Jumat, 01 Oktober 2010

Manajemen dan Teori Konflik

Menurut professor sosiologi dari Brandeis University, Amerika Serikat, konflik merupakan perjuangan atas nilai dan klaim terhadap status, kekuasaan, dan sumber daya yang terbatas jumlahnya dimana tujuan para pihak-pihak yang terlibat adalah untuk menetralkan, melukai, atau menghilangkan pesaing mereka (Dougherty, 1971). Dibandingkan dengan ketegangan, konflik bersifat lebih manifes dan konflik bisa saja berupa evolusi dari ketegangan berlebihan. Secara mikro, teori konflik didasarkan pada karakter-karakter distinctive yang paling mendasar pada setiap aktor yang terlibat dalam konflik, sehingga dalam teori ini yang menjadi inti pemikiran adalah peran individu beserta kondisi psikologis serta kepribadiannya yang menyebabkan ia terlibat dalam konflik. Sedangkan secara makro, teori konflik menekankan pada dinamika struktur sosial dan insitusi yang dianggap menjadi faktor dibalik munculnya suatu konflik.
Teori konflik sendiri mengalami evolusi sejak era peradaban kuno hingga sekarang, dimulai dengan pemikiran mengenai crude conflict berupa perang sebagai instrumen mencapai kepentingan institusi pemegang kekuasaan hingga doktrin Just War pada abad pertengahan serta pemikiran kaum bellicist dan pacifist yang dimulai pada abad ke 19. Di era kontemporer, konflik kekerasan tidak lagi sebatas antar negara tapi juga di dalam maupun lintas negara yang biasanya diwarnai dengan masalah ketidakadilan distribusi dan perbedaan identitas seperti agama, ras, dan budaya bukan lagi masalah perbatasan (Harris dkk, 1998). Konflik identitas ini berlangsung lebih lama bergantung dari emosi dan adanya rasa memiliki identitas tersebut apalagi yang mengarah pada etnosentrisme serta lebih sulit diselesaikan melalui jalur negosiasi. Dilihat dari persepektif konflik diatas, terjadi pergeseran antara dinamika fokus konflik yang menekankan kepada aktor menjadi kebutuhan dasar yang menekankan kepada isu dan akar dari konflik. Dimana konflik tersebut tidak saja bisa berbentuk negatif tapi bisa juga positif. Contohnya adalah adanya integrasi yang bermula dari konflik seperti pejajahan Belanda atas Indonesia yang memunculkan rasa kebangsaan dikalangan masyarakat dan akhirnya terbentuklah negara Indonesia.
Hal yang perlu ditekankan disini adalah dalam kehidupan itu tak ada teman atau lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Untuk itu, perlu adanya manajemen dalam konflik bukan pada bagaimana konflik itu berakhir tapi lebih diarahkan pengelolaan konflik dan pengaturan emosi ke arah yang lebih positif. Manajemen yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan struktur politik demokrasi yang diawasi oleh institusi demokrasi pula, dengan asumsi akan tercipta perdamaian diantara negara-negara yang menganut demokrasi (Peter, 1998). Selain itu demokrasi merupakan suatu respon tanpa kekerasan atas konflik yang terjadi. Manajemen konflik di sini, juga harus memelihara kompetisi, partisipasi, dan kebebasan berpolitik agar kondisi menjadi tetap stabil dan di bawah kendali.

Referensi
Dougherty, James. 1971. Contending Theories of International Relations, The Older Theories of Conflict. J.B. Lippincolt Company
Harris, Peter dan Bey Reiley, eds. 1998. Democracy and Deep-Rooted Conflict. Option for Negotiation. Stockhlom: IDEA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar