Jumat, 01 Oktober 2010

Penelitian Kualitatif dalam Kerangka Pospositivisme

Ilmu, pengetahuan, dan penelitian ada dan dibutuhkan adalah untuk mendapatkan dan mencari kebenaran. Sedangkan kebenaran sendiri merupakan sebuah nilai maka karakteristik dari sumber kebenaran adalah tidak bebas nilai di mana seorang peneliti dalam menyampaikan kebenaran tidak bisa lepas dari tata nilai keyakinan dan intuisi hati nurani yang menyuarakan etika kemanusiaan dan moral, serta nilai-nilai yang digali dari ”relung-relung” kehidupan masyarakat (budaya) dan manfatnya bagi kehidupan umat manusia. Pandangan tersebut merupakan kerangka pemikiran dari pospositivisme, sehingga wajar bila banyak orang yang menyamakan penelitian kualitatif dengan pospositivisme, padahal yang lebih tepat adalah penelitian kualitatif adalah penelitian yang biasanya berlandaskan paradigma pospositivisme yang menentang tentang sebuah kebenaran absolut yang diusung oleh positivisme sebagai sebuah aliran utama saat itu. Pospositivis mempunyai ciri dekonstruktif, relatifis, dan pluralis. Pada pemahaman pospositivisme, kebenaran dilihat dalam wajah yang utuh dan menyuruh dari setiap partikularistik sebuah peristiwa.[1]Namun tidak semua penelitian kualitatif menggunakan paradigma pospositivisme, ada juga yang menggunakan paradigma positivisme yang merupakan arus utama sebelum maupun setelah Perang Dingin berlangsung, meskipun banyak teori kritis dan alternatif yang bermunculan setelahnya.
Dalam penelitian apapun, bukan hanya kualitatif, pemilihan paradigma memang  sangat penting adanya karena berpengaruh pada metode dan prosedur penelitian.[2] Misalnya saja dalam sebuah penelitian sosial, bila peneliti menggunakan paradigma posmodernisme yang merupakan bagian dari teori kritis, maka bukan objektivitas yang dicari namun justru subjektivitas dari peneliti harus mutlak ada dan diperlukan dalam melakukan analisis dari proses dan hasil penelitiannya. Untuk mengeksplorasi sebuah penelitian kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui sebuah permasalahan secara mendetail, dalam penelitian kualitatif yang sifatnya partisipatoris, subjek peneliti justru tidak memiliki jarak dengan objek yang ditelitinya karena mereka terjun langsung ke lapangan dan bergumul dengan manusia sehingga subyektivitas adalah sebuah kewajaran.[3] Jadi tidak ada yang aneh bila ada sebuah kritik yang menyatakan bila penelitian kualitaif yang kita lakukan terlalu subjektif, yang perlu ditekankan adalah kesesuaiannya dengan data di lapangan dan tetap fokus dengan permasalahan yang diteliti.
            Dalam sejarah metodologi penelitian, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang belakangan muncul dibandingkan dengan penelitian kuantitatif. Penelitian jenis ini diperkenalkan oleh para ilmuwan “Mazhab” Chicago di Amerika Serikat sekitar tahun 1920-1930-an. Penelitian kualitatif menitik beratkan pengamatannya kepada suatu fenomena yang dinamis. Jenis penelitian ini mengunakan metode induktif, yaitu menghimpun data dari lapangan kemudian menghubungkannya  dengan teori dan kaidah yang ada sebelumnya karena penelitian ini memang bertujuan untuk mengembangkan teori berbeda dengan penelitian kuantitatif yang menguji kebenaran dari sebuah teori.[4] Disinilah ciri mendasar yang membedakan jenis penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif, karena adakalanya peneliti kualitatif menggunakan data kuantitatif kemudian dideskripsikan, ditafsirkan dan dimaknai dari secara kualitatif. Pada umumnya ini terjadi pada penelitian di jenjang pendidikan S1 yang sifatnya deskriptif kualitatif. Pada saat melakukan proses pengujian validitas dan realibilitasnya beberapa peneliti terkadang melakukan kroscek ulang pada studi kuantitatif yang tujuannya secara umum adalah untuk memperkuat kesahihan temuan-temuan, cara ini disebut dengan logika triangulasi.
Lantas permasalahannya sejauh mana relevansi penelitian kualitatif ini pada studi hubungan internasional paska perang dingin? Menurut penulis, dalam ranah studi Ilmu Hubungan Internasional (HI), penelitian kualitatif mulai menjadi sorotan saat debat gelombang ketiga terjadi yaitu antara kaum postivis dan pos-positivis, konsep seperti wacana, hubungan antara pengetahuan dan kekuatan, intersubjektivitas, dan masalah lain di luar negara mulai bermunculan.  Tulisan-tulisan yang merupakan hasil penelitian dalam kajian HI dewasa ini seringkali menyoroti isu low politic seperti ekonomi, gender, dan lingkungan serta mengaitkannya dengan sistem pemerintahan dan pembuatan kebijakan, wacana tentang kekuasaan dan keanarkian sistem internasional juga belum pernah dipersoalkan sebelumnya. Kedinamisan fenomena yang ada tersebut akan sulit diukur menggunakan pengungkuran angka secara empiris, karena terkait dengan kejadian-kejadian historis sebelumnya. Untuk itulah perlu adanya penjembatanan realitas masa lalu untuk menguak sebuah kebenaran yang dilakukan pada masa setelahnya dalam sebuah teks, bila pelaku sejarah atau saksi yang mengetahui sebuah masalah atau peristiwa tidak ada dan tidak ditemukan, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan sebuah wawancara langsung dengannya.[5]
Untuk mengetahui kebenaran sebuah teks tersebut, baik kemurnian isinya, apakah bersifat denotasi, konotasi ataupun mitologi, kemudian bagaimana tingkat interpretasi dan subjektivitas pembuatnya maka peneliti dapat membandingkan temuannnya tersebut dengan teks atau bukti lain yang ada, baik yang tertulis atau berupa simbol dan peninggalan yang berharga lainnya.[6] Ilmu untuk membaca tanda dalam bahasa dan karya sastra ini disebut dengan semiotik, dimana strukturalisme semiotik mengenal dua cara pembacaan, yaitu heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik mencoba menelaah mencari makna dari kata-kata, dari bagian per bagian. Sedangkan pembacaan hermeneutik mencoba menelaah makna dengan melihat keseluruhan karya sastra. M. Radhi Al-Hafid pernah mengklasifikasikan isi kitab suci umat islam dalam tiga kategori yaitu kisah sejumlah Nabi, kisah para kaum dan kisah sketsa kehidupan.[7]
Dalam melakukan pembacaan tanda atau simbol, ada yang dinamakan penanda dan petanda. Dua konsep linguistik ini dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure yang di dalamnya dinyatakan bahwa bentuk-bentuk bahasa sendiri pada dasarnya bergantung pada sesuatu yang masih abstrak yaitu tanda (sign).[8] Di dalam tanda tersebut, penanda dan petanda saling terkait satu sama lain dimana petanda merupakan bentuk obyek dari tanda dan penanda adalah representasi obyek tersebut yang dijabarkan dengan kata-kata. Keberadaan dua konsep ini dalam metode kualitatif sangat membantu pada proses interpretasi, pemahaman dan pengertian baik atas suatu obyek maupun penerjemahan obyek itu sendiri dalam kata-kata agar dapat diterima oleh seluruh masyarakat di berbagai tataran mengingat perbedaan nilai-nilai yang ada.
Referensi
Gadamer, Hans and George. 1977. Philosophical Hermeneustics. Translated and edited by David E. Linge. Berkeley, University of California Press
Muhadjir, Noeng. 2001 dalam http://www.um-pwr.ac.id/web/index.php? Diakses pada 13 Oktober 2009
Reichadt dan T. Cook. Beyond Qualitative versus Quantitative Methods dalam Chabib Musthofa. Metode Penelitian Kuantitaif. Fakultas Dakwah. Diakses melalui http://chabib.sunan-ampel.ac.id/wp-content/uploads/2008/12/metode-penelitian-kuantitatif-pdf.pdf pada 13 oKTOBER 2009
Suyanto, Bagong dkk. 2004. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Syque. Signifier and Signified in Changing Minds diakses melalui http:// www.changingminds.org  pada 11 Oktober 2009
Wison, Edward O, Concilience, The Unity of KnowlEdge, Alfred A. Knopf, New York, USA, 1998.




[1] Edward O Wison Concilience, The Unity of KnowlEdge, Alfred A. Knopf, New York, USA, 1998.
[2] Bagong Suyanto dkk. 2004. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta

[3] Reichadt dan T. Cook. Beyond Qualitative versus Quantitative Methods dalam Chabib Musthofa. Metode Penelitian Kuantitaif. Fakultas Dakwah. Diakses melalui http://chabib.sunan-ampel.ac.id/wp-content/uploads/2008/12/metode-penelitian-kuantitatif-pdf.pdf pada 13 oKTOBER 2009

[4] Ibid Reichadt
[5] Op cit Reichadt
[6] Hans Gadamer dan George. 1977. Philosophical Hermeneustics. Translated and edited by David E. Linge. Berkeley, University of California Press
[7] Noeng Muhadjir. 2001 dalam http://www.um-pwr.ac.id/web/index.php? Diakses pada 13 Oktober 2009
[8] Syque. Signifier and Signified  dalam Changing Minds diakses melalui http:// www.changingminds.org  pada 11 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar