Jumat, 15 Oktober 2010

KOMPLEKSITAS POSMODERNISME



Posmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme namun sekaligus sebagai kelanjutannya.[1]Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai pandangan hidup  yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berpikir dikotomis, desakralisasi, pragamatisme dan pengingkaran kebenaran metafisika. Selain itu modernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dsb. John Lock menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan adalah inti modernisme. Posmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan, dan umumnya anti-worldview serta ”pendobrak penjara konseptual” saat itu. Namun dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya.
Genealogi Neorealis
            Neorealis merupakan salah satu contoh penjara konseptual yang dimaksud di atas, karena paham ini begitu dominan pada saat Perang Dunia maupun Perang Dingin berlangsung. Kaum posmodernis membuang keraguan dalam kepercayaan modern bahwa ada pengetahuan obyektif atas fenomena sosial serta memandang realis sebagai esensi dari kesalahan intelektual dan kesombongan akademik.[2] Posmodern menolak anggapan tentang realita dan kebenaran yang sudah dari sananya ada, tentang pemikiran bahwa ada pengetahuan yang berlaku absolut tentang dunia manusia dalam artian bisa memahami dan menjelaskan kehidupan manusia dari masa ke masa, padahal seperti yang diketahui kehidupan manusia tidak statis dan berulang namun dinamis dan penuh kemajuan serta perubahan. Jadi pengetahuan yang merupakan buatan manusia berjalan linear dengan perkembangan kehidupan manusia, serta perluasan dan peningkatan pengetahuan tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam hal penguasaan bukan hanya dalam dunia alam tapi juga dunia sosial termasuk hubungan internasional. Hal ini didukung oleh pernyataan Smith tentang segala sesuatu yang melibatkan manusia adalah subyektif, dimana pengatahuan sama sekali tidak kebal dari bekerjanya kekuasaan.[3]Posmodernisme mengusung universalisme kemajuan manusia, tidak ada perbedaan strata dari apa yang ada, baik dari segi gender, kaya/miskin, kulit hitam/putih, dll. Istilah gampangnya adalah membebaskan semua yang tertindas selama ini. Untuk itulah mengapa posmodernisme begitu ”laris” di negara dunia ketiga. Posmodern juga tidak mempercayai metanaratif (seperti pemikiran neorealisme dan neoliberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial).[4] Hal ini dipandang tidak masuk akal, contohnya anarki politik internasional yang diusung neorealis dipandang tidak berubah dan tidak dapat dipertahankan sebab tidak ada landasan yang bebas dan utuh untuk menilainya serta adanya anggapan bahwa pengetahuan itu netral. Padahal senyatanya ilmu sosial untuk memahami konsep anarki itu sendiri tidak netral, karena mempertimbangkan aspek budaya, sejarah dan politik karena itulah bias. Seandainya saja terdapat kepastian akan teori kritik dalam hal ini adalah posmodernisme maka teori ini akan menjadi dasar pemikiran yang kuat dan hebat, tapi ini melawan eksistensi dasar dari teori kritik ini tentang kebenaran absolut yang tak terbantahkan, jadi bila itu dilakukan lantas apa bedanya dengan positivis? Untuk itulah mengapa tidak ada acuan yang netral, utuh, atau bebas untuk memutuskan bila terjadi pernyataan empiris yang bertentangan.
Dekonstruksi Diplomasi
Dekonstruksi adalah pembongkaran untuk menunjukkan elemen-elemen yang berubah dan tujuannya bias. Bagaimanapun posmodernisme tak puas, begitu saja dengan keadaan status quo yang sudah ada, dan faktor apa saja yang mempengaruhi di dalamnya. Posmodernisme membuka ruang berpikir yang lebih kritis dari semua individu atau golongan yang selama ini terkekang, hal inilah yang mendasari mengapa posmodernis sering dipersalahkan atas kejadian seperti terorisme.[5] Sebenarnya hal itu bisa saja terjadi akibat negara sebagai pihak yang diandalkan tidak bisa mengakomodir kepentingan non-negara, sehingga diplomasi yang mereka pakai adalah bom dan dalam perkembangannya politik yang terjadi di tataran ‘internasional’ saat ini, tidak lagi dimonopoli oleh negara, dan tidak lagi berkaitan dengan kepentingan nasional bersama. Sebenarnya mereka sudah melakukan diplomasi dengan cara mereka sendiri namun karena kurang bisa dipahami oleh lawan politiknya dan diskriminasi diplomasi yang berlaku saat ini maka satu-satunya jalan yang ditempuh untuk “menaikkan posisi tawar” adalah dengan meledakkan diri, menabrakkan pesawat ke gedung-gedung pencakar langit, menteror masyarakat, menyebarkan bingkisan-bingkisan bom waktu, merompak kapal-kapal pesiar atau kapal tangker minyak, bahkan yang paling belakangan, melempar sepatu kearah presiden adidaya. Praktis, hanya dengan cara-cara ini, mereka bisa didengar dan diperhitungkan. Jadi dibutuhkan pluralitas perspektif dan pemilihan serta pemilihan masalah dan semua yang terkait untuk memecahkannya, setiap tindakan yang diambil memberikan pengaruh yang berbeda. Diplomasi bentuk lain dari posmodernisme untuk menyebarluaskan pemikirannya adalah dengan menggunakan mode informasi dan kecanggihan teknologi untuk melawan struktur ilmu pengetahuan yang selama ini dibangun oleh kaum positivis. Dalam waktu singkat rekaman audio-visual yang merupakan wacana tampil di televisi, di-upload di Youtube, dan di diskusikan di berbagai mailing-list. Akibatnya, protes bermunculan, negara yang (sok) peduli dengan penegakan HAM mengancam sanksi embargo, solidaritas merebak di kalangan internasional, pemerintah dipermalukan, dikecam, bahkan dilaknat di seluruh dunia
Intertextual Hubungan Internasional
Dalam neorealisme yang menjadi sasaran utama dekonstruksi ini, hanya sedikit elemen informasi tentang negara berdaulat dalam sistem internasional yang anarki dan adaptasi hanya dijadikan pilihan mereka atas segala sesuatu yang dianggap given, bahkan neorealisme malah mereduksi peran aktor individu menjadi sekedar obyek yang harus berpartisipasi dalam menghasilkan keseluruhan atau jatuh dipinggir jalan sejarah.[6]Hal ini mengakibatkan kemiskinan imajinasi akibat entitas negara dianggap yang paling tinggi dan memiliki kekuasaan mutlak atas semua unsur yang ada di dalamnya dalam bentuk hak dan kewajiban. Posmodernisme melawan arus pemikiran kaum mainstream yang selama ini terlalu tekstual, padahal selain ilmu pengetahuan itu buatan manusia, yang bisa saja salah/disalahgunakan, ditangkap atau ditafsiri berbeda oleh setiap orang apalagi bila terdapat konsep yang kontradiktif dan istilah yang rumit. Untuk itu dilakukan diferensiasi/pemilahan atas elemen yang merupakan hasil abstraksi dan interpretasi yang dilakukan pun tidak secara hierarki namun sejajar sehingga searah bersama-sama dapat menguak makna kebenaran yang lebih luas. Jadi dalam hal ini juga terdapat dekonstruksi tentang metode membaca teks secara teliti karena teks manapun bila  diurai maka didalamnya terdapat unsur yang merupakan anti-tesis untuk menghancurkan teks itu sendiri. Teks-teks yang selama ini ada juga sudah mulai ketinggalan jaman untuk itu dibutuhkan dialog sebagai kelanjutan kreativitas yang ada. Dialog dalam konteks posmodernisme adalah terjadinya relasi antar-teks. Teks bukan hanya menunjuk pada kata-kata yang terdapat dalam buku atau naskah-naskah tertulis, tapi semua kenyataan seperti Islam dan Barat (identitas), tas besar, sepatu, dan semua yang kita tangkap, adalah teks. Teks ini dalam epistemologi postmodern telah kehilangan pemiliknya, pengarang telah mati baik fisik ataupun pemikirannya karena telah ketinggalan jaman. Identitas merupakan bagian dari teks maka intertekstualitas sangat diperlukan disini untuk menciptakan suatu relasi yang lebih menekankan suatu power sharing di antara peradaban yang ada karena  “identitas dalam hidup tak putus-putusnya dipersoalkan” karena posmodernisme adalah proyek yang belum selesai dari modernitas.[7] Perdebatan secara teoritis dari modernitas dan postmodernisme berlangsung alot dan mengkontraskan secara hitam dan putih.
Antipositivis dan aspek ontologi
            Pembongkaran teori yang positivistik oleh posmodern dengan tidak membahas dan menganggap keberadaan suatu teori sebagai jawaban akhir, namun lebih memperhatikan dan memperdebatkan bagaimana suatu konsep lahir. Namun kritikan tersebut ada yang menyerang balik posmodernis sendiri, yang mengarahkan pada antipositivisme yang mengarah pada nihilisme (negativisme bagi dirinya sendiri) yang menyebabkan posmodernisme dapat menjadi terasing dari dunia sosial dan politik yang ingin dipahami. Singkatnya bisa terjadi tumpang tindih dengan nihilisme yang tidak mampu memberikan landasan apapun karena menolak kemungkinan dan nilai pengetahuan, mirip dengan posmodernisme yang serba ambigu dan ketiadaan penjelasan yang utuh. Jalan tengahnya adalah dengan metode intersubjektif, penggabungan subjektif dan objektif, dimana pengetahuan diikat oleh standar dokumentasi dan kejelasan eksposisi yang bukan hasil dari spekulasi. Kebanyakan kaum posmodernis akan lebih skeptis dengan realitas intersubjektif yang dikandungnya, alternatif lain bila ini ditolak, seperti yang dijelaskan sebelumnya, mengarahkan posmodernis pada nihilisme yang merupakan anti positivis. Sebenarnya, pandangan remeh banyak pakar akibat kritik yang dilakukan posmodern yang tidak menyediakan solusi tak lebih dari justifikasi pragmatis. Justru kritikan posmodern itu sebagai bentuk solusi penyingkapan ” tirai” kebenaran yang ditutup-tutupi oleh pihak yang berkuasa. Menurut saya posmodernisme lebih realistis daripada neorealis sekalipun, dalam memahami berbagai permasalahan kontemporer seperti masalah terorisme, kegagalan negara, penegakan HAM, diskriminasi gender dan lainnya. Disinilah letak sebagian dari ontologisme dari posmodern yang begitu luas, berbagai aktor mulai dari individu sampai internasional, berbagai bidang dalam kehidupan dapat ditelaah oleh posmodernisme yang mengusung emansipasi.

            Referensi
Ashley, R.K..1986. The Poverty of Neorealisme. Hal 255-301
Baylis, J. and S. Smith. 1997. The Globalisation of World Politics. Oxford: Oxford University Press. Hal 165-190
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lyotard, S. 1984. The Postmodern, Condition: A Report on Knowledge. Manchester University Press
Davetak, Richard.1997. Why race Differences and What They Mean. Praeger Publisher Habermas, Jurgen.1987. The Philosophical Discourse of Modernity, Cambridge: MIT Press.
www.hidayatullah.com di akses 22 Mei 2009





           





[1] www.hidayatullah.com di akses 22 Mei 2009
[2] Robert Jackson and Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3] J. Baylis and S. Smith. 1997. The Globalisation of World Politics. Oxford: Oxford University Press. Hal 165-190
[4] S. Lyotard. 1984. The Postmodern, Condition: A Report on Knowledge. Manchester University Press
[5] Richard Davetak.1997. Why race Differences and What They Mean. Praeger Publisher
[6] R.K. Ashley.1986. The Poverty of Neorealisme. Hal 255-301
[7] Jurgen Habermas.1987. The Philosophical Discourse of Modernity, Cambridge: MIT Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar