Sabtu, 02 Oktober 2010

MENINJAU REGIONALISME DARI PERSPEKTIF TEORI




Perkembangan yang pesat dari organisasi dengan keanggotaan yang terbatas sejak Perang Dunia II telah menjadi pusat perhatian baru yang ditempatkan pada integrasi regional sebagai sarana untuk mencapai tujuan kepentingan nasional. Konsep mengenai bangsa yang terdapat di kawasan geografis tertentu/bangsa yang memiliki hirauan bersama dapat bekerjasama melalui organisasi ini dengan keanggotaan terbatas untuk mengatasi masalah fungsional, militer dan politik. Peran persekutuan regional menjadi ihwal kontroversial, karena menambah beberapa sistem perimbangan kekuatan yang menyaingi keamanan kolektif PBB, namun piagam PBB sendiri justru malah mendorong regionalisme untuk melengkapi kegiatan dan tujuan organisasi dunia, dengan catatan bahwa semua tindakan regional harus selaras dengan tujuan dan prinsip PBB.
Posisi regionalisme adalah untuk menyelesaikan permasalahan tingkat menengah anatara unilateralisme dan universalisme. Secara psikologis, bisa dikatakan individu lebih cenderung untuk memberikan dukungannya terhadap kelompok dengan anggota terbatas daripada memberikannya pada organisasi dunia. Regionalisme dapat menjamin untuk menjadi hampiran yang secara bertahap untuk membangun masyarakat internasional dan serta federasi politik di luar negara nasional, meskipun dulunya regionalisme pernah hadir, ditumbangkan, dan mulai surut dari perbincangan internasional karena kegagalannya di bidang penggabungan ekonomi dan kerjasama politik level mikro, menengah dan makro, tapi semuanya telah berlalu, regionalisme sekarang telah mulai terbangun dari tidur panjangnya. Di berbagai belahan dunia para politisi dan analis terlihat yakin pada kerjasama regional yang semakin maju dan dihargai.
Perlahan mulai muncul pertimbangan cara dimana ekonomi global dan faktor keamanan politik bekerja untuk memperkuat keberadaan regionalisme, hal ini berdasarkan survei tentang logika berpikir para regionalis dengan dihubungkan pada teori tertentu, akan tetapi masalah yang kemudian muncul adalah bagaimana kelanjutan power dari para regionalis tersebut, karena sangat tidak masuk akal, yang sebelumnya difokuskan pada politik global kemudian dialihkan untuk mendukung masalah regional tanpa adanya tarikan normatif dalam tatanan internasional. Agar regionalisme tidak berakhir singkat, perlu adanya penekanan lebih lanjut pada regionalisme sebagi respon atas krisis ekonomi dan kegagalan persepsi pembagian wilayah dari kebutuhan negara tetangga yang bisa jadi adalah partner yang jahat dan bisa menjadi ancaman dunia.
Regionalisme Asia mampu membuktikan dapat lolos saat menghadapi krisis finansial atau dalam kasus ASEAN dengan cara pengalihan investasi di Cina pada akhir tahun 1990-an, untuk itu akan lebih baik lagi bila negara-negara dalam satu regional mau meningkatkan rasa memiliki identitas yang sama serta peningkatan kapabilitas untuk meraih kesepakatan ekonomi yang cukup rentan. Selain itu, perlu diingat juga tentang pembedaan regionalisme di posisi normatif, program politik atau justru doktrin yang mengatur hubungan internasional, karena sering timbul pemikiran bahwa negara dengan wilayah “pemberian” memiliki kesamaan nasib dan keadaaan secara ekologi, strategi, ekonomi yang tidak dapat berjalan bersama-sama serta penempatan egoisme nasional, sehingga disarankan untuk membentuk kerjasama dalam bentuk baru.
Ketika retorika para regionalis mendapat dorongan kuat atas realita materi yang kejam, politik yang brutal serta fakta ekonomi yang dibuat-buat maka hanya ada sedikit harapan untuk sukses, tapi kembali lagi pada penerimaan dan penginterpretasian aktor politik atas identitas dari sebuah kawasan, yang bila dikritisi dari segi sosial memang dikonstruksi tapi dari segi politik diprogram. Keberadaan agen politik dipusatkan pada praktek politik dan direfleksikan dalam bentuk analisa sehingga bisa menjadi pertimbangan dalam pemaksimalan kekuatan dan pereduksian kelemahan dari regionalisme yang dikombinasikan dengan konsep lain dalam organisasi politik dan tatanan dunia. Debat dalam tatanan global tahun 1990-an menghindari dikotomi antara globalisme dan regionalisme serta penekanan sinergi potensial antara rerionalisasi regional dan multilateral, dan pemerintahan global memandangnya tidak masuk akal seperti halnya multilateralisme pasca perang dingin, banyak negara dan kelompok sosial terkontaminasi oleh kekuatan dan kepentingan terlebih lagi imperialisme liberal dan neokonservatif yang hanya sedikit terikat normatif.
Jadi oleh karena itu, caa berpikir dari sisi regional mampu mengambil alih karena batas negara sebagai dasar tatanan sosial yang kompleks dan tergabung dalam dunia., selain itu karena kesulitan untuk menemukan alternatif lain. Regional memang tidak muncul seperti oraganisasi dominan lain tapi sisi positifnya adalah kerangka kepentingan organisasi internasional yang mulai jarang dituju, sehingga regional sangat diuntungkan, ditambah lagi adanya ketidak sejajaran kekuatan, perbedaan budaya yang justru menjadi faktor penguat diantara negara dalam satu regional untuk bersama-sama menghadapi krisis ekonomi global yang kembali terulang di beberapa tahun terakhir ini. Dalam tinjauan sistemik, regional dan domestik, memang sejarah regionalisme sempat jatuh bangun, tapi seiring berkembangnya permasalahan dan penekanan rasionalitas berpikir dalam menyelesaikannya, serta dukungan pendekatan staged yang dipakai sebagai upaya perluasan pola kerjasama ASEAN atau bahkan di tingkat subregional seperti di Amerika Selatan, kiranya tidak ada alasan lain untuk menampik narsisme regional yang semakin eksis dari waktu ke waktu.

REFERENSI

Hurrel. Andrew.2002. Regionalism in World Politics. Oxford Unversity Press.pp37-73
Hurrel. Andrew. The Regional Dimension in International Theory
Plano. Jack C. 1982. The International Relation Dorectory. England. Clio Press Ltd. pp21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar