Kamis, 07 Oktober 2010

KRISIS PEREKONOMIAN GLOBAL

KRISIS PEREKONOMIAN GLOBAL
Hurin Ain (070710409)
Pradipto Bagaskoro (070710
Pratiwi (0706
Yudhanti (070710
Abstract: Economic historically, There are many crisises which happened in many places like USA, Europe, Asia, etc. It’s happen again and again in 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, 1997, 2008 until now. This phenomena make world panic, not only micro and macro economic scholar but also political elite and entrepreneur. What is the real cause of economic crisis in this world? Below, there is reality, implication and how to solve this problem allow with comperehensive analysis about global economic crisis.
Key word: crisis, globalism, liberalism, South East Asia
Realita dan Penyebab Krisis Perekonomian Global
            Diantara beberapa periode krisis yang ada di atas, ada empat kasus krisis yang memiliki dampak signifikan atau bisa dibilang mengalami depresi hebat sepanjang sejarah, yaitu 1930-an, 1970-an, 1997,  dan 2008-sekarang, data ini menurut studi IMF sendiri.[1]Namun karena tahun 1930-an negara-negara di Asia Tenggara masih dijajah sehingga kelompok kami tidak membahas lebih jauh, hanya memberi sedikit gambaran umumnya saja.
  • Tahun 1930-an: terjadi selama 10 tahun yaitu tahun 1929-1939, krisis ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah, akibat kegagalan pasar waktu itu. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi adalah dengan konsep keynesianisme yang diadaptasi oleh Presiden Amerika Serikat yaitu Rosevelt melalui kebijakan new deal dimana negara ikut berperan dalam mengatur pelaksanaan regulasi pasar dan memberikan stimulus ekonomi.
  • Krisis tahun 1970-an:  Terjadi akibat kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed) oleh Presiden Nixon, kesulitan ekonomi yang diakibatkan  perang vietnam dan embargo minyak. Pada hakikatnya perjanjian Bretton wood ini runtuh akibat sistem dengan mekanisme bunganya yang tak dapat dibendung, demi tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange rate. Selanjutnya pada tahun 1971-1973 terjadi kesepakatan Smithsonian (di mana saat itu nilai 1 Ons emas = 38 USD). Pada fase ini dicoba untuk menenangkan kembali sektor keuangan dengan perjanjian baru. Namun hanya bertahan 2-3 tahun saja. Pada tahun 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Akibat hukum “uang buruk (foreign exchange) menggantikan uang bagus (dollar yang di-back-up dengan emas)-(Gresham Law)”. Pada tahun 1973 dan sesudahnya  mengglobalnya aktifitas spekulasi sebagai dinamika baru di pasar moneter konvensional akibat penerapan floating exchange rate sistem. Periode Spekulasi; di pasar modal,uang, obligasi dan derivative. Maka tak aneh jika pada tahun 1973 – 1874 terjadi krisis perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit.Pada tahun 1974 Krisis pada Euro dollar Market; akibat west German Bankhaus ID Herstatt gagal mengantisipasi international crisis. Selanjutnya tahun 1978-80 Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri.
·                     Krisis Finansial Asia 1997
Bermula di Thailand dan mempengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia, sebagian Macan Asia Timur. Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut, banyak para pakar ekonomi berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) dan kebijakan hutang yang tidak transparan adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis ekonomi. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: ”Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi.”Kesulitan nyata terjadi beberapa dekade setelah negara Thailand mengkampanyekan pertumbuhan berbasis ekspor, ekonomi domestiknya ternyata masih kecil. Di luar dugaan ekspor Thailand mencapai dua pertiga dari GDP. Negara tetangganya, Malaysia lebih bergantung pada pasar asing; Singapura jauh lebih bergantung lagi. Dengan demikian, tidak mungkin Asia Tenggara bisa menghindari imbas masalah yang ditimbulkan oleh krisis kredit bermasalah di pasar Barat.
·         Krisis Ekonomi 2008
Depresi yang saat ini tengah melanda dunia adalah disebabkan beberapa faktor diantaranya naiknya harga minyak yang menyebabkan naiknya harga makanan di seluruh dunia, krisis kredit dan bangkrutnya berbagai investor bank, meningkatnya pengangguran sehingga menyebabkan inflasi global, penumpukan hutang nasional, pengurangan pajak korporasi, pembengkakan biaya perang Irak dan Afghanistan, serta Subprime Mortgage yang kesemuanya menimbulkan dampak pada lingkup internasional. Apalagi Asia memiliki kebergantungan yang  tinggi pada ekspor beberapa dekade belakangan ini. Dampak tersebut adalah  bursa saham di beberapa negara terpaksa ditutup beberapa hari termasuk di Indonesia, harga-harga saham juga turut anjlok. Diperkirakan depresi ekonomi kali ini separah atau bahkan lebih parah dari depresi besar ekonomi 1929.
Implikasi dari Krisis yang terjadi
Bila ditinjau dari implikasi krisis, ada beberapa kategori untuk memetakannya, yaitu nasional, regional dan internasional.
·         Nasional
Seperti halnya banyak krisis yang terjadi sebelumnya, krisis 1970-an berimplikasi menimbulkan banyak pengangguran di Amerika Serikat yang merupakan negara sumber krisis dan negara Asia tenggara. Sedangkan di tahun 1997, Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah negara yang paling parah terkena dampak krisis ini karena terlalu bergantung pada hutang luar negeri, selain itu negera-negara tersebut menggunakan mata uang dolar AS dalam melakukan transaksi perdagangan internasional. Hong Kong, Malaysia dan Filipina juga terpengaruh. Sedangkan daratan Tiongkok, Taiwan dan Singapura hampir tidak terpengaruh karena perekonomian mereka berorientasi di bidang jasa yang dilengkapi infrastruktur yang memadai selain itu Singapura juga menggunakan dolar Singapura bukan dolar AS. Jepang meskipun tidak terpengaruh banyak tapi mengalami kesulitan ekonomi jangka panjang.
Tidak seperti krisis keuangan Asia 1997,  dimana kebanyakan bank di kawasan cukup sehat, dengan ekspor terbatas ke masalah pinjaman berisiko tinggi yang macet, dan banyak negara memiliki cadangan devisa asing yang sangat bagus. Namun, ketika krisis finansial 1997 ini menerpa dunia, banyak perusahaan tutup dan memecat para buruh sehingga angka pengangguran meningkat. Indonesia kurang bergantung pada ekspor sehingga mungkin akan bisa menahan dampak krisis lebih baik daripada para tetangganya walaupun saat itu bisa dibilang berimplikasi serius pada perekonomian Indonesia. Namun, dengan begitu warganya hidup di sekitar garis kemiskinan, dan 2,5 juta pencari kerja baru memasuki pasar tenaga kerja setiap tahun, kelesuan ekonomi apa pun akan membawa dampak. Krisis ini semakin menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi. Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini.
Huru-hara krisis ini juga ikut menyumbangkan peran pada pemecatan Gubernur Bank Indonesia pada Februari 1998, kemudian disusul dengan pelengseran Presiden Suharto yang selanjutnya digantikan oleh B.J Habibie. Jadi bisa dibilang krisis ekonomi ini juga menjalar menuju ke kekacauan politik dan stabilitas negara, hal yang sama juga harus dialami oleh PM Thailand yang harus mundur karena dianggap tidak becus mengatasi krisis yang terjadi saat itu.
Sedangkan di Timor Leste yang tergolong miskin justru optimistis soal prospek negaranya tahun depan. Pendapatan dari gas dan minyak lepas pantai Timor Leste akan merosot tajam tahun ini, demikian kata sang presiden, tapi saat itu pemerintah baru mulai membelanjakan pendapatan. Dan, belanja itu jelas mendatangkan dampak positif. Di Filipina, salah satu kekhawatiran terbesar adalah bahwa jutaan warga yang bekerja di luar negeri, yang kirim uangnya mencapai lebih dari 10% dari GDP, akan mulai kehilangan pekerjaan mereka di negara lain. Tren yang sama juga memengaruhi Birma, negara yang begitu miskin dan terkucil dari ekonomi dunia, sehingga sulit untuk melihat masalah kredit berisiko tinggi mendatangkan dampak di sana. Puluhan ribu warga Birma yang bekerja sebagai pelaut di armada pelayaran dunia terpukul oleh kelesuan ekonomi global. Malaysia memiliki defisit akun mata uang besar lebih dari 6 persen dari GDP. Pada bulan Juli, ringgit Malaysia diserang oleh spekulator sehingga ringgit jatuh secara tajam. Empat hari kemudian Standard and Poor's menurunkan rating hutang Malaysia. Seminggu kemudian, agensi rating menurunkan rating Maybank, bank terbesar Malaysia. Di hari yang sama, Bursa saham Kuala Lumpur jatuh 856 point, titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober, ringgit jatuh lagi. Perdana Mentri Mahathir bin Mohamad memperkenalkan kontrol modal. Tetapi, mata uang jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir bin Mohamad mengumumkan bahwa pemerintah akan menggunakan 10 milyar ringgit di proyek jalan, rel dan saluran pipa. Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998, tetapi Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini dengan menolak bantuan IMF. Laos terpengaruh ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000 terhadap satu dolar AS.
Selanjutnya di tahun 2008, implikasi yang timbul diantaranya adalah angka kemiskinan meningkat, terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak, banyak pemutusan hubungan kerja, dan lain-lain. Bila dibandingkan dengan kedua krisis di atas Negara Indonesia bisa dibilang tidak terlalu berpengaruh karena intervensi pemerintah cukup besar pada ekspor impor, bahkan justru digunakan untuk media kampanye para kandidat wakil rakyat dan dipolitisir. Buktinya adalah ketika harga minyak dunia turun, pemerintah sangat lamban dalam merespon, baru ketika banyak pakar mengkritik dan demo massa pemerintah baru menurunkannya itupun “dicicil” tiga kali. Padahal kebijakan tersebut menimbulkan kelembaman dalam istilah ekonomi, dimana reaksi pasar masih ragu-ragu untuk menurunkan harga bahan pokok untuk mengantisipasi kemungkinan untuk naik lagi.
·         Regional
            Pada tahun 1970-an, secara garis besar surplus impor negara di kawasan Asia Tenggara merosot drastis akibat terlalu bergantung pada hutang luar negeri, ketergantungan tersebut bisa jadi merupakan struktur yang sengaja dibuat oleh IMF sebagai lembaga bank dunia yang merupakan produk dari neoliberal yang seolah-olah membantu kesulitan keuangan banyak negara tapi sebenarnya menjerat mereka dengan banyak prasyarat, tidak jauh berbeda dengan ”lintah darat.[2]
Kemudian pada tahun 1997, bila diamati secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRC. Bahkan krisis Asia ini menyumbangkan krisis pula ke negara Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis, Asia bank tidak menerima pinjaman dari  negara berkembang. Krisis ini telah dianalisa oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan, dan dinamismenya mampu mempengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja
Di tahun 2008, seperti yang telah dijelaskan pada implikasi nasional negara di kawasan Asia Tenggara, dapat ditarik kesimpulan bila mayoritas perekonomian mengalami kemerosotan yang serius.
·         Internasional
Pada tahun 1970-an, banyak negara-negara berkembang meminta perubahan tata perekonomian karena selama ini hanya dianggap hanya sebagai free rider, paska runtuhnya Brettonwood dan mereka kurang percaya pada Amerika Serikat yang melanggar kesepakatan tersebut akibat krisis minyak dan perang Vietnam. Selain itu pasar saham di seluruh dunia berjatuhan dan bank-bank di Amerika Serikat mengalami kebangkrutan. Jutaan pengangguran bermunculan dan kemiskinan yang merajalela merupakan efek domino yang kemudian menyusul. Sedangkan pada tahun 1997, Korea Selatan yang berada di luar kawasan Asia Tenggara memiliki tingkat perekonomian terbesar ke-11 dunia dengan dasar makroekonomi yang bagus, namun karena sektor banknya dibebani pinjaman yang tak bekerja, kemudian utang berlebihan yang akhirnya menuntun ke kegagalan besar dan pengambil-alihan, jelas sekali bagaimana dampak yang ditimbulkan. Sebut saja, bursa saham Seoul pada 24 November, sahamnya jatuh 7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform yang berat. Pada 1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors. Republik Rakyat Cina tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi yang tidak dapat ditukar dan kenyataan bahawa hampir semua investasi luarnya dalam bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRT telah dan terus memiliki masalah "solvency" parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di bank-bank RRT adalah domestik dan tidak ada pelarian bank. "Flu Asia" juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan Jepang. Ekonomi mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat. Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang. Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT. Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.[3]
Selain beberapa hal di atas,  imbas lain yang terjadi adalah peningkatan anti-Barat, dengan George Soros dan IMF khususnya, yang keluar sebagai kambing hitam. Beberapa kritik menyalahkan tindakan IMF dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia Joseph Stiglitz. Di tahun 2008-sekarang, walaupun krisisnya belum berakhir, namun angka pengangguran di AS bertambah 500.000 per bulan dan banyaknya perusahaan serta lembaga keuangan bangkrut adalah sebuah relita tragis yang terus berulang akibat pelaksaan sistem neoliberal dan turunannya. Untuk beberapa tahun ke depannya, ada kemungkinan lebih banyak lagi dampak yang lebih besar, karena prospek pemulihan dari krisis terutama yang dilakukan AS berjalan sangat lambat.
Upaya untuk mengatasi
            Berbagai cara dilakukan oleh berbagai pihak untuk keluar dari kemelut ini, untuk lebih jelasnya dibawah ini terdapat  kiat-kiat yang diambil untuk menyelesaikannya.[4]Untuk kasus tahun 1970-an, cara mengatasinya adalah dengan sesegera mungkin membeyar hutang dan mengurangi ketergantungan pada impor, kemudian tahun 1997 adalah dengan resep kebijakan pengetatan, bantuan langsung tunai, serta dibukanya paket penyelamatan oleh IMF 16 milyar dolar AS untuk menyelamatkan Bath yang turun tajam sehingga menyebabkan Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Bila di tahun 2008 kemarin, yang dilakukan oleh pemerintahan beberapa negara adalah  penyehatan sistem finansial dan mendongkrak permintaan agregat, serta peluncuran paket stimulus fiskal  yang tepat waktu, masif, berkelanjutan sebesar $900 miliar dolar yang dilakukan oleh Barrack Obama  di tahun 2009, untuk ke depannya pemerintah masih menunggu reaksi pasar apakah akan semakin parah atau kembali normal.
Analisa
Banyak penganut teori modernisme percaya bahwa sejarah manusia yang bersifat linier ini akan mencapai tahap akhir di mana nilai-nilai kapitalisme dan demokrasi liberal akan menjadi ideologi hegemonik tanpa tanding. Digambarkan pula bahwa seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik ekonomi, politik maupun sosial akan sangat kental diwarnai oleh norma-norma kapitalisme sebagai konsekuensi dari terintegrasinya ekonomi nasional dalam kapitalisme global. Namun, dengan adanya krisis yang berulang, akhirnya menimbulkan keraguan terhadap argumentasi teori modernisme tersebut.
Banyak yang membandingkan derajat kedalaman dan magnitude krisis ekonomi global yang dianggap sebagai krisis terburuk dalam 60 tahun terakhir sekarang ini dengan Depresi Besar (Great Depression) tahun 1930-an.
Pengalaman keberhasilan dan kegagalan dalam mengatasi depresi ekonomi tahun 1930-an seharusnya juga bisa menjadi acuan untuk bisa keluar dengan cepat dari krisis ekonomi dunia sekarang ini atau krisis serupa. Sayangnya, para akademisi dan ekonom terkemuka dunia sendiri sampai sekarang ini belum sepenuhnya sepakat mengenai kebijakan apa sebenarnya yang paling berperan dalam membuat dunia keluar dari krisis ekonomi terburuk abad ke-20 waktu itu. Para pengusaha lebih banyak yang menggunakan uangnya untuk berspekulasi di pasar uang dan bermain dalam sektor non riil sehingga memunculkan bubble economy, mereka lebih mementingkan uangnya mengalami fluktuasi, tidak penting nilai mata uang menguat atau melemah dan menyebabkan krisis. Bagaimana reaksi Asia Tenggara yang kebanyakan terimbas krisis daripada menjadi penyebab? Tidak banyak yang bisa mereka lakukan karena untuk masalah perekonomian negara-negara di Asia Tenggara begitu menggantungkan ekspor dan impornya pada negara Barat dan menjadikannya patokan (liberalisme). Nampaknya dibutuhkan solusi sistem perekonomian baru seperti ekonomi syariah misalnya ataupun meningkatkan peran negara untuk mengatasi kegagalan pasar. Langkah ASEAN untuk membentuk ASEAN Community dengan salah satu pilarnya diharapkan bisa mengatasi krisis ekonomi yang terus berulang dan lebih independen, tidak lagi bergantung pada negara Barat.
Referensi
Friedman, John. 1992 Empowerment : The Politics of Alternative Development. Cambridge Oxford: Blackwell Publisher.
Kaufman, GG., Krueger, TH., Hunter, WC. 1999. The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer. ISBN 0-7923-8472-5
http://www.bbc.com diakses 20 Maret 2009


[2] John Friedman. 1992. Empowerment : The Politics of Alternative Development. Cambridge Oxford: Blackwell Publisher.
[3] Kaufman GG, dkk. 1999. The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer.

[4] www.bbc.com diakses 20 Maret 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar