Kamis, 07 Oktober 2010

PERAN ASEAN DAN ARF SEBAGAI PERIMBANGAN KEKUATAN DUNIA



            Secara fungsional, ASEAN didirikan sebagai institusi regional di kawasan Asia Tenggara serta menerapkan mekanisme diplomasi formal dalam menyelesaikan konflik internal dan eksternal maupun dalam pencapaian kepentingan semua negara anggotanya tanpa mengesampingkan keutuhan dan eksistensi ASEAN. Di sisi lain juga muncul keniscayaan akan pentingnya perimbangan kekuatan, ASEAN dalam hal ini melalui ASEAN Regional Forum (ARF) berusaha membentuk tatanan regional pada khususnya dan global pada umumnya agar berjalan damai dan stabil melalui rezim kerjasama keamanan.

Teori, Politik dan Militer dalam Perimbangan Kekuatan
            Teori perimbangan kekuatan (bop) dapat diartikan sebagai situasi, kebijakan ataupun sistem. Pendefinisian ini bergantung bagaimana seorang praktisi menggunakannya. Sebagai sebuah kebijakan, bop melibatkan penciptaan dan pemeliharaan keseimbangan, setiap konfrontasi kekuatan yang muncul dari hegemoni tunggal dicegah melalui pendistribusian dan pembatasan kekuatan, ini berlaku pada hegemon dari kawasan Asia Tenggara sendiri maupun dari luar kawasan.[1]
            Sejak blok komunis runtuh dan kekuatan Uni Soviet berkurang, negara-negara anggota ASEAN memandang perlunya saingan bagi Amerika Serikat sebagai pihak yang menang dalam Perang Dingin untuk menghindari unilateralisme hegemon yang sewenang-wenang (malevolent hegemon) serta mencegah bilamana terjadi keruntuhan hegemon secara tiba-tiba maka kerjasama internasional yang sudah terjalin dipastikan tidak akan morat-marit karena telah digantikan oleh peran rezim. Dari sinilah pemikiran strategis ASEAN melahirkan ARF yang merupakan forum dialog regional yang begitu intens dalam urusan keamanan multilateral yang sifatnya mandiri dan independen dengan menggandeng negara-negara besar seperti Cina, Korea Selatan dan Jepang yang berpotensi sebagai atau merupakan hegemon sebagai mitra dialog.[2] Bagaimanapun paska pergantian kepemimpinan yang memiliki arti signifikan dalam ASEAN seperti Soeharto (Indonesia), Lee Kuan Yew (Singapura) dan Mahathir Muhammad (Malaysia) turut memperburuk pamor ASEAN di mata internasional, sehingga anggota ASEAN yang sudah ada kurang dapat diandalkan dalam melakukan bop.[3]
            Untuk itu keberadaan ARF di sini diharapkan memberikan warna baru dengan konsep yang berbeda dengan ASEAN dalam melakukan mekanisme ”binding” diantara negara anggotanya. Dipasikan agar semua negara anggota menaati setiap prinsip dan norma yang telah disepakati dalam rezim, untuk menghindari ”penunggangan” negara dominan serta egoisme kepentingan nasional setiap negara di atas kepentingan regional. Keberadaan ARF ini tidaklah dibentuk berdasarkan prinsip seperti aliansi militer pada umumnya, tapi lebih kepada prinsip kerja sama, keterbukaan dan saling pengertian antar sesama anggota dalam upaya mewujudkan semangat penciptaan kawasan yang tertib, aman dan damai.[4] Jadi menurut saya, bila semua aktor berpikir rasional, memang kita tidak akan bisa memprediksi tindakan apa yang akan dilakukan lawan, namun dengan adanya institusi yang merupakan buah pemikiran neoliberalisme diharapkan akan menumbuhkan rasa saling percaya diantara negara-negara melalui jalan kerjasama keamanan ini.

Relevansi BOP dan Momentum Pendirian ASEAN
            Keberhasilan ASEAN di awal kemunculannya dalam meredam konflik internal di bawah permukaan ternyata memukau SAARC, organisasi regional di Asia Selatan, untuk menjadikannya model percontohan. Namun, sayangnya konflik tersebut bukannya hilang sama sekali tapi justru menimbulkan konflik laten yang suatu saat bisa meledak kapan saja ke permukaan.  Hal ini ternyata luput dari pantauan ASEAN, sehingga memunculkan masalah seperti perebutan Sipadan-Ligitan dan Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, kasus Mischief Reef antara Philipina-China serta masalah Kepulauan Spratly antara China dengan beberapa negara ASEAN. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan mudah sebenarnya bila saja semua negara mematuhi hukum internasional mengenai perbatasan dan mau mengakui kedaulatan negara lain, bila cara ini dipandang sudah tidak efektif maka negosiasi bilateral ataupun dengan bantuan ASEAN sebagai mediator dapat dilakukan yakni melalui diplomasi asosiatif yang merupakan salah satu dari multi-track diplomacy.
            Dalam tatanan dunia anarki yang berkembang begitu dinamis, tak selamanya negara mampu melakukan self help, kekurangan ini dapat ditutupi dengan keikutsertaan negara dalam interaksi dan integrasi regional ataupun global. Kunci utama berjalannya keseimbangan kekuatan adalah penolakan akan kehadiran hegemon tunggal dan adanya rasa saling percaya bahwa konflik apapun dapat diakhiri melalui kerjasama. Untuk itulah mengapa kekuatan disini dibatasi dan didistribusikan secara merata sebagai wujud partisipasi semua negara anggota untuk mewujudkan kehidupan dunia yang aman dan stabil sesuai mimpi para liberalis.
            Semestinya kegagalan ASEAN di tahun 1997 dulu tak melenakan para founding father ASEAN, karena bila tidak kekosongan power tersebut memberikan peluang negara besar seperti AS, Cina dan Jepang untuk mencaplok dan menyetir ASEAN karena mereka sudah menjadikan ARF sebagai pintu masuk untuk menyebarluaskan pengaruh. Saya rasa waktu 12 tahun cukup untuk negara anggota ASEAN untuk bangkit dari kegagalannya, terutama Indonesia yang merupakan big brother, untuk menunjukkan kebijakan-kebijakan revolusioner dalam upaya menghapuskan stigma negatif utara-selatan yang selama ini identik dengan negara-negara Asia Tenggara, kecuali Singapura.

Referensi
The Role of the Balance of Power within and beyond Regimes for Cooperative Security dalam Emmers, Ralf. 2003. Cooperative Security and the Balance of Power in  ASEAN and the ARF. London and New York
www.kompas.com diakses 27 Mei 2009
www.korantempo.com diakses 27 Mei 2009



[1] The Role of the Balance of Power within and beyond Regimes for Cooperative Security dalam Ralf Emmers. 2003. Cooperative Security and the Balance of Power in  ASEAN and the ARF. London and New York
[2] www.kompas.com diakses 27 Mei 2009
[3] www.korantempo.com diakses 27 Mei 2009
[4] Ibid hal 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar