Jumat, 01 Oktober 2010

KOSMOPOLITANISME, NASIONALISME, DAN FUNDAMENTALISME HUBUNGANNYA DENGAN GLOBALISASI



            Gerakan fundamentalisme tumbuh subur di segenap penjuru dunia terutama paska pengeboman WTC. Gerakan ini sangat beragam dan terus membuat chaos dunia. Sedangkan Kosmopolitanisme adalah kesadaran etika yang bisa mengurangi gerakan-gerakan ini  (http://www.brainyquote.com). Bagaimana dan mengapa gerakan fundamentalisme justru semakin menjamur? Lantas bagaimana dengan Kosmopolitanisme, Nasionalisme, dan Fundamentalisme di era globalisasi ini?
Gerakan fundamentalisme adalah pergerakan individu yang menggerakkan kelompok atau pergerakan kelompok dengan memperjuangkan apa yang telah diyakininya sebagai dasar atau pijakan satu-satunya hidup mereka. Pergerakan ini tampil melalui praktek-praktek diskursif yang dari proses sejarah dan budayanya terus dikonstruksi melalui ruang sejarah dunia (secara kontekstual) dan terus mengendap dalam keyakinan penganutnya. Di luar kelompok adalah sesat sehingga harus disadarkan, tindakan para fundamentalis biasanya cenderung radikal untuk memperoleh hasil yang lebih maksimal, namun tidak selalu. Contoh gerakan fundamentalisme dapat dilihat pada fundamentalisme kristen pada tragedi "Perang 30 tahun" di Eropa, gerakan Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta, fundamentalisme kapitalisme sebagai sistem ekonomi- Fundamentalisme pasar ini menambah ramainya gerakan fundamentalisme lainnya dengan munculnya fundamentalisme antikapitalisme (globalisasi) (http://www.brainyquote.com). Bahkan menurut Thomas L. Friedman (2006) globalisasi informasi membuat dunia menjadi datar. Namun, dunia yang datar ini menciptakan chaos dengan adanya kemiskinan, ketimpangan, dan konflik sosial di beberapa wilayah.
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, gerakan fundamentalisme terjadi karena tidak adanya etika kosmopolitanisme. Itu sebabnya, kosmopolitanisme merupakan kesadaran praktis yang semua manusia di dunia ini secara embedded memilikinya. Konsep ini yang mengubah chaos menjadi harmoni, yang menurut Max Weber, membuat keterpukauan dunia dari yang serba materialistis, kering, dan tanpa makna (Verges, 2002). Kosmopolitanisme adalah ekspresi warga kosmos dan menolak komunitas tertentu yang bersifat parokial atau primordial. Kaum ini melihat bahwa semua orang di dunia berbeda, sehingga banyak hal yang menarik untuk dipelajari, bahkan dari mereka yang tidak sepakat dengan kita. Kosmopolitanisme ini bukan solusi, tapi tantangan bagi kita semua sebagai warga semesta. Tidak seperti konsep kosmopolitanisme pada umumnya, para intelektual Creole berpendapat bahwa kosmopolitanisme-aspirasi partikular kepada yang universal- bisa berjalan searah dengan nasionalisme, selama nasionalisme ditujukan untuk memerangi semua bentuk kolonialisme. Gerakan tersebut didorong oleh kesadaran kosmopolitanisme dan penghormatan terhadap kemanusiaan universal. Nasionalisme di sini berperan sebagai konsepsi kolektif yang diperlukan bagi kebutuhan perjumpaan dan kesinambungan dalam lingkup kosmos agar tidak mengarah pada fundamentalisme perorangan atau kelompok, yang sedikit berbeda dengan versi orthodoknya, dimana nasionalisme biasanya mengambil pola kejayaan romantisme masa lampau semata dan rekonstruksi situasi. Modernisasi dan globalisasi adalah situasi yang tak terhindarkan, bahkan menurut Giddens (2002) tradisi tidak sepenuhnya runtuh. Sebaliknya justru bertransformasi dalam aneka persenyawaan baru yang mengadopsi pola kekerabatan atau komunitas sebagai model. Meski tidak disebutkan secara eksplisit, nasionalisme yang mengadopsi kosmopolitanisme terbatas di satu sisi namun masih mempertahankan model kekerabatan komunitas di sisi lain merupakan contoh nyata kesinambungan berbagai paham ini.
Secara umum, dalam globalisasi, dunia tengah bergerak ke arah apa yang disebut Giddens (2002) sebagai kemunculan impresif ‘masyarakat kosmopolitanisme global’. Satu-satunya ketundukan kosmopolitanisme adalah pada komunitas umat manusia yang mendunia. Selebihnya kosmopolitanisme membebaskan individu-individu untuk menikmati otonomi aksi dan kebebasan berekspresi terlepas dari keterkungkungan patriotisme ataupun tradisi. Oleh karena globalisasi hadir bersama supremasi kosmopolitanisme ekonomi, maka seluruh tatanan peradaban terdesak dalam keniscayaan yang sama. Meskipun kosmopolitanisme sebenarnya lebih dulu ada sebelum globalisasi itu sendiri hadir, namun penyebaran kosmopilitanisme ini booming setelah nilai-nilainya disebarkan melalui globalisasi baik dari segi teknologi informasi maupun ekonomi.
Referensi
Vergès, Françoise. “Vertigo and Emancipation, Creole Cosmopolitanism dan Cultural Politics”, dalam Recognition and Difference, Scott Lash dan Mike Featherstone, SAGE Publications, 2002, hal. 169-183.
Giddens, Anthony, “Tradition”, dalam Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, London: Profile Books, 2002, pp. 36-50.
Maliki, Musa. Fundamentalisme dan Kosmopolitanisme diakses melalui http://www.brainyquote.com pada 20 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar