara memiliki jaminan hukum yang tercantum di dalam konstitusi nasional  mengenai HAM yang dilengkapi dengan perlindungan internasional dan diperoleh melalui tindakan organisasi internasional (Plano, 1999: 268). Banyak negara menghormati hak jaminan ekonomi dan sosial individu, seperti hak untuk memperoleh pekerjaan dan hak untuk memperoleh biaya pengobatan yang semuanya memiliki nilai penting setara dengan konsep hak politik yang lebih tua keberadaannya. Namun hal ini, tidak berlaku di Cina sebelum era 1990-an karena Cina dan pelanggaran HAM adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan (Erika, 2009).
 Peta I
        Negara Cina
    
Sumber: http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/fp.html

Cina dikenal sebagai negara yang banyak melakukan pelanggaran HAM, mulai dari masalah tidak terpenuhinya berbagai hak sipil-politik, kebijakan satu anak di Cina, sampai masalah hak-hak buruh yang tidak dipedulikan. Puncak pelanggaran HAM di Cina terjadi pada peristiwa Tiananmen Square pada tahun 1989, di mana ribuan penduduk ditembak secara brutal oleh militer pemerintah Cina karena ingin menggulingkan rezim diktator dan menggantinya dengan sistem demokrasi (http://internasional.kompas.com). Ratusan nyawa melayang pada peristiwa itu dan ribuan yang mengalami luka-luka. Dunia internasional pun berang dan Cina pun dikecam (Erika, 2009). Demonstrasi ini sebenarnya  merupakan hal yang wajar, karena seharusnya setiap individu memiliki hak untuk berpendapat. Namun tidak demikian dengan Cina, saat itu rakyat Cina masih belum memiliki kebebasan dan hak untuk berpendapat, sehingga demonstrasi ini dinilai sebagai kegiatan yang melanggar hukum karena melawan pemerintah (http://internasional.kompas.com). Oleh karena itu pemerintah Cina boleh menghukum rakyat yang dianggap tidak patuh. Peristiwa ini dikabarkan menelan korban 200-300 orang, menurut pemerintah Cina. Namun Chinese Red Cross menyebutkan bahwa korban yang meninggal karena insiden tersebut mencapai 2000-3000 orang (Erika, 2009). Selepas insiden itu, pemerintah Cina kemudian menangkap secara paksa orang-orang yang terlibat dalam demonstrasi tersebut, serta membatasi penyebaran berita sehubungan peristiwa Tiananmen Square oleh seluruh media Cina.
Awal mulanya dunia internasional tidak tahu-menahu bahwa ternyata begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi di Cina. Hal tersebut dikarenakan Cina dulunya begitu tertutup, sehingga tidak banyak informasi dalam negeri Cina yang diketahui oleh masyarakat internasional. Media-media internasional dilarang masuk ke wilayah Cina tanpa izin dari Pemerintah. Hal ini menyebabkan banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang lantas tidak terekspos oleh media internasional. Kalaupun ada, informasi yang keluar tersebut tentulah sudah diseleksi oleh pemerintah Cina, sehingga tidak mudah membuktikan masalah pelanggaran HAM yang terjadi di sana. Namun semenjak diadopsinya Open Door Policy oleh pemerintahan Deng Xiao Ping pada tahun 1978-lah yang menandai keterbukaan sistem ekonomi dan informasi, berbagai pelanggaran HAM yang terjadi mulai terkuak (Tempo, 1985). Keterbukaan informasi ini memudahkan paham liberal untuk masuk ke Cina yang saat itu menerapkan sistem komunis, dengan agenda yang diusungnya yaitu hak asasi manusia. Hal ini akhirnya memunculkan  aktivis-aktivis Cina yang peduli HAM, baik yang tergabung dalam lembaga HAM Cina ataupun bergerak atas nama perorangan. Mereka berasal dari berbagai kalangan yaitu anggota lembaga sosial masyarakat, individu, maupun para intelektual yang aktif menyuarakan pentingnya konsep HAM yang diakui secara universal untuk diterapkan oleh pemerintah Cina pada rakyatnya (Erika, 2009).
Deklarasi universal HAM dan kegiatan internasional di bidang perlindungan HAM ini sebenarnya telah dilakukan sejak 1946, terutama di lingkungan PBB yang diselenggarakan oleh majelis umum dan dewan ekonomi serta sosial dan berbagai komite dan komisi yang dibentuk secara khusus (Plano, 1999: 268). Namun banyak masyarakat Cina tidak mengetahui apa yang menjadi hak-nya sebagai seorang individu maupun rakyat. Para  aktivis ini kemudian melakukan berbagai cara untuk membuat rakyat Cina sadar akan hak-hak yang mereka miliki, baik itu melalui pemikiran, tulisan, seminar, dan lain-lain. Salah satu aktivis yang cukup vokal kala itu adalah Han Depei, yang mendefinisikan hak asasi manusia sebagai hak fundamental bagi setiap orang. Han Depei mengkritik ajaran Konfusianisme yang cenderung memberi kedudukan khusus bagi status sosial tertentu, Han mengatakan bahwa setiap orang seharusnya memperoleh hak untuk hidup yang sama, hak untuk dihargai, dan berbagai hak-hak lainnya dalam porsi yang sama tanpa memperhatikan status sosial orang tersebut (Depei, 1995).
Aktivis HAM lain adalah Li Buyun, Li mengatakan bahwa hukum dan pemerintah seharusnya ada untuk melindungi hak-hak rakyatnya, bukan sebaliknya seperti yang terjadi di Cina (Buyun, 1991). Aktivis Cina lain yang juga cukup berpengaruh di Cina adalah Zhang Wenxian, seorang professor hukum dari Jilin University. Zhang mengatakan bahwa hanya seorang individulah yang memiliki hak asasi, hak asasi adalah sebuah konsep yang terbatas, yang hanya mengacu pada individu, sebagai anggota dari sebuah masyarakat (Wenxian, 1991). Oleh karena itu Zhang mengakui adanya unsur individual dalam konsep HAM, dan menegasikan unsur kolektif dalam konsep HAM. Zhang  menentang diutamakannya kepentingan kolektif daripada kepentingan individu apabila ternyata kepentingan kolektif itu akan melanggar hak asasi seorang individu. Ketiadaan konsep HAM ini pada masyarakat Cina membuat Wang Jiafu, Liu Hainian, dan Li Buyun mempermasalahkan masalah beratnya kewajiban yang harus ditanggung rakyat Cina, di mana ternyata unsur kewajiban itu kemudian menghancurkan kebebasan dan otonomi seorang individu atas dirinya. Lebih lanjut lagi, mereka menyalahkan pemerintah yang cenderung memanfaatkan ketidakpahaman rakyat Cina akan konsep HAM untuk kemudian menindas hak-hak mereka dan melakukan berbagai penyalahgunaan kekuasaan (Jiafu, 1989). Wang dan kawan-kawan juga kemudian menyerukan dan melakukan berbagai cara agar hak asasi individual dapat lebih diperhatikan dalam berbagai kebijakan pemerintah baik dalam negeri maupun luar negeri terkait masalah HAM.
Usaha para aktivis HAM ini  banyak menemui kendala diantaranya adalah pembatasan informasi yang masih terjadi meskipun tidak seradikal  saat era Mao dan sulitnya mengubah pola pikir rakyat Cina yang memang tidak mengenal konsep HAM sebelumnya. Penyebabnya adalah kepercayaan Konfusianisme yang mereka anut memang tidak mengenal konsep hak (Erika, 2009). Para aktivis ini sendiri mulai aktif bersuara sejak tahun 1980-an, seiring dengan berbagai tekanan yang didapat Cina dari dunia internasional karena terkuaknya pelanggaran-pelanggaran HAM di Cina. Dari sinilah titik balik perubahan kebijakan masalah HAM mulai terjadi di Cina.
Berbagai kendala yang ada tidak menyurutkan perjuangan para aktivis HAM karena dukungan dari media dalam negeri maupun internasional yang terus memberitakan aksi pelanggaran yang terjadi, sehingga mampu menarik simpati dari keluarga korban pelanggaran HAM maupun masyarakat luas. Reaksi internasional juga terlihat dari tekanan organisasi HAM internasional seperti Amnesti Internasional dan Human Right Watch yang terus mengecam pelanggaran yang terjadi (www.epochtimes.co.id). Akhirnya pemerintah Cina pun mulai mengubah kebijakan dalam negeri maupun luar negerinya terkait masalah HAM seperti pembuatan undang-undang HAM yang berisi sanksi bagi para pelanggarnya, pelibatan masyarakat dalam edukasi mengenai HAM, dan perijinan adanya buku-buku yang membahas tentang HAM untuk di jual di China. Ditambah dengan dikeluarkannya Human Rights White Paper oleh Pemerintah China tahun 1991 sebagai wujud kepeduliannya untuk ikut serta dalam berbagai konferensi HAM internasional seperti Konferensi Hubungan Legal Antara Hak dan kewajiban tahun 1988 di Changchun, China;  Konferensi Konsep HAM di China oleh Law Institute of Chinese Academy of Social Sciences 18-21 Juni 1991; World Conference on Human Rights 1993 Vienna, Austria; Konferensi Internasional Tentang HAM 21 Oktober 1998 di  China (Erika, 2009).
 Dari seluruh konferensi-konferensi yang diadakan ataupun dihadiri oleh China tersebut diatas, China telah membuktikan perubahan sudut pandang pemikiran dan pola pemerintahan mereka yang telah lebih baik dari sebelumnya. Ketertarikan Cina pada masalah HAM saat itu juga ditunjukkannya melalui partisipasi aktif Cina di PBB. Selain itu, Cina juga menyatakan kesediaannya untuk memperkuat kerjasama internasional lebih lanjut mengenai HAM.
Keberhasilan penegakan HAM tersebut selanjutnya menimbulkan kontradiksi saat data resmi terbaru menunjukkan penangkapan aktivis HAM, represi kelompok minoritas seperti Tibet dan praktisi Falun Gong, serta pembatasan media yang terlalu kritis menyoroti kinerja pemerintah. Menurut Amnesti Internasional, jumlah pelanggaran HAM di Cina terus meningkat dari tahun 2005 (http://www.infoanda.com). Bahkan pada tahun 2009 naik hingga 20 %, dimana 1.500 orang China dihukum atas tuduhan mengancam keamanan negara, Liu Xiaobo, Chen Guangcheng, dan Gao Zhisheng adalah beberapa diantaranya. Liu, penulis terkemuka, telah dijatuhi hukuman 11 tahun penjara karena dianggap menimbulkan subversi atas kekuasaan negara. Guangcheng yang merupakan aktivis HAM tuna netra dipenjarakan selama empat tahun, setelah membeberkan pelanggaran HAM satu anak di China dimana pejabat di Provinsi Shandong memaksa 7.000 perempuan menjalani aborsi atau sterilisasi. Cheng disebut-sebut dicalonkan menjadi penerima nobel perdamaian (http://internasional.kompas.com). Sedangkan Gao dicabut izin prakteknya, disiksa, dipenjara dan dikucilkan dalam waktu lama, dibebaskan hanya dalam dua minggu, kemudian diculik lagi oleh polisi rahasia. Hal ini kemudian mendapat kritikan dari Senator Dorgan yang mengetuai dengar pendapat Kongres-Komisi Ekskutif China di Capitol Hill bahwa ini adalah cara paling memalukan dan paling kejam dalam memperlakukan kekerasan fisik dan psikologi terhadap seorang pengacara HAM terbesar China (http://erabaru.net). Lebih parahnya lagi adalah dijatuhinya hukuman 15 tahun penjara pada 23 Juli 2010 lalu terhadap seorang wartawan Uyghur, Gheyret Niyaz karena dituduh pemberian wawancara kepada media asing setelah kekerasan etnis di Xinjiang Juli 2009, menurut Human Rigths Watch(http://www.infoanda.com).
Dari sinilah permasalahan sebenarnya mulai terlihat, dimana perubahan kebijakan luar negeri Cina terkait masalah HAM di tahun 1990-an menimbulkan kontradiksi di tahun 2005-2010. Ada banyak kemungkinan yang semestinya ditelaah lebih lanjut, dimana perubahan kebijakan luar negeri Cina terjadi tidak sebatas karena peran para aktivis HAM dan tekanan internasional saja maupun itikad baik dari pemerintah untuk memperbaiki hubungan dengan rakyatnya. Namun bisa saja terjadi karena pemerintah Cina lebih mengutamakan kepentingan nasionalnya karena sebagai negara dan bangsa yang besar Cina memiliki banyak tanggung jawab di mata dunia internasional selain citranya yang semakin buruk akibat pemberitaan dari berbagai media. Apalagi saat itu Cina juga terpilih menjadi kandidat dewan perlindungan HAM PBB bersama AS dan Kuba. Belum lagi tekanan negara-negara Besar, khususnya AS dan Eropa yang merupakan negara penjunjung HAM sangat menegur keras pelanggaran-pelanggaran HAM di China dan menyaratkan penegakan HAM sebagai syarat kerjasama dengan negara lain. Hal ini terlihat dari pembekuan hubungan diplomatik oleh Prancis, protes keras dan penghentian penjualan senjata oleh AS dan Inggris paska tragedi Tianan Men. Bila pada awalnya saja protes keras bangsa Barat berupa pembekuan hubungan diplomatik, maka bukan mustahil bila pada suatu waktu bangsa-bangsa liberal itu akan menghentikan sama sekali kerjasama mereka dengan China yang saat itu sangat memerlukan FDI untuk membangun perekonomiannya.
Hal ini terbukti dengan adanya kutukan dari parlemen Eropa atas pelanggaran HAM yang terjadi di Cina, hal senada juga disampaikan oleh penyair, filsuf, dan anggota parlemen dari Lithuania, Leonidas Donskis yang mengatakan bahwa cara Partai Komunis Cina memperlakukan rakyatnya sangat mirip dengan bekas Uni Soviet. Alasan utama mengapa komunitas internasional menolerir kondisi HAM China adalah bahwa banyak negara ingin melindungi kepentingan mereka sendiri (http://www.clearwisdom.net). Komentar lain berasal dari Ketua Human Rights Watch Asia, Brad Adams, yang mengatakan:
            “Uni Eropa dan negara-negara anggotanya bersama dengan negara-negara lain di dunia harus secara terbuka dan jelas membahas masalah HAM China, daripada menghabiskan tenaga – negosiasi tertutup dengan PKC yang tidak berhasil karena tekanan publik dan deklarasi suci adalah cara yang efektif. Kita perlu mengingatkan dunia, bahwa apa yang sedang terjadi pada 1,3 miliar rakyat China (pelanggaran HAM) adalah lebih penting daripada perjanjian perdagangan itu dan membeli barang-barang murah China.” (http://www.clearwisdom.net)
            Kemungkinan yang terakhir adalah penelitian ini dikhususkan pada rentang tahun 2005-2010 di mana perubahan pertama kebijakan luar negeri Cina terkait HAM itu terjadi pada tahun 1990-an. Sehingga situasi serta pemerintah yang menjabat berbeda dan berimplikasi pada perbedaan pengimplementasian kebijakan luar negeri Cina terkait masalah HAM sehingga perubahan bisa saja terus terjadi. Dari sekian banyak alasan yang memungkinkan terjadinya kontradiksi perubahan kebijakan luar negeri Cina, peneliti akan membuat skala prioritas pada bagian hipotesis untuk menjawab rumusan masalah di bawah ini.

1.2 Rumusan Masalah
         Perumusan masalah merupakan dasar dari sebuah penelitian. Dari pemaparan latar belakang masalah di atas, peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut yaitu mengapa terjadi kontradiksi perubahan kebijakan luar negeri Cina terkait HAM pada tahun 2005-2010?

1.3 Tujuan Penelitian
         Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dan menjelaskan mengapa terjadi kontradiksi dalam perubahan kebijakan luar negeri Cina tahun 2005-2010. Dimana konsep masalah HAM ini tidak dipahami dengan baik oleh rakyat maupun pemerintah Cina sehingga berbagai pelanggaran yang terjadi dibiarkan saja selama ini. Bahkan saat terjadi perubahan kebijakan HAM baik di dalam maupun di luar negeri, justru menuai kontradiksi karena peran aktivis HAM dan tekanan internasional belum tentu membuahkan hasil bila tidak disetujui oleh para elite pembuat keputusan di Cina. Sehingga ada banyak pertimbangan dan dugaan lain yang muncul di luar itu, seperti masalah image dan faktor persyaratan penegakan HAM saat menjalin kerjasama dengan negara-negara besar seperi AS dan Eropa, maupun pergantian pemerintahan di Cina yang terjadi pada tahun 1990 hingga rentang tahun 2005-2010 ini. Sehingga Cina akhirnya bersedia ikut serta dalam berbagai konferensi HAM internasional dan menyusun undang-undang penegakan HAM di negaranya, meskipun selama beberapa tahun terakhir jumlah pelanggaran HAM yang terjadi terus meningkat.

I.4. Kerangka Pemikiran
I.4.1. Peringkat Analisis
Untuk memfokuskan penelitian sehingga peneliti dan pembaca mempunyai kesepahaman yang sama maka diperlukan fokus penelitian, atau yang disebut sebagai peringkat analisis dalam penelitian kualitatif. Fokus penelitian ini terdiri dari unit analisa dan unit eksplanasi. Unit analisis adalah unit yang perilakunya akan dijelaskan dalam penelitian. Sedangkan unit eksplanasi adalah unit yang mempengaruhi unit analisis. Dalam penelitian kualitatif, hubungan antara unit analisis dan unit eksplanasi tidak bersifat sebab akibat secara linier, tetapi dapat juga bersifat timbal balik. Dimana menurut Patrick Morgan ada lima tingkat analisis untuk memahami perilaku aktor hubungan internasional, yaitu individu, kelompok individu, negara- bangsa, kelompok negara bangsa, dan sistem internasional (Morgan, 1982).
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peneliti menggunakan tingkat analisis negara-bangsa sebagai unit analisisnya yang menekankan perilaku negara-bangsa sebagai faktor penentu dinamika hubungan internasional. Analisis para ilmuwan seharusnya ditekankan pada perilaku unit negara-bangsa, karena hubungan internasional pada dasarnya didominasi oleh perilaku negara-bangsa. Untuk unit eksplanasinya, peneliti menggunakan tingkat analisis sistem internasional, yang memandang sistem internasional sebagai penyebab terpenting terjadinya perilaku dan interaksi aktor-aktor internasional. Negara-negara di dunia dan interaksi di antara mereka dilihat sebagai suatu unit sistem. Pengetahuan tentang dinamika sistem internasional dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku aktor-aktor hubungan internasional yang terlibat di dalamnya. Unit analisis atau variabel dependen dalam penelitian ini adalah perubahan kebijakan luar negeri Cina terkait masalah HAM sedangkan yang menjadi unit eksplanasinya adalah kontradiksi paska perubahan kebijakan luar negeri yang terjadi karena beberapa faktor internal maupun eksternal yang akhirnya berpengaruh dalam sistem perpolitikan Cina sendiri maupun sistem internasional.
Sehubungan dengan permasalahan yang peneliti angkat, peneliti melihat proses pembuatan keputusan kebijakan luar negeri oleh suatu negara-bangsa sebagai unit yang utuh. Dalam artian tidak hanya ditentukan sendiri oleh pembuat keputusan tetapi juga memperoleh pengaruh dari dalam negeri yaitu peran dari para aktivis HAM serta pertimbangan kepentingan nasional dari pemerintah Cina saat itu seperti image dan persoalan kerjasama dengan negara besar. Faktor domestik tersebut juga bersinggungan dengan situasi internasional dan faktor eksternal yang datang dari tekanan organisasi dan media internasional yang terus mengikuti perkembangan track record HAM di Cina. Apalagi perubahan kebijakan luar negeri tersebut terus berlangsung dari tahun 1990-an hingga saat ini yang sempat mengalami pergantian pemerintahan. Sehingga ada banyak faktor untuk menjelaskan mengapa kontradiksi tersebut terjadi.

I.4.2 Landasan Teoritik
I.4.2.1 Teori Konstruktivisme
James Fearon dan Alexander Wendt mengatakan bahwa konstruktivisme adalah pandangan yang menitikberatkan perhatiannya pada peran ide dalam mengkonstruksi kehidupan sosial, dengan fokus pada peran agen/subjek yang terkonstruksi secara sosial (Carlsnaes, 2002). Dimana menurut Wendt, sistem yang ada dalam politik internasional itu ada karena di buat Hal itu terjadi karena kepentingan dan identitas yang ada dibangun dari praktik intersubjektif (Maja Zehfuzz, 2002: 13).. Jadi konsep mengenai HAM tidak hadir dan menyebar dengan sendirinya, tapi dikonstruksikan oleh para aktivis HAM karena menginginkan kesetaraan dan keadilan atas hak yang semestinya diterima baik sebagai manusia maupun rakyat. Sedangkan faktor eksternal yang ikut mengonstruksikan HAM juga tidak lepas dari kepentingan untuk mendapatkan legitimasi internasional atas keberhasilannya membuat Cina mengubah kebijakan luar negerinya terkait dengan HAM. Begitu pula pemerintah Cina yang mempertimbangkan masalah kepentingan nasionalnya yaitu masalah image dan kerjasamanya dengan negara Eropa dan AS yang terus menekannya.
Finnemore dan Sikkink menyebutkan ada tiga tahapan dalam siklus sebuah norma saat proses pengonstruksian berlangsung, yaitu :
1. Norm emergence, yang merupakan tahapan yang sangat dipengaruhi oleh norm entrepreneurs, di mana norm entrepreneurs bertujuan untuk meyakinkan masyarakat atau pemimpin negara untuk mengakui suatu norma tertentu. Dalam bekerja, norm entrepreneurs kadang bekerja sama dengan NGO ataupun dengan organisasi-organisasi internasional. Untuk dapat mencapai tahap siklus norma selanjutnya, sebuah norma harus terlebih dahulu terinstitusionalisasikan melalui sekumpulan peraturan internasional yang spesifik. Setelah norm entrepreneurs berhasil mempengaruhi negara dan pemimpinnya untuk menjadi norm leaders dan kemudian mengadopsi suatu norma baru, dapat dikatakan suatu norma telah mencapai suatu tipping point. Norma yang membahas mengenai HAM sudah menjadi aturan internasional sejak deklarasi HAM universal diakui oleh semua negara termasuk Cina.
2. Norm cascade, yang dimengerti sebagai imitasi dinamik yang dilakukan seorang norm leaders untuk menyosialisasikan norma yang sudah dianutnya pada negara lain, agar negara tersebut menjadi pengikut norma tersebut juga. Motivasi dari norm cascade ini sendiri masih belum terlalu jelas, namun dapat dikatakan seorang norm leaders menyosialisasikan norma karena adanya keinginan dari dirinya untuk meningkatkan legitimasi internasional terhadap norma yang dianutnya tersebut. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa negara Barat yaitu Eropa dan Amerika Serikat, yang sangat aktif menegakkan HAM diberbagai negara bahkan sampai melakukan intervensi kemanusiaan. Dalam kasus Cina ini, Eropa dan AS bahkan menyaratkannya sebagai pertimbangan kerjasama antara kedua negara. Sehingga Cina yang menjadi penganut komunis bersedia menerima konsep HAM universal tersebut. Untuk selanjutnya ikut menyebarkannya ke negara lain setelah Cina mulai aktif dalam berbagai konferensi internasional.
3. Norm internalization, yang tercapai saat suatu norma sudah diakui secara universal sebagai hal yang taken for granted, sehingga bukan merupakan hal yang perlu diperdebatkan lagi dan sudah otomatis diterima (Barnett, 2001). Deklarasi universal HAM pada tahun 1948, sudah memenuhi kriteria tersebut. Sehubungan dengan kemunculan norma dalam masyarakat, Emanuel Adler menyebutkan adanya komunikasi sosial dalam tahapan pembentukan nilai di masyarakat. Melalui komunikasi sosial inilah, seorang agen dapat melakukan perubahan arti pada suatu material/konsep yang berlaku di masyarakat (Adler, 2002). Perubahan arti pada suatu material ini kemudian akan berkontribusi pada institusionalisasi struktur sosial masyarakat. Adler juga menekankan dampak komunikasi sosial pada hubungan sosial masyarakat, yaitu pada bagaimana suatu debat dan diskursi dapat memicu lahirnya sebuah pemahaman bersama pada suatu masyarakat (Adler, 2002).
Dalam kasus perubahan kebijakan luar negeri terkait HAM di Cina ini, peneliti mengamati adanya unsur pengonstruksian yang dilakukan oleh para aktivis HAM yang telah mendapatkan pengaruh dari masuknya paham liberal dengan agendanya yaitu HAM, saat era Deng Xiaoping. Para aktivis HAM Cina sebagai unsur norm entrepreneur dilakukan dengan beragam cara seperti lewat esai dan tulisan di berbagai media sampai pada teguran kepada pemerintah agar lebih memperhatikan masalah HAM di Cina. Melalui pergerakan yang lebih bersifat bottom-up ini, yaitu pergerakan yang dimulai dari masyarakat akar rumput, para aktivis HAM ini berhasil menanamkan konsep dan norma HAM pada masyarakat Cina, untuk kemudian dilanjutkan dengan upaya mendesak pemerintah agar mengeluarkan sejumlah kebijakan nasional dan internasional terkait penghargaan akan HAM di Cina. Hal ini semakin dimudahkan saat tekanan internasional diperhatikan oleh Cina yang kemudian berimplikasi pada perubahan kebijakan dalam negeri dan luar negerinya yang terkait HAM pada tahun 1990-an. Hal ini membuktikan kebenaran teori konstruktivisme yang diungkapkan oleh Adler, yaitu bahwa adanya komunikasi sosial dalam berbagai diskusi, debat, dan diskursus dapat melahirkan suatu pemahaman bersama dalam masyarakat.
1.4.2.2 Teori Image
Image adalah sesuatu yang dikonstruksikan secara psikologis yang mencakup proses kognisi dan afeksi, dimana dalam proses ini mempunyai keterkaitan dengan situasi masa lalu, masa sekarang, dan juga masa depan. Image dapat terbentuk seiring dengan sejarah, nilai, dan juga kepercayaan terhadap perilaku yang diinginkan.Teori image ini bersifat subjektif dalam penerapannya dan dapat digunakan untuk memahami hubungan internasional, baik dalam level individu, kelompok, maupun negara (Graham dan Newnham, 1998: 240).
Dalam usaha untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya, suatu negara dapat memunculkan image tertentu. Image yang terbentuk inilah yang kemudian menciptakan dinamika dalam pemenuhan kepentingan nasional. Bilamana suatu negara membuat kebijakan luar negeri yang didukung lingkungan disekitarnya, maka image yang terbentuk akan sesuai dengan yang diinginkan serta mampu menarik simpati internasional. Inilah yang terjadi pada Cina. Cina melakukan perubahan kebijakan HAM lebih disebabkan karena penjagaan image sebagai negara dan bangsa yang besar saat ini, sehingga kepentingan nasionalnya untuk bisa bekerjasama dengan negara lain bila dapat diraih dengan sendirinya bila track record HAM nya baik.
1.4.2.3 Teori Pengambilan Keputusan Kebijakan Luar Negeri
Kedua teori di atas telah menunjukkan apa saja yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina. Dalam pembuatan keputusan kebijakan tersebut, Richard Snyder, C.W. Bruck, dan Burton Sapin menguraikan bahwasanya pengambilan keputusan merupakan proses yang menyangkut pemilihan dari sejumlah masalah yang terbentuk secara rasional dan pemilihan sasaran-sasaran alternatif yang ingin diterapkan dalam urusan negara yang dipikirkan oleh para pembuat keputusan. Teori pengambilan keputusan mengidentifikasi sejumlah variabel yang relevan dan menyatakan kemungkinan hubungan antar variabel. Teori ini menekankan perhatian pada perilaku manusia pembuat keputusan yang menyangkut kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah adalah tindakan yang diambil oleh mereka yang mengatasnamakan negara (Snyder dkk, 1996). Dalam proses pengambilan keputusan, adakalanya karena beberapa hal bisa mengalami perubahan yang disebabkan oleh keinginan pemimpin suatu negara, kemudian dukungan birokrasi, selanjutnya adalah restrukturisasi domestik, dan yang terakhir adalah adanya kejutan eksternal (Hermann, 1990: 11-12).
Kebijakan luar negeri yang didasarkan pada keinginan pemerintah adalah kebijakan luar negeri yang pada umumnya diambil oleh kepala negara yang didasarkan pada visi dan pengetahuan yang dimiliki pemimpin tersebut terhadap pentingnya sebuah perubahan kebijakan luar negeri. Jadi pergantian pemerintah bisa jadi mengubah kebijakan atau pengimplementasian kebijakan yang sudah diputuskan. Dukungan birokrasi juga merupakan hal yang dapat mengubah kebijakan luar negeri suatu negara. Kelompok-kelompok dalam birokrasi juga mewakili kepentingan-kepentingan kelompok di bawahnya. Birokrasi juga dapat menilai apakah sebuah kebijakan luar negeri  berjalan dengan semestinya dan juga menuntut umpan-balik terhadap kasus yang dihadapi.
 Restrukturisasi domestik merupakan segmentasi politik dimana sebuah kelompok masyarakat mendukung suatu rezim tertentu memiliki kesempatan untuk memerintah dan bagian kelompok masyarakat ini dapat menjadi agen-agen perubahan kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri berubah seiring dengan keinginan dan kepentingan kelompok masyarakat tersebut. Kejutan eksternal  merupakan sumber perubahan kebijakan luar negeri  yang berasal dari  kejadian internasional yang bersifat dramatis. Kejutan eksternal ini dikategorisasikan sebagai penyebab perubahan yang memberikan efek langsung pada perubahan sebuah kebijakan luar negeri.
Keempat faktor penyebab perubahan kebijakan luar negeri di atas dapat bekerja sendiri-sendiri maupun bersamaan. Dalam kasus Cina ini, peneliti melihat adanya faktor kejutan eksternal dan restrukturisasi domestik yang mendorong pemerintah untuk  melakukan perubahan kebijakan luar negeri yang lebih peduli pada HAM seperti terbentuknya beberapa undang-undang yang membahas tentang penegakan HAM dan pemberian sanksi atas pelanggaran yang terjadi. Selain itu pemerintah juga mulai aktif mengikuti berbagai konferensi HAM internasional setelah mendapatkan tekanan dari dalam negeri seperti perjuangan rakyat secara umum maupun para aktivis HAM. Ditambah lagi tekanan internasional oleh media internasional, organisasi internasional seperti Amnesti internasional dan Human Right Watch, serta tekanan dua negara besar seperti Eropa dan Amerika.
Pengambilan keputusan untuk mengubah kebijakan luar negeri terkait HAM selain disebabkan oleh faktor pendorong di atas juga disebabkan oleh faktor penarik yaitu kepentingan nasional kala itu seperti keinginan Cina untuk memperbaiki image pemerintah di depan rakyatnya, maupun image negaranya di depan negara lain karena tekanan yang bertubi-tubi. Di samping itu pengaruh tekanan dari negara-negara besar di atas menjadi pertimbangan dan pilihan yang rasional bagi Cina yang menjalin beberapa kerjasama perdagangan, agar interaksi tersebut tetap berjalan lancar. Konsekuensi dari hal ini adalah munculnya kontradiksi dikemudian hari, seperti yang terjadi pada tahun 2005-2010, dimana data statistik resmi dari Human Right Watch menunjukkan jika pelanggaran HAM semakin meningkat karena perubahan yang terjadi tidak benar-benar disertai komitmen yang kuat dan itikad yang baik dari pemerintah untuk menegakkan HAM dan melindungi hak-hak dari rakyatnya. Dari kedua faktor di atas peneliti menilai faktor penarik lebih kuat, dimana kepentingan nasional menjadi pemicu utama perubahan yang terjadi, sehingga saat faktor tersebut sudah tidak berlaku maka komitmen pemerintah untuk menegakkan HAM menjadi terabaikan. Beberapa data tambahan akan peneliti tambahkan dalam bab pembahasan.
1.4. 2.4 Pendekatan Sistem
            Kebijakan luar negeri Cina yang sudah diambil dan menunjukkan perubahan dari sebelumnya sampai akhirnya menimbulkan kontradiksi merupakan salah satu bagian dari sistem politik Cina. Oleh karena itu, untuk mengkajinya perlu juga memahami kehidupan politik negara tersebut. Dalam hal ini, David Easton mengenalkan pendekatan sistem sebagai instrumen untuk memahami kehidupan politik suatu negara. Menurut Easton, sistem politik merupakan sistem  interaksi  dalam  tiap  masyarakat. Di dalamnya, alokasi yang mengikat atau mengandung otoritas dibuat dan diimplementasikan (Easton, 2001).
Sebagai sistem, kehidupan politik merupakan aktivitas yang saling berkaitan yang mempunyai empat karakteristik utama (Easton, 1996). Pertama, ciri khas yang membedakannya dengan sistem sosial lain, yaitu unit-unit sistem politik dan batas-batas. Unit-unit itu tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan untuk bekerja menjalankan suatu sistem yang memiliki batas. Batas itu ditentukan oleh semua tindakan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Kedua, masukan dan keluaran. Keberlangsungan sistem politik bertumpu pada adanya masukan yang terus-menerus mengalir. Masukan itu kemudian dikonversi hingga menghasilkan keluaran berupa keputusan yang mengikat. Tanpa masukan, sistem tidak akan dapat bekerja dan tanpa keluaran, tidak akan diketahui pekerjaan yang telah diselesaikan sistem.
Ketiga, sistem politik mengandung diferensiasi. Secara empiris, tidak mungkin menemukan unit-unit yang sama melakukan semua aktivitas politik yang sama pada waktu yang sama pula apalagi dalam waktu yang terbatas. Keempat, sistem politik adalah suatu kesatuan yang terintegrasi. Diferensiasi struktural memiliki potensi untuk memecah belah sistem politik. Untuk mencegah hal itu, integrasi sistem menjadi faktor penting. Sistem yang terstruktur harus memiliki mekanisme yang dapat mengintegrasikan atau memaksa anggota-anggotanya untuk bekerja sama sehingga mereka dapat membuat keputusan-keputusan yang mengikat.
            Dalam sistem ada beragam masukan yang  lantas dikonversikan oleh proses sistem politik menjadi keluaran yang selanjutnya mempunyai pengaruh pada sistem itu sendiri dan juga pada lingkungan tempat keberadaan sistem itu. Masukan sistem politik dapat dibagi dua, yaitu masukan tuntutan dan masukan dukungan. Adanya tuntutan dari seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat merupakan alasan mengapa orang melibatkan diri dalam kehidupan politik. Apabila tuntutan-tuntutan itu disalurkan dengan suatu usaha yang terorganisasi, maka tuntutan itu telah menjadi masukan bagi sistem politik. Tuntutan timbul dari dua wilayah, yaitu internal dan eksternal (Easton, 1996).
Tuntutan internal merupakan masukan yang timbul dan berasal dari dinamika yang terjadi dalam sistem politik. Sedangkan tuntutan eksternal muncul dari luar sistem politik. Menurut Easton, masukan tuntutan tidak cukup untuk membuat sistem politik berjalan karena sistem politik juga membutuhkan masukan dukungan. Tanpa adanya dukungan, tuntutan akan sulit terpenuhi. Masukan dukungan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dukungan yang dinyatakan secara terbuka berupa tindakan mendukung tujuan, kepentingan, dan tindakan orang lain dan dukungan yang dinyatakan dalam bentuk sikap atau suasana pikiran (Easton, 1996).
            Tuntutan dan dukungan yang dimasukkan ke dalam sistem politik kemudian menjalani proses konversi yang pada akhirnya menghasilkan keluaran berupa keputusan atau kebijakan. Keluaran tersebut mengumpan balik  kepada sistem dan membentuk perilaku berikutnya. Oleh Easton, proses paska dihasilkannya keluaran ini disebut mekanisme timbal balik, yang memungkinkan suatu keluaran direspon balik oleh anggota sistem dan dikembalikan lagi ke dalam sistem sebagai masukan.
            Gabriel A. Almond melengkapi pendekatan yang dikemukakan Easton dengan memaparkan empat fungsi masukan. Pertama, sosialisasi dan rekrutmen politik adalah proses pemasyarakatan aktivitas politik dan perekrutan individu untuk terlibat dalam proses politik. Kedua, pengajuan kepentingan ialah proses berlangsungnya individu atau kelompok masyarakat dalam mengajukan tuntutan terhadap para pembuat keputusan politik. Ketiga, pengelompokan kepentingan merupakan proses penampungan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat untuk kemudian dirumuskan dalam berbagai alternatif kebijaksanaan. Keempat, komunikasi politik ialah proses penyampaian pesan atau informasi dari satu pihak kepada pihak lain melalui sarana atau media tertentu (Almond, 1960).
Almond juga menguraikan empat proses politik dalam pengambilan keputusan. Pertama, proses politik diawali dengan artikulasi kepentingan. Dalam proses ini, kepentingan-kepentingan yang diajukan unit-unit sistem politik dikombinasikan dengan alternatif-alternatif kebijakan untuk diarahkan pada proses kedua, yakni agregasi kepentingan. Di sini, berbagai kepentingan dikelompokkan dengan mempertimbangkan sejumlah alternatif kebijakan. Setelah itu, pembuatan kebijakan dapat dijalankan. Kebijakan yang telah diputuskan lalu diimplementasikan dan memungkinkan terjadinya proses adjudikasi (Almond dan Powell, 1980).
            Dalam penelitian ini, anggota sistem yang mengajukan kepentingan adala para aktivis HAM dengan dukungan dari rakyat Cina juga. Para aktivis HAM berjuang dengan tulisannya maupun keberaniannya dalam mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi kepada media internasional maupun kritikannya secara langsung kepada pemerintah. Dengan menggunakan pendekatan sistem, dapat dianalisis gerak operasional para aktivis HAM ini dalam mengajukan tuntutan kepada para pengambil keputusan. Tuntutan apa yang diajukan dan bagaimana cara mengajukannya serta siapa yang mendukung tuntutan itu dapat dijelaskan dengan pendekatan ini. Pendekatan sistem juga dapat mengilustrasikan perjalanan proses politik dalam perumusan kebijakan luar negeri Cina mulai dari pembentukan artikulasi kepentingan, pelaksanaan agregasi kepentingan, penentuan pembuatan kebijakan, hingga realisasi kebijakan yang pada akhirnya menimbulkan kontradiksi akibat meningkatnya pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 2005-2010. Tuntutan dari para aktivis HAM yang mendapat dukungan dari tekanan internasional maupun motif kepentingan nasional dari pemerintah Cina sendiri, dapat dieksplanasikan dengan pendekatan sistem yang dikenalkan oleh Easton dan diperkuat oleh Almond ini.

1.5 Hipotesis
Dengan memahami latar belakang masalah dan kerangka pemikiran yang dipakai, dapat ditemukan jawaban bahwa semua alasan yang dikemukakan di atas memiliki pengaruh yang saling terkait  terhadap kontradiksi perubahan kebijakan luar negeri Cina terkait HAM pada tahun 2005-2010, dengan prioritas sebagai berikut:
Pertama, dalam kasus Cina ini peneliti melihat alur dimana dengan adanya keterbukaan informasi dan ekonomi pada era Deng Xiaoping akhirnya membuat paham liberal dengan agendanya yaitu HAM masuk ke Cina dan memunculkan aktivis HAM. Para aktivis tersebut kemudian berjuang mengonstruksikan HAM melalui berbagai cara ssuai dengan latar belakang pekerjaan masing-masing. Ada yang berupa tulisan, kritikan langsung pada pemerintah, sampai pemberian keterangan pada berbagai media, meskipun banyak dari mereka yang ditangkap dan disiksa. Keterbukaan informasi tersebut juga diiringi dengan tekanan dari media internasional yang meliput berbagai pelanggaran yang terjadi sehingga menarik simpati internasional dari rakyat Cina sendiri maupun berbagai organisasi HAM internasional. Sinergi antara keduanya, peneliti kategorikan sebagai faktor pendorong terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Cina yang lebih peduli dan mengakui konsep HAM pada tahun 1990-an yaitu saat Jiang Zemin menjabat sebagai presiden dan Deng Xiaoping menjadi pemimpin secara de facto. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh factor penarik di bawah ini yang sekaligus merupakan factor dominan yang bisa menjawab mengapa kontradiksi perubahan kebijakan luar negeri terkait HAM ini mengalami kenaikan pelangggaran HAM di tahun 2005-2010 saat Hu Jintao menjabat. Pergantian pemerintah ini memang memiliki pengaruh dalam pengambilan kebijakan maupun pengimplementasian kebijakan, namun idiosinkretik pemimpin di sini tidak berpengaruh terlalu besar karena pada periode kepemimpinan Hujintao yang pertama sebelum tahun 2005 jumlah pelanggaran belum menunjukkan kenaikan yang berarti.
Kedua, adanya faktor penarik berupa pertimbangan kepentingan nasional Cina yaitu untuk menjaga image pemerintah Cina di depan rakyatnya maupun di depan negara lain karena semakin intensnya tekanan yang muncul. Apalagi di tahun 1990-an Negara-negara Eropa dan AS sempat melakukan pembekuan diplomatik dan urusan kerjasama paska tragedi Tiananmen. Jadi, perubahan kebijakan HAM khususnya yang berhubungan dengan kebijakan luar negerinya lebih disebabkan karena faktor kedua ini, sehingga bisa dipahami bila pemerintah Cina sudah tidak terlalu mempedulikan image-nya lagi, tidak melakukan kerjasama dengan Eropa dan AS ataupun kedua negara tersebut tidak lagi melakukan penekanan atas pelanggaran HAM yang terjadi di Cina maka kontradiksi yang muncul akibat kenaikan jumlah pelanggaran HAM bisa dipahami

I.6. Metodologi Penelitian
I.6.1. Definisi Konseptual dan Operasional
I.6.1.1 Hak Asasi Manusia (HAM)
            . Definisi dari HAM adalah perlindungan terhadap individu dari putusan yang mengurangi kehidupan, kebebasan, serta kesetaraan perlindungan hukum yang dikenakan oleh pemerintah, individu, atau kelompok (Plano, 1999: 268). Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948 ini dimaksudkan untuk membentuk standar umum semua manusia dan bangsa dalam hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan (Plano, 1999: 303). Sejak pendeklarasiannya di tahun 1948, isu tentang HAM terus hangat dibicarakan sampai sekarang, baik itu oleh akademisi, pers, organisasi pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, maupun para aktivis HAM di level domestik, regional, ataupun internasional. HAM di sini bersifat universal dan  borderless (tanpa batas) dimana yang membahas tentang pentingnya suatu negara menjunjung tinggi HAM sampai perlu diadilinya para pelanggar HAM, bahkan perlunya mengembargo negara yang tidak mempedulikan hak yang paling asasi bagi manusia tersebut. Setiap bangsa di dunia, setiap titik singgung budaya ataupun setiap diskursus mengenai kebebasan dan keadilan, HAM selalu menjadi awal pijakan.
Secara universal, dunia internasional mengakui adanya konsep HAM sesuai pemikiran para pemikir Liberal Barat. Walaupun tidak dapat disangkal, memang sulit menentukan batasan, aturan, dan definisi yang jelas mengenai konsep HAM, bahkan di antara para pemikir Liberal Barat itu sendiri. Seperti misalnya, para pemikir awal liberal cenderung mengatakan bahwa HAM adalah hal yang harus diterapkan secara universal dalam segala kondisi, yang kemudian mendapat banyak kritik dari para pemikir moral karena dianggap tidak memperhatikan perbedaan nilai moral dan budaya yang ada. Memang benar, HAM tidaklah bisa dipaksakan secara universal dalam segala kondisi, akan tetapi perlu diakui, bahwa ada beberapa hak asasi yang memang harus diakui secara universal. Seperti  yang dikatakan oleh John Locke yang menyebutkan bahwa ada beberapa HAM utama yang tidak dapat dilanggar, yaitu hak untuk hidup, hak kebebasan bersuara, serta hak kepemilikan (Locke, 1960). Senada dengan John Locke, Immanuel Kant mengatakan bahwa HAM adalah instrumen yang bertujuan untuk membantu pencapaian tujuan dan memaksimalkan potensi seorang individu pemilik hak tersebut, bahwa hak bukanlah alat untuk mewujudkan keinginan individu lain, ataupun keinginan kolektif suatu negara (Weatherley, 1999). Sehingga jelaslah di sini bahwa HAM secara universal mengandung pengertian sebagai hak yang dimiliki seorang individu, yang tidak dapat diganggu ataupun dibatasi penerapannya oleh individu lain, maupun oleh entitas besar seperti negara.
Namun untuk kasus di Cina ini pemerintah yang diharapkan menjamin terlaksananya HAM dengan baik di negaranya justru malah terlibat dalam aksi pelanggaran HAM seperti tragedi Tiananmen, penangkapan para aktivis, dan masalah kebijakan satu anak di Cina. Semua hal ini menunjukkan betapa buruknya kualitas HAM di Cina kala itu, di mana setiap individu seperti tidak ada artinya dibandingkan negara. Setiap individu hanya memiliki kewajiban untuk patuh pada negara, dengan tanpa memiliki hak-hak asasi yang seharusnya dimilikinya. Berbagai pelanggaran-pelanggaran HAM di Cina ini disebabkan karena tidak dipahaminya konsep HAM secara universal pada rakyat  maupun pada Pemerintah Cina, karena sebelum tahun 1980-an Cina sangat tertutup. Sehingga pengetahuan satu-satunya rakyat Cina ketika itu hanya berasal dari pemerintah Cina, yang menerapkan ajaran Konfusianisme pada seluruh rakyatnya. Ajaran Konfusianisme ini tidak mengenal adanya konsep hak, yang ada hanya konsep kewajiban berdasarkan status sosial seseorang. Hal ini dikarenakan Konfusianisme merupakan ajaran yang berbasis sistem moral in equality, ajaran yang melihat kedudukan manusia dari status sosialnya dalam masyarakat (Koo, 1974). Seperti misalnya, beberapa status sosial seperti pemerintah, bapak, dan suami dikatakan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding status rakyat, anak, dan istri. Hal ini berakibat sering terjadinya pelanggaran HAM di Cina pada status yang dianggap memiliki kedudukan sosial lebih rendah tersebut.
Berbeda dengan ajaran Liberal Barat, ajaran Konfusianisme tidak menyebutkan adanya korelatif antara hak dan kewajiban (yaitu bahwa dalam setiap hak yang dimiliki ada kewajiban yang harus dilakukan). Ajaran Konfusianisme juga menekankan pada pentingnya unsur kolektif dibanding unsur individu, karena dengan memenuhi kepentingan masyarakat maka dengan sendirinya kepentingan setiap individuyang menjadi unsur dari masyarakatakan terpenuhi (Social Science Journal). Oleh karena itu, yang terjadi adalah rakyat Cina tidak memahami hak-hak yang sebenarnya mereka miliki sehingga mereka tidak melawan ketika disiksa oleh pemerintah. Bahkan menurut salah satu intelek Cina, sense of rights yang dimiliki rakyat Cina adalah yang terlemah dibanding penduduk di negara-negara lain (Chang, 1971). Di sinilah peran para aktivis HAM Cina sangat penting, karena merekalah yang menyadarkan masyarakat dan Pemerintah Cina tentang konsep dan nilai-nilai HAM secara universal. Kepada rakyat dengan tujuan utama mengenalkan konsep dan nilai-nilai HAM secara universal agar masyarakat paham dan mengerti akan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan dan pada pemerintah Cina dengan tujuan agar dapat mulai menghargai dan lantas mengakomodasi hak-hak rakyatnya, bukan hanya menuntut rakyat Cina untuk melaksanakan kewajibannya saja.
I.6.1.2 Perubahan Kebijakan Luar Negeri Cina
            Perubahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran. Sedangkan kebijakan luar negeri adalah strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai kepentingan nasional (Plano, 1999: 5). Kebijakan luar negeri mencakup proses dinamis dari penerapan pemaknaan kepentingan nasional yang relatif tetap terhadap faktor situasional yang sangat fluktuatif di lingkungan internasional dengan maksud untuk mengembangkan suatu cara tindakan yang diikuti oleh upaya untuk mencapai pelaksanaan diplomasi sesuai dengan panduan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Secara operasional perubahan kebijakan luar negeri Cina ini tak lepas dari pemahaman konsep HAM di dalam negerinya, dimana perubahan tersebut membuat rakyat dan pemerintah sadar akan hak yang paling mendasar yang dimiliki manusia. Motif atau alasan dibalik perubahan kebijakan tersebut terjadi karena peran faktor penarik dan pendorong yang telah peneliti sebutkan di atas, yaitu peran dan tuntutan aktivis HAM, tekanan internasional dan pertimbangan kepentingan nasional dari pemerintah Cina. Perubahan yang terjadi terlihat jelas pada tahun 1990-an hingga saat ini, mulai dari pembuatan undang-undang HAM yang berisi sanksi bagi para pelanggarnya, pelibatan masyarakat dalam edukasi mengenai HAM dan perijinan adanya buku-buku yang membahas tentang HAM untuk di jual di China. Ditambah dengan dikeluarkannya Human Rights White Paper oleh Pemerintah China tahun 1991 sebagai wujud kepeduliannya untuk ikut serta dalam berbagai konferensi dan kerjasama HAM internasional.
I.6.1.3 Kontradiksi
Kontradiksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertentangan antara dua hal yang saling bertentangan atau berlawanan. Sedangkan menurut Grolier Webster International Dictionary kontradiksi berarti tingkah atau perilaku kontradiktif, penolakan pada sesuatu yang dibandingkan; berkurangnya keharmonian antar elemen. Operasionalisasinya, kontradiksi yang terjadi paska perubahan kebijakan luar negeri Cina tahun 2005-2010, terlihat dari lonjakan jumlah pelanggaran HAM khusunya di tahun 2009 sebanyak 20 %. Padahal perubahan kebijakan luar negeri Cina seharusnya disertai komitmen permanen untuk menegakkan HAM dan melindungi hak dari rakyatnya bukannya justru membiarkan dan menjadi ”dalang” dari pelanggaran yang terjadi. Kontradiksi ini muncul karena perubahan kebijakan tersebut tidak berasal dari pemerintah sendiri namun tuntutan dari akar rumput dan negara lain. Pemerintah melihat konsekuensi jika tuntutan dan tekanan tersebut tidak dikabulkan nantinya akan berakibat mengganggu keentingan nasional yang ingin di capai, menghambat pelaksanaan kebijakan luar negeri yang lain, dan kerjasamanya dengan negara lain, sehingga kontradiksi ini menjadi suatu realita yang tak terelakkan. 
I.6.2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah eksplanatif, yakni menganalisis dan menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun, 1989). Variabel yang dijelaskan adalah hubungan antara kontradiksi dengan perubahan kebijakanluar negeri Cina tahun 2005-2010.
I.6.3. Jangkauan Penelitian
Pembahasan penelitian ini terbatas pada kebijakan luar negeri Cina terkait HAM pada tahun 2005-2010. Pada rentang tahun tersebut, lebih tepatnya di tahun 2009 terdapat lonjakan pelanggaran HAM. Padahal di tahun 19990-an Cina sudah mengeluarkan kebijakan luar negerinya yang terkait HAM yang dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam konferensi dan kerjasama internasional. Rentang tahun tersebut juga sengaja peneliti ambil untuk membandingkan pemerintahan Hu Jintao di periode pertama dan keduanya menjabat yaitu sampai saat ini sekaligus juga untuk membandingkannya dengan Presiden Cina sebelumnya yaitu Hu Jintao. Dari sini peneliti ingin menjelaskan jika pelanggaran HAM dan kontradiksi yang terjadi ini tidak berhubungan langsung dengan idiosinkretik pemimpin yang sempat mengalami pergantian tapi lebih disebabkan karena faktor domestik dan internasional yang dihadapi kedua pemimpin itu yang berbeda. Baik tekanan dari para aktivis HAM, media, dan organisasi internasional maupun kepentingan nasional pemerintah. 


I.6.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan teknik studi kepustakaan (Suyanto & Sutinah 2004). Data yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan ini adalah data sekunder yakni data-data tertulis yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel dan situs internet. 
I.6.5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif dan kuantitatif, ada yang berupa kata dan angka (Silalahi, 2006: 311).
I.6.6. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terbagi dalam empat bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
·         BAB I merupakan metodologi penulisan penelitian yang tersusun atas latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran yang terdiri dari landasan teoritik, hipotesis, metodologi penelitian yang terdiri dari definisi konseptual dan definisi operasional, tipe penelitian, jangkauan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data serta sistematika penulisan.
·         BAB II merupakan pemaparan beserta penyajian data tentang mengenai konsep HAM dan Konfusianisme di Cina beserta pemerintah yang menjabat saat itu dan perbandingannya di saat sekarang. Disamping itu juga berisi deskripsi mengenai aktivis HAM dan korelasinya dengan tekanan internasional yang muncul.
·         BAB III berisi analisis data beserta beberapa bukti penguat yang disampaikan oleh para pakar mengenai alur kontradiksi perubahan kebijakan luar negeri Cina terkait masalah HAM dan  dampaknya di dalam serta di luar negeri
·         BAB IV. Berisi kesimpulan dan saran berdasarkan analisis yang telah disampaikan pada kedua bab sebelumnya. Pada bab terakhir ini, penulis akan memberikan kesimpulan apakah hipotesis yang diajukan pada bab pertama terbukti.


REFERENSI
Internet
Anonim. 2009. Tank Itu Melindas Banyak Orang. Diakses dari http://internasional.kompas.com pada 26 September 2010
Anonim. 2010. Aktivis China dibebaskan diakses dari http://internasional.kompas.com pada 25 September 2010
Anonim. 2010. Cina dan Kebijakan satu anak diakses dari http://bataviase.co.id pada 25 September 2010
Anonim. Parlemen Eropa Mengutuk Pelanggaran HAM China pada Dengar pendapat umum diakses dari http://clearwisdom pada 25 September 2010

Anonim. Penangkapan Aktivis HAM di Cina Meningkat. 2005. diakses dari   http://www.infoanda.com pada 4 September 2010
Erika. 2009. Peran Pemikir Cina Liberal dalam Mengkonstruk Konsep dan Nilai Hak
Asasi Manusia di Cina, serta Hubungannya dengan Kebijakan Luar
Negeri Cina Terkait Masalah Hak Asasi Manusia
diakses dari www.scribd.com pada 4 September 2010
Feuerberg, Gary.2010. Hukuman Berat bagi Para Aktivis HAM China. Diakses melalui http://erabaru.net pada 25 September 2010
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/fp.html
Yu, Shi. 2008. Olimpiade Dibarter Dengan HAM, Gagal Total. Diakses dari http://www.epochtimes.com pada 26 September 2010

Buku

 Adler, Emanuel. “Constructivism and International Relations”, dalam Walter Carlsnaes, et.all(ed.), 2002. Handbook of International Relations. London: Sage Publications hal. 102.
Almond, Gabriel A. “Introduction,” dalam Gabriel A. Almond dan James S. Coleman. 1960. The Politics of Developing Areas New York: Princeton University Press, hal. 3-64
Anonim. 1985. Kumpulan Selingan MBM TEMPO, China Semiliyar Wajah, Pustaka Azet press hal.7
Barnett, Michael. “Social Constructivism” dalam Baylis dan Smith (ed.). 2001. Globalization of World Politics. New York: Oxford University Press hal. 266.
Burchill, Scott dkk. 2001. Theories of International Relations. New York: Palgrave hal. 217
Buyun, Li. 1991. “On The Three Types of Human Rights” dalam Faxue Yanjiu (Studies in Law) hal. 14.
Chang, Hao. 1971. Liang Chi-Chao and the Intellectual Transition in Cina: 1890-1907. Cambridge, Mass: Harvard University Press hal. 195.
Depei, Han. 1995. Renquan de Lilun yu Shijian (The Theory and Practise of Human Rights). Wuhan: Wuhan University Publishing House hal. 353
Easton, David, The Political System: An Inquiry into the State of Political Science New York: Alfred A. Knopf, 1953 hal. 50, seperti dikutip oleh S.P. Varma. 2001. Teori Politik Modern Jakarta: Raja Grafindo Persada hal. 275.
Easton, David. “Analisis Sistem Politik,” dalam Roy C. Macridis dan Bernard E. Brown (ed.), 1996. Perbandingan Politik, terj. Jakarta: Erlangga hal 36-39.
Fearon, James dan Alexander Wendt. “Rationalism v. Constructivism: A Skeptical View” dalam Walter Carlsnaes,et.al (ed). 2002.  Handbook of International Relations. London: Sage Publications hal. 57.
Jiafu, Wang dkk. 1989. “On the Reform of the Legal System” dalam Faxue Yanjiu (Studies in Law) hal. 8
Koo, Y. C dkk. 1974. Chinese Philosophy Vol. I Confucianism and Other Schools. Taiwan: Cina Academy hal.10
Locke, John. 1960. Two Treaties of Government. Cambridge: Cambridge University Press hal. 289.
Morgan, Patrick. 1982Theories and Approaches to International Politics: What Are We Think? New Brunswick: Transaction
Plano, Jack C. dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, terj. Wawan Juanda. 1999. Jakarta: Putra A. Bardin hal. 5, 268, dan 303
Senger, Harro von. 1993.  “Chinese Culture and Human Rights” dalam W. Schmale (ed.), Human Rights and CulturalDiversity. Goldbach: Keip Publishing hal. 318.
Silalahi, Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: unpa Press hal. 311
Singarimbun, Masri. “Metode dalam Proses Penelitian” dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (ed.). 1989. Metode Penelitian Survei, Edisi Revisi Jakarta: LP3ES  hal. 5.
Snyder, Richard, C.W. Bruck, dan Burton Sapin, “Decision Making as an Approach to Study International Politics,” dalam Richard Snyder et al. 1962. Foreign Policy Decision Making: an Approach to Study International Politics. New York: The Free Press hal. 65 seperti dikutip oleh Dougherty, James F. dan Robert L. Platzgaff. 1996. Contending Theories of International Relations, A Comprehensive Survey. New York: Simon and Schuster hal. 458.
Suyanto, Bagong dan Sutinah (eds). 2004. Metode Penelitian Sosial ; Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta : Prenada Media Group.
 Weatherley, Robert. 1999. The Discourse of Human Right in Cina, Historical and Ideological Perspective. London: Macmillan Press hal. 18.
Wenxian, Zhang. On the Subject of Human Rights and the Human Rights of the Subject)” dalam Zhongguo Faxue edisi Mei 1991, hal. 26.
Wenxiang, Gong. The Legacy of Confucian Culture in Maoist Cina dalam Social Science Journal, hal. 372
Zehfuss, Maja. 2002. Constructivism in internastional relations, the politics of reality. Cambridge : Cambridge University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar