Jumat, 01 Oktober 2010

PROBLEMATIKA POLITIK DAN MILITER DI PASIFIK SELATAN


            Kepulauan Pasifik terdiri dari sepuluh bangsa yang independent yaitu Fiji, Kiribati, Nauru, Selansia Baru, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvulu, Vanuatu dan Samoa. Nilai strategis kawasan Pasifik ini, terutama bagian selatan mulai mendapat perhatian dari beberapa negara dalam perpolitikan regional dan internasional sejak dekade 1980an. Oleh karena itu maka para pemimpinya mulai hirau dan mengikuti berbagai perkembangan isu mutakhir yang terjadi, termasuk perkembangan dalam negerinya sebagai sebuah negara.
Kawasan yang dulunya dikenal sebagai lautan teduh dengan kondisi yang damai dan stabil ini mulai mengalami banyak gejolak internal, seperti kudeta militer di Fiji yang dilakukan oleh Letnan Kolonel Sitiveni Rabuka dengan alasan untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih besar antara dua kelompok ras utama, yaitu anak negeri Fiji dan keturunan India; pemberontakan Bougainville di Papua New Guinea (PNG) akibat eksploitasi bahan tambang oleh Australia yang menyebabkan degradasi lingkungan dan kerugian yang di derita warga Bougainville dari segi ekonomi khususnya; percobaan kudeta di Vanuatu;  pembunuhan pemimpin Kanak di Kaledonia Baru; serta uji coba nuklir Perancis yang kembali dilakukan pada tahun  1995 di Pulau Atol Mururoa, Polinesia Perancis, untuk mendapatkan pengakuan citra negara kuat di mata negara lain.  Masalah dalam negeri di tiap negara ini disadari atau tidak pasti mempengaruhi politik luar negeri masing-masing negara, bahkan bisa saja malah berdampak pada negara tetangganya di lingkup intra regional dan negara yang menjalin kerjasama dengannya (Hamid, 1996).
            Dari berbagai isu yang telah disebutkan di atas,  penulis mengambil isu yang lebih spesifik yaitu peberontakan Bougainville di PNG dan akan memberikan penjelasan sedetail mungkin dengan disertai analisa dari berbagai sumber dengan ditambah dengan pendapat pribadi penulis.
Gambaran Kondisi Perpolitikan di Papua New Guinea
Jumlah penduduk PNG diperkirakan berjumlah sekitar 3,9 juta jiwa yang terdiri atas ratusan suku primitif. Elitenya memperoleh pendidikan Australia-Anglosakson. Sejak merdeka PNG mempraktikkan sistem politik demokrasi parlementer ala Westminster, tetapi dengan diadaptasikan dengan budaya setempat (http://www.gatra.com). Tentara dan polisi tunduk pada sipil. Sistem kepartaiannya meniru Australia-Anglosakson, dengan adanya partai oposisi yang dapat mengganti partai berkuasa. Ada kalanya terbentuk pula kabinet koalisi. Partai-partai politik PNG berkembang diantara tokoh-tokoh  perorangan dan suku-suku,dan tidak berdasarkan ideologi tertentu.
Sistem pendidikannya cukup maju. Di ibu kota Port Moresby ada sebuah universitas dengan berbagai fakultas tapi sayangnya kemajuan ini belum bisa dinikmati oleh mayoritas rakyat PNG yang berada dikalangan menengah ke bawah. Perekonomiannya juga cukup maju, dengan tembaga, emas, kopi, kopra dan berbagai hasil hutan lainnya yang dihasilkan. Tetapi primadona penghasilannya ialah tembaga, yang terutama dihasilkan di kepulauan Bougainville, Papua Nugini. PNG yang berbatasan dengan Propinsi Irian Jaya, kini mengalami gejolak luar biasa. Ada yang mengatakan krisis politik dan militer ini paling buruk setelah memperoleh kemerdekaannya 22 tahun lalu.
            Bila ditilik dari segi sejarah, separatisme Bougainville bermula pada bulan November 1988 dan mulai mengarah pada kekerasan fisik pada awal tahun 1989. Hal ini disebabkan karena kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perusahaan Bougainville Copper Limited (BCL), sehingga Prancis Ona yang memiliki latar belakang sebagai pemilik tanah di daerah penambangan Panguna, mantan surveyor di perusahaan tersebut dan cukup terpelajar dikalangannya, mulai menyadari kerugian yang dialaminya. Akhirnya Ona menuntut ganti rugi sebesar 10 milyar Kina dan bila tuntutan ini tidak diakomodasi maka para pemberontak lebih memilih memisahkan diri dari PNG.
Realitanya perjuangan para pemberontak ini benar-benar tidak mendapatkan perhatian baik oleh pihak BCL maupun PNG, sehingga tindak kekerasan pun tidak dapat dihindari, yang akhirnya malah menimbulkan permasalahan baru yaitu kerusuhan etnis karena yang menjadi korbannya justru para pekerja tambang bukan para pemilik perusahaan. Pihak kepolisian pun menjadi ikut ambil bagian untuk menyelesaikan masalah ini, karena keberadaan Ona yang merupakan inisiator justru malah dilindungi oleh para simpatisannya, selain itu mereka juga memiliki keberanian untuk melakukan sabotase terhadap fasilitas pemerintah dan menyerang beberapa posisi militer.
            Begitu banyak kerugian yang dialami oleh pemerintah diperkirakan sekitar jutaan dolar Australia yang meliputi fasilitas serta perlengkapan milik pemerintah di wilayah bougainville, pendudukan pos polisi dan perampasan senjata dan banyak korban jiwa, data ini dilaporkan beberapa surat kabar setempat dan belum ada keterangan resmi dari pemerintah (Hamid, 1996)..
            Ketidakefektivan penyelesaian secara militer membuat masalah ini semakin berlarut-larut sampai tahun 1991, bahkan dalam surat yang dibuat Ona kepada para politisi PNG menyatakan bahwa Bougainville merupakan Republik yang terpisah dari PNG dan menamakan kelompoknya Bougainville Revolutionary Army (BRA). Demi keamanan bersama maa pemerintah menutup pertambangan untuk sementara waktu.
            Sebenarnya di tahun 1975 dan 1984, separatisme bougainville sudah ada meskipun tidak memiliki hubungan dengan gerakan yang dipimpin Ona. Namun, motif keduanya sama yaitu masalah kepentingan ekonomi (Adityabrata, 1992). Lebih spesifiknya adalah kepentingan ekonomi pemerintah yang sangat besar ternyata mengabaikan kepentingan masyarakat setempat, karena pada dasarnya provinsi ini kaya akan bahan tambang. Namun, penduduk Bougainville sendiri yang memiliki tanah hanya menerima uang sewa, sedikit sekali yang direkrut  sebagai tenaga kerja. Para tenaga ahli didatangkan dari Australia dan buruh tambangnya mayoritas dari Australia juga dan Provinsi New Britain Timur. Keuntungan terbesarnya tentu saja dimiliki oleh perusahaan BCL selaku pengeksploitasi yang pusatnya berada di Australia. Dari segi presentase keuntungan pemerintah, didapatkan data sebesar 45% yang merupakan jumlah ekspor dari PNG dan 20% merupakan hasil devisanya.
            Sebenarnya permasalahan di atas tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh banyak negara berkembang lainnya, bila meminjam teorinya Karl Marx yaitu dependensi, terlihat jelas bagaimana eksploitasi besar-besaran oleh negara maju berlaku di sini dan negara berkembang menjadi budak di negara sendiri akibat ketidakberdayaannya dalam mengolah sumber daya alam yang mereka miliki. Jadi, sebenarnya yang dilakukan oleh Ona dan pengikutnya bisa dibenarkan. Hanya caranya saja yang salah, semestinya tidak menempuh jalur kekerasan namun dengan cara negosiasi dengan pemilik dari perusahaan BCL karena Ona cukup terpelajar sehingga tahu bagaiman prosedur negosiasi itu dilakukan, dan pemerintah setempat pun semestinya bersedia menjadi mediator dalam konflik tersebut, bukan malah memanfaatkan rakyatnya yang lemah dengan mengatasnamakan negara. Bagaimanapun negara ada untuk melindungi warga negaranya dan kekayaannya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.
            Dibalik kepentingan ekonomi, pemerintah Australia melihat bahwa gejolak yang terjadi tentu saja membahayakan penanaman pengaruh yang selama ini terjadi. Bila terus dibiarkan maka tidak dipungkiri bila kekuatan asing lain ingin memanfaatkan kekisruhan tersebut, sebut saja Amerika Serikat (AS). Isu ini sengaja dikembangkan oleh lawan politik dari PM Namaliu yang tidak setuju dengan rencananya untuk membuka keduataan AS di Port Moresby ( Hamid, 1994). Isu lain yang beredar adalah kaum militan yang dipimpin Ona mendapat latihan militer dan dukungan dana serta logistik dari Libya. Memang hal ini belum dapat dibuktikan, namun kenyataannya mereka memang memiliki bukan hanya keberanian melawan pemerintah namun juga kemampuan yang setara dengan anggota militer.
Kaitan antara Kondisi PNG – Kapabilitas negara
            Australia berencana membantu mengatasi keadaan di Bougainville karena tidak mau melepaskan aspek strategis yang didapatnya dari wilayah ini, melalui pengiriman bantuan keuangan dan obat-obatan saat berbagai teror dilancarkan oleh BRA terjadi (Henry, 1989) dan beberapa helikopter untuk mengevakuasi tentara PNG dan warga negara Australia yang terluka.  Meskipun menolak terlibat secara langsung, namun Menteri Luar Negeri Australia, Gareth Evans, menyatakan bahwa akan membantu bila ada permohonan dari negara-negara sahabat dalam artian negara-negara yang menjadi korban eksploitasi.
            Pada tahun 1990, pemerintah PNG yang telah berganti kepemimpinan di bawah PM Julius Chan menempuh cara lain yaitu memblokade penyediaan pelayanan dan transportasi terhadap Bougainville setelah menarik mundur seluruh militer PNG dan dan mengevakuasi para karyawan dan buruh Bougainville. Meskipun efektif namun cara ini menunjukkan betapa tidak biijaknya pemerintahan dari PNG sendiri karena sebagai dampaknya 10.000 penduduk Bougainville meninggal dunia akibat bahaya kelaparan dan munculnya berbagai wabah penyakit yang tidak bisa dihindari. Terlebih setelah pemerintahan ini juga mendatangkan bantuan 70 tentara bayaran dari Afrika Selatan, melalui perusahaan Inggris Sandline International dengan biaya 36 juta dolar AS. Secara resmi, tentara bayaran ini dinamakan ”penasihat militer”. Namun tugas sebenarnya ialah menghancurkan tentara separatis di Bougenville. Untuk itu, tentara bayaran itu akan diperkuat pula dengan persenjataan lengkap, termasuk helikopter, dan roket. Pemerintahan melakukan ini semua karena salah satu sumber pendapatan ekonomi mereka adalah didapat dari pertambangan mineral seperti tembaga yang dihasilkan di Bougenville (http://www.gatra.com).
Konflik ini tidak hanya membara di parlemen, tetapi menjalar juga ke luar parlemen. Semula PM Julius Chan tidak mau tunduk pada tuntutan tentara dan rakyat banyak. Dia mengandalkan pada dukungan polisi dan parlemen. Namun Bougainville di bawah pimpinan pemimpinnya, Francis Ona, memilih bertahan dari Jenderal Jerry Singirok, Pemimpin Tentara PNG. Ia menuntut PM Julius Chan mundur karena kebijakan yang dibuatnya. Sebaliknya PM justru malah memecat Jenderal Singirok. Tetapi akhirnya dia bersama dengan beberapa menteri lainnya, mengundurkan diri. Kabinet telah menunjuk sebagai pejabat PM, John Giheno, salah seorang menteri lain. Pejabat PM baru ini menyatakan keyakinannya, bahwa tentara PNG akan tetap setia pada konstitusi PNG, yaitu mengakui supremasinya pemerintahan sipil yang baru ini. Dengan begini diharapkan, bahwa watak civil society dari PNG dapat dipertahankan terus, dipelihara dan dibina sebaik-baiknya.
Kepedulian Ona akhirnya tidak sia-sia dan membuahkan inisiatif penyelesaian secara damai dengan pihak pemerintah, meskipun ia tetap menolak kehadiran militer untuk kembali ke Bougainville (http://www.gatra.com). Semestinya Institusi internasional seperti PBB tidak membiarkan pelanggaran HAM seperti ini terjadi, dan harus diintervensi dan dikenai sanksi yang tegas untuk mencegah akibat yang lebih fatal yaitu genosida. Penyelesaian masalah ini menurut penulis bisa dilakukan dengan cara lain yaitu dengan menasionalisasi perusahaan yang sekiranya merugikan negara seperti yang dilakukan oleh Kuba. Selanjutnya peningkatan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan pendidikan warganya agar untuk ke depannya tidak lagi dibodohi oleh negara asing dan dijadikan tenaga kerja tingkat rendah. Berdasarkan info dari Gatra tahun 2005 yang lalu, Francis Ona, tokoh separatis di Bugenvil yang memimpin pemberontakan untuk memerdekakannya dari Papua Nugini, telah meninggal dunia pada usia di 50 tahun, meninggal dunia hari Minggu di kediamannya di Desa Guava setelah sepekan menderita sakit (http://www.gatra.com). Namun, perjuangan dari masyarakat Bougainville sendiri belum sepenuhnya mereda, walaupun tidak terlalu tampak dipermukaan seperti sebelumnya, bahaya separatime ini akan bersifat laten untuk sementara waktu dan suatu saat akan termanifeskan bila tuntutan mereka atas keadaan yang lebih baik tidak kunjung mereka dapatkan.
Solusi lain yang ditawarkan penulis adalah pertama, untuk sementara ini proses pengolahan hasil tambang dapat dilakukan dengan memanfaatkan bantuan dari negara asing lain seperti AS atau Libya tentu saja dengan proses diplomasi yang menguntungkan kedua belah pihak bila tidak menginginkan separatisme-separatisme lain muncul di negara ini. Kedua, rencana PM Namaliu yang menunda kunjungan untuk menandatangani perjanjian kerjasama pembangunan lima tahun dengan Australia semestinya dibatalkan saja oleh PM yang baru, karena sudah jelas merugikan negara sekaligus rakyatnya. Bila ini benar-banar dilakukan maka Australia pasti akan rugi besar dan  merenegosiasi dan mempertimbangkan ulang kebijakan sebelumnya. Ketiga, pemerintah PNG harus lebih berkonsentrasi pada reformasi birokrasi dan jajaran pemerintahnya yang tidak pro rakyat, karena permasalahan yang mengancam persatuan dan kedaulatan PNG bukan hanya Bouganville saja. Namun juga topografi PNG yang berupa daerah pegunungan sehingga akses komunikasi dan transportasi terhambat dan menyebabkan banyak wilayah terpencil dan belum tersentuh peradaban modern. Hal ini sebenarnya ada bagusnya, yaitu kelestarian alam dan budaya lokal masih terjaga keasliannya, namun kontrol pemerintah dan pengetahuan masyarakatnya rendah sehingga sulit untuk diorganisir.
Masalah kesulitan mengorganisir inilah maka para pemimpin nasional PNG menerapkan sistem desentralisasi melalui pemerintahan propinsi dengan maksud agar rakyat dapat berpartisipasi dalam pemerintahan menurut adat kepemimpinan setempat (terdapat 700 suku dengan berbagai ragam bahasa yang bervariasi sehingga sulit untuk melakukan sentralisasi kepemimpinan). Dengan demikian maka tidak mengherankan bila masalah pemisahan diri berdasarkan suku tertentu juga banyak terjadi, contohnya suku Tolai di kepulauan Gazelle dan Papua Besena (Hamid, 1996). Sikap primordial dan etnosentrisme ini sebenarnya bisa diatasi dengan cara membangkitkan semangat nasionalisme mereka dengan membuat bahasa persatuan misalnya, ataupun belajar dari semboyan negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda namun tetap satu jua. Bagaimanapun proses pendirian sebuah negara baru tidaklah mudah karena komponennya tidak saja rakyat, wilayah dan pemerintahan namun juga kedaulatan, belum lagi kendala permasalahan yang bisa saja terjadi dalam etnis mereka, kemudian ancaman yang berasal dari negara luar, tingginya persaingan antar negara yang terjadi di era globalisasi dalam lingkup internasional, dan sudah cukupkah dana yang mereka miliki untuk mengoperasikan suatu negara, bila aspek yang mereka andalkan hanya bahan tambang saja yang lama-kelamaan bisa habis karena tidak bisa diperbarui dan kalah dengan efisinsi tenaga nuklir yang aman dan canggih (http://www.kompas.com).

Referensi
Albinski, Henry S. Et al. 1989. The South Pasific: Political, Economic, and Military Trends. Washington: Brassey’s Inc. for the  Institute for Foreign Policy Analysis, Special Report
Yudhiarto, Adityabrata. 1992. Dari Bentuk Dominion ke Republik: Keterlibatan Militer dalam Kancah Politik di Fiji Tahun 1987. Jakarta: Skripsi Fisip UI
Zulkifli, Hamid. 1994. Peranan Negara-Negara Besar di Pasifik Selatan. Jakarta: Puslitbang PMB-LIPI.
Zulkifli, Hamid. 1996. Sistem Politik Pasifik Selatan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.         
Penegakan Hak Nuklir Damai Iran dikses melalui http://www2.kompas.com/  pada  4 Oktober 2009
http://www.gatra.com diakses pada 4 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar