Sabtu, 02 Oktober 2010

PERKEMBANGAN HUBUNGAN AUSTRALIA DAN AMERIKA SERIKAT

Dalam sistem politik global, Australia adalah negara Barat yang berlokasi di kawasan Asia pasifik dan memiliki hubungan yang erat dengan Amerika Utara dan Eropa sejak lama (http://www.kompas.com). Sejak merdeka dari Inggris, Australia aktif dalam menjalin hubungan internasional baik di dalam maupun di luar kawasan Asia Pasifik. Pada Perang Dunia II lebih dari satu juta orang Amerika menggunakan Australia sebagai pangkalan sehingga jelas ada pengaruh Amerika Serikat yang sangat besar terhadap masyarakat Australia (http://www.kompas.com). Hal ini terlihat pada dukungan Australia pada Amerika Serikat (AS) untuk memerangi komunisme di Asia. Ketika Perang Dingin berakhir pada tahun 1980-an, Australia mengubah pendiriannya mengenai perlindungan militer dari Amerika Serikat.
Di sisi lain, pengaruh AS di Australia juga cukup besar dengan adanya investasi ekonomi Amerika dalam sektor manufaktur di Australia dan pengaruh budaya popular AS. Banyak akademisi Australia merupakan lulusan Amerika dan kurikulum pendidikan Australia pun semakin dipengaruhi oleh kecenderungan pendidikan Amerika. Menurut penulis, hal ini juga tak lepas dari kepentingan Australia untuk menjadi aktor yang diperhitungkan di mata dunia khususnya di kawasan Asia Pasifik sendiri bila bersekutu dengan AS yang merupakan hegemon tunggal hingga saat ini.

Perbandingan Era John Howard dan Kevin Rudd
Pada era kepemimpinan Kevin Rudd yang berasal dari Partai Buruh, formula politik luar negeri Australia memiliki perbedaan dengan AS meski tetap dalam strategi yang sama dengan mantan Perdana Menteri John Howard untuk mengamankan pengaruh politiknya di kawasan Asia Pasifik yaitu menghindari aksi-aksi militer dan penyebaran pasukan tentara dalam upaya penyebaran pengaruh seperti yang dilakukan AS ketika menguasai Irak dan Afganishtan (http://www.webmaster.com)  
.           Selain itu juga mulai merevisi beberapa kebijakan politik luar negerinya yang cenderung “mengekor” apa yang dilakukan oleh mantan Presiden AS, George W.Bush, yang agresif dan militeristik serta gagasan untuk membentuk Asian-Pacific Union (APU) yang lebih berorientasi ekonomi dan perdagangan. Masa depan APU diperkirakan akan menggeser APEC dan ASEAN atau justru menggabungkan keduanya, ada juga yang menganggapnya sebagai skenario untuk memperlemah soliditas atau kekompakan negara-negara ASEAN dalam perang diplomasi melawan Amerika dan negara-negara maju lainnya (http://www.webmaster.com). Dari kecurigaan semacam ini menjadi logis bahwa Australia memperakarsai APU dengan maksud untuk memberi ruang yang seluas-luasnya bagi sekutunya, Amerika, dalam menanamkan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara dengan pendekatan non-militer.
            Bagi Australia, hubungan ekonomi dengan negara-negara di dunia khususnya dalam lingkup regional selama ini dilakukan dalam Asia Pacific Economic Forum (APEC) yang berjalan cukup efektif meskipun masih banyak kekurangan di sana-sini. Melalui keanggotaan dalam APEC, Australia sebenarnya mendapatkan berbagai keuntungan seperti munculnya integrasi regional dengan Asia terutama Asia Tenggara. Hubungan ekonomi Australia dengan Amerika juga terjadi secara bilateral seperti pernyataan Lang dan Hines bahwa hubungan ekonomi kedua negara memiliki banyak sekali hal-hal fundamental yang berpengaruh pada investasi, kepemilikan modal dan perusahaan serta adanya pasar potensial bagi barang produksi Australia (Beeson, 2003).
Untuk menghilangkan hambatan ekonomi yang ada, Australia pada pemerintahan sebelumnya yaitu Pemerintahan John Howard melakukan perjanjian Free Trade Area (FTA) untuk mendapat jaringan ekonomi yang lebih luas serta mendapat hubungan persaingan ekonomi yang ”sehat” melalui adanya saling ketergantungan. Meskipun demikian, tidak jarang terdapat beberapa kritik mengenai hubungan tersebut, seperti memburuknya hubungan Australia dengan Asia dan tersingkirnya Australia dalam perjanjian regional. (Ross Garnaut, 2002 dalam Beeson, 2003).
Terlepas dari pro-kontra yang ada, tak bisa disangkal Australia sangat bergantung pada AS terutama dalam hal militer.       Awal mula kerjasama ini adalah Australia mempererat hubungannya dengan AS untuk memastikan keamanan wilayahnya dari invasi Jepang. Ini terkait erat dengan konsep forward defense dimana Australia mencoba untuk menghentikan ancaman sebelum masuk kedalam wilayahnya. Sejak berakhirnya Perang Dunia kedua, militer Australia secara resmi ”membonceng” AS dan sebagai konsekuensinya tentara Australia harus mendukung Amerika Serikat dalam setiap peperangan, seperti yang terjadi Korea, Vietnam, Perang teluk, dan juga Afghanistan (Beeson,2003,394). Keadaan ini juga menguntungkan Australia seperti pada saat Australia mengirim tentara di Timor Timur pada tahun 1999. Banyak yang menentang, namun karena dukungan dari militer terutama Amerika Serikat dan sekutunya, tindakan Australia tersebut seolah mendapat legitimasi dan bisa dimaklumi (Laporan The National Security Archieve, 2005).
            Salah satu bentuk aliansi antara Australia dengan Amerika dalam hal militer adalah melalui aliansi Australia, New Zealand, United States (ANZUS) yang ditujukan untuk mengontrol daerah Asia dan Pasifik Barat yang sebelumnya merupakan strategi pembendungan komunis AS terhadap Soviet  dari Eropa Barat sekaligus Asia pasifik. Keuntungan yang didapat Australia adalah dapat mencegah ancaman sebelum masuk ke mainland Australia, selain itu Australia mendapatkan keuntungan berupa transfer teknologi militer dan akses data dari intelijen AS. Hal ini semakin menunjukkan bahwa Australia tidak lebih merupakan perpanjangan tangan AS terutama di wilayah Asia Pasifik.
            Terkait dengan isu terorisme, Howard berada di pihak AS dan ikut menyerukan perang melawan terorisme dengan Al Qaidah sebagai musuh utamanya, padahal keberadaan terorisme sudah ada sejak abad 18 (Tow,2004: 273). Hal ini menurut penulis terkait dengan konstruksi AS untuk memulihkan hegemoninya yang mulai menurun paska krisis dan ketiadaan musuh bersama paska perang dingin sehingga eksistensinya sebagai polisi dunia kurang terdengar gaungnya. Untuk itulah pengeboman WTC adalah momen yang tepat untuk menyebarkan pada dunia tentang bahaya teroris yang awalnya merupakan masalah nasional AS menjadi suatu isu global. Kritikan mengalir karena ditengarai bahwasanya kebijakan perang terhadap terorisme itu hanya merupakan keputusan pejabat elit Australia saja, karena masyarakat Australia sendiri mengkhawatirkan tindakan balasan dari teroris bila diperangi dan bergabungnya Australia dengan aliansi militer Amerika Serikat hanya memberi keuntungan pada finansial militer Amerika Serikat saja yang memonopoli pengadaan persenjataan (Beeson, 2003).
Selain itu, pengkritik lain menyatakan bahwa eratnya hubungan Australia dengan Amerika terutama dalam hal militer telah membahayakan hubungan yang lebih penting bagi Australia yaitu hubungan dengan Asia yang sempat dianggap ancaman serta integrasi regional Australia dengan negara-negara sekitarnya. Hal penting yang harus diperhatikan di sini adalah dulunya bangsa Australia sentimen terhadap imigran dari Asia dan sengaja memarjinalkannya. Hal ini terkait dengan kebijakan White Australian Policy pada era 1908, yang menginginkan Australia didominasi dan dijalankan oleh bangsa kulit putih Eropa. Hal ini disebabkan oleh sentimen rasial dari pemerintah, selain itu pemerintah Australia ingin melindungi penduduknya agar tidak tersaingi oleh bangsa Asia. Apalagi Jepang, Cina, dan India mulai muncul sebagai negara industri baru yang sukses. Kekhawatiran yang berlebihan pada pendatang asing ini menyebabkan Australia dijuluki sebagai bangsa yang xenophobia, padahal hal ini sama sekali tak beralasan. Namun, semenjak diterapkannya multikulturalisme tingkat sentimen rasial di Australia sudah menurun. Untuk memperbaiki hubungannya dengan Asia, Australia menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara seperti China, Jepang, Singapura dan mengirim delegasi kepada Korea Utara. Selain itu, komitmen Australia kepada Asia juga dapat diketahui melalui keikutsertaan Australian Federal Police (AFP) dalam upaya penyelidikan kasus bom bali.
Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam bidang ekonomi, peran Australia terkesan pasif, yaitu hanya menyesuaikan pada kebijakan AS terutama saat pemerintahan Howard, meskipun wacana tentang APU telah digulirkan oleh Rudd. Namun implementasi APU belum bisa dilihat dalam waktu dekat, apalagi antara bangsa Asia dan Barat memiliki banyak perbedaan mendasar baik masalah kepentingan, budaya, dan karakteristik masyarakatnya. Kepasifan sikap Australia ini menunjukkan ketidakberdayaannya untuk lepas dari sokongan AS dan targetnya untuk menjadi hegemon regional bukan pesaing AS, dan yang terpenting lagi adalah Australia dapat melindungi dirinya dari berbagai ancaman yang muncul dari persepsinya yang terlalu berlebihan itu. Keputusan Kevin Rudd untuk sedikit lepas dari AS, merupakan kemajuan yang patut diacungi jempol. Hal ini merupakan bentuk kesadaran akan identitas Australia serta signifikansi kepentingan nasionalnya yang tidak dapat didikte oleh AS yang notabenenya adalah hegemon global.

Daftar Pustaka
Beeson, Mark. 2003. Australia’s Relationship with the United States: The Case for Greater Independence. Australian Journal of Political Science, vol. 38, No. 3 November, pp 387-405. Carfax Publishing.
Hendrajit. Pembentukan Asian Pacific Union Belum Perlu Bagi Asia Tenggara diakses dari
http://www.webmaster.com   pada 14 Desember 2009
Jejak Panjang Timor Lorosa'e dalam  Laporan The National Security Archieve  28 November 2005 Penyelesaian Diplomasi Pelanggaran HAM Timor Leste. Diterbitkan Juli 31, 2008 Artikel Dosen
Meaney, Neville. nd. The End of White Australia and Australia’s Changing Perceptions of Asia, 1945-1990. Australian Journal of International Affairs, Vol. 49, No. 2.
Perkembangan dalam Hubungan Internasional Australia dalam geografi Australia bab 11 diakses dari http://www.kompas.com pada 14 Desember 2009
Tow, T., William. 2004. Deputy Sheriff or Independent Ally? Evolving Australian-American ties in an Ambiguous World Order. The Pacific Review, Vol. 17, No. 2 June 2004: 271-290. Routledge.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar