Jumat, 01 Oktober 2010

Politik Identitas dan Perang Gaya Baru

Dalam beberapa perang yang mendapat intervensi dari PBB, seperti halnya perang Bosnia dan Herzegovina maka keberadaan para globalis seperti penjaga perdamaian, agen kemanusiaan, jurnalis, penerjemah dan lain-lain yang bebas melintasi batas teritorial tidak bisa dihindari keberadaannya. Bahkan dari tujuan dari perang gaya baru pun masih berorientasi pada kekuatan yang berdasarkan pada identitas tradisional seperti bangsa, agama, dan suku bangsa (4: The Politics of New War: 72). Adanya era globalisasi paling tidak itu pasti akan mempengaruhi semua aspek termasuk perang yang merupakan fenomena global.
Perang yang dulunya dipahami sebagai suatu pendudukan dan penghancuran suatu wilayah, maka perang gaya baru ini lebih kepada sebuah cara bukan tujuan lagi, yang menarget simbol politik, psikologi lawan, strategi diaspora, dan ketidakteraturan tatanan. Seperti kejahatan trans nasional seperti pengeboman oleh terorisme, jaringan perdagangan narkoba lintas negara, perang saudara di antar negara Afrika dll. Semua hal itu diperangi, baik oleh aktor dari setiap negara maupun organisasi internasional di bidang tersebut seperti penyataan Waltz dalam ”Images of War”. Konsep perang gaya baru ini tentu saja menjadi penghambat terwujudnya kondisi keamanan global dan globalisasi semakin membuatnya lebih komplek dan terjadi perbedaan celah yang lebih lebar di bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Jadi seorang aktor harus memperhatikan masalah keamanannya sendiri sekaligus keamanan kolektif dalam waktu yang bersamaan, belum lagi benturan kepentingan yang terjadi antara ”dia dan lawannya maupun dia dengan sekutunya”. Sehingga menghadirkan dilema bahkan ”polilema” dalam mengambil sebuah keputusan saat situasi sulit terjadi-perang.
Bahkan legitimasi negarapun yang merupakan entitas tertinggi sejauh ini pun, mulai diragukan dan tergantikan peranannya karena masyarakat tidak lagi berpegangan pada semangat nasionalisme maupun etnosentrisme yang dulu sangat mengakar. Globalisasi merubah identitas kemasyarakatan, dan para aktorpun bergerak mempolitisinya sehingga muncullah istilah politik identitas. Instrumen yang ada justru menjadi ajang peraihan kepentingan perorangan dan segelintir kelompok saja seperti sistem pemerintahan, pendidikan, pergerakan aktivitas ekonomi dan lain-lain yang sekiranya bisa dijadikan kedok dari sebuah nilai-nilai universal. Paradoksal yang muncul ini membawa pada keragaman sekaligus perbedaan ragam yang tentu saja unik (4: The Politics of New War: 74).
Dari definisi asalnya, sebenarnya politik identitas ini menurut Young diartikan sebagai mode pengorganisasian yang berkaitan secara erat dengan gagasan atau ide tentang terjadinya penindasan terhadap kelompok sosial yang berkaitan dengan identitas mereka (ras, etnis, gender, seksualitas, kelas, dll.), namun karena banyaknya pilihan identitas yang tersedia akhirnya menyebabkan seseorang yang memiliki memiliki multi-identitas menjadi lebih mudah bila melakukan politisasi. Dengan identitas tersebut seseorang akan mendapatkan apa yang diinginkan kapan saja dan bagaimanapun caranya. Adanya perang, imperialisme kultural, kekerasan, maupun marjinalisasi mengharuskan kita melakukan klaim dan deskripsi ulang atas individu dan kelompok. Sehingga bentuk dari perang gaya baru ini merupakan sebuah klaim yang tidak mengarahkan pada integrasi sebuah bangsa tapi lebih kepada fragmentasi budaya yang sifatnya partikular-obsesif.
Legitimasi akan kelas politik penting sifatnya karena interpretasi hanya bisa dilakukan oleh poihak yang berkuasa pemilik otoritas. Stabilitas terjadi bukan karena tidak adanya konflik tapi lebih kepada hasil konsesi para penguasa atas pembagian kepentingan. Lemahnya pemerintahan terutama Negara gagal seperti Sierra Leone dan Somalia memicu munculnya pemberontakan dan separatisme karena kurangnya akomodasi atas pihak marjinal dan munculnya individu-individu yang tidak toleran. Ketidakstabilan negara, demokrasi yang rendah dan adanya pesimisme serta kecurigaan atas globalisasi  dan neoliberalisme lah yang memicu munculnya bibit perang gaya baru. Hal yang penting digaris bawahi adalah masalah demokrasi yang tidak saja menyebabkan perang namun juga dengan adanya demokrasi diwacanakan akan memunculkan perdamaian bila semua negara dunia di saat yang sama menganut demokrasi semuanya, contohnya adalah mayoritas negara-negara Eropa barat yang merupakan anggota Uni Eropa. Jika kita meninjau ulang sistem global yang sedang berjalan, sebenarnya ada begitu banyak permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh aktor internasional. Pengaruh budaya dan identitas adakalanya mempersulit terjadinya kerjasama yang diharapkan mampu mewujudkan perdamaian, adanya manipulasi dari yang kuat terhadap yang lemah telah dengan sengaja dikonstruksikan sebagai suatu keadaan yang sudah semestinya dan wajar bila ada.
Dari pemaparan di atas penulis mengambil posisi bahwa globalisasi seringkali menjadi batu sandungan dan memperumit perang yang terjadi, masih dengan konsep yang sama yaitu peraihan ”power” dengan segala bentuknya, hanya istilah yang berbeda yaitu ”perang baru”. Globalisasi juga dapat menjadi batu sandungan karena banyak pihak yang menggunakannya sebagai batu loncatan berupa politik identitas demi menyebarkan pengaruh dan ideologi tertentu untuk kepentingan tertentu yang memperlebar perbedaan. Bila perbedaan tersebut saling melengkapi maka itu bukanlah suatu masalah, tapi bila saling meniadakan seperti pembersihan etnis, fundamentalisme agama tertentu, dll justru malah menebar konflik baik laten maupun yang termanifes-perang.

Daftar Pustaka
Anonim. 4: The Politics of New War. Artikel bahan perkuliahan.
Young. Komunikasi dan Multikulturalisme

1 komentar:

  1. eh ntar dulu, kalo politik identitas itu sperti yg km bilang di tulisan ini, lantas bagaimana dengan pola kekuasaan dari otoritarisme ke demokrasi yang mulai tumbuh dan berkembang poltik identitas di dalamnya..?

    BalasHapus