Kamis, 07 Oktober 2010

KONDISI PERDAGANGAN DI EROPA


Pada awalnya, perdagangan merupakan sebuah cara berelasi antar dua pihak untuk memenuhi tujuannya. Dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Tetapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah kenyataan bahwa perdagangan selalu memiliki sisi positif dan negatif. Secara positif, perdagangan bagi sebuah negara merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan negara, yang kelak akan digunakan untuk melaksanakan pembangunan di dalam negeri dan secara tidak langsung akan membantu meningkatkan taraf hidup warga negaranya. Perdagangan juga dapat menjadi stimulus bagi kehidupan sektor-sektor ekonomi yang lain seperti pertanian, industri dan bahkan teknologi.
            Sebaliknya, jika tidak dikelola dengan baik dan diikuti oleh peraturan yang adil maka perdagangan dapat menghancurkan kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Perdagangan menyebabkan orang tidak pernah puas dengan apa yang ia miliki. Pengusaha semakin berambisi untuk memperoleh akumulasi modal mereka dengan berbagai cara dan pengorbanan yang seminimal mungkin, dan bahkan jika perlu melakukan praktek bisnis yang curang. Bukan hal yang aneh jika pengusaha bermodal besar melakukan "kerjasama" dengan kaum birokrat untuk melindungi sekaligus memperbesar usaha bisnis mereka. Akibatnya produsen kecil semakin terjepit. Terjadi eksploitasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Situasi perdagangan tersebut tentu saja dialami oleh produsen kecil (nelayan, petani, buruh, perajin) di belahan negara manapun. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk melakukan tawar-menawar dan melawan sistem yang ada, yaitu sebuah sistem yang tidak adil (karena hanya menguntungkan sekelompok kecil orang), sekaligus eksploitatif. Celakanya, sistem ini justru semakin dikukuhkan dengan berbagai peraturan dan produk legislasi lainnya, baik yang dibuat oleh pemerintah (eksekutif) maupun lembaga legislatif.

Perdagangan Yang Berkeadilan (Fair trade)
Berhadapan dengan situasi demikian maka diperlukan sebuah alternatif perdagangan yang tidak eksploitatif dan berpihak kepada produsen kecil. Perdagangan yang berkeadilan (fair trade) bertujuan untuk perbaikan penghidupan produsen melalui hubungan dagang yang sejajar, mempromosikan peluang usaha dan kesempatan bagi produsen lemah atau termarjinalisasi, meningkatkan kesadaran konsumen melalui kampanye fair trade, mempromosikan model kemitraan dalam perdagangan yang adil, mengkampanyekan perubahan dalam perdagangan konvensional yang tidak adil, melindungi HAM, pendidikan konsumen dan melakukan advokasi bagi terciptanya kondisi yang lebih baik, khususnya yang berpihak kepada produsen kecil sehingga mereka dapat berpartisipasi di pasar.
Dalam pembahasan yang lebih dikhususkan terutama di regional Eropa, kita mengenal keberadaaan Uni Eropa sebagai organisasi kerjasama di bidang ekonomi perdagangan yang lebih mengutamakan free trade daripada konsep fair trade yang diserukan oleh negara-negara berkembang yang selama ini merasa dirugikan. Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan semangat Uni Eropa dalam menegakkan HAM, karena seperti yang kita ketahui bahwa Uni Eropa benar-benar Negara penggiat HAM paling aktif sedunia melebihi Amerika Serikat (AS memperjuangkan HAM hanya kalau dipimpin oleh Demokrat).[1]

Dilema perdagangan dan penegakan HAM
            Dalam proses pembentukannya, Uni Eropa dapat dikatakan sebagai rezim yang sangat kompleks dan pragmatis karena dasar pembentukannya mengacu pada prinsip WTO untuk melakukan integrasi ekonomi regional dan penerapan VCLT sebagai peraturan normatif dalam mengatasi pelanggaran-pelanggaran terhadap kontrak yang telah disepakati, serta membuat hak asasi manusia sebagai elemen esensial dalam perdagangan.[2] Namun dibalik kekomplekannya, Uni Eropa juga memberikan suatu dorongan  atau incentives kepada para pesaingnya untuk dapat melakukan hal-hal berikut :
  • menerima aturan yang berlaku di Uni Eropa meskipun tidak disukai atau mungkin akan merugikan.
  • peraturan-peraturan yang tidak menguntungkan akan menimbulkan suatu objection yang justru merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi pihak lawan untuk dapat mengatasinya
  • menggunakan sistem a la carte dalam menangani suatu isu tertentu
  • berganti-ganti venue ketika kepentingan yang diperjuangkan juga mengalami perubahan kepentingan.[3]
Pragmatisme Uni Eropa dapat dilihat dalam  kepatuhan Uni Eropa atas aturan hukum serta kegiatan yang akan membantu tercapainya kepentingan negara-negara yang tergabung dalam forum Uni Eropa, salah satunya adalah free trade tersebut, inilah yang menjadi asal-muasal sulitnya tercapai fair trade sebagaimana diungkapkan di atas.
Namun terlepas dari kendala tersebut, kepedulian Uni Eropa pada masalah HAM patut diacungi jempol, sampai  menimbulkan overlapping karena tidak adanya badan khusus yang menangani kasus HAM. Sehingga Negara yang terlibat hubungan perdagangan sekaligus juga mengurusi masalah HAM, kebutuhan akan rezim HAM dalam lingkup regional Eropa bisa disebabkan karena kekurangefektifan PBB dalam melaksanakan tugasnya, disamping itu bila badan ini benar-benar ada diharapkan lebih obyektif dan lebih mengetahui keadaan di Eropa sebenarnya. Apalagi dengan keberadaan Inggris dan Perancis yang menjadi anggota DK PBB sekaligus Uni Eropa mulai menjadi sorotan, karena ditakutkan ada kecenderungan subyektivitas atas regionalnya. Hal ini sebaiknya diakomodir oleh Uni Eropa dengan mendirikan badan otonom khusus HAM, bukan sekedar VLCT.
Untuk mengatasi masalah HAM dilingkup internal Uni Eropa serta tumpang tindih peranan yang terjadi, muncullah istilah forum shopping yaitu suatu kondisi yang menyediakan berbagai macam alternatif kebijakan dalam mengatasi suatu masalah yang menempatkan aktor dalam berbagai alternatif pilihan. Ada empat kategori yang tersedia yaitu mengelak, ketika implementasi kebijakan itu gagal, maka alternatif utamanya adalah dengan menentukan persetujuan dagang regional. Yang kedua adalah menantang, yang mana ditunjukkan dengan adanya kondisi ketika suatu isu tidak ditemukan solusi yang tepat dan isu tersebut terus dijadikan bahan pembahasan utama. Dengan demikian, akan muncul suatu dorongan untuk mencari solusi dari isu yang ada dalam skala hubungan internasional. Kategori ketiga adalah a la carte, kategori ini akan diambil saat memang benar-benar dibutuhkan dan tidak diambil ketika tidak diperlukan. Yang terakhir, yang keempat, adalah flip-flop. Flip-flop mengacu pada suatu kondisi ketika suatu isu tidak dapat ditemukan solusinya dalam suatu forum sehingga perlu forum lain untuk mencari solusi atas isu tersebut. Masalah perdagangan di Uni Eropa tidak hanya dihambat oleh masalah HAM tapi juga terorisme, yang mencapai puncaknya pada 11 September 2001, yang akhirnya memunculkan Strategi Kebijakan Tahunan, yang kemudian menambahkan security dalam prioritas dibidang politik untuk tahun 2002 yang fokus pada kesejahteraan dan kemakmuran negara anggota.
Untuk menunjukkan kekonsistenannya semestinya Uni Eropa menangani masalah terorisme ini dengan langkah persuasive, selain itu urgensi atas keberadaan badan khusus HAM semestinya menjadi prioritas Uni Eropa untuk kedepannya.
Referensi:
Hafner-Burton, Emilie M. . The Power Politics of Regime Complexity: Human Rights Trade Conditionality in Europe. Princeton University.
www.kompas.com diakses tanggal 14 Mei 2009


[1] www.kompas.com diakses tanggal 14 Mei 2009
[2] Emilie M. Hafner-Burton. “The Power Politics of Regime Complexity : Human Rights Trade Conditionality in UErope”. Princeton University
[3] Ibid hal 3-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar