Sabtu, 02 Oktober 2010

HURIN AIN (070710409)
Seluk-Beluk Regionalisme

Regionalisme semakin menghangat dalam agenda internasional pada tahun 1980-an dan menjadi tren universal di negara maju maupun berkembang, hal ini menimbulkan berbagai reaksi, diantaranya dimandang sebagai ciri permanen tata internasional pasca Perang dingin, tapi yang lain menganggapnya sama seperti di era 60-an yang memunculkan sejumlah skema regionalisme yang dijalankan oleh aktor negara. Hal menarik di sini adalah adanya pemikiran yang berlawanan mengenai masa depan perkembangan regionalism pasca Perang Dingin, reaksi optimis dan pesimis, yaitu arus regionalism akan menciptakan suatu bentuk kerjasama yang akhirnya akan menyatukan berbagai entitas negara di satu kawasan menjadi satu kesatuan, di pihak lain, akan menciptakan politik etnis yang akan memecah keutuhan negara, bahkan kerjasama regional yang dilakukan antarkawasan akan  mengaburkan keanggotaan negara dalam suatu kawasan.  
Keberadaan Single Erupean Act tahun 1986 memberikan pengaruh kuat  pada perubahan ekonomi dan transformasi sistem internasional. Selama rentang waktu kemunculannya, regionalisme baru juga memunculkan isu wilayah yang meluas dalam lingkup global, meskipun dengan bentuk yang berbeda di tiap negara, seperti ASEAN dan Komunitas Eropa. Regionalisme dapat dipahami melalui berbagai perspektif  untuk menganalisis dinamika yang ada, diantaranya, diperlukan adanya suatu perspektif global dalam menilai perkembangan regionalism di suatu kawasan tertentu karena dinamika global sangat berpengaruh terhadap fluktuasi regionalism suatu kawasan, menurut Joseph Nye ada dua macam skema regionalism, yaitu micro-regional, yang cenderung pada skema integrasi ekonomi dan macro-regional yang cenderung pada pengawasan dan penyelesaian konflik dan mengarah pada level politik, sebagai catatan, biasanya pemerintah membuat perjanjian ekonomi regional atas kepentingan politik daripada ekonomi itu sendiri karena regionalisme dapat digunakan sebagai alat tawar-menawar, mempermudah peraihan dan pengimplentasian persetujuan, dan memberikan kepuasan pada konstituen politik domestik dalam upaya peningkatan keamanan. Pemisahan pola regionalism antara negara industri dan berkembang kini sudah usang. Ini dibuktikan dengan Mexico masuk NAFTA, Jepang dan China di ASEAN.
Pada mulanya studi kawasan didefinisikan berdasar geografi dari negara yang dikaji, yaitu sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan geografis berada dalam satu wilayah tertentu, yang didukung adanya kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama, sedangkan kawasan internasional, menurut Joseph Nye adalah sekelompok negara yang jumlahnya terbatas yang berhubungan satu sama lain dalam batasan geografi dan adanya derajat interdependensi, sehingga regionalisme bila didefinisikan menjadi formasi dari pengelompokan antarnegara dalam basis suatu region.[1] Namun, patokan ini memiliki kelemahan, yaitu tidak mencerminkan kondisi sosial dan politik suatu negara. Ada empat kriteria untuk mengelompokkan negara, dalam kriteria geografis, misalnya Eropa dan Asia; kriteria politik/militer seperti blok Kapitalis, Pakta Warsawa, Utara-Selatan; kriteria ekonomi, misal: negara maju dan negara berkembang; kriteria transaksional, misal: Pasar Tunggal Eropa. Jadi, regionalisme merupakan paham yang menginginkan adanya collective-action dan kesatuan kerjasama di berbagai bidang yang pada akhirnya akan menjadi suatu entitas integral  yang lebih besar. Sedangkan regionalisasi merupakan sebuah proses menuju terciptanya kerjasama regional di berbagai bidang dalam satu kawasan.
Wacana idealis dan internasionalism menjadi rujukan untuk mewujudkan tata internasional yang damai, sehingga terbentuklah LBB yang kemudian digantikan PBB karena dianggap lemah. Di sini regionalism mendapat perhatian dengan diprioritaskannya lembaga regional sebagai pencegah dan penyelesai konflik jika terjadi problem dalam kawasan tersebut. Atas dasar inilah realism menggantikan posisi kaum idealis dalam hubungan internasional dengan asumsi bahwa hubungan antar negara tak lebih sebagai hubungan struggle for power, penuh dengan anarki, kepentingan nasional, dan organisasi internasional hanya sekedar alat untuk mencapai semua itu. Pada masa Perang Dingin, organisasi regional didirikan sebagai wujud dari kepentingan dua blok yang berseteru dengan  kepentingan untuk menyebarkan pengaruh masing-masing dan mendapatkan negara satelit dengan memanfaatkan organisasi regional tersebut sebagai kendaraan mereka (proxi war).
Kesuksesan integrasi di Eropa Barat memberikan pengaruh signifikan terhadap kawasan lain untuk membentuk asosiasi blok perdagangan bebas dan pasar bersama seperti di Timur Tengah dan Amerika, yang memunculkan organisasi semacam NAFTA dan LAFTA serta kaum fungsionalis yang selanjutnya menjadi neofungsionalis dengan penyatuan logika konsep politiknya yang menarik karena unsur prediksinya yang kuat untuk menjelaskan keberadaan eropa Barat.[2] Keberadaan kaum liberal atas transnasionalisme, interdependensi, dan rezim internasional, kemudian mengurangi pondasi realism dalam hubungan internasional. Selain itu, pada tahun 1960–1970, tantangan regionalism juga muncul di Dunia Ketiga dengan membentuk organisasi regional seperti Gerakan Non Blok G-77, dan UNCTAD. Namun, harapan tersebut tidak sepenuhnya tercapai karena bipolaritas yang dampaknya melahirkan realisme dalam bentuk baru, yaitu neorealis.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya neo-regionalisme, yaitu berakhirnya Perang Dingin, Perubahan Ekonomi, Perspektif Dunia Ketiga, dan Demokratisasi. Dengan berakhirnya Perang Dingin maka lahirlah perilaku baru dalam menciptakan kerjasama internasional, dimana setiap negara dapat dengan bebas melakukan kerjasama regional, dan munculnya desentralisasi sistem internasional, dimana lebih multipolar. Perubahan ekonomi menjadi penggerak bagi munculnya kekuatan ekonomi baru pada beberapa kawasan, sehingga memikirkan ekonomi dalam skala regional tak kalah pentingnya pada level strategis. Terakhir adalah demokratisasi yang diklaim akan melahirkan dan memberikan kemudahan demi tercipta dan terjalinnya suatu kerjasama. Suatu dunia yang diglobalisasi tidaklah menjadi suatu dunia yang murni demokratis. Begitu pula WTO yang menjadi milik Negara Adi Daya tentu akan memaksakan kepentingannya kepada negara lain. Suatu titik terang adalah dengan kekompakan negara berkembang sejak masuknya China sebagai anggota WTO pada 2001 sehingga membuat negara maju tidak berhasil memperoleh kesepakatan, sampai putaran pertemuan di Doha  yang hingga kini mengalami kebuntuan. Beragam protes terbuka sebagai simbol ketidaksetaraan dan hipokrisi AS dan beberapa negara maju UE. Meskipun demikian, negara berkembang harus menyadari dan mengakui bahwa globalisasi sudah menjadi  realita di dunia ini.
Menurut saya kedua  artikel mengenai regionalismenya John R maupun Louise F saling melengkapi baik dari sisi sejarah maupun perkembangannya di masa kini dengan beberapa studi kasus dan penjabaran pemaksimalan RTA agar tercapai kesejahteraan selama proses kerjasama regional berlangsung. Hendaknya bangsa ini perlu mencermati bahwa regionalisasi dan globalisasi merupakan proses yang sejajar yang tidak bertentangan. Kita harus memiliki keberanian politis yang memadai untuk tidak membiarkan konflik menghalangi ke tingkatan tingkatan lebih tinggi dari kerjasama regional, yang jelas ada banyak tantangan serius lainnya yang hadir sehingga diskusi mengenai regionalisme akan terus bergulir.
        Referensi                                                                      
Hettne,B. The New Regionalism : A Prologue. In Hettne,B. (ed), The New Regionalism and the Future of Security Development, Vol.4.2000. London : Macmillan.
Ministry of Trade Republic of Indonesia, diakses 13 Maret 2009: 21.00 dari Http://www.delidn.ec.europa.eu
Fawcett, Louise, and Andrew Hurrel. 2002. Regionalism In World Politics. Oxford University press pp.7-36.
Ravenhill, John.2007. Global Political Economy. Second edition.Oxford University Press.pp 172-209.






[1] Fawcett, Louise, and Andrew Hurrel. 2002. Regionalism In World Politics. Oxford University press pp.7-36.
[2] Hettne,B. The New Regionalism : A Prologue. In Hettne,B. (ed), The New Regionalism and the Future of Security Development, Vol.4.2000. London : Macmillan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar